Okay, maybe this story was created in the middle of fever, dizziness, stuffy-itchy nose, and sore throat, so, if this story is soo cliche and messy, I'll have to apologize.
I'm just kinda want to write something, when suddenly there's an idea come to my mind.
Here we go...
Somebody to You
"KID?!" suara teriakan keras khas menggema di seluruh ruangan museum. "Tangkap dia?!" seru suara itu lagi, memerintah anak buahnya yang terdiam karena terpesona oleh kembang api cantik membentuk sebuah merpati putih yang seketika meledak menjadi confetti yang beterbangan.
"heeeeiii jangan diam saja?! Teriaknya lagi. Mendengar teriakan inspektur Nakamori (lagi) semua petugas baru terbangun dari keterkejutan mereka. Dengan segera mereka berlari mengejar bayangan putih yang berlari menuju atap.
"uggh... sial kau Kid?!" geram inspektur Nakamori yang terperangkap di lautan lem pink seperti permen karet- dan semua pasukan penangkap KID tentunya- dan confetti yang dari tadi tidak berhenti beterbangan menambah kekacauan di ruangan itu.
Di antara petugas kepolisian yang masih berusaha melepaskan perangkap lem, seorang pemuda pirang dengan gesit menghindar semua perangkap yang disiapkan oleh pencuri itu. Bertahun-tahun mengejar Kaito Kid membuatnya sedikit belajar tentang perangkap-perangkapnya. Meskipun, ugh, dia harus mengakui bahwa berkali-kali pula dia harus ikut terperangkap juga.
"Ah, Hakuba-kun?! Aku serahkan Kid padamu! Tangkap dia!" teriak inspektur Nakamori saat dia melihat bocah detektif itu melewatinya, mengejar Kaito Kid.
"with my pleasure, Keibu," jawabnya sambil berlalu. Ugh, terkadang dirinya benci jika harus bergantung pada bocah detektif itu. Tapi mau bagaimana lagi. "Sial kau, Kid?! Kau harus membayar semua ini," maki inspektur Nakamori yang masih berusaha keluar dari lem itu.
00000
"haaaah... ternyata bukan lagi..." Kaito Kid menghela napas panjang ketika permata yang dia curi tidak berkilau merah di bawah sinar bulan purnama malam ini. Bertahun-tahun, empat tahun tepatnya, dia melakukan semua ini. Dan hasilnya, permata yang mereka sebut Pandora belum juga dia dapatkan. Sering dia berpikir apakah Pandora benar-benar ada. Mungkin Pandora hanya bualan omong kosong atau dongeng tidur yang dikarang oleh seseorang. Tapi mungkinkah sebuah bualan membuat sebuah sindikat besar, susah-susah mencarinya dan tak segan membunuh orang-orang tak berdosa?
'Huh, Tou-san.. it's really exist, isn't?' Kaito Kid menghela napas lagi.
"oh, sepertinya sang pencuri sedang lelah, sampai dia menghela napas panjang dua kali. Bukan permata yang kau cari, Kid?" suara familiar yang masih terengah-engah terdengar dari depan pintu atap.
"oh, Tantei-san, aku kira kau masih terperangkap di bawah. Humm, sepertinya kau sudah belajar banyak selama empat tahun ini," seringai sarkas Kid membuat mata Hakuba sedikit berkedut.
"Huh, tentu saja Kid, dan kali ini aku akan menangkapmu," dengan segera Hakuba mendekati Kid yang masih berdiri di tepi atap.
"Humm, not today Tantei-san~~, kau harus masih belajar banyak untuk dapat menangkapku~~, see you~~," Kaito dengan segera mengaktifkan hang glidernya dan terbang. Hakuba hanya bisa menatap pencuri itu pergi.
"of course someday, Kuroba," ucapnya lirih. Ketika dia hendak berbalik untuk menuju pintu keluar, dia melihat sebuah bungkusan kecil. Sebuah permata ungu yang indah berkilau di bawah sinar bulan, di bawahnya terselip sebuah catatan 'terima kasih atas pinjamannya' dengan doodle khas milik Kid.
