Gelap…. Semua hitam dan tidak berujung….
.
Lalu… ada sebuah titik terang, kecil dan terasa nyata.
.
Pemuda itu tanpa ragu berlari, berlari dan berlari.
.
Titik itu makin terang…. Terang dan makin membutakan mata.
.
Dan kemudian, cahaya terang itu berubah… rambut pirang yang bersinar menyilaukan tertimpa matahari.
.
Sepasang matanya mengerjap tidak nyaman begitu cahaya matahai menerobos masuk. Cahaya yang menyilaukan, membuat semuanya terlihat putih untuk waktu yang cukup lama sampai kemudian kelopak matanya benar-benar terbuka. Kemudian, cahaya menyilaukan itu tergantikan oleh helaian halus rambut berwarna pirang yang menyentuh pipinya.
"Ayo kita kencan!"
Sebuah Kenangan(The Lost Memory) © ArcSa Reiyu
Kuroko no Basuke and Characters © Fujimaki Tadatoshi
Rated : K+ - T
.
Supernatural/Friendship/Angst/
Warning: AU, Typo(s), OOC, Akashi Point of View all the time, etc.
AkaKiAka?
.
Bingung….
Hal pertama yang ada dipikiranku.
Orang ini gila.
Hal kedua yang terlintas di otakku.
Sepasang mataku yang masih buram karna cahaya matahari menyipit tajam ke arahnya. Pemuda pirang aneh dengan sebuah cengiran di wajahnya.
"Kau serius sekali. Aku bercanda!" Lalu tiba-tiba si pirang itu tertawa, keras dan berisik. Satu tangannya memegangi perut sedangkan sepasang matanya menatap ke arahku.
"…." Lantas aku diam dan tetap memeperhatikan manusia itu dari sudut mata.
Apa-apaan si pirang ini?
"Na, Akashicchi. Ayo jalan-jalan." Aneh, si pirang itu aneh. Dari mana orang itu tahu nama keluargaku? Lagipula, apa itu tambahan –cchi pada namaku? Kenapa si pirang ini sok kenal sekali denganku?
Sekali lagi bingung. Pertanyaan-pertanyaan itu makin menyerang isi kepalaku yang masih terasa nyeri.
Di sana, si pirang itu masih setia dengan cengiran di wajahnya. "Issho ni mori e ikimasen ka(Mari pergi ke hutan bersama)." satu ajakan tiba-tiba meluncur dari mulutnya.
Aku masih diam, tidak mempedulikan si pirang itu. Mataku terpaku pada langit biru yang terasa berbeda. Langit itu biru, warna azure yang bersih dari awan dan jauh dari terik matahari. Jauh dari langit yang terlukis di otakku, langit biru dengan asap abu-abu yang merusak ozon. Untuk pertama kali aku sadar, tempat ini berbeda. Walaupun tidak bisa mengingat tempat dimana sebelumnya aku pernah berada. Satu hal yang kuyakini, terdampar di sebuah tempat asing yang tak pernah kulihat dengan mata dan kudengar dengan telinga.
Lagi-lagi aku bertahan dengan mulut terkatup, meneliti setiap fakta ganjil yang terasa begitu janggal dalam pemikiran. Makin banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku.
Dimana ini?
Siapa orang ini?
Apa yang sedang terjadi?
Kenapa aku ada di sini?
Kenapa dia mengenalku?
Pertanyaan yang terus mendengung tanpa satupun jawaban yang bisa kudapat. Aku menatap orang itu, dia sekarang berdiri. Persis di sampingku yang masih terbaring di atas... di atas rerumputan hijau?
"Kalau kita tidak segera pergi nanti tidak bisa lihat." Si pirang itu berujar tak acuh, satu tangannya diulurkan padaku. Senyuman ramah tertoreh menggantikan cengiran konyolnya tadi.
Apa-apan orang ini?
Aku duduk, menatap lurus sepasang iris yang hilang dibalik kelopak matanya. "Kimi… dare(Kau… siapa)?" akhirnya aku bertanya, membuang satu dari beberapa pertanyaan yang menyesaki kepalaku. Aku butuh jawaban, sorotku berkata dalam diam pada si pirang yang kini mengerjap bingung.
