Chapter 1, mari kita bahas soal UNBK…

dot

dot

dot

Pagi hari yang cerah, kafe Poirot kedatangan empat murid SMA dengan wajah sumringah.

Ralat.

Dengan wajah kusam, kucel, kayak kaos kaki yang dipake lima bulan berturut-turut tanpa dicuci. Jangan lupakan juga aura-aura kelam yang mengikuti mereka, rasa-rasa genre thriller. Melihat keadaan yang naas dari keempat murid tadi, Amuro berkata ke Azusa bahwa dia yang akan mengurusi mereka. Sungguh dermawan sekali.

Begitu keempat makhluk tadi (yang ternyata adalah Shinichi, Kaito, Hakuba, dan Heiji) duduk di salah satu meja yang tersedia, Amuro datang menghampiri (serta dengan mental yang siap).

"Oh, Kudo-kun! Kau datang bersama teman-temanmu ya? Mau pesan apa?" Usahanya dalam mencerahkan suasana gagal. Hukum Newton serasa di hiraukan.

Shinichi hanya menatap sang polisi yang ngaku-ngaku jadi pelayan sekaligus mata-mata organisasi dengan tatapan sayu. "Iya pak, saya pesen kopi item satu." Sama pinjem pistolnya boleh gak pak? Kata-kata selanjutnya hanya Shinichi lontarkan lewat telepati yang sukses ditangkap oleh Amuro.

Si pelayan hanya bisa sweatdrop di tempat sambil mencatat apa yang diinginkan oleh sang murid. Begitu dia ingin bertanya kepada ketiga temannya yang lain, ternyata udah keserempet duluan. "Aku pesen es teh manis, gak pake gula." Perkataan Kaito sukses membuat Amuro bingung.

"Pake micin aja boleh pak,"

Amuro pun hanya mengiyakan dan menulis 'es teh manis' pada kertasnya. Lalu, gantian lah dengan temannya lagi. "Oplosan boleh gak pak? Alkoholnya yang kata buat bersihin luka aja pak, biar maknyus." Kata Heiji asal ceplos.

Amuro tulis kopi item.

Dan akhirnya sampailah ke pelanggan yang terakhir. "Luwak white coffee" Jelas Hakuba dengan singkat.

Oh, normal batin sang pelayan muka tiga. Begitu dia selesai mencatat semuanya dia berjalan kembali menuju counter untuk segera menghidangkan pesanan-pesanan yang ia terima tadi.

Selama pembuatan minuman pesanan keempat murid tadi, suasananya hening. Tidak ada yang mau berbicara. Amuro merasa aneh, layaknya dia membuat hidangan di kuburan. Hingga akhirnya, Shinichi buka mulut.

"Pak Amuro," Yang punya nama menolehkan kepalanya kearah si detektif cilik. "Curhat boleh nggak pak?" Seketika Amuro merasa déjà vu.

Tanpa persetujuan apapun, Shinichi meluncurkan 'curhatan'nya. "Gini loh pak, masa UN soalnya gak dandan semua?" Kata Shinichi dengan tampang muka yang makin geram tiap dia menyelesaikan satu kata. Hal tersebut juga berlaku kepada ketiga temannya. "Coba deh, kita belajarnya apa, keluarnya apa?"

Heiji yang memang sudah diperkirakan emosinya tidak stabil, otomatis langsung menggebrak meja. "Iya atuh pak! Masa nanya bom mau dijatohin dimana?! Ini yang bikin Israel apa gimana sih?!" Serunya dengan nada greget. Kedua pegawai yang berada di counter hanya bisa diam sambil menatap tingkah laku mereka.

"Iya ya, apalagi itu dadu! Beuh, dikocok enam ratus kali! Logis sedikit kenapa, ya tuhaaan!" Sang magician cilik ikut melontarkan komennya yang diakhiri dengan menutup muka dengan kedua tangan dan berteriak. Hakuba saking stressnya hanya bisa mengamini perkataan teman-temannya.

Memangnya separah itukah UNBK tahun ini? Batin Amuro yang makin prihatin dengan nasib keempat anak SMA yang berada dihadapannya ini. "Terus pak! Itu ngapain ngitung jarak antara lalet sama semut yang masuk ke toples?! Kan gabut banget!!" Seru Shinichi lagi. Dan keempat (tiga maksudnya, yang satu cuman bisa mingkem) murid itu terus berkoar-koar di dalam kafe yang awalnya damai itu menjadi tempat demo.