"Sebenarnya apa yang kau cari, Kuroba," sambil menutup kembali bungkusan itu dan memasukkannya ke saku celananya, Hakuba meninggalkan atap gedung.
00000
"..to, Bakaito?!" sebuah teriakan dan benturan di kepala membuat Kaito terbangun dari lamunannya.
"Duh, Kaito, apa-apain kau ini melamun saat kita makan siang bersama?!" seorang gadis berambut hitam memarahi teman di depannya. "Akhir-akhir ini kau jarang terlihat dan susah sekali dihubungi. Dan saat kita berhasil bertemu dan makan bersama dari tadi kau melamun terus. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"ugh, Aoko, kau tidak perlu memukulku seperti itu tau.." gerutu Kaito, "dengar, akhir-akhir ini aku baru banyak tugas, dan masih harus mempersiapkan pertunjukkan sulapku, dan pukulan dan teriakanmu benar-benar tidak membantu sama sekali."
"Oh, maafkan aku, Kaito," Aoko menyesal sudah memarahi teman masa kecilnya itu, "apa kau baik-baik saja?" sejenak Aoko menyadari bahwa di bawah mata Kaito terdapat kantung mata yang menghitam, yang artinya akhir-akhir ini Kaito sibuk mengerjakan sesuatu, dan dia menyesal telah memukulnya.
"Hee.. menurutmu? Aku baru saja menerima pukulan keras darimu dan kau masih bertanya apa aku baik-baik saja," ucap Kaito agak mendengus.
"Hehehe.. maaf Kaito, habis kau ini.. kalau kau sibuk dan butuh bantuan, kau harusnya menghubungiku. Aku khawatir tau. Salahmu sendiri membuatku khawatir." Kali ini Aoko agak marah dan kesal karena merasa tidak dianggap sebagai temannya.
"Hoo~~~, maafkan aku Aoko~~ yang membuatmu khawatir... tapi tenang saja, aku baik-baik saja kog. Dan aku masih bisa mengerjakannya sendiri," hibur Kaito.
"Oke, tapi paling tidak sekali-kali kau harus menghubungiku. Ingat kita adalah teman. Dan artinya saling membantu apabila yang lain sedang kesusahan," ceramah Aoko lagi.
"Siaaap~~~," jawab Kaito ceria.
"Oh, iya, aku hampir lupa. Sebenarnya tujuanku mengajak makan hari ini karena aku ingin mengundangmu jalan bersama Kaito," Aoko mengeluarkan sebuah tiket dari tasnya, " dan sepertinya waktunya tepat. Dengan begini kau bisa sedikit istirahat dari aktivitasmu yang super sibuk itu."
"Ah, tiket ke Tropical Land?" Kaito memperhatikan tiket di depannya. "Kau mengajakku jalan ke taman bermain?"
"Yup. Aku mendapatkan tiket itu dari teman kuliahku. Dan tentu saja kita tidak berdua. Kita akan jalan bersama temanku yang memberi tiket itu, dan juga beberapa temannya tentunya."
"uh.. Aoko..." Kaito mencoba untuk memotong dan berencana menolak secara halus, sebelum Aoko kembali berbicara dengan senyuman dingin yang seolah-olah tidak menerima alasan apapun, " dan aku tidak menerima penolakan darimu tentunya, Kaito."
Makan siang bersama Aoko berjalan perlahan. Sudah lama Kaito tidak bercakap-cakap dengan temannya itu. Akhir-akhir ini dia benar-benar sibuk dengan dunia-dua dunia-nya. Dan dia tidak punya waktu untuk sekedar bercakap-cakap atau bahkan berkenalan dengan seorang teman. Dan hari ini membuatnya kembali sedikit bersantai.
000000
"Cepatlah, Kaito! Nanti kita terlambat." Seru Aoko dari ruang tamu.
Hari ini mereka akan pergi ke Tropical Land bersama teman-teman Aoko, uh, dan entah siapa mereka, Kaito tidak begitu peduli.
"Aku siaap," jawab Kaito sambil menuruni tangga menuju ruang tamu.
"Uh, Kaito, kenapa lama sekali? Ayolah sebelum kita ketinggalan kereta." Aoko berlalu keluar rumah, dan Kaito sedikit berlari mengejarnya, "Oke,oke."
