Aku memasuki tahun pertama kuliah di bulan September sebagai mahasiswa sastra di New York University, NYU. Aku tinggal bersama teman yang sudah setahun kukenal, ia bernama Moon Taeil, ia berasal dari Korea sama sepertiku, tapi aku tidak pernah ke sana sebelumnya. Karena ibuku tinggal di sini, dan dia sudah meninggal mungkin saat aku SMA. Aku tinggal bersama adikku di New York, tapi ia tinggal bersamaku, ia harus tinggal di rumah sakit beberapa bulan ini karena ia sakit leukemia. Meski aku memiliki keluarga yang masih kukenal, yaitu bibiku. Bibi Emma. Ia tinggal di Pennsylvania, tepatnya di Philadelphia. Aku sangat berterima kasih padanya karena dia masih mau membantu hingga sekarang. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa. Meski bibi Emma harus bekerja keras demiku dan adikku, Jaxon. Nama Jaxon adalah permintaan ayahku, yang meninggalkan kami saat Jaxon masih bayi, dengan alasan bahwa ia akan merantau ke Filipina. Tapi nihil ia pun tidak pernah mengirimi kami uang dan kabar satu kalipun.
Aku menyusuri lorong kampus NYU sendiri, karena Taeil mungkin sedang sibuk dengan tugas esainya tentang fisika, ia masuk jurusan Teknik Mesin, aku bingung mengapa anak itu begitu suka dengan bau – bau mesin. Dan satu – satunya teman yang benar – benar kupercayai adalah dia. Aku lupa bagaimana bisa berkenalan dengannya. Tidak penting.
Aku kembali membetulkan buku perpustakaan yang kupinjam kemarin, mungkin ada dua buku yang pinjam dengan ketebalan seperti buku ensiklopedia. Aku tidak mengerti bahwa dosenku memintaku membuat esai Shakespeare secepat ini. Tidak seharusnya anak sastra diberikan tugas seberat ini apalagi di tahun pertama aku memasuki New York.
"Taeyong,"
"Lee Taeyong," panggil seseorang dari belakang. Aku tahu benar siapa yang memiliki suara tersebut, Moon Taeil. Suara berat tapi memikikan telinga.
"Aku memanggilmu dua kali," desahnya kesal karena aku tidak menyahut panggilannya.
"Hm,"
"Kita ke kantin." Ia menggandeng tanganku, tapi dengan cepat aku menarik tanganku lagi. "Nanti, aku harus mengembalikan buku ini, okay." Aku memutar badanku ke belakang, lalu menubruk seseorang yang berada di belakangku. Aku tidak melihat siapa yang menabrakku, tapi ia memiliki tinggi yang melebihi, mungkin aku hanya sedagunya, dan aku hanya memperhatikan bahunya yang lebar, tapi tidak dengan wajahnya, mungkin rambutnya hitamnya yang mengkilap. Wajahnya tak terlalu kuperhatikan. Bukuku jatuh menciptakan suara debuman yang mengagetkan, apalagi dengan beberapa orang yang memperhatikanku bahwa aku menciptakan keributan.
Aku menundukkan badanku lalu mengambil buku yang kujatuhkan tadi, lalu pergi tanpa meninggalkan satu kata pun pada Taeil.
Aku berjalan cepat menghindari beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar lorong kampus yang penuh. Aku mencoba mempercepat jalanku, tapi banyak mahasiswa yang meneruskan kepentingannya. Hingga aku menubruk beberapa orang di depan. Lalu membuat tubuhku oleng sedikit, tapi untungnya tidak jatuh.
Akhirnya aku sampai di perpustakaan di dekat lorong terakhir di kampus ini, melewati beberapa rintangan yang membuatku ingin berteriak karena terlalu lelah.
"Ini bukunya," kataku pada penjaga perpustakaan.
"Okay."
Aku berjalan ke lorong perpustakaan paling pojok karena banyaknya buku sastra memang berada di sana. Aku memilih beberapa buku yang mungkin akan kubaca lagi, karena tugas kali ini lebih rumah, apa lagi sebagai tahun pertama.
