Moshi-moshi, perkenalkan saya Taiyo Kaze ^^ Author baru di fanfic Naruto ini dan sekaligus ini merupakan karya pertama saya. Well, author hanya ingin mencurahkan imajinasi author serta kekesalan hati author? Why? Karena di anime-nya pernyataan Hinata tidak ditanggapi oleh Naruto and for the Sasu-Hina Lovers shake, Hinata saya pasangin dengan Sasuke supaya mereka berdua bisa bahagia. :D Hinata menemukan cintanya dan Sasuke menemukan cara untuk mencintai seseorang (adil kan?). Oke, tidak perlu basa-basi lagi, dengan spirit jiwa masa muda, author persembahkan. . .

SKYSCRAPER

Rated T: Hurt, Romance

Naruto milik Masashi Kishimota dan fict ini milik saya seorang, hahay ^o^

Warning: Normal life, typos berceceran, little OOC, dan ungkin sedikit berantakan, yah sedikit. . . Happy reading minna ^-^

.

.

.

.

Pemandangan pertama yang ia tangkap saat membuka pintu apartement barunya ialah, cat dinding yang terkelupas, debu yang beterbangan menyapa indera penglihatannya, dan lantai kayu yang berderit tiap kali kakinya menapaki kayu lapuk itu. Sasuke menghela napas panjang, tempat ini lebih cocok sebagai gudang dari pada kamar apartement, ya meskipun Sasuke akui bahwa harga sewanya cukup murah.

Dua kardus ukuran medium ia letakkan di lantai, mengelap keringatnya yang sudah memenuhi wajah tampannya, Sasuke kembali harus menata barang bawaannya yang berserakan di depan pintu. Ia mengumpat saat melihat ada sobekan di futon kamarnya hingga busanya menyembul keluar, agak awut-awutan.

"Cih, apa-apaan ini."

Sasuke ingin kehidupannya yang kemarin, yang bisa berpesta pora dengan ditemani beberapa wanita cantik nan seksi, kantong yang tebal berisi kartu-kartu ATM, serta hawa dingin AC disaat dirinya berada di hotel pribadinya. Namun siapa sangka, akibat hangover yang membuatnya muntah- muntah seperti wanita hamil sehingga membuatnya dituntun seorang pelayan bar, membuatnya mendapat tamparan keras dari Ayahnya. Dan mau tak mau Sasuke harus merelakan semua asetnya disita oleh Ayah yang diseganinya itu. Malang bagi Sasuke. . .

"Sial!" umpatnya lagi begitu melihat dapur yang bobrok dan kamar mandi yang airnya terus menetes membasahi lantai. Situasi seperti ini benar-benar membuatnya frustasi. Tidak ada yang bisa ditonjolkan dari apartement ini, tapi apalah daya, uangnya pun juga pas-pasan.

Tiga jam dihabiskan bungsu Uchiha ini untuk membereskan barang-barangya. Semua sudut di kamar kecil ini sudah penuh dengan berbagai barang yang ia bawa dari mansionnya, mungkin ia harus menelpon ibunya untuk tidak mengirim sisa barang yang masih ada di rumahnya.

"Nah Sasuke, kau harus bisa bertahan." Katanya pada dirinya sendiri. Ia melangkah keluar, mengunci pintu apartement untuk belanja kebutuhan sehari-hari.

Hari masih siang, matahari bertengger di atas awan tipis yang transparan. Sasuke baru benar-benar memperhatikan lingkungan apartementnya setelah ia keluar dari kamarnya. Ada pohon sakura di depan bangunan apartementnya, cukup besar untuk ukuran pohon tua. Belum sempat Sasuke memandang lebih jauh, ia mendengar suara serak pintu terbuka. Seseorang dari kamar di sebelahnya muncul dari balik pintu itu. Seorang gadis dengan warna rambut indigo panjang terlihat kesusahan ketika hendak menutup pintu karena kedua tangannya telah membawa tumpukan buku-buku tebal.

