Kakkoii-chan presents

BEFORE

Naruto © Kishimoto Masashi

Warning! Sakura's POV, OOC, typo, deskrip minim, setting antara chapter 699, Canon

DLDR

ENJOY!

.

.

1st Story

Before the Journey

.

.

Hari yang melelahkan seperti biasa.

Well, biarpun perang dunia shinobi telah berakhir bukan berarti keadaan desa dan orang-orangnya dalam keadaan sehat sentosa. Salah besar.

Memang perang yang melibatkan tentara gabungan dari lima desa ninja besar ini sudah berakhir sejak lima bulan yang lalu, tapi itu bukan berarti para ninja yang terluka sudah sembuh semua. Masih banyak sisa-sisa dari peperangan yang sulit untuk disembuhkan.

Berita buruknya, tidak sedikit di antara mantan pejuang perang itu harus pensiun dari tugas karena terluka parah. Dan beberapa di antaranya adalah shinobi yang sangat diharapkan oleh desa—sebut saja Naruto dan Sasuke. Padahal keamanan dan keadaan desa secara umum belum bisa dikatakan stabil sepenuhnya. Singkatnya, terjadi krisis kekurangan personil shinobi—terutama untuk level chuunin ke atas.

Sebuah tugas yang cukup berat untuk Kakashi-sensei yang baru saja dilantik menjadi Rokudaime Hokage. Namun sebuah ide jenius muncul dari Tsunade-shisou—yang untungnya memutuskan untuk menetap di desa selepas masa jabatannya berakhir, sebuah ide yang kini membuatku mendapat kesibukan baru.

Proyek pengembangan sel elemen kayu Shodaime Hokage.

Ya, sebuah penelitian untuk memanfaatkan kemampuan proliferasi sel elemen kayu yang cepat untuk menghasilkan anggota tubuh pengganti. Sederhananya sih begitu, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Setelah beberapa kali percobaan nampaknya sel elemen kayu ini tidak bisa ditransplantasikan ke sembarang orang—masih ingat dengan proyek serupa yang dikembangkan oleh Orochimaru?—dan selain itu hanya bisa dilakukan pada mereka yang kondisi syarafnya masih dalam keadaan baik.

Dan inilah kabar buruknya, karena adanya hiruk pikuk saat peperangan—sebut saja saat kemunculan Kaguya—dan minimnya ninja medis yang tersedia menyebabkan banyaknya pasukan gabungan shinobi yang terlambat mendapatkan penanganan sehingga kondisi mereka tak memungkinkan untuk mendapatkan transplantasi tersebut.

Tapi, kabar baiknya, dua pahlawan perang dunia shinobi kali ini alias Uzumaki Naruto dan Uchiha Sasuke memenuhi kedua syarat untuk mendapatkan tindakan transplantasi ini. Setidaknya Kakashi-sensei bisa bernapas agak lega karena dua shinobi terhebatnya bisa beraksi seperti sedia kala.

Sebuah suara ketukan pintu mengembalikan pikiranku kembali ke masa kini terdengar dari balik pintu. "Silakan masuk," ujarku sembari memposisikan tubuhku ke posisi duduk yang wajar.

Seorang ninja medis muncul, menundukkan kepalanya sedikit sebelum berkata, "Mohon maaf, Sakura-sensei, ada yang mencari Anda di depan."

Aku melirik ke arah jam dinding yang tergantung di salah satu sisi ruangan tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah sakit ini. Sudah hampir sepuluh malam. Pantas saja. Lagi-lagi aku lupa waktu karena mereview hasil penelitian hari ini—yang disertai lamunan di sana sini.

Tanpa banyak bertanya lagi, aku langsung keluar dari ruangan di ikuti petugas medis yang tadi mendatangiku. Ini bukan yang pertama kalinya terjadi padaku, jadi aku sudah tidak terlalu kaget—walaupun sensasi seperti banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutku masih juga tidak hilang sampai sekarang.

Dan benar saja, di sana, tepat di depan meja informasi Rumah Sakit Konoha, ia berdiri dengan segala ketampananan yang ada pada dirinya. Perlahan wajahku mulai memanas—sampai sekarang pun aku tidak akan pernah terbiasa dengan pemandangan indah ini. Uchiha Sasuke, orang yang tidak pernah bergeser dari peringkat satu di dalam hatiku.