Kembali lagi harus mengingat apa yang harus kulakukan hari ini. Aku harus menjenguk Jaxon di rumah sakit dan membayar beberapa kekurangan yang cukup banyak bagiku. Apalagi dengan pekerjaanku sebagai penulis artikel atau berita di agensi yang tidak terlalu terkenal. Itu tidak akan memungkinkan sekali untuk membayar biaya rumah sakit yang harus kutanggung. Perlahan aku selalu meratapi mengapa aku harus begini. Jika saja aku bisa mengubah seribu dollar menjadi satu juta ribu dollar, adikku tidak akan bersusah melawan penyakit yang sangat membuatnya menderita seperti itu.
"Kau," aku mendengar suara yang sedang—mungkin memanggilku.
Aku menunjuk wajahku, lalu mengedarkan pandanganku, tapi nihil karena tidak ada siapa pun di sini, hanya aku sendiri di sini.
"Ya, kau." Ucapnya dengan satu tarikkan napas. Aku melihat matanya yang menyalang seperti elang. Bentuk tubuhnya yang tegap, sehingga membuatku mengangkat kepalaku untuk melihatnya dengan baik.
"Aku butuh pertanggung jawaban." Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya. Pertanggung jawaban, memangnya aku sudah berbuat apa hingga ia meminta pertanggung jawaban.
"Maaf, maksudmu?" tanyaku memperjelas apa yang baru kudengar.
"Kau tidak tuli." Rahangnya mengatup dan matanya menatapku dingin, membuatku sedikit bergetar dan berjalan mundur beberapa langkah menghindari tatapan maut yang siap menelanku bulat – bulat.
Ia berjalan maju, lalu aku mengambil selangkah untuk mundur, terulang begitu terus. Hingga aku benar – benar terpojok di ujung perpustakaan. Tidak ada jalan keluar karena akses untukku keluar sudah di tutup oleh tubuhnya. Sungguh aku tidak tahu siapa dirinya tapi ia membuang waktuku untuk belajar. Rutukku dalam hati.
"Kau, yang menjatuhkan buku di hadapanku." Aku membelalakan mata lalu mengerjapkan mataku sesekali, setelah itu memberanikan diriku untuk menatap matanya pelan. Jujur aku takut bahwa aku menatap matanya sekarang. Aku mendorong tubuhnya dengan kuat tapi tetap aku tidak bisa lolos dari kukungannya yang sangat kuat ini. Salahkan pada tubuhku yang kurus seperti ini, dan tidak pernah olah raga. Tapi menurutku berjalan itu salah satu olah raga.
"Lalu?" tantangku menatap matanya, meski aku yakin tubuhku bergetar dengan hebat dan tungkai kakiku yang tidak akan kuat menanggung berat badanku lagi.
"Tanggung jawab."
"Tidak." Aku nyaris berteriak karena tidak bisa lolos dari hadapannya yang membuatku bergetar sekaligus terhipnotis dalam tatapan dinginnya.
"Kau menabrakku dengan buku ensikoplediamu, kurasa itu yang harus membuatmu bertanggung jawab karena kau sudah menusuk perutku dengan bukumu. Dan kau tahu bahwa di perutku ada bekas operasi yang masih baru." Ia memajukan wajahnya dan lagi – lagi menatapku dengan sengit hingga aku berharap untuk tenggelam ke kelautan pasifik dan berenang dengan ikan paus di sana, dari pada bertemu dengan lelaki angkuh di sini.
"Maaf. Okay."
"Kau harus bertanggung jawab," katanya berulang kali hingga membuatku ingin menjambak rambutnya.
"Dengan apa?" tanyaku memberanikan diri.
"$500," pintanya dengan mengatupkan mulutnya. Bagaimana bisa ia memintaku untuk bertanggung jawab dengan uang sebanyak itu.
"Aku tidak bisa," kataku singkat lalu mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Aku tidak bisa menyangka bahwa ia terlalu intim saat berhadapanku tadi.
Ia menarikku lagi, lalu mendorongku ke tembok hingga mengeluarkan suara debuman yang cukup nyaring hingga membuatku meringis kesakitan, kurasa punggungku akan membiru setelah ini.
"Bagaimana bisa kau tidak memiliki uang di dalam dompetmu."
