Saat aku berpapasan dengannya, aku mencium wangi manis yang memabukkan.
Tapi hangat dan sedikit aneh.
Seperti bunga nightshades.
"Warm, Pretty, Elegant, but toxic. You were like nightshades."
.
.
.
NIGHTSHADES.
Keluargaku punya kebiasaan aneh—ah tidak. Ibuku. Ia bilang nenek moyang keluarga kandungnya merupakan keluarga yang bergerak di bidang kesehatan, dari zaman dahulu kala. Dan biasa menanam tumbuh-tumbuhan serta bunga-bungaan di pekarangan rumah mereka untuk disantap ataupun dijadikan obat.
Keluarga kami pun jadi mengikuti kebiasaan Ibu yang selalu menyantap bunga. Ia suka menjadikannya manisan ataupun dimakan mentah. Aku awalnya sedikit bingung, tapi kucoba. Dan rasanya enak serta wangi.
Rumah kami dikelilingi banyak bunga, Ibu bilang agar ia selalu teringat dengan rumahnya. Dan aku mulai mengidap sindrom adiksi bunga. Seringkali aku sewaktu kecil bermain di pekarangan rumahku dan mengambil bunga diam-diam lalu memakannya.
Awalnya, aman-aman saja. Aku yang kecil belum mengenal jenis-jenis bunga dengan jelas. Jadi pada suatu hari, aku melihat bunga berwarna ungu indah di pojok pekaranganku. Aku mendekatinya. Dan berpikir bahwa betapa indahnya bunga itu. Logikaku sewaktu kecil berpikir, semakin indah bunga, semakin enak rasanya.
Jadi, kulahap saja bunga itu tanpa curiga. Lima menit kemudian aku merasa pusing dan jatuh terkapar di pekaranganku. Kakakku menemukanku. Dan sebangunnya aku, aku berada disebuah kamar rumah sakit dengan Ibu yang didampingi Ayah sedang menangis tersedu-sedu.
Mereka bilang, aku hampir saja mati. Bunga yang kumakan adalah nightshades, bunga beracun yang bisa membunuhku kalau saja aku telat ditangani. Aku saat itu bingung. Mengapa mereka merasa sedih?
Jujur saja, kalau kuingat masa itu, aku ingin mengutuk kebodohanku sendiri. Tapi, yang kuingat adalah bagaimana bunga itu terasa hangat ditenggorokanku. Mirip seperti obat batuk yang dibuat Nenek. Sama sekali tidak terasa seperti racun.
Ah, iya. Bagaimana aku bisa mengingat kejadian itu lagi?
Jawabannya karena pagi ini aku bertemu Haruno Sakura yang kebetulan sedang mengajukan skripsinya padaku. Ah, bukan. Aku hanya asisten dosen. Tapi tugasku sebenarnya ditambahi karena dosen yang satunya memang masa bodoh terhadap muridnya.
Ia duduk didepanku. Dengan wajah serius. Aku bisa mencium baunya yang terpaut hanya tiga meter didepanku, memabukkan. Sama seperti kemarin saat kami berpapasan. Kehadirannya seperti bunga nightshades aku tidak tahan untuk mencicipinya.
"Haruno."
"Ya, Uchiha-sensei?"
"Kau benar-benar tidak tertarik dengan hubungan?"
Sudah bukan rahasia umum lagi. Haruno Sakura terkenal satu universitas karena kecantikannya dan kepintarannya. Tapi ia selalu menolak untuk menjalin hubungan. Bahkan, katanya ia menolak untuk menikah. Aku waktu pertama mendengarnya hanya mangguk-mangguk saja, toh, aku tidak akan bertemu dengannya—pikirku saat itu.
Aku masih bisa mengingat jelas jawabannya tadi pagi setelah aku menanyakan hal itu.
"Uchiha-sensei. Maaf, kalau anda sudah mendengarnya, berarti anda sudah tahu. Dan itu menjelaskan semuanya. Lagi juga, aku butuh pendapat tentang risetku pada skripsi ini. Aku ingin mengejar yudisium."
Uh, dingin sekali.
Haruno Sakura adalah seorang mahasiswi kedokteran yang beda dari yang lain. Kalau kubilang, ia sempurna. Jujur saja, skripsinya tidak butuh penggantian apapun—termasuk titik koma yang tepat. Ia juga menjadi calon cum laude sama sepertiku ketika ia lulus nanti dari yang kudengar dari dosen-dosen yang lain.
"Ah, sial!"
Karena terlalu asik memikirkan Sakura, aku hampir menabrak tiang listrik di depan rumahku saat mengendarai mobil. Sial, gadis itu benar-benar bunga nightshades. Ia hampir saja membunuhku.
...