"Sasuke-kun.." panggilku dengan desahan pelan, membuat mata hitam kelamnya menatapku. "Sudah kubilang, tidak perlu melakukan hal seperti ini," ujarku dengan nada setengah kesal. Kesal karena tindakannya ini tidak baik untuk jantung dan perasaanku yang jadi melambung terlalu tinggi. Walaupun sejujurnya setengahnya aku merasa bahagia karena kelakuannya ini.

Ia berjalan mendekatiku, membuat tenggorokanku mendadak terasa kering. "Hn, dan berhenti bekerja sampai lupa waktu," balasnya dengan nada datarnya yang biasanya. "Cepat kemasi barangmu."

Dan seperti malam-malam lainnya, aku hanya bisa menuruti kata-kata pemuda ini.

.

Before the Journey ~

.

Kalau boleh sedikit bercerita mengenai hubunganku dengan Uchiha Sasuke saat ini, sejujurnya aku sendiri tidak mengerti. Kalau menurut bahasa Ino, Sasuke ini sedang melakukan pendekatan intensif untuk menjalin hubungan lebih lanjut denganku—walaupun aku selalu menyangkalnya dengan keras. Aku hanya bisa berkata, Sasuke hanya sedang mencoba menjalin pertemanan yang baik denganku, dan kemungkinan itu dikarenakan oleh desakan dari Naruto. Dan tentu saja pernyataanku ini ditentang oleh keturunan klan Yamanaka itu—dan kali ini diamini oleh Hinata dan Tenten. Ia mengatakan aku terlalu buta membaca sinyal 'cinta' Sasuke—aku nyaris tersedak saat ia mengatakan hal ini. Sinyal cinta? Sejak kapan Uchiha Sasuke punya pemancar sinyal cinta?

Well, sebenarnya aku pernah sedikit memikirkan kemungkinan itu—hanya sedikit sekali ya aku tekankan. Tapi aku melakukan defense mechanism yang disebut dengan denial alias penyangkalan. Alasannya cukup sederhana, aku tidak mau kalau harus terjatuh setelah melambung terlalu tinggi. Jadi selama Sasuke tidak menyatakannya secara verbal—atau tindakan yang jelas mengingat kemampuan verbal Sasuke sedikit dipertanyakan—aku tidak akan membiarkan pikiranku berlari ke arah sana. Atau mauku sih begitu. Tapi apa daya, perasaan wanitaku terkadang mengalahkan logikaku.

Semua ini berawal setelah kembalinya kami ke desa setelah perang resmi ditutup, setelah pemakaman para pahlawan perang. Sebagai salah satu ninja medis dengan kemampuan di atas rata-rata, tentu saja aku mendapat tugas menangani salah satu pasien penting. Siapa lagi kalau bukan dua pahlawan perang yang telah mengalahkan Uchiha Madaran dan Kaguya—Uzumaki Naruto dan Uchiha Sasuke.

Awalnya aku masih merasa canggung dengan Sasuke. Well, banyak kejadian kurang mengenakkan antara kami—walaupun ia sudah meminta maaf. Aku setengah bersyukur Naruto dan Sasuke ditempatkan dalam satu kamar, jadi aku tidak perlu berdua dalam satu ruangan dengan Sasuke.

Selepas keluarnya mereka dari rumah sakit, mau tak mau aku harus menghadapi Sasuke sendiri. Ya, karena tidak mungkin mereka masuk berdua ketika pemeriksaan rawat jalan. Memangnya mereka pasangan yang sedang memeriksakan kehamilannya sampai harus masuk berdua? Oke, abaikan komentar terakhirku. Intinya suasana canggung di antara kami sedikit demi sedikit menghilang. Pertemuan semi-rutin di Ichiraku ramen yang diprakarsai oleh Naruto adalah salah satu mediatornya.