"Aku tidak bohong," desisku mendorong tangannya yang mengunciku.
"Aku tidak yakin, orang sepertimu tidak memiliki uang. Apa lagi kau adalah mahasiswa NYU."
"Aku masuk ke sini dengan beasiswa, puas." Mataku menyalak lalu mendorongnya dengan puas. Lalu berjalan dengan meringis karena punggungku yang sakit.
Ia menarik lalu mendorongku ke meja perpustakaan hingga aku berbaring di meja. Kurasa punggungku akan hancur jika selalu dibanting olehnya dan kedua kakiku yang menggantung di langit – langit. Ia menarik tasku lalu mengambil dompet, lalu mengambil tanda pengenalku. "Aku mengambil ini sebagai jaminan." Aku mencoba bangun mengambil tanda pengenalku. Shit, dia menyulitkanku. Persetan dengannya. Dan aku tidak mengenal siapa dirinya.
Ia mendorongku lagi hingga ia menindih badanku dengan badannya, lalu selangkangannya yang menyentuh bawahku, hingga membuatku menggeram pelan. Lalu wajahnya hingga menghadapku, dia sangat dengan dekat. Mata kami bertemu, apa memperhatikan lekuk wajahnya, dan sinaran matanya yang gelap jelas sekali dia sedang ada masalah.
Tapi itu tidak baik untuk mengorek privasi orang. Keparat ini menyulitkanku.
Bajingan ini memajukan wajahnya lalu memiringkan wajahnya, seperti ingin menciumku, lalu memajukan wajahnya hingga benar – benar jarak dengannya tidak ada, hidung kami sudah menyentuh, tapi ia lagi – lagi menghilang, ia berlari ketengkukku, tempat paling berbahaya, ini mengancam diriku. Ia menghela napas hangatnya hingga aku menggigit bibirku agar desahan tidak keluar dari bibirku. Aku kembali menggeram agar aku tidak mengeluar sedikir kata pun. "Lee Taeyong. Sekali lagi kutekankan, kau harus bertanggung jawab." Ia menggigit telingaku, lalu menjilatnya hingga aku bergidik ngeri dengan perlakuannya.
Aku terengah – engah, seperti telah melakukan seuatu yang sangat melelahkan. "Jika tidak, aku tidak tahu apa nyawamu masih ada atau tidak," ucapnya dengan sekali napas. Lalu ia meninggalkanku begitu saja. Tidak tahu mengapa, tapi ini membuatku merasa terancam. Aku tak percaya bahwa aku tidak bisa berjalan dengan kaki bergetar seperti ini. Aku menarik tasku dan mendudukan diri di bawah. Lalu membawa diriku untuk menyenderkan diri di rak perpustakaan.
Tak seberapa lama air mataku jatuh, meski hanya beberapa titik. Setelah berapa lama aku merasakan hal ini lagi. Merasa terancam. Aku memukul dadaku agar tidak sesak, karena perasaan ini. Aku tidak percaya ini akan terjadi lagi. Mengapa harus laki – laki itu. Mengapa orang yang tidak kukenal harus berlaku seperti itu. Persetan dengan ini. Seberapa pentingkah uang itu baginya. Aku ingin menamparnya lalu mendorong kepalanya ke batu besar.
Tidak seberapa lama, seseorang menarik tanganku hingga aku berdiri. Tubuhku limbung kehadapannya, aku tidak bisa menanggung berat tubuhku, karena masih kaget dengan laki – laki yang tidak kukenal tadi.
"Kau sedang apa?" Aku mengerjap – ngerjapkan mataku, membetulkan pengelihatanku karena sedari tadi aku menunduk dan memejamkan mata.
Aku mengangguk.
"Kau menangis," lagi – lagi aku tidak bisa berbohong jika berhadapan dengannya. "Aku tidak apa – apa." Ucapku meyakinkannya.
"Okay, terserahmu." Lalu ia menyeretku keluar dari perpustakaan. Kurasa aku berada di sini dua jam setelah waktu istirahat. Bodoh, aku lupa makan siang. Persetan dengan kantin NYU. Persetan dengan bajingan yang tidak kukenal tadi, yang meninggalkanku begitu saja.