"Ore(aku)?" dan orang itu malah bertanya balik. Dengan wajah polos seperti kaget, tapi kemudian ekspresinya langsung berubah. Kembali dengan sebuah senyuman dan raut ramah yang agak, mengiritasi mataku. "Shiritai ka(Kau mau tahu?)." Orang itu makin membuat kepalaku pusing, penasaran dan kesal. Apalagi dengan senyum misterius yang muncul di wajahnya.
"Dewa mori e ikimasho(Kalau begitu ayo pergi ke hutan)!" Dia mengacuhkan pertanyaanku, si pirang itu malah mengajakku lagi. Pergi ke hutan, kali ini dengan sebelah tangannya menjulur ke arahku. "Akan kuberitahu nanti. Shinjite(percayalah)."
Dia bilang untuk percaya, tapi aku tidak bisa percaya.
Tapi yang lebih tidak bisa kupercaya adalah reaksi tubuhku. Tanganku menjulur dan menanggapi tangannya. Apa-apaan ini?
"Ne, mori e iku yo!" bahkan ketika ia menarikku, aku hanya diam… terpaku dengan raut bingung dan mengikuti langkahnya.
Apa yang sedang terjadi di sini?
.
Satu harapan dengan untaian doa
.
Beberapa waktu lalu semuanya terlihat terang, di bawah guyuran cahaya matahari yang panasnya lamat-lamat terasa oleh kulit. Beberapa waktu lalu, yang kutapaki masih rerumputan hijau yang tumbuh teratur di atas tanah bukit. Tapi sekarang, hanya ada langit gelap dengan naungan temaram rembulan. Sunyi dan sepi yang terasa menguasai makin lama kakiku mengikuti langkah si pirang yang tak kunjung ku ketahui namanya itu.
Namun orang itu seakan acuh, melenggang bebas dengan dua kakinya. Bernyanyi tanpa lirik tanpa peduli seruan susul-menyusul burung hantu dan gagak yang menyatu dengan suaranya. Dia menelusuri jalan-jalan setapak itu dengan aku yang masih diam dan bisu dibelakangnya.
"Akashicchi wa tsukaremasu ka(Akashicchi lelah?)." Ini kelima kalinya aku mendengar pertanyaan itu. Dia menoleh dari pundaknya. Sebuah tatapan khawatir terarah padaku.
Aku menghela nafas pelan lalu menggelang seperti empat kali pertanyaan yang lalu. "Iie, tsukaremasen(tidak, aku tidak lelah)." Dan menjawab dengan jawaban yang sama persis seperti empat pertanyaan sebelumnya.
Mendengar itu, dia diam sebentar, kemudian berbalik dan menghadap langsung padaku yang hanya tertinggal beberapa langkah di belakangnya. "Hontou ka(benarkah?)." Aku pun mengangguk singkat, berjalan acuh beberapa langkah.
Saat itu, mataku tak sengaja bertemu pandang dengan matanya. Aku sadar, sepasang mata itu kecoklatan, dengan goresan kuning yang aneh. Cocok dengan sikap aneh si pirang itu dan keanehan yang makin terasa oleh logikaku.
Semakin lama menghabiskan waktu bersama orang itu, jujur saja, perasaanku tentang tempat ini makin aneh. Padahal belum beberapa lama aku berjalan mengikutinya, tetapi siang yang cerah langsung berganti dengan malam yang temaram. Bunga-bunga yang indah berubah menjadi semak belukar hutan yang tumbuh tidak terawat.
Padahal, aku tak ingat pernah melewati perbatasan hutan dan bukit hijau. Tapi sekarang aku sudah tenggelam jauh ke dalam hutan yang jalan setapaknya terbuat dari tanah merah dan dijalari akar.
"Akashicchi, kau salah jalan." Samar-samar suaranya terdengar dari jauh. Aku menengok ke belakang dan si pirang itu ada di persimpangan jalan tempatnya berhenti dan menanyaiku tadi. Kakiku pun melangkah seperti terhipnotis ke arahnya. Lalu, berhenti beberapa langkah di depan orang itu.
Cengiran lebar, lagi-lagi aku melihat itu dalam wajahnya. "Sebentar lagi kita bisa melihat itu!" dia berseru riang, satu tangannya menunjuk ke arah jalan gelap yang bersimpangan dengan jalan lurus yang kami lewati tadi.
