Lukisan Kehidupan
x
x
x
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
x
x
x
Gumpalan awan kelabu memayungi sang mentari yang tampak enggan beranjak dari peraduannya di ujung cakrawala pagi itu.
Ino Yamanaka memandang langit dengan hati gundah gulana.
Seakan-akan alam semesta sudah bermufakat memupuskan serpihan harapan dan angan yang masih tersisa dalam sanubarinya setelah Sasuke Uchiha menghancurkannya berkeping-keping.
Jalinan kasih yang menyatukan sang gadis Yamanaka dengan putra bungsu Fugaku Uchiha tersebut harus kandas di tengah jalan.
Para orangtua mengatakan bahwa cinta akan tumbuh dan merekah sejalan dengan semakin seringnya intensitas kebersamaan yang tercipta di antara keduanya.
Mudah saja mereka berkata demikian. Berbicara tentang cinta seperti ahlinya.
Namun, kenyataannya tidak seindah untaian do'a yang mengalun dalam asa dan Ino harus melumat realita pahit itu seorang diri.
Seorang diri. Lantaran hanya dirinya yang tersiksa di sini.
"Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah keselarasan jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad."
Penggalan syair lama yang dahulu dianggapnya hanya omong belaka, nyatanya telah mengabsahkan kebenarannya bagai karma.
Walaupun seluruh jagad raya memusuhinya, namun sepertinya jalan raya masih bisa diajak kompromi, membiarkan mobilnya meluncur di jalan aspal tanpa hambatan yang berarti.
Ino melajukan mobilnya mengitari pelataran gedung Rasengan Daily, kemudian memarkir kendaraannya di parking-area khusus karyawan yang terletak di belakang gedung.
Beberapa orang menyapanya ketika gadis cantik itu melintasi lobby depan gedung menuju ke arah lift di sayap kanan. Ino hanya membalas mereka dengan sebuah anggukan pelan.
Sunglasses yang bertengger di hidung mancungnya telah cukup menandakan bahwa dirinya sedang tidak ingin melakukan eye contact dengan siapa pun.
Bahkan dengan sang atasan, Kakashi Hatake, yang dilaluinya begitu saja ketika mereka berpapasan di dekat meja receptionist.
Seharian ini, Ino sama sekali tak menanggalkan sunglassesnya saat berada di depan umum. Bahkan ketika menghadiri rapat dengan seluruh pimpinan divisi.
Tak ada karyawan yang berani menegurnya, karena sang CEO, Minato Namikaze, terlihat tak keberatan jika Ino tetap mengenakan sunglassesnya saat meeting.
Rumor perselingkuhan Minato dan Ino pun kian berhembus kencang setelah rapat selesai.
"Lihat dia! Tingkahnya semakin lama semakin menjadi-jadi saja!" Celotehan bernada cemooh mengiringi langkah-langkah Ino menuju kafetaria.
"Sikapnya sudah seperti pemilik perusahaan saja yaa," sindir salah seorang pegawai wanita yang duduk di dekat stand bread and pastry ketika Ino hendak memesan menu makan siang.
"Kau juga bisa seperti itu kalau jadi simpanan bos besar," sahut wanita lain yang duduk semeja dengan pegawai tersebut dan mereka semua tertawa.
Menertawai dirinya yang bodoh. Bodoh karena ia membiarkan mereka menginjak-injak harga dirinya. Bodoh karena ia membiarkan mereka menabur butiran garam di atas penderitaan yang berusaha disembunyikannya sedalam mungkin.
Tangannya gemetaran ketika ia hendak mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet. Berusaha menahan amarah dan kesedihan yang menggelegak dalam jiwanya.
Biasanya Ino tak pernah memedulikan pendapat orang tentang dirinya selama Sasuke berada di sampingnya.
Tapi sekarang, Sasuke telah meninggalkannya beserta segenap keberanian dan rasa percaya diri yang dimiliki gadis itu.
"Bergunjing memang berhala bagi banyak orang yaa." Celetukan sinis dialamatkan pada gerombolan wanita tukang rumpi yang tadi menjadikan Ino sebagai bahan gosip mereka.