Tak butuh waktu yang lama untuk bisa mengatakan kami berteman baik sekarang. Ia menjadi lebih hangat padaku daripada yang pernah kuingat selama ini. Dan yang lebih mengejutkan, ia mulai sering menjemputku di rumah sakit atau mengantarkanku pulang setelah ritual bersama tim tujuh selesai. Beberapa kali ia bahkan mengajakku makan malam bersama—aku yakin itu karena ia tau aku belum makan apapun sejak sebelum berangkat ke rumah sakit. Jadi seperti inilah kami sekarang.

"Kau lama," katanya begitu aku muncul kembali dengan tas dan pakaian biasaku. Aku meringis kecil sebelum membalas, "Maafkan aku, aku lupa kau paling tidak suka menunggu."

Dan kami pun meninggalkan rumah sakit.

.

Before the Journey ~

.

Aku merasakan ada yang sedikit berbeda malam ini. Aku tau Sasuke itu tipe yang pendiam, tapi rasnaya malam ini ia lebih pendiam dari biasanya. Tatapannya juga entah kenapa terasa lebih dalam dibandingkan kemarin-kemarin. Oke, aku mulai merasakan sesuatu yang kurang mengenakkan di dalam dadaku.

Malam ini ia langsung mengantarku ke apartemen yang sudah sekitar sebulan ini aku tempati. Aku memang memutuskan untuk tinggal terpisah dengan orang tua karena aku tidak enak selalu mengganggu tidur mereka karena pulang terlalu malam. Lagipula aku sudah lama ingin mencoba hidup mandiri, lebih bebas. Dan akhirnya dengan mengerahkan semua personil tim tujuh dan tim Kakashi—minus Kakashi yang sudah sibuk dengan urusan per-hokage-annya, aku pindah ke apartemen ini. Cukup nyaman, tidak terlalu mahal, dan tidak terlalu jauh dari rumah sakit—salah satu alasan yang membuatku enggan di antar jemput oleh Sasuke.

Aku menatapnya beberapa saat, ia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia bahkan tidak menyadari kalau kami sudah sampai dan aku sudah menatapnya agak lama. "Kau mau mampir, Sasuke-kun?" tanyaku dengan suara nyaris tak terdengar.

Ia mengalihkan pandangannya ke mataku, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Biasanya ia akan menolak tawaranku, tapi malam ini ia mengangguk tanpa suara. Aku jadi semakin merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya.

Aku pun membuka kunci pintu apartemenku, membiarkannya masuk mengikutiku. "Kau mau teh, Sasuke-kun?" tanyaku lagi sembari meletakkan tasku di atas salah satu kursi di ruang tengah.

"Hn," jawabnya pendek. Tanpa bicara apapun aku segera memanaskan seceret air, dan membuatkan teh hangat untukku dan dia.

Kini dengan dua gelas teh yang masih mengepul, aku duduk mengamatinya yang masih diam di hadapanku. Sungguh, aku sudah tidak tahan dengan kesunyian yang makin lama makin menyesakkan dadaku. "Ada yang ingin kau bicarakan denganku, Sasuke-kun?" tanyaku akhirnya.

Lagi-lagi ia melemparkan tatapan dalam yang aneh padaku. "Hn, begitulah."

Tanganku mendadak terasa lebih dingin dari biasanya. Kalau memang firasatku benar, sepertinya apa yang akan keluar dari mulutnya bukan sesuatu yang bagus.

"Kau tau, beberapa minggu yang lalu aku meminta ijin pada Kakashi untuk melakukan sesuatu," ia memulai dengan suara yang pelan. "Dan ia memberikan ijinnya."

"Kau mau melakukan apa, Sasuke-kun?" tanyaku lagi dengan suara nyaris bergetar. "Jangan bilang kau akan meninggalkan desa lagi," tambahku dengan nada sedikit bercanda. Aku setengah berharap ia akan menyangkal kata-kataku itu.

"Hn, begitulah," jawabnya pendek. Ia tidak memandangku kali ini. "Besok aku akan meninggalkan Konoha," lanjutnya. Dan aku merasakan jantungku berhenti sejenak, air mataku mulai berontak ingin keluar.

Aku berjuang mati-matian untuk tidak menangis, tapi sepertinya suaraku mengkhianatiku. "Kenapa? Bukankan kau sudah tidak membenci Konoha? Bukankah semua orang di sini sudah menerimamu dengan tangan terbuka? Kenapa kau baru memberitahukannya sekarang?" tanyaku bertubi-tubi. Sasuke masih saja menjadi orang yang sulit kutebak sampai saat ini.