Jalan itu membelok memasuki hutan, beratap rimbunan daun pohon yang membuat jalan itu gulita. Terisolasi dari cahaya bulan yang lamat-lamat menyinari hutan.
"Ayo!" kembali, tanganku ditarik oleh tangannya. Si pirang itu menuntun langkahku masuk lebih dalam ke jalan yang seperti lorong itu.
Lagi-lagi aku diam dan mengikuti langkahnya. Menjejaki jalan setapak yang kali ini tersusun dari batu-batu marmer yang berbentuk trapesium sejajar. Tersusun rapi dengan pinggirannya dihiasi pagar-pagar besi yang dililiti tanaman merambat. Semuanya makin aneh, jauh di luar logika dan rasionalitas yang membangun otakku.
Aku menengok ke belakang lewat pundakku yang tertutupi syal rajutan warna merah, ada satu hal yang menggangguku sejak tadi.
Memangnya sejak kapan ada persimpangan jalan di tempat itu?
.
Terucap dalam bisu dengan bibir beku
.
Semuanya makin terlihat aneh, ganjil dalam pikiran dan gelap dalam pandangan. Masuk makin dalam, suasana hutan ini makin sepi. Dengan penerangan yang makin terbatas dari berkas cahaya yang menerobos celah sempit di antara dedaunan dan dahan. Orang itu terus berjalan lurus, masih dengan bersenandung ringan dan langkah bebas.
Aku pun tak jauh berbeda. Berjalan beberapa langkah di belakangnya dengan mulut terkatup dan sorot lurus. Sejak tadi, kami belum juga berhenti pada suatu tujuan. Hanya terus melangkah menjejaki jalan setapak yang pagarnya dihiasi tanaman rambat.
Aku ragu kalau si pirang itu punya tujuan.
.
Dalam kebisuan sunyi yang menyeret eksistensinya
.
"Kitta(sampai)." Satu seruan riang terdengar dari mulutnya, bersamaan dengan langkah yang tiba-tiba berhenti. "Mite, hotaru(Lihat, Kunang-kunang)!" Dia sekali lagi berseru riang, satu tangannya menunjuk ke arah cahaya-cahaya kecil yang mulai muncul dalam kegelapan.
Dua alisku mengkerut melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu. Dengan Tiba-tiba saja, dia menarik tanganku, berlari dan menerobos kegelapan malam yang menikam. Berlari ke arah cahaya kerlap-kerlip yang terlihat makin banyak. Kakiku pun ikut mensejajari langkah lebarnya, berlari dengan panduan kunang-kunang yang gerombolan di sana-sini.
Saat itu, aku tidak tahu harus melakukan apa. Lagi, aku diam tanpa berkutik. Turut dalam ritme langkahnya yang makin cepat. Berlari dan berlari…
Seperti dalam mimpi… berlari dan berlari, menuju satu titik cahaya paling terang di ujung lorong gelap. Rasa-rasanya, aku pernah mengalami hal seperti ini. Terjebak dalam kegelapan, melihat cahaya, berlari dan…
"Kita sampai." –cahaya.
Si pirang itu kembali berhenti, bersamaan dengan pergelangan tanganku yang lepas dari genggamannya. Wajahnya berseri, dan menghadap ke arahku yang menatapnya tanpa ekspresi. Namun, si pirang itu malah tersenyum, dengan deratan gigi yang sedikit terlihat.
"Kocchi!" suaranya yang cukup nyaring memanggilku mendekat. Aku, entah kenapa, menurut. Maju beberapa langkah mendekati orang yang sejak pertemuan aneh pertama kami, kucap 'gila'.
Sekarang, aku berdiri bersisian di samping orang aneh itu dan menatap pada satu tempat yang sama.
Tanah lapang berbentuk lingkaran yang tidak beratap oleh dahan dan dedaunan pohon. Dilapisi rumput kehijauan dan bau basah tanah. Kunang-kunang berkumpul di tempat itu, tersebar bebas mengisi tiap gelap yang bersembunyi di pojok-pojok pepohonan. Sinar bulan masuk dengan bebes mencahayai tempat itu.
Untuk pertama kalinya. Aku benar-benar terpaku.