Celetukan itu berasal dari seorang pemuda yang tampak mencolok dengan kulitnya yang sepucat kanvas dan pakaian berwarna gelap yang selalu dikenakannya.
"Mereka kerap kali mengutuk para pemabuk dan wanita yang berpakaian hampir telanjang sebagai pendosa. Tapi sering kali mereka lupa bahwa bergunjing dan berprasangka buruk juga merupakan sebuah dosa," imbuh sang pemuda seraya tersenyum pada Ino ketika mereka berdiri berdampingan di depan counter pemesanan.
"Hei! Apa maksudmu, Sai?" Seorang wanita dalam kelompok rumpi tersebut membentak pemuda itu.
"Jangan ngomong sembarangan yaa!" Salah satu temannya ikut menimpali.
Sai melirik mereka melalui bahu Ino seraya berujar enteng, "kalian merasa tersinggung yaa? Baguslah. Itu berarti kalian masih punya perasaan sebagaimana nona cantik ini."
Ucapan Sai membungkam mereka. Suasana di kafetaria mendadak hening ketika Ino menggamit lengan Sai dan beranjak menuju smoking area di balkon kantin yang menghadap ke taman.
"Terima kasih yaa," ucap sang gadis Yamanaka seraya memahat senyum setipis kapas di wajahnya.
Ia mengamati Sai dari balik kacamata hitamnya. Hari itu, Sai mengenakan kemeja hitam lengan pendek dan celana panjang dark grey yang dipadankan dengan sneaker warna senada.
Sebelumnya Ino tak pernah benar-benar memerhatikan wajah maupun gaya rambut pemuda itu, hingga detik ini, ia baru menyadari Sai cukup tampan jika diamati dari dekat.
Ino hanya menyesap kopinya beberapa kali, sama sekali tak menyentuh bistik sapi yang tersaji di hadapannya dengan aroma saus barbeque yang menggugah selera.
Nafsu makannya seketika menguap setelah mendengar ocehan para tukang rumpi yang menggunjingkan dirinya seperti burung gagak yang kelaparan, mengais-ngais bangkai demi mengisi perut mereka yang keroncongan.
Melihat Ino yang tampak lesu, Sai berinisiatif mengambil piring berisi steak dan mengiris-iris daging panggang tersebut agar mudah ditelan dan dicerna.
Ia menusuk sepotong kecil daging steak dengan garpu, lalu mengarahkannya tepat di depan mulut Ino.
"Kau harus mengisi energi sebelum menghadapi dunia yang kejam," katanya pada Ino.
Ino menarik bahunya sedikit ke belakang, terperanjat dengan gelagat Sai yang hendak menjejalkan daging steak ke mulutnya.
"Sai! Kau..."
Awalnya Ino ragu, tapi kemudian ia mengizinkan pemuda itu menyuapi potongan daging panggang itu ke mulutnya.
Setelah Sai menyuapinya beberapa kali, nafsu makan Ino akhirnya pulih dan gadis itu melahap sendiri makanannya.
Mereka hanya duduk di sana sambil menikmati makan siang masing-masing, tanpa berujar kata, hanya sesekali bertukar tatap dan melontar senyum.
Namun entah kenapa, Ino merasa nyaman. Tak seperti orangtuanya atau teman-temannya yang kerap mendesaknya untuk bercerita jika ia sedang dirundung masalah, Sai tak pernah bertanya apalagi memaksa.
Pemuda itu hanya menjejakkan eksistensinya dalam kehidupan Ino seperti matahari yang akan selalu terbit di ufuk timur.
Terkadang tanpa kata, dan seringnya hanya dengan senyum penuh makna.
Selalu seperti itu. Sejak mereka pertama kali bertemu di SMA, melanjutkan pendidikan di universitas yang sama dan bekerja sama dalam satu perusahaan.
"Dunia ini seperti gunung yang memantulkan suaramu. Apa pun yang kau katakan, baik atau buruk, entah bagaimana akan kembali padamu," ujar Sai, memecah kesunyian di antara mereka.