Hari ini hari Sabtu, dan seperti biasanya di akhir pekan, taman bermain sangatlah ramai. Aoko yang dari tadi celingak-celinguk mencari temannya, nampak sedikit kesulitan mengingat banyak orang yang datang. Dan tubuh kecilnya sama sekali tidak membantu.
"ugh, apa kita terlambat? Kemarin kita berjanji ketemu di pintu masuk. Dan sekarang mereka tidak terlihat sama sekali..." ucap Aoko sambil sesekali melihat ponselnya, mengantisipasi ada pesan yang masuk. Tapi nihil. Dan dia sudah berusaha untuk mengirim pesan dan menelepon temannya, dan nihil juga.
"Tenanglah, Aoko, lagipula kita hanya 30 menit terlambat tadi. Dan kita baru 15 menit menunggu. Kalau dalam setengah jam mereka tidak muncul, kita bisa masuk duluan kan?" Kaito mencoba menenangkan Aoko.
"Uh, kalau seperti itu apa artinya janjian, Bakaito?" Aoko menjawabnya dengan tatapan tajam. "Dan semua ini salahmu kita berdua terlambat."
Kaito sedikit bergidik melihat tatapan tajam Aoko. Uh, membuatnya tidak berani untuk membantah lebih jauh, kecuali jika dia ingin bunuh diri.
"Um, Aoko, seperti apa temanmu? Mungkin aku bisa membantu mencarinya," Kaito mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ah, iya, aku sampai lupa. Bagaimana ya, dia sama tinggi denganku, rambutnya juga hitam sebahu, dan wajahnya, eer- agak mirip denganku," kalimat terakhirnya agak mengambang terucap dari mulutnya. Aoko juga sedikit terkejut saat pertama kali berkenalan dengannya. Dia, temannya itu sangat mirip dengan dirinya, yang bisa dibilang kembar. Meskipun sedikit lebih tinggi dan er- seksi, dan rambutnya lebih rapi dari dirinya.
Kaito sedikit ragu, dan takut salah dengar dengan kalimat yang diucapkan temannya. Mirip? Apa ada gadis yang mirip dengan dirinya? Uh, oke, dia mencoba mencari orang dengan ciri-ciri yang disebutkan Aoko, dengan agak mengesampingkan ciri-ciri terakhir yang diucapkannya. Dan saat dia mencoba menyapu pandangan ke sekitarnya, kedua matanya terbelalak.
"Hei, Aoko, sepertinya aku melihat temanmu," ucap Kaito tanpa menoleh. Aoko Cuma mengernyit, kemudian mencoba mengikuti arah pandangan Kaito.
"Ah, Aoko-san," seru seorang gadis yang –uh, mirip Aoko- setengah berlari, "ma-maaf.. a-aaku terlam-bat," ucapnya ketika sudah berada di depan mereka dengan terengah-engah, "ada sesuatu yang tidak terduga, dan ah, gara-gara temanku satunya lagi, membuat kami benar-benar terlambat." Ucap gadis itu lagi.
"Ah, tidak apa-apa, Ran-san, kami juga terlambat kog, jadi kami tidak menunggu terlalu lama," Aoko tersenyum, "dan ini temanku yang kemarin aku ceritakan,"
"Hai, Kuroba Kaito," ucap Kaito sambil mengeluarkan mawar kuning dari tangannya menyerahkannya ke Ran," dan bolehkah aku tau siapa nama gadis cantik ini?" senyumnya menggoda.
"Ah-, Mouri Ran," jawabnya sedikit terkejut, sambil memperhatikan pemuda di depannya. Rautnya seperti antara bingung dan terkejut - yang sepertinya bukan karena bunga yang muncul tiba-tiba- karena hal lain, "jadi kau seorang pesulap, Kuroba-san?" tanyanya sambil menerima bunga dari Kaito.
"Yes.. and the greatest one," jawabnya dengan senyumnya yang khas.
"Che-, tentu saja Kid-sama lah yang lebih hebat," sebuah komentar datang dari seorang gadis pirang di belakang Ran.