"Kirei-ssu ka(indah kan)." Si pirang itu bertanya padaku. Dengan mata hazel yang menatap riang pada segerombolan kunang-kunang yang datang mendekat ke arahnya. Membuyarkan lamunanku dengan suaranya yang –baru kusadari –empuk. Nyaman untuk di dengar.
Tetapi, aku seakan beku, terpaku pada tanah berumput yang menggelayuti kakiku, sebuah déjà vu. Langit di atas kepalaku seakan berubah menjadi lautan penuh bintang dengan bulan bersinar terang. Aku merasa tersesat dalam labirin, lagi-lagi ganjil adalah hal yang terpikir olehku.
Sejak kapan bintang banyak muncul di langit yang beberapa waktu tadi hanya lautan hitam? Sejak kapan bulan itu bersinar begitu terang? Sejak kapan aku berdiri di sini? Sejak kapan aku ada di dunia ini? Sejak kapan siang berganti malam? Sejak kapan matahari berganti bulan? Sejak kapan si pirang itu ada di dekatku? Sejak kapan aku tidur di bukit itu? Dan kenapa?
"Kore mite(Lihat ini)." Suara teriakkan cempreng milik orang itu mengalihkan perhatianku. Walau pun suaranya terbilang empuk dan –merdu, tetap saja jadi cempreng kalau si pirang idiot itu sudah mulai berisik.
Aku menghela nafas sebentar, dan mengarahkan pandanganku ke si pirang itu. Dia di sana, berdiri di tengah tanah lapang dengan dua tangan terkatup di depan dada. Di sela-sela buku jarinya yang terkatup, aku bisa melihat cahaya samar. Kecil tapi nyata, bersinar sedikit lebih terang dalam cahaya temaram bulan yang ganjil di mataku.
Kakiku melangkah, bergerak tanpa kuperintah. Logikaku seakan berhenti, tubuhku bergerak seperti tertarik magnet ke arahnya. Rasanya seperti dibelenggu oleh benang tak terlihat, tubuhku seakan digerakan oleh orang lain. Berjalan mendekat dan berhenti beberapa langkah di depannya.
Si pirang itu masih bertahan dengan senyumnya. Dia mengambil beberapa langkah ke depan untuk memperkecil jarak. Lalu dua tangan yang terkatup itu di sodorkan padaku.
"Untuk Akashicchi." Si pirang itu kemudian tersenyum, membuka sedikit dua tangannya yang terkatup agar aku bisa melihat ke dalam. Dan dalam sendekap yang agak terbuka itu,
aku melihat seekor kunang-kunang.
"Satu harapan untuk Akashicchi."
Aku masih termangu. Seekor kunang-kunang kecil dalam katupan tangan orang itu mengepak pelan, cahanya kerlip bersama satuan kepakan sayapnya yang membuka dan menutup. Berikutnya, serangga bercahaya itu sudah pindah dalam katupan tanganku. Cahayanya terlihat di sela-sela buku jari yang tidak terikat rapat.
"Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?"
Mulutku yang sejak tadi terikunci rapat mulai kubuka. Aku bertanya, menatap langsung iris coklat kekuningan yang terlihat aneh dan mnghipnotis di saat yang bersamaan.
Dia diam, tersenyum dengan gerik aneh saat sepasang matanya bersembunyi di balik kelopak mata.
Meninggalkan aku dengan teka-teki dari pertanyaan ku sendiri. Bergelut, akhirnya aku mendapat satu kesimpulan. Kunang-kunang.
Tapi –apa orang itu mengajakku pergi jauh-jauh sampai memasuki hutan hanya untuk memberikan kunang-kunang ini? Tidak masuk akal.
"Hm, naze ka(Hm, kenapa ya?)." Aku mengerutkan dahi begitu ia kembali bicara.
Si pirang itu malah menanyai dirinya sendiri, idiot. Terdiam dengan raut berpikir dan satu tangan mengerat ke dagunya. Matanya menyipit dan terlihat sedang berpikir, sok-sedang-berpikir.
Sungguh, apa-apan itu? Setelah menarik tanganku terus menerus dan berlari buru-buru menerobos gelapnya hutan, dia mau bilang kalau hal itu tidak bertujuan?