Pemuda itu mengaduk-aduk batu es dalam gelas kosongnya dengan sendok lalu menambahkan, "jika ada orang yang melabuhkan perkataan jahat tentangmu, membalasnya dengan mengatakan hal-hal yang buruk pada orang itu malah akan memperparah keadaan," tandasnya.
Pemuda itu menatap lurus ke arah Ino. Meski terhalang sunglasses, Sai yakin Ino pun tengah memandangnya. Walaupun cara Ino memandangnya belum tentu persis seperti caranya menatap gadis itu selama ini.
"Pikirkanlah yang baik-baik, maka senantiasa kau akan menemukan kebaikan di setiap keadaan. Jika kau memikirkan yang buruk, maka hanya hal-hal buruk yang akan kau temui," tutur Sai seraya mengukir senyum terindah untuk sang gadis jelita.
x
x
x
Sudah berselang enam bulan sejak Sasuke memutuskan pertunangan mereka secara sepihak dan minggu depan pria itu akan melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.
Keluarga besar Uchiha tampaknya menyambut baik calon mempelai wanita yang baru dengan tangan terbuka.
Ino membaca kabar tersebut di sebuah tabloid. Pernikahan anak seorang pejabat pemerintahan tentu saja akan menjadi berita nasional di seluruh negeri.
Perasaan Ino campur aduk antara kesal, cemburu, sedih, dan lainnya. Ia ingin marah, tapi pada siapa?
"Mungkin akan tiba saatnya di mana kita harus berhenti mencintai seseorang, karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih bahagia apabila kita melepaskannya." Ayahnya mengatakan hal tersebut di malam pernikahan Sasuke.
Dirinya langsung mengurai air mata. Berat rasanya merelakan Sasuke untuk orang lain. Tapi, sejak awal memang Sasuke tak pernah mencintainya.
Hanya dirinya saja yang berharap Sasuke bisa melupakan mantan kekasihnya dan jatuh cinta padanya.
Namun, pada akhirnya, Sasuke tetap tak berpaling dari cinta sejatinya.
"Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu mendapatkan keinginannya, melainkan mereka yang tetap bangkit ketika mereka jatuh."
Sai pernah berkata demikian pada suatu hari di kafetaria, ketika mereka duduk di meja yang sama seperti waktu itu.
Entah kenapa makan siang berdua dengan Sai sudah menjadi rutinitas dalam keseharian Ino.
Sai tak pernah menanyakan kabarnya atau bagaimana perasaannya setelah Sasuke membatalkan pertunangan mereka. Padahal pemuda itu turut menghadiri pesta pertunangannya dengan Sasuke.
Mungkin Sai juga tahu seberapa besar cintanya pada Sasuke karena Ino kerap kali meminta pendapatnya tentang bagaimana menyenangkan hati seorang pria.
Ino sudah mengerahkan segala upaya dan tenaga demi membahagiakan Sasuke agar pria itu melupakan mantan kekasihnya dan jatuh cinta padanya. Namun, takdir berkata sebaliknya.
"Kau akan belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada," kata Sai pada Ino.
Sorot mata Sai memancarkan kelembutan ketika pandangannya beradu dengan sang gadis Yamanaka.
Pemuda itu pun kembali berujar,"rasa cinta akan tetap ada di hatimu sebagai penghargaan abadi atas pilihan-pilihan hidup yang telah kau buat."
Suatu waktu di hari yang lain, Sai membawa sebuah kanvas kosong berukuran lima puluh kali lima puluh sentimeter, ketika mereka makan siang di sebuah restoran, tak jauh dari Rasengan Daily.
"Setiap kita adalah pelukis. Seindah apa lukisan yang ingin kau buat, akan ditentukan oleh kanvas pikiranmu, kuas perkataanmu, dan warna tindakanmu. Semua tergantung dirimu sendiri. Semakin indah budi pekertimu, maka semakin bagus pula lukisan hidupmu," tutur Sai seraya menyerahkan kanvas tersebut pada gadis bermata aquamarine di hadapannya.
Setelah hari itu, Sai menghilang dari kehidupannya tanpa kabar. Ino baru mengetahui bahwa Sai telah mengundurkan diri dari Rasengan Daily seminggu kemudian.