Kaito sedikit terkejut saat namanya disebut. Dia tersenyum mendengar pujian terhadap dirinya. "Oh, tentunya aku tidak akan membantah hal itu, Ojou-san, sulapnya dan sulapku berbeda, dan aku yakin sulapku tidak akan kalah darinya, mengingat aku juga fansnya, kau juga begitu, kan?"
Gadis pirang itu kaget mendengar ucapan Kaito, dan gadis itu juga terbelalak saat melihat wajah Kaito, dan seketika dia menepuk dadanya bangga, "Hoo.. tentu saja, aku adalah fans terberat Kaito Kid-sama," gadis tadi mendekati Kaito, "perkenalkan, Suzuki Sonoko, Kuroba-san," ucapnya sambil menjabat tangannya.
"ah, iya, Suzuki-san," Kaito hanya bisa sweatdrop mendengarnya.
"Ah, iya, dan aku bersama satu orang lagi, dia..." kata-kata Ran memecah situasi canggung mereka, dia menoleh ke belakang dan menarik temannya yang berada di belakang. Seorang pemuda seumuran mereka, dengan tinggi yang hampir sama dengan Kaito, memperkenalkan diri.
"Ah, hai, uh- namaku Kudou Shinichi."
Kaito dan Aoko hanya bisa menatap pemuda di depan mereka.
000000
Waktu mereka di Tropical Land dihabiskan dengan mencoba berbagai wahana disana. Mulai roller coaster sampai rumah hantu, saat Ran mencoba untuk tidak ikut masuk, sampai Aoko menyeretnya untuk tetap ikut. "Ayolah, Ran-san, kita bersama-sama, kan?" Dan pada akhirnya mereka berdua yang pertama berlari keluar karena ketakutan.
Di mata Kaito, semuanya berjalan sedikit kabur. Celotehan teman-temannya hanya sedikit yang didengarnya. Hanya terkadang saat mereka membicara Kaito Kid, saat itulah dia ikut angkat bicara. Tentunya dengan memuji-muji Kid-dirinya sendiri-. Selebihnya semuanya berlalu begitu saja. Dia benar-benar tidak berniat untuk datang kesini, hanya karena demi teman masa kecilnya lah dia menyerah. Dan lagipula baginya semua ini tidak terlalu menarik, uh, oke, dia mengakui bahwa ada hal yang membuatnya bertahan lebih lama. Seorang pemuda yang bersama mereka yang membuatnya sedikit penasaran. Kudou Shinichi, seorang detektif, yang dia dengar dari percakapan mereka. Uh, jadi dia sama seperti si pirang yang menyebalkan itu, batinnya di awal. Selain itu, kemiripan wajah mereka berdua yang bisa dibilang seperti anak kembar, er-, meskipun ada banyak perbedaan disana-sini, yang membuat mereka bisa dibedakan, dan kepribadian mereka berdua yang benar-benar berkebalikan membuatnya sedikit bersemangat mengikuti gadis-gadis itu.
Terbersit untuk memanfaatkan kemiripan mereka, di aksi pencurian berikutnya, dan semua itu seakan sia-sia ketika dengan wajah polos, tanpa dosa, Kudou Shinichi, seorang detektif dari Timur, penyelamat kepolisian Beika, yang mereka sebut-sebut Holmes masa kini, tidak mengenal siapa Kaito Kid itu. HOW COULD YOU DON'T KNOW HIM! Kaito seakan-akan ingin teriak-teriak di depan pemuda itu. Sebelum dia teriak di depannya, sepertinya gadis pirang, yang namanya Suzuki-san, mengerti kemarahan dalam hatinya.
"HAAAH,, Apaaa?! Kau tidak mengenal Kaito Kid-sama, the phantom of thief, Magician of the Moonlight, Kaitou 1412 yang suuppeeer tampan dan hebaat?! Dimana selama ini kau, Kudou? Di planet Mars?!"
