CHAPTER 1: PROLOG
Aula Besar Hogwarts, menjelang akhir tahun keempat, tahun 2021
Gadis itu, gadis berambut coklat lebat bergelombang, bermata abu-abu, dan berkulit putih agak pucat. Dia terlihat cantik sekali dengan perpaduan fisiknya yang unik. Banyak orang mengenalnya karena kesempurnaan yang dia miliki. Selain fisiknya, dia juga terkenal karena kepintarannya yang diturunkan dari sang ibu, berayahkan seseorang yang penting di Kementerian, juga karena kekayaan keluarganya. Dia juga anak tunggal kedua orangtuanya. Pewaris tunggal keluarga Malfoy.
Gadis itu hampir selalu menatapnya dengan pandangan kurang peduli. Kesimpulannya, gadis itu mungkin tidak berkenan dengan perhatian yang diberikan untuknya. Walau sekelas namun mereka tidak dekat. Namun gadis itu tahu kalau dia sering memerhatikannya. Gadis itu merasa pemuda itu sama saja dengan idola kebanyakan. Playboy karena merasa jumawa disukai banyak gadis. Ia berpikir, ia bukan gadis bodoh yang gampang terpengaruh.
Hal ini menjadi semakin komplit karena mereka berbeda asrama. Gadis itu Gryffindor sedangkan pemuda itu Slytherin, jadi ada alasan yang bagus untuk menjaga jarak. Namun ia tersadar bahwa orang tuanya sendiri Slytherin dan Gryffindor. Dan sekarang bukanlah hal yang aneh jika murid antar asrama terlihat dekat dan berbaur.
Tapi lama kelamaan ada hal yang dirasa aneh pada pemuda itu. Sesuatu yang bertabrakan dengan prasangkanya selama ini…
.
.
.
MISTAKEN IDENTITY
Disclaimer: Harry Potter punya J.K. Rowling. Saya tidak mengambil keuntungan materil apapun dari penulisan fanfiksi ini.
Terima kasih sudah berkunjung. Kiranya sudi untuk read and review ya, biar authornya semangat posting, huhuhu
.
.
.
1 September 2017
"Selamat tinggal, Nak. Semoga kau senang di sekolah. Segera tulis surat kalau kau sudah diseleksi."
"Mum, apakah aku harus masuk Slytherin? Seperti Mum?"
"Mmmh, kalau kau yakin itu terbaik untukmu, kau bisa memilihnya."
Seorang anak laki-laki berdiri di dekat Hogwarts Express dengan ibunya. Anak laki-laki berumur sebelas tahun itu akan memulai hari pertamanya bersekolah di Hogwarts. Senyumnya mengembang seraya menatap seisi stasiun.
Sang ibu menatap anaknya dengan sukacita. Dulu, ketika ia seumuran anaknya, ia juga antusias. Kakaknya yang sudah lebih dulu masuk Hogwarts sangat membantunya dan memberi penjelasan seputar Hogwarts karena ia sangat ingin tahu, persis seperti anaknya kini. Dirinya kala itu merasa amat bahagia karena ada sang kakak beserta kedua orangtua yang ikut mengantar mereka. Namun apa daya, anaknya kini hanya mendapati ibunya seorang diri yang mengantarnya ke stasiun. Bukan kedua orang tua.
Kedua orangtua…
Tak sengaja sang ibu melihat sebuah keluarga dengan orangtua yang sangat dikenalnya, terutama si ayah. Matanya terus terpancang pada si ayah. Kenangan masa lalu menari-nari cepat dalam pikirannya…
"Mum, Mum lihat apa, sih?" kata anak laki-laki sebelas tahun itu sambil menarik-narik jubah ibunya. Si ibu kembali tersadar.
"Oh, tidak. Mum hanya teringat dulu waktu Mum masih kecil seperti anak-anak itu, seperti kamu," kata ibunya sambil tersenyum. Senyum yang lebih tepat disebut sebagai senyum kebohongan.