"Kita ke mana?" tanyaku.
Ia tidak menjawabku, tapi mendorongku untuk masuk ke mobilnya.
"Cal, kita ke mana?"
"Makan, aku tahu kau menolak makan tadi saat bersama Taeil." Aku mendengus kesal, persetan dengan Taeil yang memberitahukan Calum tentang aku belum makan. Aku tidak ingin memikirkan itu. Aku memikirkan lelaki bajingan tadi yang membuatku ingin menghilang dari dunia ini.
"Aku ingin bersamamu," kataku sambil menggenggam tangannya.
"Aku ingin pulang, Cal," aku meyakinkan dirinya.
Calum, pacarku yang berada satu kampus, tapi ia berbeda jurusan denganku. Ia sebagai dokter yang akan magang. Mungkin akan jauh dari Amerika nanti. Mungkin ia akan menjadi relawan di Negara – Negara kecil yang sedang perang, atau Negara miskin yang perlu relawan dokter dari Amerika.
"Makan, okay. Kau belum makan, Tae." Aku mendengar nada khawatir dari mulutnya hingga aku merasa bersalah dengannya.
"Makan di rumah, di rumahmu." Ucapku pelan, aku tidak ingin memulai perkelahian kali ini. Sudah banyak aku berbuat salah dengannya, lalu berkali – kali ia meminta maaf duluan kepadaku.
"Okay."
Selama perjalanan aku menatap keluar jendela. Kurasa sekarang pukul setengah tiga, tapi matahari di New York masih jelas – jelas menyengat hingga aku bisa merasakan hangatnya, musim panas telah berakhir, dan sekarang akan berganti musim gugur. Daun – daun keemasan akan jatuh ke tanah, aku menyukai desau angin yang membuatku menggigil.
"Sampai." Calum turun dari mobilnya, lalu menggandengku, ke kamar apartemennya. Mungkin hanya beberapa lantai jauhnya dari parkiran apartemen.
Apartemennya cukup luas, karena jelas sekali bahwa Calum adalah anak orang kaya. Dan mungkin sudah lama aku berpacaran dengannya kira – kira dua tahun. Ia diperkenalkan oleh teman SMA – ku. Dan Calum, adalah orang yang memperkenalkan Taeil kepadaku sebagai teman sekamarku.
"Cal," aku memanggil namanya, lalu menarik wajahnya ke dalam ciumanku. Aku menyayanginya sebagai pacarku.
Ia menarik kakiku hingga aku berada di gendongannya, ia menyeringai lalu menggigit leherku, mungkin akan ada tanda keunguan tercetak di sana. Ia mendudukanku ke atas meja makan, hingga tinggiku melebihinya. Ia bermain dengan leher jenjangku hingga aku mendesah berkali di dalam kukungannya. Aku tidak bisa menahan dirinya. Ia berkali – kali menggesekan kejantanannya ke selangkanganku, hingga aku memekik geli. Aku tidak percaya bahwa aku akan seperti ini. Tergila – gila dengan ini.
Ia membuka bajuku, lalu memainkan jemarinya dengan putingku. Ia menggigitnya hingga aku tidak menahan desahanku yang berkali –kali keluar dari mulut kotor ini.
"Kita ke kamar," katanya sambil menarikku ke dalam pelukannya.
Ia mendorongku ke dalam kamarnya. Aku menyukai wangi menthol kamarnya, aku menyesap beberapa kali mencium bau yang kugilai saat bersamanya.
"Tae, kau harus bertanggung jawab dengan perbuatanmu." Seringaian tercetak di senyumnya dan tatapan yang seduktif hingga membuatku bergetar di bawahnya.
Ia membawaku ke dunia yang tidak bisa kujelaskan, ia kembalu menciumiku, hingga aku melenguh karena tidak ada yang mengisi diriku. "Cal,"
"Calum, sekarang." Ucapku frustasi di bawah kontrolnya. Persetan dengan ini, aku menginginkannya memenuhiku.
"Aku tidak mendengarmu, sayang."
