irisviel
bleach © kubo tite
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini
Jemari panjang menyentuh ringan tuts piano. Dawai emas dalam kungkungan megah upright piano tidak bergetar. Ia diam. Menunggu dalam kodratnya sebagai alat penyampai emosi; titah sang adam.
Byakuya mencoba mengulang kembali alunan tembang merdu tempo dulu. Suara Hisana yang berbicara dan suara Hisana yang bernyanyi bagaikan bumi dan bintang. Yang satu lirih seperti desis angin, satunya lagi dalam berserak bahasa hati. Setahunya gadis remaja normalnya akan menaikkan oktaf suaranya ketika mengobrol (tapi asumsi ini bukan jaminan, karena setahunya mereka bersikap seperti ini jika berinteraksi dengannya). Namun Hisana tetap stagnan; mungkin ini salah satu regimen pribadi untuk menjaga kualitas suara. Byakuya pernah mendengarnya dari mulut antah berantah—barangkali sudah menjadi rahasia alam.
Tuts putih dan hitam bernyanyi menyuarakan isi kepala; nada-nada beroktaf tinggi mewarnai segala penjuru studio. Ia mengimajinasikannya—bagaimana lagunya akan menjadi milik Hisana, otentik dan sangat menggambarkan dirinya? Yang ceriakah atau yang sendu? Kini bayang-bayangnya tak lagi abstrak, visual gadis itu tergambar jelas dalam permainan piano. Kesannya: bahagia, melompat-lompat di antara kapuk awan di langit, bagaikan malaikat—
"—Byakuya." Tiga kali ketuk pintu.
Harmoni indah itu langsung terhenti. Jari-jari pun meninggalkan tuts bagai menyentuh bara api.
"Ini sudah jam satu malam dan nanti masih hari sekolah. Tidur."
Tak salah lagi, itu suara Ginrei. Kedua tangan Byakuya mengusap wajah bersamaan. Tak menduga wajahnya terasa panas-dingin setelah berjam-jam lamanya mengurung diri, walaupun penghangat sudah bekerja maksimal menjaga stabilitas tubuhnya.
"Baik, Jii-sama," patuh Byakuya, tahu betul untuk tidak mengguncang emosi kakeknya pada waktu dini hari.
Lampu studio dimatikan, pintu bersekat spons itu pun ditutup rapat. Seraya berjalan menuju kamar, barulah ia merasakan betapa letih sendi-sendinya. Kakeknya sudah kembali ke kamarnya—sepertinya. Byakuya sendiri kaget mengetahui sang kakek masih membuka mata pada saat ini. Dugaan para lelaki Kuchiki itu insomnia itu mungkin ada benarnya.
Ah, setidaknya kali ini siklus insomnia Byakuya tak lagi tak bermakna.
(Dan saat ia akan menyambut lelap, ia memimpikan ini: gubahannya, bersatu padu dengan gita merdu Hisana—
—sempurna.)
note. irisviel, roughly translated as rainbow veil. i took the title from one of the supporting characters from fate/zero