Ia masih diam tidak menjawab. Pandanganku mulai kabur dan pipiku mulai terasa basah, aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku kali ini. Detik berikutnya aku merasakan seseorang mengeratkan lengannya di sekeliling tubuhku, membuat mataku terbelalak lebar.

"Ini yang membuatku sulit mengatakannya, aku tidak ingin melihatmu menangis," suara Sasuke terdengar samar dari balik helaian rambut merah mudaku. Perlahan ia mengendurkan pelukannya, membuatku bisa menatap bola mata hitamnya yang menyiratkan emosi yang kompleks di sana. Ia mengusap sisa air mataku dengan jemarinya dengan lembut, "Kau terlihat lebih baik kalau tersenyum," tambahnya dengan lengkungan tipis di bibirnya.

"Jadi kenapa kau ingin pergi?" tanyaku setelah berhasil menemukan kembali suaraku yang sempat menghilang tadi.

"Aku ingin melihat dunia dengan mataku sendiri," jawabnya setelah beberapa detik diam. "Kau tau kan, selama ini aku hanya melihat semua dari sudut pandangku yang sempit hingga akhirnya aku sempat termakan kata-kata Madara. Aku ingin berubah, Sakura."

"Tapi itu bukan berarti kau harus pergi dari desa kan?" ujarku tak mau kalah.

Ia tersenyum sangat tipis, tapi bukan senyum kebahagian yang kulihat. "Kurasa ini adalah salah satu cara penebusan dosaku."

Perlahan aku merasakan mataku mulai digenangi cairan lagi. Aku benar-benar bodoh, kenapa aku tidak bisa melihat Sasuke yang masih digelayuti rasa bersalah. Dan entah keberanian darimana, aku meremas tangannya yang masih bertengger manis di wajahku, "Tapi kau pasti akan pulang kembali kan?"

"Kuharap begitu," jawabnya pendek.

"Sasuke-kun, kau harus berjanji padaku kau akan kembali kemari. Aku tak peduli berapa lama aku harus menunggu, kau harus pulang," ujarku mulai meracau. "Rumahmu ada di sini, Sasuke-kun. Dan sampai kapanpun itu tidak akan berubah."

Aku mendengar Sasuke menghela napas panjang, "Kau tau, aku merasa tidak pantas untuk terus kau tunggu."

"Yang berhak menentukan untuk pantas atau tidaknya menunggumu itu aku," ujarku sedikit marah. "Kau tidak berhak mengatur perasaanku."

"Aku memang orang brengsek yang beruntung," bisik Sasuke pada dirinya sendiri. Ia mulai melepaskan tangannya dari wajahku, kemudian ganti melingkarkan lengan kokohnya di sekitar pinggangku, membuat tubuhku yang jauh lebih kecil ini tenggelam di dalam dadanya. Kami hanya diam selama beberapa saat, sebelum ia berbisik, "Aku tidak akan marah kalau memutuskan untuk berhenti."

Dan lagi-lagi entah keberanian darimana yang merasukiku, aku menjauhkan tubuhnya untuk menatap langsung matanya, "Perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Kau harus ingat itu."

Ia mengeluarkan senyuman tipis langkanya. "Dan akupun begitu," ia menjawab.

Kami, apakah aku tidak salah mendengar yang barusan itu? Apa artinya ia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku ingin memastikannya, apa aku terlalu serakah untuk mengharapkan lebih dari pertemanan yang telah ia berikan?

"Sasuke, apa itu artinya…" kalimatku menggantung dengan tidak indahnya. Wajahku terasa panas sekarang. Astaga Sakura, kau sudah memeluk Uchiha Sasuke tadi tapi kau tidak berani memastikan perasaannya.

Ia tidak mengatakan apapun, ia malah mengambil gelas tehnya yang sudah mendingin kemudian beranjak bangkit dari posisi duduknya. "Aku harus bersiap-siap untu besok. Kau juga istirahatlah," ujarnya seolah tidak terjadi apa-apa antara kami beberapa menit yang lalu. Tangannya yang besar—dan entah kenapa terasa sangat hangat—mengacak rambutku sebelum menuju pintu depan apartemenku.