Haa, benar-benar. Kaito mengangguk-angguk dalam hati. Meski dia merasa pujian yang dikatakan Suzuki-san mungkin agak berlebihan- bukannya dia keberatan sih- dengan super tampan dan hebat, tapi dia sama-sama tidak habis pikir, bagaimana seorang detektif yang bekerja sama dengan kepolisian, dan tentunya tidak pernah ketinggalan berita kriminal kan? Tidak mengenal Kaito Kid. Benar-benar tidak masuk akal. Kecuali jika dia baru lahir, atau baru turun dari planet lain.
"Uh, maaf kalau selama ini aku tinggal di Mars, Sonoko.." jawabnya datar, agak tersentak dengan teriakan kerasnya, dan seolah-olah terdengar tidak tertarik," aku hanya menangani kasus pembunuhan, dan aku tidak tertarik dengan kasus pencurian."
Mata Kaito berkedut. Ran dan Aoko hanya bisa tertawa kecil mendengar jawaban Shinichi. Sonoko masih terlihat marah dan kesal dengan sikap Shinichi.
"Ne,ne, Kaito, sepertinya ada detektif yang sama sekali tidak tertarik dengan idolamu, dan bahkan sepertinya dia menganggapnya tidak ada," goda Aoko dengan senyumannya yang mengejek.
"Ugh, diam Aoko," Kaito mendengus. Oke, detektif satu ini benar-benar membuatnya kesal. Mungkin tidak semenyebalkan detektif pirang yang dia kenal. Tapi dia menyebalkan dari segi lain. Dan Kaito tidak suka dengan perasaan diacuhkan seperti ini. Dia sudah terlalu biasa menjadi pusat perhatian. Setiap orang mengenalnya. Oke, mungkin tidak semua orang mengelu-elukannya, ada beberapa yang membencinya, tapi paling tidak mereka mengenalnya. Mengenal Kaito Kid. Dengan perasaan itulah Kaito membuat janji dalam hatinya. Bahwa dia akan membuat detektif satu ini mengenalnya. Dan menganggap bahwa Kaito Kid itu penting.
"Ne, sudah sudah," Ran mencoba menengahi sedikit pertengkaran mereka, "bukankah setelah ini kita mau ke wahana yang lain, karena itulah kita harus-" belum selesai Ran berbicara, sebuah teriakan dari sisi lain restoran memotongnya. Dan seperti reflek, Shinichi berlari menuju sumber suara. Dan seketika Kaito merasa, semua detektif sama saja.
00000
Sebuah teriakan tadi ternyata memang tanda terjadi pembunuhan. Sekejap setelah Shinichi berlari menuju korban, dia langsung meminta Ran untuk memanggil polisi. Sambil menunggu polisi datang, Shinichi mulai menginterogasi orang-orang di sekitar korban. Sepuluh menit kemudian polisi pun datang. Dan tidak berselang lama polisi tiba, sebuah senyum –aku mengerti sekarang- tersungging dari bibir Shinichi.
Kaito yang hanya melihat dari tempat duduknya, memperhatikan detil setiap gerak-gerik detektif yang baru saja dikenalnya itu. Cara dia mengamati, menginterogasi, mengernyitkan alisnya saat menganalisis kasus di hadapannya diperhatikannya dengan jelas. Dalam beberapa aspek umum, Kudou tidak berbeda dengan Hakuba. Tapi ada beberapa hal yang membuatnya berbeda dari Hakuba. Tatapan mata birunya yang tajam saat meneliti setiap petunjuk yang ada, binar matanya saat dia mengetahui trik pelaku, dan sorot matanya saat dia mencoba menelanjangi setiap argumen pelaku, yang menurut Kaito sangat mempesona. Tunggu, apa yang dia pikirkan, ugh, sepertinya manik mata biru yang indah –lagi- milik Kudo membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Sepasang mata biru langit yang dalam dan berkilauan seperti permata itulah yang membuatnya terhipnotis. Ah, hey, apa yang aku pikirkan lagi, ugh sepertinya otakku mulai lelah dengan semua permata yang pernah kucuri. Pikirannya terpecah saat Sonoko bicara.
"haaa, benar-benar Ran, aku sampai sekarang masih tidak bisa mengerti, kemanapun suamimu itu pergi, pasti ada kasus pembunuhan," Sonoko hanya menghela napas.