Hari ini, Haruno Sakura datang ke kampus dengan mengenakan jumpsuit hitam lengan pendek berbahan spandek. Aku melihatnya saat ia sedang membaca buku di kantin yang kebetulan kulewati saat ingin memesan kopi.
Aku mendekatinya dan duduk.
"Sobotta? Dari halaman awal?" ia menengok dan kembali meneruskan bacaannya.
"Ya, aku ingin mengulangnya untuk persiapan koas nanti."
"Oh."
Aku diam lalu menyesap kopiku. Ia melanjutkan bacaannya. Tapi, tidak lama setelah itu ia mendecakkan bibirnya dan menatap kesal kearahku. Ekspresif sekali.
"Uchiha-sensei. Aku tahu kau sedang istirahat. Tapi kumohon, kau mengganggu konsentrasiku, jadi tolong pergi." Ia menatapku. Rambutnya yang mulai panjang dikuncir kuda dengan sedikit anak rambut yang bebas, imut.
"Bagaimana aku mengganggu konsentrasimu kalau aku hanya diam disini?"
"Yah, aku bukan tipe orang yang bisa diganggu dengan kehadiran siapapun saat membaca. Apalagi kau sangat menggangguku walaupun hanya diam disana."
"Oh."
Aku menyesap kopiku. Mukanya memerah. Aku dan dia sadar akan apa yang dimaksud ucapannya barusan. Ia tidak bisa kalau tidak melihat kearahku meskipun aku diam.
"Kukira Haruno murid yang benar-benar nerd. Dan melakukan sesuatu dengan analisi. Tapi, kau bisa juga mengucapkan apa yang kau tidak pikirkan." Aku tersenyum tipis. Ia menunduk dan membenarkan letak kacamata bacanya.
Ia kemudian mengadah, aku kaget. Mukanya masih merah. "Y-Yah, kukira Uchiha-sensei itu tidak suka berbicara banyak. Tapi, kau bisa juga mengutarakan pikiranmu yang sebenarnya."
Meskipun tidak terdengar sebagai ejekan, aku mengagumi usahanya yang mencoba menyindirku balik. Satu ujung bibirku tertarik, aku menyeringai puas.
"Sakura."
Ia mengerjap.
Aku mendekatinya sambil menelungkupkan tanganku.
"Kau yakin kau benar-benar tidak tertarik dengan laki-laki?"
Mukanya memerah sepenuhnya. Air mata muncul dipelupuk matanya, dan mengumpul. Ia kemudian berdiri.
"Kurasa cukup. Aku pergi, Sensei."
Sepertinya, aku telah menekan tombol yang dilarang olehnya.
...
Kami tidak bertemu selama sebulan lebih. Dan saat aku menemuinya lagi, ia telah menjadi anggota kelompok koas yang perlu kubimbing sebagai residen. Kulihat ia mencebikkan bibirnya saat aku masuk keruangan disaat yang lain tengah bersyukur.
Terbersit ide lucu di otakku.
"Haruno, bantu saya tuliskan laporan untuk operasi saya habis ini." Tukasku. Ia mendelik. "Selanjutnya juga."
Ketika gadis lain menatapnya iri, kulihat Sakura menahan amarahnya.
Beberapa jam kemudian setelah operasiku yang diobservasi Sakura, ia sedang duduk di bawahku (lantai koridor rumah sakit tepatnya) dan menuliskan laporan dengan cara menghentakkan pulpen ke kertas tak bersalah.
"Kau bisa membunuhnya."
"Kurasa gelar cum laude-mu hanya omong kosong. Kau bahkan tidak tahu kalau kertas adalah benda mati."
Wow.
Sarkasmenya membaik dari terakhir kali aku menemuinya.
"Kita sama. Jangan mengejek. Kau bahkan memerah saat aku bertanya padamu waktu itu. Clumsy." Aku terkekeh pelan. Sudah lama aku tidak menemukan lawan bicara yang punya selera dry humor sepertiku.
"Apakah ini caramu untuk balas dendam?" Sakura makin menulis laporannya dengan makin menghentakkan pulpennya. "Jika iya, apa motivasimu?"
Ia bahkan telah mengentikan bahasa formalnya. Haha. "Aku hanya ingin tahu apakah benar kau tidak menyukai laki-laki."
"Ya." Ia menjawabnya dengan cepat lalu mengadah kearahku yang duduk dibangku. Aku sedikit terkesiap. "Aku tidak cocok dengan hubungan seperti itu."
Setelah mengatakan itu, ia kemudian menyerahkan laporannya kepadaku. Ia berdiri kemudian melangkah, kulihat dari sorot matanya mengobarkan kebencian. Aku tidak yakin jawabannya barusan menjelaskan semuanya.
"Sakura."
Aku memanggilnya, dari ujung lorong, ia menengok.
"Temani aku makan siang."
Ia mencebikkan bibirnya.
Tapi ia tetap melangkah balik kearahku.
