Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki

Selamat membaca.

.

.

.

Apa yang terlintas dipikiranmu ketika melewati tempat bermainmu ketika masih kecil?

Senang, kah? Sedih? Atau justru… rindu?

Jika kau merasakan itu, mungkin saja kita sama.

Bukankah agak menyakitkan melihat anak-anak lain bermain di tempat yang dulu kau anggap daerah kekuasaanmu?

Waktu itu berlalu sangat cepat, bukan?

Ketika dulu kau bisa dengan mudahnya menangisi segala hal. Meskipun itu hanya hal kecil ketika anak lain merebut mainanmu.

Hingga kini, ketika beban berat berada di pundakmu, menangis pun rasanya sangat memalukan bahkan ketika tidak ada yang melihat.

Karena orang-orang bilang kita sudah dewasa.

Orang-orang bilang, orang dewasa tidak boleh menangis.

Tapi aku tidak beranggapan seperti itu. Aku tidak beranggapan orang dewasa tidak menangis karena malu.

Menurutku, hanya ada satu perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa.

Kedewasaan mengajarkan kita untuk melindungi diri sendiri. Menghadapi masalah sendirian sehingga kita dapat disebut mandiri. Dan tentu saja, menangis bukanlah sebuah solusi.

Tetapi ketika masih anak-anak, kita beranggapan bahwa menangis dapat menyelesaikan segalanya. Dengan menangis kita akan mendapat kemenangan.

Karena orang dewasa akan membela kita tau mungkin menenangkan kita.

Dalam arti lain, ada orang lain yang peduli.

Mengerti, tidak? Maksudku, kau tidak pernah merasa malu untuk menangis. Kau hanya mengerti bahwa tidak ada orang lain yang akan membela atau menenangkanmu.

Dalam arti lain, tidak ada yang peduli.

Aku juga, pernah punya orang dewasa yang peduli padaku.

Ah, tidak, dia juga anak-anak. Tetapi kedewasaan tidak dapat dinilai dari usia, bukan?

Jadi, aku menyebutnya orang dewasa. Atau dulu, aku memanggilnya sebagai seorang pahlawan.

Dan cinta pertama, sepertinya?

"Tetsuya, cepatlah. Kita tidak boleh terlambat lagi."

Dengan terburu-buru ia menalikan tapi sepatu sebelah kanan-nya.

"Jika kita terlambat, aku tidak akan membelamu."

Bohong.

Kemarin juga kau mengatakan hal itu.

Aku tidak mengerti kenapa perasaan kekanakan ini tetap ada meskipun kami sudah dinyatakan dewasa dalam hal usia. Malah, rasa-rasanya perasaanku ini bertumbuh besar melebihi tinggi badanku sendiri.

Aku benar-benar tidak mengerti…

"Jangan melamun."

Setidaknya tidak sampai saat ini.

"Akashi-kun." Aku memanggil namanya, membuat ia-yang sedang menalikan sepatu-mendongak dan menatap ke arahku.

"Ya?"

Aku menghampirinya, membuat ia harus memutar kepala untuk tetap melihatku.

Aku melingkarkan kedua tanganku dilehernya, memeluknya dari belakang. Dapat kurasakan dia sedikit membeku, mungkin bingung dengan perlakuanku. Tapi aku juga tidak tau apa alasan yang tepat untuk melakukannya. Aku hanya ingin memeluknya, menyentuhnya, dan merasakan hangat suhu tubuhnya.

"Eh? Kita bisa terlambat, loh."

"Memang selalu seperti itu, kan?"

Mungkin saja, alasan tentang perasaanku yang tidak pernah berubah adalah karena kami tidak pernah berubah.

Karena dia tidak pernah berubah.

Dia selalu menjadi pahlawanku, membelaku, dan menenangkanku. Menjadi satu-satunya orang yang peduli padaku.

Karena itu, selain tubuh, suara dan usia, tidak pernah ada yang berubah.

Baik itu tentang dia. Ataupun tentang perasaanku.

"Mau ku gendong?"

"Memangnya kau kuat?"

"Jangan remehkan aku!"

Setelah ia berkata seperti itu, aku merasa seperti terbang.

Bukan karena ia menggendongku dan aku tidak menginjak tanah.

Tapi, karena cinta memang selalu terasa seperti itu, bukan?

.

.

.

Wah… semoga ngga begitu mengecewakan? Tadinya cuma ngetik-ngetik ngga jelas karena tadi ngga sengaja lewat tempat bermain waktu kecil dan Zee seketika jadi sedikit melankonis /plak

RnR?