"Mou, Sonoko.., Shinichi bukan suamiku, sudah kubilangkan, aku sudah..." pipi Ran sedikit bersemu merah.
"Haa, iya,iyaaa, mantan suami," ucap Sonoko lagi.
"Dan bukan salah Shinichi jika hal ini terjadi, Sonoko. Shinichi juga tidak pernah mengharapkannya..." kata-kata terakhir Ran sedikit pelan. Ada sedikit perasaan sedih dan khawatir dari nada bicaranya.
"Uh, memangnya kenapa? Um.. kalau boleh tau...," Aoko yang tidak mengerti yang mereka bicarakan, mencoba bertanya.
"Ah, tidak apa-apa Aoko-san, hanya saja, setiap orang berpikir kalau Shinichi itu seperti seorang Shinigami, hehe, walaupun itu semua hanya kata orang.." Ran menjelaskan dengan tenang.
"Shinigami? Kenapa?" mendengarkan perkataan Ran, Kaito ikut penasaran.
"Um, itu karena, bagaimana ya, setiap Shinichi pergi kemanapun, pasti ada seseorang yang meninggal, walaupun tentunya itu hanya kebetulan ," jawab Ran.
"Kebetulan atau bukan, kau harus membawanya ke pendeta atau pengusir roh, atau mungkin memberinya jimat keselamatan seperti yang Kazuha berikan pada Hattori, Ran," ucap Sonoko lagi. Kali ini sambil melihat Shinichi yang jauh di belakangnya, sepertinya sudah selesai mengungkap kasus.
Shinichi yang sudah menyelesaikan kasus pembunuhan segera berjalan menuju tempat duduk teman-temannya.
"Umm, maaf, apa kalian menunggu lama?" tanya Shinichi yang baru saja sampai di hadapan mereka.
"Oh, tidak," Ran tersenyum," baiklah, ayo kita lanjutkan jalan-jalannya, dan mungkin sepertinya lebih baik kita pergi ke tempat lain," ajaknya lagi.
Shinichi tersenyum mendengar ucapan Ran. Dan saat itulah Kaito melihatnya. Tatapan mata yang tulus mengucapkan 'maaf dan terima kasih sudah mengerti' dan berganti menjadi 'sedih dan lelah dengan semua ini' yang hanya sebentar, dan segera berganti dengan tatapan netral, seperti Poker Face yang dimilikinya, membuatnya ingin lebih mengenal lebih jauh detektif yang baru saja dia kenal hari ini. Dan tentunya, Kaito Kid punya seribu satu caranya.
00000
Sepulang dari jalan-jalan bersama –um- teman-temannya Aoko, Kaito langsung menuju kamarnya dan menghidupkan komputernya. Tangannya langsung mengotak-atik keyboard di depannya mengetikkan sebuah nama di mesin pencari. Dan kedua alis matanya mengerut. Tidak banyak berita mengenai detektif yang baru saja dikenalnya tadi. Hanya beberapa artikel tentang dirinya yang bahkan itu sama sekali bukan mengenai kehebatannya sebagai detektif, melainkan sebagai pemain sepak bola di SMA-nya. Humm, aneh, pikir Kaito. Seorang detektif hebat, yang sudah banyak membantu kepolisian, dan banyak memecahkan kasus pembunuhan sama sekali tidak ada di artikel berita. Bahkan dia mencari artikel pembunuhan berantai yang sempat diceritakan gadis bernama Mouri di sebuah vila, tidak disebutkan sedikit pun nama detektif itu. Bahkan menurutnya artikel mengenai Hakuba Saguru lebih-lebih banyak dari ini.
'Sepertinya ada detektif low profile yang tidak bersedia namanya dicantumkan dalam berita,menarik.' batinnya dalam hati. Tapi artinya dia tidak akan menemukan petunjuk apapun dari sini. Dan itu berarti, dia harus menggunakan metode lain untuk menyelidiki detektifnya-heeei, otakku mulai melawan kemauanku lagi- lagi.
00000
"Baiklah, Ran, kalau begitu aku pulang dulu," ucap Shinichi sambil berbalik badan hendak pulang ke rumah.