"Maa, datta ne, konya hotaru ga ippai-ssu yo(Ya, karena malam ini banyak kunang-kunang)." Dia menjawab, dengan tawa pelan yang berubah menjadi sebuah senyum. Sedang bola matanya bergerak jenaka.
Aku mendengus kesal. Itu alasan konyol, sungguh konyol. Dia menarikku ke sana kemari hanya untuk melihat kunang-kunang? Hanya karena malam ini akan banyak kunang-kunang? Tidak masuk diakal, simpul logikaku.
Cukup. Semua hal ini makin tidak masuk akal dan si pirang itu makin kurang waras dalam rasioku.
Maka itu, sebelum si pirang itu melakukan sesuatu yang bisa berefek melumpuhkan tubuhku, aku memilih untuk pergi. Ku tatap langsung mata keemasan miliknya, raut statis untuk membalas senyumannya, berbalik dan berjalan menjauhi si pirang aneh itu. Tanpa ragu melangkahkan kaki ke jalan setapak gelap yang membawaku ke tampat ini tadi. Aku harus segera pergi, pikirku waktu itu.
Masuk kejalan beralas marmer itu, aku memacu langkah kaki lebih cepat dan mengacuhkan si pirang yang suaranya lamat-lamat terdengar mendengung di telingaku. Suara cempreng itu memanggil namaku berulang kali. Beberapa kali terus diulang dengan nada makin tinggi sampai akhirnya hilang saat aku sudah jauh menjejaki batu marmer yang jadi alas jalan.
Aku pun berjalan di anatara gelap dan cahaya bulan yang menerobos pias di sela dedaunan yang terlalu lebat. Membuat cahaya itu hanya samar dalam pandangan, bahkan biasnya tak sampai membuatku bisa melihat apa yang ada di depan mata. Hanya sanggup memberitahu kalau masih ada jalan di depanku.
Bersyukur kunang-kunang kecil yang tertangkup dalam dua tanganku ini bisa berfungsi sebagai cahaya pengganti. Sinarnya cukup untuk memberi pencahayaan pada mataku.
Lama kakiku melangkah, ujung jalan tak kunjung kutemukan. Lagi-lagi satu keanehan muncul. Padahal tadi saat si pirang itu menarik-narik tanganku, jalan ini terasa pendek.
Apa aku harus berlari?
Pikiran itu berhambur di otakku. Jadi, kuputuskan untuk mencoba. Aku berlari, lari dan terus berlari menembus kegelapan jalan dengan cahaya gemulai dalam genggaman tanganku. Saat itu, aku lagi-lagi merasa tenggelam dalam sebuah déjà vu.
Kupercepat langkaku, berlari makin jauh tanpa peduli kegelapan yang makin membutakan mata. Sinar lamat-lamat dalam tangkupan tanganku pun perlahan menghilang. Kunang-kunang kecil itu mungkin sudah sampai batasnya. Aku pun membuka dua telapak tanganku yang sejak tadi menyatu, kunang-kunang bercahaya redup itu terbang menjauh.
Sekarang aku sendirian, suara langkahku berulang kali terdengar menggema dalam telinga. Suara sepatu yang beradu dengan batu marmer pualam yang warnanya tak terlihat lagi. Tenggelam dalam hitam pekat yang tak tertembus cahaya.
Kakiku masih terus berlari, membawa tubuhku bergerak makin jauh ke dalam jalan bernanung atap rimbun ini. Lari dan lari… memacu kakiku yang sama sekali tidak terasa lelah setelah masuk jauh ke dalam sana.
Aku sama sekali tak menemukan ujung. Pikiranku mulai panik, logikaku mulai menganggap ganjil jalan setapak ini. Sejak tadi aku seperti berlari berputar-putar pada satu tempat yang tidak berujung…
Tapi harusnya ada. Persimpangan jalan yang tadi itu, tempat aku bersama si pirang itu membelok dan sampai ke tempat penuh kunang-kunang. Dimana tempat itu? Dimana? Seharusnya ada… seharunya aku bisa menemukan tempat itu sebentar lagi.