Tetangga Sai mengatakan bahwa pemuda itu sudah pindah beberapa hari yang lalu ketika Ino mendatangi apartemen pemuda itu.
Sai lenyap begitu saja seakan ditelan bumi dan entah kenapa kehilangan Sai terasa lebih menyakitkan bagi sang gadis Yamanaka daripada kepergian Sasuke dari hidupnya.
"Sai tidak lagi membalas pesanku ataupun menjawab teleponku setelah Sasuke memutuskan pertunangannya denganmu," jawab Naruto dengan agak kikuk ketika Ino menanyakan keberadaan Sai pada pemuda itu.
Sepengetahuan Ino, Naruto adalah satu-satunya teman akrab Sai sejak SMA hingga sekarang. Ironisnya, Naruto juga bersahabat dekat dengan Sasuke.
Sebenarnya Ino enggan menanyakan tentang Sai pada Naruto, lebih tepatnya ia benci jika harus berurusan dengan orang-orang yang mendukung pilihan Sasuke untuk membatalkan pertunangan mereka dan Naruto merupakan salah satu dari mereka.
"Maaf yaa, Ino. Aku sama sekali tidak tahu keberadaan Sai."
x
x
x
Hari demi hari berlalu. Pekan demi pekan berganti dan dua musim nyaris terlewati. Tapi, Ino masih sabar menanti.
"Biasakanlah dirimu agar senantiasa bersyukur. Mensyukuri apa pun yang terjadi, sama saja memberi undangan untuk kebahagiaan agar bersemayam di hati."
Suara lembut Sai terus menggema dalam benaknya, menguatkan hatinya dan meneguhkan pendiriannya.
Setiap kali tekadnya mulai goyah, Ino kembali menatap kanvas kosong pemberian Sai yang entah bagaimana selalu mendatangkan kedamaian di hatinya.
"Kadang kala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cintanya kepadamu, karena takut kau akan berpaling dan menjaga jarak, dan bila suatu saat orang itu pergi, kau baru akan menyadari bahwa dia adalah cinta sejati yang tak kau sadari," sabda Shikamaru Nara dengan bijaksana.
Kepulan asap tipis menguar dari mulut pemuda itu ketika ia menghembuskan napasnya. Shikamaru kembali mengisap rokok mildnya, lalu menengadahkan kepala memandang kerlap-kerlip bintang di langit malam.
Chouji hanya manggut-manggut menanggapi sahabatnya sambil mengunyah keripik kentang dan berulang kali mengecek ponselnya, menantikan pesan balasan dari sang kekasih yang tinggal di Kumogakure.
"Mungkinkah aku jatuh cinta pada Sai?" Ino duduk di sebelah Shikamaru seraya memeluk lututnya. Suaranya pelan dan tertahan.
Ketika Sai berada di dekatnya selepas Sasuke meninggalkannya, Ino kerap kali meyakinkan dirinya bahwa hatinya tak pernah berpaling dari Sasuke, meskipun jauh di kedalaman batinnya, Ino mengharapkan Sai selalu ada untuknya.
Ino tak ingin Sai menjadi pelampiasannya. Sai sudah berbaik hati padanya dan mengerahkan seluruh perhatian untuknya.
Ino tak ingin menyakiti pemuda itu dengan memberinya harapan sesaat, tapi dirinya membutuhkan kehadiran pemuda itu, hatinya menginginkan perhatian pemuda itu, dan jiwanya mendambakan penyatuan dengan segenap esensi dalam diri Sai.
"Ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan cinta."
Chouji tak mau ketinggalan mencetuskan wejangan pada Ino yang tengah murung.
Pemuda itu memparafrasekan kisah asmaranya dengan Karui sesederhana mungkin dan usahanya tersebut berhasil menuai senyum kekaguman dari kedua sahabatnya.
"Cinta pernah bersemi dalam satu musim yang panjang, tetapi tak berbuah apapun selain kekecewaan dan mungkin air mata di malam-malam tanpa bintang. Kemudian kekecewaan pun berlalu dalam satu masa, hingga cinta yang singkat berbuah lebih cepat. Dia tak bersembunyi atau bersarang dalam sudut hati, tapi terang mewujud meraih jiwa secara paripurna. Memecah kemelut badai ketidakpastian."