"Uh, tunggu- Shinichi," Ran sedikit berteriak memanggil temannya yang sudah mulai berjalan. Mendengar panggilan temannya, Shinichi menoleh tanpa membalikkan badannya, "Ada apa?"
"Er-, terima kasih Shinichi, sudah mau datang hari ini," ucapnya lirih yang hanya terdengar oleh Shinichi saja.
"oh, itu..., tentu saja, Ran, tidak masalah, bye," ucapnya membelakangi Ran sambil melambaikan tangan kirinya. Shinichi pun berjalan kembali menuju rumahnya. Ran hanya bisa menatap teman masa kecilnya itu dengan tatapan nanar dan sedih. Empat tahun yang lalu, temannya itu tiba-tiba menghilang. Tanpa kabar yang membuatnya panik dan khawatir setengah mati. Namun tiba-tiba dua tahun yang lalu dia muncul di hadapannya, menceritakan semua yang terjadi saat dia menghilang, dan minta maaf karena selama ini berbohong padanya. Saat itu, dirinya benar-benar marah dan tidak bisa memaafkan semua yang Shinichi lakukan terhadapnya. Dia tidak ingin bertemu Shinichi lagi untuk sementara waktu. Saat itulah dia melihat tatapan mata Shinichi yang berbeda dengan Shinichi yang dia kenal sebelum dia menghilang. Tentu tatapan tajamnya saat menganalisis kasus masih ada disana, tapi tatapan arogan, percaya diri yang selalu bersinar sudah menghilang. Diganti tatapan kedewasaan, ketenangan, sedih, dan lelah, seolah-olah beban seluruh dunia baru saja dia tanggung. Dan Ran mengerti, memang sepertinya beban dunia baru saja dia tanggung. Dan dia merasa bersalah memarahinya."Shinichi..." bisiknya lirih sambil memeluk bantal di kamarnya.
00000
Angin malam yang bertiup perlahan membuatnya merapatkan jaketnya ke tubuhnya. Jalanan malam ini bisa dibilang tidak terlalu ramai untuk ukuran akhir pekan. Mungkin karena cuaca sudah mulai berganti ke musim gugur, banyak orang lebih memilih menghabiskan akhir pekan di dalam ruangan daripada berjalan-jalan di dinginnya malam. Tapi baginya, dinginnya malam ini sesuai dengan suasana hatinya saat ini, karena itulah dia lebih memilih untuk sedikit menghabiskan waktu berjalan mengelilingi blok daripada langsung menuju rumahnya. Dia menghela napas. Satu lagi hari yang dihabiskannya, harus bertemu dengan kasus. Dia bahkan lupa, kapan terakhir hari yang dilewatinya terbebas dari suatu kasus. Pada awalnya dia sedikit lega karena dia tidak bertemu kasus sampai akhir makan siang,-yang artinya itu adalah jam terlama yang dia lewati tanpa kasus- dan sebuah teriakan menghancurkan fantasinya. Sepertinya memang sudah takdirnya. Dia menghela napas lagi.
Sering dia merasa lelah dengan semua yang terjadi dalam hidupnya. Semuanya seperti berputar-putar tanpa pernah berjalan ke depan. Sejak takdir merubah hidupnya empat tahun lalu. Saat dia hampir kehilangan-uh, mungkin masih kehilangan beberapa- masa depannya dan kehidupan cintanya. Dan dia berani bertaruh bahwa kehidupannya yang seperti ini akan bertahan lebih lama.
00000
Bzzzz... bzzzzzz... bzzzzzz...
Suara getaran ponsel di atas meja dekat tempat tidur, hanya membuatnya merubah posisi tidurnya. Mencoba mengabaikan suara yang dari tadi mengganggu tidurnya, dia menarik selimut sampai menutupi mukanya. Setelah beberapa detik getarannya tidak terdengar lagi.
Ring ... ring... ring...
Berganti suara telepon rumahnya yang berdering. Kesal dengan suara berisik yang membangunkannya di hari liburnya, Shinichi bangun dari tempat tidurnya sambil melempar selimut yang dari tadi menghangatkannya. Saat dilihatnya jam di mejanya, waktu menunjukkan pukul 05.30. Siapa yang menelepon dan mengganggunya sepagi ini,.