"Sekarang." Aku menggeram karena lagi – lagi ia menggigit perpotongan leherku dan menyesapnya. Dengan satu tarikan ia sudah membuka celanaku, lagi – lagi aku kalah dengan kecepatannya. Ia masih memakasi baju lengkap tidak diriku yang di bawahnya sudah telanjang.
"Kau perlu persiapan,"
"Persetan dengan persiapan," aku mengerang di bawahnya karena ia meniupi telingaku.
Ia mengocok penisku lalu menciumin bagian bawahku dan tarikan dan helaan napasnya membuatku menegang di bawahnya. Ciumannya beralih ke bagian bawahku tidak ke penisku, aku mendesah frustasi, kesal karena perlakuannya yang menggodaku. Ia meniupi perutku hingga aku mendesah tidak tertahankan, karena ia tidak turut menuruti permintaanku. Lalu menjalar ke atas hingga leherku, lalu ke sela – sela telingaku, lalu menyingkirkan poniku yang mengganggu kegiatannya.
Aku terengah – egnah kerna perlakuannya yang membuat diriku kembali melayang dalam kukungannya. Aku mendesah berkali – kali karena ia kembali menggodaku. "Cal," aku memohon kepadanya berkali – kali. Ia bergumam membalas perkataanku tapi ia tidak membalas permintaanku.
Tanpa persiapan ia langsung memasukiku. Perasaan kosong ini kembali terisi karena dirinya yang kembali mengisiku. Aku emndesah di bawah dirinya.
Calum lagi –lagi menusuk kepunyaannya dengan satu sentakan kasar yang membuatku kembali mengerang frustasi. Ia menusuknya dengan kasar tapi tidak menusuk titik paling sensitifku. Aku menghela napas kecewa karena ia masih menggodaku. Aku melihat wajahnya yang menyeringai kembali, sampai kapan ia akan menggodaku. Aku mendesah lemah, karena permainannya.
Ia mendorong badanku lalu menariknya lagi dengan kasa hingga membuatku meringis keenakan."Ahh—"
"Sebentar lagi, Taeyong." Ia kembali menumbukan benihnya hingga aku berteriak begitu keras, menandakan bahwa aku sudah mencapai kenikmatan yang tak terhingga.
"Tae, aku ingin berbicara sesuatu." Ucapnya perlahan dengan nada yang serius hingga aku tidak mengerti mengapa ia berbicara dengan nada yang seperti itu. hati berdebar menanti – nanti perkataan apa yang akan keluar dari mulutnya. Aku menatap wajahnya dalam, tapi tidak menyiratkan apapun. Aku menatap matanya ayng mengarahkan padaku tidak bisa mengartikan situasi sekarang, karena ia terlalu misterius. "Cal," panggilku berhati – hati.
Ia tidak emnjawabku tapi sibuk memakai celana jeans hitamnya yang tadi dai lepas saat kami bercinta. Aku emncari celanaku yang entah di mana karena dilempar oleh Calum. Aku berdecih lalu emngambil celanaku yang beradadi pojokan ruangan kamarnya, di dekat lemari bajunya.
"Calum," panggilku kesal, karena ia tidak turut membalas panggilanku.
"Ya," ia membalas panggilanku.
"Apa yang ingin kau bicarakan, hm?" aku menarik tubuhnya dan lagi –algi menciumi wangi tubuhnya yang sangat maskulin.
"Pakai bajumu, kau tidak ingin kumakan lagi, kan." Aku terkekeh mendengar ucapannya. Aku mengambil baju legnan panjang dari lemarinya yang besar itu. "Aku malas mengambil bajuku yang tadi kau lempar saat di dapur," gumamku. Aku memakai baju lengan panjang yang berwarna abu – abu dari lemari Calum. Aku menghirip aroma maskulin dari tubuhnya yang membuat diriku menggigil karena mengingat sentuhannya.
"Tae," panggilnya manja memanggut dagunya ke pundakku. Oh, Tuhan, aku bisa merasakan dirinya menghirup aroma tubuhku, hingga bulu romaku bergidik ngeri kaerna tingkah lakunya yang mesum ini.
"Ehm,Cal." Persetan dengan desahan yang muncul dari mulutku.
"Tae, aku serius ingin berbicara denganmu," katanya sambil memutar tubuhku.