Sasuke masih memperhatikan tingkah gadis itu tanpa niatan membantunya. Gadis itu menggunakan kakinya untuk menyeret pintu agar mau tertutup dan dengan meraba-raba ia memasukkan kunci ke lubang pintu dan menguncinya.

Sadar ada yang mengawasi, gadis itu membalikkan badanya. Kini Sasuke tahu warna iris gadis itu putih, warna yang sangat aneh pikirnya, tanpa pupil pula.

"Ah, ma-maaf." Ada rona merah di kedua pipinya saat mengucapkannya. "Aku tak tahu bila ada tetangga baru."

Sasuke masih diam, ia sama sekali tidak mengerti kenapa gadis di hadapannya ini meminta maaf.

"Kenalkan aku Hinata." Akhirnya gadis itu memperkenalkan dirinya meski tanpa ada uluran jabat tangan karena kedua tangannya memegang tumpukan buku.

"Uchiha Sasuke." Balas Sasuke. Ada rasa bangga di dada Sasuke saat ia menyebutkan marganya yang terkenal sebagai keluarga konglomerat. Ia yakin gadis yang mengaku bernama Hinata itu akan segera menatapnya dengan tatapan membelalak seperti wanita-wanita yang ia temui.

"Oh, salam kenal Uchiha-san. Maaf aku harus buru-buru." Hinata berlalu begitu saja melewati Sasuke yang kini diam seperti patung. Ya, Cuma berlalu dan sama sekali tak berbalik, seperti desiran angin yang saat ini seolah menampar wajah Sasuke.

Kening Sasuke berkerut, apa gadis itu tidak merasa takjub bisa melihat pesona seorang Uchiha dalam radius yang sangat dekat. Apa mungkin daerah ini sangat terpencil sehingga ketinggalan segala berita? Sasuke segera mengeluarkan smartphone-nya dan mengumpat habis-habisan melihat tidak ada sinyal satu pun yang tertangkap.

"Baka Aniki!" ternyata Itachi mengirimnya ke daerah terpencil yang tak terjamah era global. Mendengus sebal, Sasuke harus segera membeli bahan makanan. Ia belum makan sejak tadi pagi. Perutnya pasti sudah menggeliat hendak menggelar konser jika tak segera diisi.

.

.

"Kenapa tidak naik angkutan saja, Hinata? Lihat, cuaca sedang panas dan kau membawa banyak buku."

Hinata hanya tersenyum lembut mendengar omelan Kiba, meski seperti omelan namun Hinata tahu bahwa Kiba mengkhawatirkannya.

"Arigato Kiba-kun. Aku harus berhemat, kau tahu kan tahun ini harga sewa apartement akan naik dan kebutuhan pun kian melonjak, jadi aku harus menabung untuk keperluan semuanya."

Hinata mengisi deretan rak-rak buku yang kosong dari buku yang ia bawa. Menjadi penjaga toko buku adalah pekerjaan siangnya dan malam ia akan menjadi pramusaji di sebuah kedai kecil di dekat apartmentnya.

Kiba hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari karyawannya ini. "Tapi jangan sungkan-sungkan bila kau butuh bantuan. Aku akan bersedia membantumu."

Hinata telah selesai menata buku, ia tersenyum lagi menyambut uluran baik dari sang atasan yang juga sahabatnya itu. Sebuah bunyi lonceng terdengar ketika seseorang masuk ke dalam tokoh buku ini.

"Waktunya bekerja Kiba-kun." Ujar Hinata. Ia mengenakan pakaian rumahan yang ramah. Tersenyum pada semua pelanggan yang banyak bertanya mengenai buku yang mereka cari. Hinata sangat menyukai pekerjaannya ini. Bertemu dengan berbagai orang yang berbeda-beda tiap harinya, meskipun ada sebagian yang sudah menetap menjadi pelanggan toko buku ini.

Berbicara mengenai pertemuan, Hinata kembali mengingat pertemuannya dengan tetangga baru di apartementnya. Seorang pemuda yang cukup tampan untuk ukuran orang yang mau tinggal di daerah terpencil seperti ini.