Dengan malas, Shinichi berjalan agak sempoyongan menuju ruang tamu. Meski dering telepon rumahnya sempat berhenti, namun sepertinya penelepon tidak mau menyerah, karena selang beberapa detik, telepon kembali bordering.
"Moshi-moshi," Shinichi menjawab sambil menguap, matanya masih setengah tertutup.
"Aaaa, Shin-chaaaan, ohayou, saayaaang….," mendengar suara familiar di teleponnya, kedua mata Shinichi terbuka lebar.
"Kaa-saan, uggh…. Kalau aku tau ibu yang telepon, lebih baik aku tidak mengangkatnya." Jawab Shinichi malas.
"mou, Shin-chan, apa seperti itu yang dikatakan anak pada ibunya yang sudah tidak berjumpa selama setahun?" meski Shinichi tidak bisa melihat wajah ibunya sekarang, tapi dia yakin ibunya sekarang sedang memasang wajah cemberut yang dibuat-buat di ujung sana.
"Sudahlah, Kaa-san, kalau Cuma ingin mengganggu hari liburku, aku tutup teleponya," ucap Shinichi yang bersiap meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
"Ah, tunggu Shinchaan! Baik, baik, sebenarnya ada yang mau ibu katakan padamu sayaang…" ucap ibunya kembali ceria," sekarang ibu dan ayahmu sedang berada di London, ada pertemuan dengan penulis buku disini, dan selain itu akan ada pameran besar Sherlock Holmes disini. Karena itu, maukah kamu mampir sabtu depan?"
Shinichi terdiam. Meski dia penggemar berat Sherlock Holmes, tapi saat ini dia sedang dalam masa depresi yang, um-entah kapan dimulainya- membuatnya malas untuk melakukan hal-hal di luar ruangan, apalagi harus ke luar negeri.
"entahlah, Kaa-san, aku tidak tahu, aku bisa kesana atau tidak.." Shinichi menjawab malas.
"ayolah, Shin-chan, ibu tahu kamu sedang tidak bersemangat di sana, karena itulah anggap ini sebagai refreshing sejenak, sayang… lagipula ibu sudah setahun tidak bertemu denganmu… dan.. hiks..hiks.. anggap hal ini… sebagai permintaan terakhir ibumu ini…" ucapnya sedikit terisak.
Shinichi hanya bisa berkedut mendengar perkataan terakhir ibunya. Kalau benar-benar rindu, kan ibunya bisa pulang. Bukan malah menyuruh anaknya untuk menyusulnya. Dan permintaan terakhir? Jangan bercanda!
"heh, Kaa-san, hentikan sandiwaranya! baiklah akan kupikirkan,"
"Yaaaaay…. Thank you sweettyyyyy…" nada bicaranya kembali ceria. Shinichi hanya bisa tersenyum kecut dengan kelakuan orang tuanya yang satu ini,"tiketnya sudah ibu kirim sekaligus undangannya sayaang, coba cek di kotak suratmu,"
"kau sudah merencanakannya sepertinya, dan sepertinya bahkan tanpa meminta persetujuanku kan?"
"Hahahaha… Shin-chan ku sayaaang, tentu sajaaaa, okee, sampai ketemu sabtu depan sayaaang," terdengar suara sambungan teputus. Shinichi menghela napas dalam. Mungkin memang tidak ada salahnya jika dirinya merilekskan diri sejenak dan pergi dari semua rutinitasnya. Dengan malas dia keluar menuju halaman rumahnya. Di bukanya kotak surat di depan rumahnya. Sepucuk amplop yang agak besar terlipat di dalamnya. Di dalam amplop itu, terdapat selembar undangan dan tiket yang masih terbungkus dalam plastic. Saat Shinichi hendak menutup kembali kotak suratnya, matanya menangkap selembar kertas putih kecil di dalamnya. Sebuah kertas kecil dengan beberapa baris tulisan yang diketik rapi, dan di sebaliknya terdapat gambar khas pengirimnya.
And cut!
See you the next chapter (maybe the last -hopefully-), and I hope I can update my Gray Hearts too. Please review…,