Aku menatap matanya dalam mencari tahu apa yang akan keluar dari mulutnya. "Okay," kataku menunggu jawaban dari mulutnya. Aku menggigit bibirku ragu karena baru kali ini ia memanggilku dengan wajahnya yang sangat serius ini. karena itu cukup membuatku takut.
"Aku akan ke Ukraina sebentar lagi," ucapnya pelan. Aku terdiam tanpa membalas ucapannya barusan. Tidak, aku belum siap untuk ditinggal olehnya lagi. Tidak seperti tahun lalu. Aku harus di New York lagi sendiri. Selama SMA tanpa dirinya.
Aku memejamkan mata agar tangisanku tidak turun. Aku tidak mau dianggap leamh olehnya, tapi apa boleh buat ia adalah orangyang berharga bagiku.
"Aku ikut." Aku mengicapkan dengan pelan dan terisak.
"Tidak, aku tidak ingin kau ikut. Itu akan berbahaya bagi dirimu."
"Jangan seperti anak kecil, Taeyong. Aku tahu kau bisa tanpaku." Ia menangkup wajahku menatapku pelan dengan penuh kasih sayang. "Tidak, tanpamu." Aku terisak di atas pundak lebarnya.
Ia mengecup bibitku pelan menyesapnya sedikit, hingga bibir penuhku dikecup penuh olehnya. "Aku mencintaimu." Ia kembali mengecup pertengahan leherku hingga aku melenguh.
"Aku juga." Aku mengangkat diriku berdiri berhadapan dengannya. Lalu ia menarikku dalam pelukannya. Ia duduk di hadapanku, ia menenggelamkan wajahnya ke dalam perutku. "Aku pergi besok pagi pukul 10." Mengapa begitu cepat, mengapa harus di saat aku menginginkan dirinya, tapi ia pergi. Mengapa harus dirinya.
"Aku harus menjenguk, Jaxon." Aku mengalihkan pembicaraan.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak, kau harus menyiapkan perlengkapanmu." Aku mendorong tubuhnya yang merangkul tubuhku. Aku mengucapkan beberapa kalimat, aku baik – baik saja, ia tidak mengindahkan itu karena ia tahu aku telah berbohong di hadapannya.
"Aku akan mengantarmu ke halte depan, tidak ada penolakan." Aku menghela napas, lalu tersenyum menyukai rasa khawatirnya.
Aku memasukan sebagian bajudepan ke dalamcelanaku, agartidak terlihat kebesaran. Salahkan pada badanku yang kurus kerempeng ini. "Kau harus banyak makan, Taeyong. Aku tidak ingin melihat tubuhmu yang sangat kurus ini."
"Iya." Aku tersenyum kecil menatapnya.
"Ayo."
Ia menggandeng tanganku lalu keluar dari apartemennya, lalu memasuki elevator untuk turun. Saat lift tertutup ia emndorong tubuhku ke belakang lalu menciumku dengna penuh hingga aku bisa merasakan deru napasnya. Ia memasukan lidahnya ke rongga mulutku lalu berputar, menjilat setiap inci di dalam mulutku.
Lift berdenting. Kami keluar dari sana, aku terkekeh saat ia terkejut saat lift berdenting. Dasar lelaki mesum.
Aku menaiki bus dari halte yang bertujuan ke tempat yang kutuju. Calum melambaikan tangannya lalu tersenyum padaku. Tapi aku bisa melihat tatapannya yang tidak ingin meninggalkanku begitu juga dengan diriku yang tak pernah mau untuk ditinggal dirinya. Sudah cukup aku merasakan kesepian karena hidupku yang terlalu monoton dan kesulitan yang kurasakan. Ini sungguh membuat penderitaanku bertambah. Tidak dengan ditinggal oleh dirinya dan orang lain.
Tak seberapa lama aku sudah memasuki rumah sakit tempat di mana Jaxon dirawat. Aku memberanikan diriku untuk memasuki rumah sakit. Aku cukup merasa takut karena adikku dirawat di sini. Apalagi karena penyakit kankernya. Aku tidak ingin kehilangannya.