"Kapan kau berangkat? Apa aku boleh mengantarmu?" aku bertanya sembari mengejar sosoknya yang mulai menjauh.

Ia menolehkan kepalanya sedikit, "Hn. Kalau begitu sampai bertemu di gerbang desa pukul sepuluh besok."

Dan aku hanya bisa menatap sosoknya yang semakin lama semakin menghilang dalam kegelapan.

.

Before the Journey ~

.

Aku benar-benar datang mengantarnya hari itu. Hanya ada aku, Sasuke, dan Kakashi. Sesungguhnya aku ingin memastikan kembali kata-katanya tadi malam, tapi dengan adanya Kakashi di sini, kurasa itu bukan tindakan yang bijaksana. Maksudku, itu bukan hal yang bisa dibicarakan di depan orang lain.

Aku masih sedikit mencoba untuk membatalkan kepergiannya—walaupun aku tau itu usaha yang sia-sia. Seorang Uchiha Sasuke tidak akan membatalkan begitu saja tekadnya, apalagi kalau hanya aku, seorang Haruno Sakura yang menghalanginya.

Dan satu rahasia lagi, diam-diam aku sudah mengemasi beberapa barang untuk dibawa. Yah, siapa tahu ketika aku memintanya untuk membawaku bersamanya ia akan luluh dan mengiyakannya.

Tapi begitu kalimat, "Bagaimana kalau aku memintamu membawaku bersamamu?" keluar dari mulutku, ia langsung menolakku begitu saja.

"Kesalahanku ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu," tukasnya dengan tegas. Tidak ada hubungannya dia bilang? Kata-katamu itu menyebalkan sekali Sasuke. Kukira sejak yang tadi malam kau sedikit berubah.

Namun pikiranku itu semua terhapus begitu ia menyentil pelan dahiku dan berkata, "Aku akan menemuimu ketika aku kembali," lengkap dengan senyumnya. Dan demi patung Kakashi yang baru saja dibuat, aku merasakan bahwa kejadian tadi malam antara aku dan Sasuke memang benar adanya. Dan—semoga saja aku tidak salah mengartikannya—ia benar-benar menganggapku lebih dari sekedar teman biasa—seperti aku menganggapnya seperti itu. Sepertinya niat untuk tidak mengharapkan apapun dari Sasuke menguap begitu saja dari kepalaku.

Sasuke-kun, cepatlah pulang. Kau baru saja meninggalkan Konoha sebentar saja aku sudah mulai merindukanmu. Dan kuharap saat kau kembali, kau bisa menjelaskan padaku maksud dari kata-katamu dan pelukanmu saat malam sebelum kau meninggalkan Konoha.

.

.

Chapter End

.

.

YAHOOO~ akhirnya jadi juga. Wakakakakka. Sebenernya ini ide udah lama muncul, tapi berhubung saya masih mengurusi ujian dan tetek bengek yudisium jadilah baru bisa digarap sekarang. Hhe.

Sebelumnya terima kasih sudah membaca, ini pertama kalinya saya bikin fic dengan sudut pandang orang pertama. Semoga nggak abal-abal banget lah ya. Untuk ke-OOC-an saya udah nggak ngerti lagi, sudah berusaha dicegah tapi apa daya imajinasi terlalu liar untuk dikontrol. Ceilah.

Chapter ini saya persembahkan buat Kak Aya yang mau nikah bulan depan. Saya nggak tau dia akan baca apa nggak, tapi ini buat kakak. Semoga pernikahannya lancar, langgeng sampe jadi kakek nenek. Amiiin.

Daaan.. kalau sesuai rencana, harusnya ini akan jadi kumpulan oneshoot yang bertema BEFORE. Masih ada 3 lagi sih kalau dalam bayangan saya. Doakan aja bisa selesai semua. Hhe.

Sekali lagi, makasih banyak udah menyempatkan membaca. Kritik dan sarannya mohon disampaikan lewat review ya~. Salam cintah, Kakkoii-chan.

~ Jogja 14022015 01:14 ~

p.s : doakan saya lolos yudisium besok senin dan bisa dapet koass gelombang satu. Hhe.