Chouji dan Shikamaru tertegun sejenak, takjub mendengar penuturan Ino yang mengisahkan perjalanan cintanya dengan rangkaian kata mutiara sarat makna.
Sejak kapan Ino Yamanaka berubah menjadi seorang pujangga?
"Aku tak pernah bertemu dengan Sai secara langsung sih. Tapi... Jika pemuda itu mampu mengubah sahabatku yang super cerewet menjadi seorang wanita yang berpikiran dewasa seperti ini, mungkin aku akan memberi lampu hijau jika ia melamarmu," ujar Chouji.
Shikamaru hanya mengangguk seraya tersenyum, mengisyaratkan persetujuan yang senada dengan Chouji.
x
x
x
Ino mengawali suatu pagi di musim semi dengan wajah berseri-seri karena Sai telah kembali.
Beberapa hari yang lalu pemuda itu meneleponnya, mengabari kepulangannya ke Konoha.
Sai kembali bekerja di Rasengan Daily, mengisi kekosongan posisi ilustrator yang kerap silih berganti karena mereka tidak bekerja dengan hati.
Meskipun selalu terlihat tanpa emosi, tapi kalau sudah menyangkut urusan gambar-menggambar, Sai akan mencurahkan seluruh perhatiannya karena ia begitu mencintai dunia seni lukis. Hasil karyanya selalu memuaskan Kakashi Hatake, sang pemimpin redaksi, yang terkenal sangat strict dan perfeksionis.
Tapi, tak lama setelah Sai resign waktu itu, Ino pun mengajukan pengunduran diri, padahal gadis itu baru saja menduduki posisi chief editor bulan lalu.
Setelah hengkang dari Rasengan Daily, Ino merintis usaha toko bunga yang telah lama diidamkannya dengan modal sendiri.
Tokonya tidak terlalu besar dan Ino masih mengurus segalanya sendirian. Chouji dan Shikamaru juga sering datang membantu kalau mereka tidak sibuk.
Sejak kepulangan Sai ke Konoha, Ino sudah menguatkan hatinya untuk menerima semua kenyataan tentang Sai yang mungkin akan segera terungkap.
Misalnya, tentang kehadiran seorang wanita lain dalam kehidupan pemuda itu.
Sai tak pernah menceritakan kehidupan pribadinya maupun kisah cintanya pada Ino dan sungguh egois dirinya karena tak pernah menanyakan hal tersebut pada pemuda itu.
Ino tak ingin merasa besar kepala dan mengkhayal terlalu tinggi ketika Sasuke mengatakan bahwa ia dan Sai berkelahi setelah Sai mengetahui Sasuke memutuskan pertunangannya dengan Ino.
Mungkinkah itu pertanda Sai mencintainya?
Ketika semua orang, bahkan keluarganya sendiri menghormati dan mendukung keputusan Sasuke, namun tidak demikian dengan Sai. Dia di sana untuk membela Ino dan Sai merupakan satu-satunya orang yang berdiri di pihaknya.
Begitulah penuturan Sasuke ketika Ino menemuinya beberapa hari sebelum kepulangan Sai.
"Ada hal-hal yang tak ingin kita lepaskan, seseorang yang tak ingin kita tinggalkan, tapi melepaskan bukan akhir dari dunia, melainkan suatu awal kehidupan baru," ujar Sasuke.
Mereka duduk berdua, saling berhadapan di sebuah cafe. Ino melirik cincin platina yang melingkar di jari manis pria itu.
Anehnya, tak ada perasaan apa pun yang melekat di hatinya ketika melihat cincin itu mau pun saat menatap Sasuke, pria yang pernah memenuhi ruang-ruang hampa di hatinya.
"Kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti, mereka yang telah dan tengah mencari dan mereka yang telah mencoba."
Sasuke mencondongkan tubuhnya ke depan, tangan kanannya menggenggam tangan Ino.
"Karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka dengan cinta."