Aku memasuki kamar adikku, ia berbaring di tempat tidurnya dengan wajahnya menghadap ke jendela. Aku melihat televisi yang terus menyala tapi dihiraukan olehnya. Dan aku juga dihiraukan olehnya. Aku tersenyum tipis karena ia tidak menyadari keberadaanku. "Jaxon," panggilku pelan.
Ia membalikan kepalanya lalu menatapku dengan senyum lebarnya. Aku membalas senyuman itu dengan lebar. "Kau sudah minum obatmu?"
Jaxon mengangguk malas.
Tak selang berapa lama aku duduk disampingnya, dokter datang untuk memeriksa Jaxon.
"Taeyong, kau menjenguk adikmu." Ucap dokter itu yang didampingi seorang suster yang kukenal.
"dr, Krusht, bagaimana perkembangan adikku."
"Terlihat baik, stabil."
"Tapi aku ingin kau ke ruanganku nanti, mungkin sepuluh menit lagi, karena aku harus menguurs tamuku yang sedang menunggku." Aku tersenyum menganggukan kepalaku, lalu melihat d. Krusht meninggalkan ruangan adikku.
"Aku harap kau meminum obatmu dengan baik, Jax."
"Hm, Tae."
Aku berjalan menelusuri lorong rumah sakit, cukup jauh dari ruang adikku inap dari tempat fakultas kanker di rumah sakit ini berada. Lalu aku melihat pintu yang bertuliskan nama dr. Krusht di sana, lalu aku memasuki ruangan tersebut. Pintunya terbuka sedikit. Aku memajukan sedikit tubuhku melihat apa ada seseorang yang sedang berbicara dengan dr. Krusht sekarang.
Aku melihat sosok tersebut, tubuhnya tinggi, bahu lebarnya, ia memakai jaket jeans biru, aku memperhatikan rambutnya yang hitam dipotong cepak, lalu rahangnya yang tegas saat ia berbicara dengan seseorang. Aku pernah melihat sosok tersebut. Tanganku membeku di ambang pintu untuk mendorong pintu itu lebih jauh. Tidak mungkin dirinya, mengapa lelaki itu berada di sini, apa ia mengikutiku. Tidak mungkin, aku saja barusan pulang dari apartemen Calum. Tubuhku bergetar karena pusing menjalar di seluruh kepalaku. Banyak pertanyaan yang muncul tetapi aku tidak bisa menjawab salah satu dari pertanyaan tersebut. "Aku hanya ingin meminjam uangmu." Ucapnya tegas.
"Tidak, Jaehyun."
Jaehyun, ucapku dalam hati. Aku mengulang nama itu berkali – kali. Ia sosok yang menerorku saat di perpustakaan. Tidak mungkin, apa yang sedang dilakukan dengan dr. Krusht, mengapa ia marah dengan dr. Krusht.
"Berapa uang yang kau butuhkan?" tanya dr. Krusht dingin.
"$5000." Ucapnya singkat. Aku membelalakan mata mendengar uacapanya yang terkesan dingin, apa yang akan ia lakukan dengan semua uang itu, dasar anak kurang ajar. Mengapa ia harus berlaku seperti itu dengan orang lebih tua. Apa ia tidak memiliki tata krama sama sekali. dr. Krusht menatapnya lembut tidak seperti dirinya hanya memandang sinis dr. Krusht yang sedari tadi berbicara dengannya.
"Aku akan mengirim ke rekeningmu nanti kau tidak usah menggantinya," kata dr. Krusht lembut.
Jaehyun berjalan keluar dengan cepat. Aku harus menghindari orang itu. Mungkin dia gila hingga harus berteriak kepada dr. Krusht. Aku menatap punggung Jaehyun yang sedang berjalan cepat meninggalkan rumah sakit. Apa yang dilakukannya setelah memeras uang dr. Krusht. Mengapa ia juga marah dengan dr. Krusht, apa dr. Krusht memiliki hubungan dengannya. Aku tidak mengerti dengna situasi yang sedang kuhadapi saat ini.
Sialan, orang itu. Dia yang mengambil tanda pengenalku sebagai jaminan petanggung jawabannya.
.
.
.
.
.
.
a/n
review yg banyak aku ga mau yang dikit, nanti ga dilanjutin. haha