...
"Kau suka parfait? Aku akan memesannya."
"Aku lactose-intolerant, Sensei."
Sakura kemudian melanjutkan sesi memakan katsu-nya. Menunya sama denganku. Semangkuk katsudon dan air putih—padahal kami sedang makan di restoran depan rumah sakit yang menyediakan menu 'keperempuanan' lainnya, tapi ia memilih makan makanan padat.
"Oh." Aku terkekeh. "Aku juga tidak begitu suka manis."
Sakura kemudian menaruh sumpitnya dimeja. "Jadi, kenapa kau ingin memesan parfait?"
"Yah." Aku menggaruk pipiku dengan jari telunjuk. "Kukira wanita suka yang manis-manis jadi aku menyarankannya."
Sakura menghela napasnya dan mengambil kembali sumpitnya. "Jadi, karena wanita kebanyakan suka yang manis-manis, kau mengambil kesimpulan seperti itu, Sensei? Ternyata kau payah juga."
Mulutnya pedas sekali, aku tertawa. "Yah, kan kalau kau tidak lactose intolerant juga mungkin kau akan makan parfait-nya."
"Kemungkinannya nol koma nol persen, karena dari aku lahir pun aku tidak bisa merasakan susu sapi karena itu." Ia bercerita tanpa sadar. Aku menopang daguku dan memandangnya.
Sudah tiga menit sejak aku menghabiskan mangkuk makanku, jadi kuhabiskan waktuku untuk memandanginya yang sedang lahap menghabiskan makanan. ia tadi mengenakan jubah putih yang sekarang ditaruh disampingnya dan dalaman kemeja biru serta celana bahan berwarna hitam. Rambutnya dikuncir cepol. Dewasa sekali.
Kalau laki-laki lain, pasti pemandangan didepanku ini akan menjadi huge turn-off untuk mereka semua. Maksudku, pemandangan wanita kurus cantik (yang memang cantik diakui semuanya) makan katsudon ukuran mangkuk jumbo yang biasa dihabiskan oleh pria salarymen.
Ia menyelesaikan makanannya, lalu menyatukan kedua belah tangannya dan menunduk hormat. Ia kemudian mengeluarkan dompet dari tasnya. "Jadi, bagianku—"
"Tidak perlu." Aku menyelanya. "Bayaranmu membantuku menulis laporan operasi."
"Terimakasih." Ucapnya lalu menaruh kembali dompet ke tasnya. "Jujur saja, untuk anak pemilik rumah sakit Uchiha seperti Sensei, porsi makanku pasti tidak ada harganya. Coba, aku dibayari yang lain, aku yakin mereka menyesal mengajakku." Lanjutnya.
Aku tertawa. "Tidak, tidak. Jujur saja, kau memang makan banyak. Tapi, ini juga bayaranku untuk tadi dan aku bisa melihat wajahmu saat makan. Ini memang tidak sebanding dengan apa yang kau tunjukkan padaku, bukan?"
Selesai mengatakan itu, Sakura menunduk. Wajahnya tidak memerah seperti kemarin-kemarin. Ia kemudian mendangak dan menatapku serius.
"Uchiha-sensei. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak menyadari apa maksudmu barusan, tapi bukannya kau sudah tahu bahwa aku tidak tertarik dengan pria?"
Aku tersenyum. Ia heran. Aku kemudian melipat tanganku di atas meja. "Bukannya tidak tertarik. Kau hanya membentengi dirimu."
"Kau tahu apa?" Sakura memandangku kesal. "Kau membuatku merasa tidak sopan disini karena kau yang membayariku makan dan sekarang aku membentakmu."
"Maka dari itu, kumanfaatkan momen ini sebagai tempat penyeranganku." Aku terkekeh, ia tidak. Tentu saja. "Kau membentengi dirimu, kau takut sakit hati."
"Tidak."
"Oh, tentu saja, iya."
Ia menatapku geram. "Tidak semua laki-laki sama. Kau tidak bisa menyalahkan semua laki-laki lain saat satu laki-laki menyakitimu."
Sakura memerah. Bukan karena malu. Tapi ia kesal, marah. "Kalau kau mau berdebat tentang konsep, silahkan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan 'kesopananku' yang barusan kuucapkan."
Aku melihatnya. "Intinya kau menyamakan semua laki-laki."
"Itulah kenapa aku benci laki-laki. Mereka berusaha sekuat tenaga mengatakan mereka berbeda padahal mereka sama." Ia mencebikkan bibirnya.
"Kenapa kau bersikeras mengatakannya walaupun dari yang kuamati sepertinya kau belum pernah merasakan 'persamaan' banyak lelaki." Aku menatapnya, ia menggigit bibir bawahnya. "Trust me, kau hanya punya pengalaman pertama yang sangat buruk hingga mengecap berikutnya seperti itu."