Setelah capek setengah jam berkoar-koar, akhirnya pesanan mereka jadi juga. Mereka tampak tidak peduli dengan apa yang dihidangkan asalkan menghilangkan rasa stress pada diri mereka. Amuro yang sadar akan tidak adanya pelanggan yang lain, dia pun menarik kursi dan duduk bareng di meja keempat murid yang terlihat wasted itu.

Oh bukan terlihat, memang wasted.

"Memangnya separah itukah UNBK nya?" Amuro bertanya ketika mentalnya siap lagi. Dan pertanyaannya diberikan anggukan serempak oleh mereka. Sinkron sekali batinnya.

"Gak cuma soalnya yang parah pak. Server-nya juga!" Kata Kaito yang pandangannya tertuju kepada es the manisnya, mungkin sedikit bersyukur kalau permintaannya tadi tidak jadi realita. "Memang server-nya kenapa?" Tanya si pelayan lagi.

"Saya ga tau sih sekolah yang lain gimana, tapi di saya offline setengah jam pak! SETENGAH JAM!!" Jelas Kaito sambil menggebrak-gebrak meja. Hal yang Amuro takuti adalah meja itu sebentar lagi akan jebol.

Heiji melotot kearah Kaito, terkejut ceritanya. "Hah? Itu sekolah lu yang kata selesai setengah satu-an?!"

"Iya njir, kesel gue. Jakarta keras emang."

Heiji manggut-manggut mengerti. Sementara Amuro bingung, ini bukannya Tokyo ya?

"Jadi pak, alasan saya kesini sebenernya untuk ripresing, apalagi tadi soal Inggris gak karuan." Makanya saya tadi minta minjem pistol. Lanjutannya merupakan telepati Shinichi sekali lagi.

"Wah, bahasa Inggrisnya kenapa tuh?" Terus kenapa minjem pistol?

"Grammar-nya ngaco, vocab dicampur-campurin sama Indo, yaa gitulah!" Buat nembak kepala saya pak, mumet!

Amuro hanya tertawa garing mendengar permasalahan mereka. Curahan hati kids jaman now memang penuh warna ya… Andaikan saja keempat murid di depannya ini adalah murid normal, bukan semacam detektif dan tukang jambret cilik, maka Amuro mungkin bisa menenangkan diri mereka. Tapi masalahnya mereka nggak normal secara mental. Kalau dia kasih nasehat yang baik-baik kayak biasa, nanti malah dibacotin, kan kesel.

"Yaa, pemerintah kan memang udah bilang kalau mau memajukan mutu anak-anak di—"

"Kalau emang gitu ya gak usah masukin soal olimpiade dong paaak!" Sergah Kaito.

Tuh kan.

Ingin rasanya Amuro menangos. Masa dia kalah sama anak-anak SMA? Belum lagi dia polisi rahasia. Japan's CIA cuy! Mau ditaro dimana mukanya?!

"Ah, gara-gara UNBK, otak saya rasanya kayak di barbekiu!" Kata Kaito sambil menjedotkan kepalanya ke meja.

JDUAK

Semuanya mengernyitkan alis, ngilu dengernya. Setelah itu, tidak ada yang tau kalau Kaito masih hidup atau tidak.

Setelah berbincang cukup lama, keempat makhluk (satunya lagi masih dalam keadaan tak sadarkan diri) beranjak keluar dari kafe tersebut (dengan Heiji dan Hakuba yang menggotong Kaito keluar dengan jidatnya yang berwarna ungu)

Setelah tiga orang keluar, tinggal lah Shinichi yang masih ada di ambang pintu. Dia berbalik badan kearah Amuro yang membawa gelas-gelas kaca bekas diminum (satu lagi buat ngeguyur Kaito, tapi nihil) tadi. "Pak Amuro,"

Si empunya nama menolehkan kepalanya. "Kenapa Kudo-kun?"

"Jadi, saya boleh pinjem pistolnya gak?"

Dengan senyuman khasnya, Amuro menjawab. "G"

dot

dot

dot

Ya tuhan, bocah satu ini kenapa… Jika anda mau review, monggo. Kalau nggak, ya aku rapopo.