"Dan cinta milikmu perlahan ditarik dari keterbagiannya, lalu dipersembahkan untuk diri yang satu. Di mana dia adalah belahan dirimu suatu saat nanti, jiwa yang satu dalam raga berbeda," tambah Sasuke seraya melepas genggamannya pada tangan Ino.
"Raihlah cintamu, Ino. Kau layak mendapatkannya."
x
x
x
Siang itu Sai mengenakan t-shirt biru tosca berkerah V dipadankan dengan celana jeans panjang dan sepasang sneaker biru navy.
Pakaiannya tampak serasi dengan Ino yang mengenakan summer midi dress A-line warna biru cerah tanpa lengan dari bahan katun yang nyaman.
Rutinitas makan siang berdua dengan Sai kembali dijalani Ino meski tak sesering dulu.
Kadang Sai mengunjunginya di toko bunga dan mereka makan siang di sana, dikelilingi bunga beraneka warna.
Seringnya mereka makan siang di restoran yang cukup dekat dijangkau dari toko bunga Ino dan Rasengan Daily seperti saat ini.
Mereka menikmati makan siang sambil mengobrol santai, hanya topik-topik ringan tentang berbagai jenis bunga dan kilasan-kilasan cerita pendek yang ilustrasinya dikerjakan oleh Sai.
Pemuda itu mendapat tawaran side-job sebagai ilustrator buku cerita anak dan tentu saja dia menerimanya dengan senang hati.
"Oh! Aku sampai lupa," celetuk Sai tiba-tiba. Pemuda itu meraih sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah amplop putih tebal dengan hiasan pita keemasan. Ino melirik sekilas tulisan emboss di atasnya. Undangan.
Deg! Jantung Ino bagai terhunjam panah. Mungkinkah itu sebuah undangan pernikahan?
"Semoga bukan pernikahan Sai." Ino memohon-mohon dalam hati.
Ino tampak ragu ketika menerima undangan tersebut. Raut kelegaan tersirat jelas di wajahnya ketika membaca keseluruhan tulisan di kertas putih yang menguarkan aroma semanis permen kapas.
Itu adalah undangan untuk menghadiri pameran lukisan.
Sai menyeruput jus jeruknya, lalu berujar, "kuharap kau bisa datang. Beberapa hasil karyaku akan dipamerkan di sana."
Ino melipat kembali kertas undangan tersebut dan memasukkannya ke amplop.
"Tentu saja aku akan datang," katanya pada Sai dengan penuh antusias.
"Oh! Dan satu lagi!" Kali ini Sai mengambil sesuatu yang lumayan besar dari kursi kosong di sebelahnya.
Sebuah boks putih berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter dengan pita ungu yang melingkarinya.
Ino tak menyadari keberadaan kotak itu sebelumnya karena Sai tidak menarik kursi di sebelahnya.
"Untukmu." Sai menyerahkan kotak besar itu pada gadis jelita di hadapannya.
"Untukku? Serius?" Ino tampak terkejut.
Ini kali kedua Sai memberinya sesuatu. Dan entah kenapa ia bisa menebak bahwa hadiah Sai kali ini adalah kanvas.
Mungkin kanvas yang istimewa karena pemuda itu membungkusnya dengan boks tebal dan pita ungu kesukaannya.
Ino membuka hadiahnya dan terperangah. Ia tak mampu merangkai kata-kata, hanya bisa terkesima dalam kebisuan seraya memandang Sai dan isi kotak tersebut bergantian.
Sai menghadiahkan Ino sebuah lukisan, tepatnya potret close-up Ino yang mengenakan dress warna ungu dengan rambut tergerai.
Namun, yang membuat Ino lebih terkejut adalah adanya orang lain dalam lukisan tersebut.
Orang itu bukan Sai, melainkan seorang anak kecil yang memiliki warna rambut dan warna mata mirip Ino, tapi kulitnya sepucat Sai.
Dalam lukisan Sai, Ino dan anak itu tampak mengukir senyum bahagia.
"Siapa dia?" tanya Ino yang takjub melihat kemiripan anak itu dengannya dan juga Sai.
"Inojin."
"Inojin? Siapa Inojin?"