Lama kemudian, akhirnya aku melihat berkas cahaya yang berkumpul seperti titik. Sebuah jalan keluar yang akan membebaskanku dari tempat gelap ini. Aku pun memacu kakiku untuk bergerak lebih cepat. Tanganku terulur, tenggelam dalam déjà vu yang merecoki otakku. Aku berusaha meraih berkas cahaya yang terlihat menjauh itu. Wujudnya yang hanya pendaran sinar kekuningan seakan bergerak menjauh dan meledekku. Aku terus menggerakan kakiku tanpa ragu dan kemudian, tanganku berhasil menggenggam cahaya itu.
Tetapi, hal aneh lainnya terjadi. Begitu tanganku berhasil meraih cahaya itu. Semuanya berubah gelap, kosong tanpa cahaya.
.
Terlelap lara dalam sukacita hati
.
Suara angin mendesir, bergesekan dengan rumput. Berbisik halus mengelilingi suara cicit burung yang bersahutan. Layaknya petikan gitar yang memadu merdu memanjakan telinga. Suara-suara itu memasuki telingaku perlahan.
"Akashicchi?" sebuah suara yang cukup familiar.
Tapi siapa?
"Akashicchi, bangunlah." Ah… suara ini.
Aku mencoba membuka mata, tapi berat. Rasanya seperti sepasang kelopak mataku disatukan dengan lem prekat –dalam majas hiperbolisnya. Dan setelah berusaha cukup lama, sayup-sayup sinar matahari memasuki retinaku. Menyilaukan mata. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba membiasakan cahaya itu.
Lantas, ketika mataku benar-benar terbuka, yang kulihat adalah warna kuning pucat yang mewarnai rambut seseorang.
Seseorang, eh?
"Yokatta ne… Kukira kau tidak akan bangun." Ah… rambut pirang itu.
"Akashicchi?" Tapi…. Kenapa aku…? Di sini?
"Kau?" ah, bukannya aku sudah pergi jauh-jauh dari si pirang itu?
Kenapa dia ada di sini, dan lagi-lagi di sampingku?
"Kukira kau kenapa, tidak bangun-bangun."
Ya, bukankah sebelumnya aku terjebak di tengah hutan karena berusaha kabur dari si pirang itu?
"Kau kejam sekali, tahu!" dia berujar setengah cemberut ketika aku mencoba duduk di atas rumput. Lagi-lagi, kenapa sih aku bisa terdampar di bukit ini?
Dan langit yang sama itu…. Dengan orang aneh yang sama ini….
Si pirang menatapku. Matanya tiba-tiba beralih menatapku, mata kecoklatan dengan corak anehnya. "Kau tidur lama sekali dan aku jadi sendirian dari tadi." Si pirang itu melanjutkan dengan wajah yang masih di tekuk. Rambutnya yang pirang-kekuningna sedikit tertiup angin ke belakang.
"Menjauh dariku." Dua kata yang keluar dari mulutku untuk menjawab semua celotehan omong kosongnya. Dan dia langsung bungkam.
Aku berdiri dengan kepala yang terasa melayang, berjalan menjauh tanpa mempedulikan ekspresi aneh yang muncul di wajah cerah si pirang yang berubah kelam.
Lebih baik begini. Aku arus pergi secepat mungkin, karena makin dekat aku dengan si pirang itu, semuanya jadi terasa… ganjil.
Ada apa sebenarnya ini, Kami-sama?
.
Berbaring di garis ambang dalam gulita
.
Dia mengikutiku… aku tahu itu. Si pirang itu mengikuti dengan mengendap-endap setidaknya empat sampai lima meter di belakangku.
"Apa-apaan kau ini?!" teriakku, pengendalian diriku hilang seketika itu. Aku berbalik dan menemukan si pirang itu tidak lagi sembunyi-sembunyi. Dia berdiri persisi di depanku sekarang.
Ekspresinya ceria, tidak terpengaruh denagan gertakanku. "Mou, namaku Kise Ryouta, Akashicchi."
"Aku mau jadi teman Akahicchi!"
Sungguh, apa maunya si pirang ini?
To Be Continued
Halo semua xD
setelah sekian lama saya menghilang dari fandom ini, Rei kali ini kembali dengan sebuah fic yang jadi project dari zaman Akashi ultah dulu yang nggak kelar-kelar.
Well, ini two-shot, dan tidak banyak bicara.
Terimakasih sudah membaca dan silakan tinggalkan review :)