Gaya rambutnya yang cenderung melawan arah gravitasi serta gesture yang tidak ramah membuat Hinata berasumsi bahwa ia adalah pemuda yang tidak cocok dijadikan sebagai teman mengobrol, meskipun usia mereka berdempetan.

"Mungkin aku harus menyambutnya dengan kue." Ya, biar bagaimapun Hinata menghargai semua orang, terutama tetangga barunya yang tinggal berjejer dengan kamarnya.

Hari ini toko sedang ramai. Hari minggu memang menjadi hari tersibuk bagi Hinata, tapi ia tidak mengeluh malah sebaliknya. Ia akan terus bersemangat karena hidup baginya ialah sebuah tantangan yang tidak ada siapapun yang dapat menerkah

Malam telah tiba, sebuah tulisan 'Close' terterah di depan kaca toko buku tempat Hinata bekerja. Ia merenggangkan otot-otot sembari mengeratkan syal tipis yang melingkar di lehernya. Karena ini hari minggu, maka Hinata akan segera pulang. Ia tidak perlu ke kedai untuk bekerja karena memang bukan jadwalnya bekerja di sana.

Hinata melangkah menyusuri jalanan sepi yang terdapat lampu temaram di kanan-kirinya. Sesekali ia akan menggosokkan kedua tangannya jika angin malam menerpa kulit tangannya yang tak terlindung sarung tangan. Sendirian, seperti itulah perasaannya tiap memandang rembulan di langit. Selalu di malam-malam seperti ini ia akan teringat semua perjalanan hidupnya yang terseok-seok.

"Okaa-san, aku tidak akan menyerah seperti saat okaa-san berjuang dulu." lirihnya sendu.

Sampai di dekat apartement, ia berhenti di sebuah toko roti yang menawarkan harum vanilla yang dioven. Hinata mengitari deretan roti-roti hangat dengan mata yang tertuju pada tiap label nominal harga roti. Lama berputar-putar akhirnya ia menemukan roti berlapis keju ukuran sedang yang menggiurkan serta dengan harga miring tentunya. Seorang pelayan dengan sigap mengambilkan pesanan Hinata tersebut dan mengantarkannya di meja kasir.

"Tolong anda potong sekalian dan jadikan dua bungkus." Pinta Hinata. Penjaga kasir mengangguk paham. Setelahnya, ia menyebut berapa uang yang harus dikeluarkan oleh Hinata.

Memasuki apartementnya, ia disambut baik oleh Sarutobi, kakek pemilik apartement yang sudah Hinata anggap seperti kakeknya sendiri.

"Pulang lebih awal?"

Hinata mengangguk. "Kek, ini ada sesuatu untuk kakek." Hinata menyerahkan satu bungkus berisi roti yang tadi ia beli. Sarutobi menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih Hinata."

Setelahnya Hinata kembali melangkah ke kamarnya, tepatnya di lantai dua. Di lantai dua ada enam kamar yang empat kamarnya sudah ada yang menempati. Kamarnya berada di sudut paling pojok, dan di kamar sebelah tadi ada seseorang yang ingin Hinata beri satu bungkus lagi roti sebagai tanda perkenalan yang baik.

Berdiri di depan pintu tetangga barunya, Hinata dapat mendengar sesuatu yang berasal dari dalam. Ada suara panci yang berbentur dengan lantai, sayatan pisau yang mengilukan, cetekan kompor yang terus-menerus dan ditutup dengan sebuah pekikan kecil dari arah dalam.

"Uchiha-san, kau baik-baik saja." Hinata mengetuk pintu berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada tetangga barunya. "Uchiha-san, kau di dalam?" ketukan pintu semakin keras.

"Uchi. . . "

"Berisik!" Sasuke keluar dengan wajah garangnya. Moodnya sudah buruk saat tahu bahwa dirinya akan masak sendiri dan bertambah buruk ketika mendengar seseorang menggedor pintu kamarnya dengan keras.

"Ada masalah apa kau?" sungut Sasuke.