"Anakmu," jawab Sai seraya menggenggam kedua tangan Ino dengan erat.
"Anak kita," imbuhnya.
Mulut Ino terbuka sedikit. Belum sempat ia mengatakan sesuatu, Sai kembali memberinya kejutan. Pemuda itu mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dari saku celananya dan membukanya di hadapan Ino.
Bola mata aquamarine milik sang gadis Yamanaka memantulkan kemilau cincin emas yang bertahtakan berlian deep blue.
Ino menutup mulutnya, berusaha menahan tangis, namun air mata kebahagiaan tak ingin dibendung lagi dan akhirnya gadis itu menyerah.
Menyerah pada cinta yang menuntunnya menuju penyatuan jiwa.
"Kau adalah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku dalam mengenal hidup. Kau adalah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara. Kau adalah matahariku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara. Aku mencintaimu, Ino Yamanaka."
"Bersediakah kau menikah denganku?"
x
x
x
Tujuh tahun kemudian.
"Inojin... Bereskan crayonmu sebelum pergi ke rumah Shikadai," dengus Ino ketika kakinya tak sengaja menginjak kotak crayon saat dirinya melintasi ruang keluarga menuju dapur.
"Baik, Bu!" Sang anak menyahut dari kamarnya di lantai dua.
Ino hanya menghela napas melihat kelakuan anak semata wayangnya yang harus berulangkali diingatkan perihal kerapian.
Langkahnya terhenti ketika melewati dinding pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu.
Ino selalu menyempatkan diri memandang lukisan dirinya dan Inojin yang dilukis oleh Sai sebelum mereka menikah.
Bibir tipisnya mengulas senyum. Wanita cantik itu terkenang kembali salah satu momen romantis terindah dalam hidupnya ketika Sai melamarnya dengan sebuah lukisan.
Bukan sembarang lukisan, tapi lukisan masa depan dirinya dan pria itu secara tak langsung.
Mereka menikah tak lama setelah momen lamaran itu, tepatnya sebulan sebelum kelahiran Sarada, anak perempuan Sasuke yang cantik seperti ibunya.
Lima bulan kemudian, istri Chouji melahirkan anak perempuan yang diberi nama Chouchou dan Shikamaru resmi menjadi seorang ayah dari anak laki-laki yang dinamainya Shikadai, bertepatan dengan hari ulang tahun Ino yang ke dua puluh lima.
Pada suatu pagi yang cerah di bulan Desember, Ino melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakannya Inojin, buah cintanya dengan Sai, pria yang telah menyelimuti kehidupan Ino Yamanaka dengan limpahan kasih sayang dan melindungi wanita itu dengan keteguhan cinta.
"Setiap pertemuan dan perpisahan, senyuman dan tangis, harapan dan kekecewaan, cinta dan patah hati, mimpi dan kenyataan. Semua itu adalah ketentuan yang telah ditetapkan sejak kita di alam rahim. Sesungguhnya rencana Tuhan jauh lebih indah karena hanya Tuhan yang Maha Mengetahui segala yang terbaik bagi kita."
x
x
x
- FIN -
x
x
x
Notes : Kalimat italic merupakan inspirasi dari banyak sumber, gak semuanya murni pemikiran saya (ada yang saya kurangi dan tambahkan demi kesesuaian cerita).
Tadinya kuingin bikin drabble, tapi kebiasaan ngalor-ngidul saya emang susah diilangin. Jadinya begini deh.
Maap-keun kalo alur amburadul dan feelnya gak berasa.
Ku sedang ingin bikin fic Ino x Sai yang blaem-blaem sebelum melibatkan mereka dalam proyek lemon(?) Hehehe.
Trus keingetan salah satu fanart lukisan Ino x Inojin favoritku. Keren banget fanartnya! SUKAAA! Jadilah fic gaje super dadakan ini.
Sengaja nge-tag Sasuke biar banyak yang baca XD *dikemplang kendi pasir Gaara*
Yup! Segitu aja cuap-cuap gajenya. Terima kasih sudah berkenan mampir di fic ini :')
Feel free to critic and review. Thanks anyway :)