Anaknya satu-satunya, anak laki-laki yang sangat dicintainya, merupakan buah masa lalu yang sulit dihindari. Kenangan yang pahit, tapi juga manis. Ia tidak bisa menolak begitu saja anak yang tiba-tiba, tanpa dikomando, akan datang dalam hidupnya. Anak yang sudah terlihat tampan segera setelah dilahirkan.
Anaknya yang bertambah tampan di usianya yang kesebelas ini. Si ibu bahkan yakin kalau anaknya kelak akan jadi incaran gadis-gadis. Dengan kulit putih bersih, rambut hitam kecoklatan, mata coklat terang, yang merupakan warisan dari dirinya, dan wajah tampan, seperti…
"Mum, tidakkah kau ingin memberiku ciuman dan pelukan?"
Lagi-lagi sang ibu melamun. Ia segera melakukan ritual yang rutin dilakukannya sebelum berpisah dengan sang anak, apalagi kali ini sang anak pergi jauh dalam waktu yang lama. Belum pernah ia melepas anaknya sejauh dan selama ini.
"Baiklah, Nak, kau harus cepat naik. Kereta akan segera berangkat sekarang." Dengan susah payah ditahannya air mata yang mendesak keluar, ketika dilihatnya sang anak, dengan wajah tampan dan senyum manisnya seakan-akan meyakinkannya bahwa ia akan baik-baik saja di sekolah dan jadi anak pintar, seperti yang selama ini ditanamkan sang ibu dalam pikirannya.
Sang ibu membantu anaknya naik ke atas kereta dan memberikan ciuman perpisahan lagi.
"Jangan lupa tulis surat, ya! Ceritakan pada Mum apa saja yang kamu alami di sekolah!"
Perlahan-lahan kereta pergi meninggalkan tempat awalnya. Sembari menatap ibunya yang makin lama makin kecil terlihat, anak laki-laki itu sekilas melihat apa yang tadi sepertinya dilihat ibunya: sebuah keluarga, dengan si ayah berambut pirang platina, si ibu berambut coklat lebat, dan si anak perempuan yang tampaknya berfisik campuran antara ayah dan ibunya.
.
XxX
.
"Greengrass, Scorpius!" panggilan suara keras Profesor Vector serta merta membuyarkan ingatan seorang anak laki-laki tentang kejadian sebelum ia pergi dengan kereta meninggalkan ibunya. Dengan mantap ia melangkah ke tempat yang agak lebih tinggi, tempat dimana sebuah kursi diletakkan. Scorpius Greengrass duduk di atas kursi itu. Profesor Vector meletakkan sebuah topi yang sudah sangat tua dan kumal diatas kepalanya, yang tak sampai tiga detik kemudian berteriak, "Slytherin!"
Scorpius tersenyum bangga, teringat akan kata-kata yang selalu diucapkannya sejak menerima surat penerimaannya dari Hogwarts. Ia bangkit dari kursi dan menuju ke meja Slytherin yang dipenuhi oleh murid-murid yang bersorak menerima kehadiran murid pertama yang masuk Slytherin.
Scorpius begitu antusias menyaksikan kelanjutan upacara seleksi, yang memanggil nama belakang murid-murid kelas satu sesuai abjad.
"Malfoy, Rose!"
Seorang gadis kecil maju dan duduk di kursi seleksi. Wajahnya menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi dan seakan-akan memiliki karisma yang kuat. Scorpius terpana melihat anak itu. Itu kan anak yang tadi dilihat ibunya? Anak berambut coklat muda agak berombak, bermata abu-abu, dan berkulit bersih agak pucat. Cantik sekali.
Apalagi ketika anak itu terpilih untuk bergabung di meja Gryffindor, beberapa anak laki-laki yang lebih tua bersuit-suit senang.
"Malfoy? Aku dengar Malfoy itu Slytherin," bisik seorang anak perempuan di sebelah Scorpius. Scorpius menoleh. Anak itu sama-sama kelas satu.
"Malfoy?" tanya Scorpius tanpa sadar.
Si anak perempuan, senang karena diajak ngomong, tersenyum-senyum centil. Dari tadi ia memerhatikan anak tampan di sebelahnya ini.