"Ya, aku memang punya pengalaman pertama yang sangat buruk." Sakura menatapku, ini pertama kalinya ia membongkar kenapa ia benci laki-laki. "Tapi kurasa tidak ada yang bisa membenahi memori itu, jadi ini hanyalah tentang pola pikir. Kau tidak bisa memaksaku."
"Aku bisa membenahinya."
Aku menatapnya. Ia melotot lalu berdiri dari tempat duduk kami sambil membawa tas serta jubahnya.
"Aku pamit."
Sepertinya, Haruno Sakura lulusan terbaik yang dielukan sempurna, punya kekurangan. Yaitu, satu. Ia tidak bisa menerima usulan orang lain. Kedua, ia tidak pandai dalam menghadapi situasi spontan.
Menarik sekali.
...
Sudah dua hari semenjak kejadian itu. Sakura selalu menolak dan mengacuhkanku saat aku mencoba berbicara dengannya, kecuali itu penting.
Sekarang, aku tengah berada di pantry rumah sakit sambil menyeduh kopiku. Kulihat, Sakura sedang duduk di bangku paling ujung pantry sambil membaca buku lalu sesekali menyesap kopinya. Rajin sekali.
Aku rasa, aku telah melewati batas. Jadi, aku memilih untuk tidak membantunya dan duduk di bangku yang agak jauh dari Sakura lalu menyesap kopi hitamku. Rasanya, kelelahanku sedikit mereda.
"U-Uchiha-sensei ..."
Baru beberapa detik semenjak aku duduk dan menyesap kopiku sampai Sakura datang dan mengagetkanku. Hampir saja kopi yang kupegang terlepas dan mengotori pakaianku. "Y-Ya?" aku sendiri bingung apa yang harus diperbuat.
"Aku ..." ia kemudian duduk didepanku. "... Aku telah memikirkannya dua hari ini, dan aku sadar kalau aku memang kelewatan dan tidak sopan kemarin. Jadi aku minta maaf, itu tidak sopan untuk hubungan guru-murid."
Tunggu. Tunggu.
Jadi, Sakura merasa dirinya sendiri yang kelewatan padahal aku yang kelewatan? Haha. Lucu sekali gadis ini.
"Tidak." Aku sedikit mempermainkannya, dan benar saja, ekspresi wajahnya mengetat. "Kau benar-benar kelewatan untuk usul baikku."
"T-Tapi ..." Sakura menggigit bibirnya, lalu mencengkram baju scrub-nya, wajahnya memerah. "... Itu terlalu spontan untukku yang tidak siap untuk itu ..."
"Jadi, kalau tiba-tiba di daerah tempatmu nanti pengabdian ada bom jatuh dan korban melimpah, kau juga tidak akan siap?" pancingku. Ia menggigit bibir bawahnya lagi, imut.
"Bu-Bukan seperti itu!" ia membantahku tegas, matanya tapi tetap memandang turun dan samping secara bergantian menghindari tatapanku. "Untuk soal perasaan, aku tidak bisa terlalu cepat."
"Oh, aku hanya perlu menunggu." Ujarku. Sakura memerah lagi, tapi kali ini ia tidak pergi atau apapun. "Jadi, apa kau mau mencobanya denganku?"
"A-Aku ..." ia bingung, masih tergagap. "Aku akan terkesan menyedihkan kalau aku mau setelah penolakan besar-besaran itu."
Aku tertawa, disaat seperti ini pun, ia masih memikirkan tentang harga dirinya. Benar-benar sama sepertiku. "Tidak. Kalau kau memikirkan itu terus, kau tidak akan bisa maju dan akhirnya kau yang menyesal suatu hari nanti memikirkan bahwa kau tidak pernah melangkah ke dunia luar."
Ujarku.
Ia terdiam.
Sepuluh detik.
Dua puluh.
Empat puluh.
Enam puluh.
"Mohon bantuannya ..."
Aku tersenyum.
TBC
How's the first chapter? Saya nggak biasa nulis fluff karena biasa nulis yang berkonflik berat (go check out my other fic; Diamonds) jadi saya kurang puas sama hasilnya. Saya sendiri nggak terlalu kepengen buat Sasuke jadi corny disini, tapi menurut saya, jatuhnya Sasuke corny banget. Anyway, how do i write about this? Actually, saya bikin ini karena saya pengen menyegarkan diri habis nulis yang berat-berat. And i can spend some times to write this even when i have a hectic schedule, ada aja waktunya walaupun padat jadi bisa nulis. Ah iya, ini shortfic ya, jadi paling banyak ini cuma punya tiga chapter. Dan rencananya, setiap chapter, diubah sudut pandangnya. (misal chap 1 Sasuke, chap 2 Sakura).
Sekian,
Kobayakawa Matsuri.