"Yah… Ayah anak itu teman baik orangtuaku," jawabnya, masih dengan senyumnya. "Perkenalkan. Aku Kathleen. Kathleen Bletchley. Tepat diseleksi lima anak sebelummu."
"Ya.. dan aku Scorpius Greengrass," kata si anak laki-laki, takjub dengan keakuratan perhitungan si gadis kecil Bletchley. Apa mungkin anak ini sudah 'mengincarnya' dari tadi?
"Oh, anak Astoria Greengrass?"
"Tahu dari mana kau?" tanya Scorpius kaget, karena ia baru beberapa bulan di Inggris sementara sejak dia belum lahir ibunya sudah menetap tinggal di Australia.
"Dari namamu. Astoria, teman orangtuaku, beberapa minggu yang lalu berkunjung ke rumah kami. Dia punya anak bernama Scorpius, seumuran denganku, yang tidak bisa dibawanya karena sedang sakit panas."
Scorpius agak jengah mendengar perkataan Kathleen yang menurutnya seperti habis mengintainya seperti detektif. Kathleen, sementara itu, masih menampakkan senyum manisnya walaupun terlihat agak kecentilan.
"Ngomong-ngomong, logatmu agak berbeda, tapi lucu," kata Kathleen, tampak geli tanpa menanggalkan kecentilannya.
"Oh, ya?" Scorpius nyengir. "Banyak yang bilang begitu."
"Tak heran. Sejak lahir tinggal di Australia, kan. Ibumu juga berlogat lucu."
Ini lagi. Gadis kecil di depannya ini sekali lagi membuatnya jengah. Sadar bahwa ia ketinggalan banyak seleksi, buru-buru dipalingkannya wajahnya dan beralih menonton seleksi.
"Potter, Albus!"
Rupanya tak salah Scorpius kembali menonton acara seleksi pada momen ini. Ia pernah mendengar nama Potter sebagai pahlawan dunia sihir, dan Scorpius yakin bahwa yang akan diseleksi itulah anaknya. Dalam sekejap seisi Aula Besar langsung sunyi senyap, lebih sunyi daripada anak manapun ketika diseleksi.
"Gryffindor!"
"Potter itu Gryffindor," terdengar suara Kathleen lagi, dekat dengan telinganya. Scorpius bergidik geli. Dilihatnya Albus Potter yang nampak lega luar biasa sesudah diseleksi. Tepuk riuh yang lebih keras daripada anak manapun yang sudah diseleksi terdengar.
"Saudara anak itu banyak sekali disini. Yah, keluarga besar, banyak anak," komentar Kathleen.
"Kau sebenarnya kelas berapa, sih? Kau berkata seolah-olah kau murid senior. Banyak tahunya."
Kathleen Bletchley tertawa-tawa centil. Minus wajah cantiknya karena ayahnya tampan, ia memang centil sekali seperti ibunya.
"Kau saja yang nggak update! Ketinggalan informasi!"
Scorpius mendengus. Ia menebak kalau Kathleen akan menjadi ratu gosip di angkatannya, bahkan mungkin di sekolahnya.
"Kalau kau butuh bimbinganku, kau bisa tanya apapun," bisik Kathleen, membuat Scorpius kegelian. Kathleen berhaha-hihi lagi.
.
.
.
TBC
Bagaimana? Sudah dapat gambaran ceritanya mau dibawa kemana? Dapat feelnya? Atau ngerasa biasa-biasa saja? ._.
Ini baru permulaan, sengaja posting sedikit biar ada yang penasaran :D
Review, please?
Next chapter:
Scorpius baru sadar jika kelas telah usai dan Rose sudah berdiri di depannya. Rose mengulurkan tangannya dan menyunggingkan senyum. Mengherankan. Tidak biasanya Rose begini. Scorpius berusaha mencari senyum dingin pada wajahnya, namun yang ia temukan hanyalah senyum tulus pertemanan. Berbeda dengan sikapnya pada Profesor Longbottom tadi yang seakan protes karena dipasangkan dengan Scorpius. Memang benar kata orang, wanita bisa jadi sulit dimengerti.