Benar-benar mengerikan pikir Hinata. Hinata jagi gugup dan menelan ludah sendiri, ia benar-benar tidak menyangka bila membuat Sasuke marah.

"Go-gomen, tadi aku hendak memberimu kue sebagai ucapan selamat datang." Hinata memperlihatkan bungkus plastik di depan Sasuke. Sasuke memandang miring bungkus yang Hinata perlihatkan kepadanya.

"Aku tak butuh." Kedua tangan Sasuke menyilang di depan dadanya. Ia bersandar pada pintu yang terbuka, menghalangi Hinata melihat kondisi dapurnya yang jauh dari kata dapur.

Belum lama Sasuke mepertahankan posisi angkuhnya, tiba-tiba saja perutnya berbunyi nyaring.

'krucuuukkkk'

Mati-amatin Hinata menahan tawanya yang tertahan di tenggorokan. Ia tidak mau mendapat dampratan lagi karena bertindak kurang sopan..

Ah, lihat. Bahkan kedua pipi Sasuke terdapat sembut merah jambu yang transparan. Ini baru pertamakalinya ia terlihat begitu rendah di mata seorang wanita.

"Kulihat, perutmu tidak sependapat dengan perkatanmu Uchiha-san." Hinata semakin berani menggoyang-goyangkan bungkus plastik di depan mata hitam Sasuke.

Sasuke nampak berpikir sebentar. Tentu ia dapat mencium bau roti yang harum dari bungkus plastik yang disodorkan Hinata, namun harga dirinya menolak untuk takluk pada apa yang dibawa oleh Hinata. Situasi yang sangat menyudutkan bagi Uchiha bungsi ini.

Akhirnya Sasuke menyerah, ia menggeser sedikit badannya dan Hinata menangkap sinyal bahwa Sasuke mengijinkannya masuk.

Duduk di atas karpet kecil dengan meja persegi yang berada di tengahnya, Hinata meletakan bungkus itu di atasnya. Iris lavendernya melongok ke arah dapur Sasuke yang berantakan. Ada potongan sayur yang tercecer di lantai, ikan laut yang sudah tak rupa bentuknya dan juga kepulan asap berwarna hitam hasil penggorengan yang gagal keluar dari salah satu panci yang tergeletak di tempat pencucian piring.

"Aku tidak bisa masak jika itu yang sedang kau pikirkan." Wajar saja jika Sasuke tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Hinata memandang dapurnya dengan bibir sedikit terbuka dan mata yang tak berkedip sama sekali. "Aku tak tahu jika memasak itu pekerjaan yang sangat sulit." Sambung Sasuke lagi. Ada decihan pelan di akhir kalimatnya. Terlihat sekali raut wajah tampannya yang begitu gusar dan juga rasa gengsi setinggi langit yang membuat Hinata mengulum senyum tipis.

Kini bagian roti hanya tinggal satu potong. Sasuke kemudian menusukkan garpunya pada empuknya daging roti dan mencomotnya. Setidaknya benda kecil yang dulu sempat ia anggap sebagai makanan orang pinggiran dapat menahan laju cacing di perutnya agar tidak memberontak. Sedangkan Hinata, ia masih duduk diam dengan tenang, menjadi penonton yang setia.

"Dari mana Uchiha-san datang?"

Sasuke menghela napas berat, ayahnya menyuruhnya tidak membongkar jati diri dengan mengatakan pekerjaan atau alamat rumah. Ayahnya ingin Sasuke bisa mengetahui segala bentuk kehidupan yang sama sekali belum pernah ia cicipi. Hell, Fugaku memaksa Sasuke menjalani kehidupan macam rakyat jelata begini dengan harapan bisa mengubah sedikit sifat arogan Sasuke. Mengingat hal tersebut lagi-lagi Sasuke mendecih.

"Tempat tinggalku berubah-ubah, aku lebih suka tinggal sendiri." Sasuke kemudian meletakkan garpunya di samping piring yang sudah habis isinya. Hah, perutnya sudah tak terlalu melilit seperti tadi.

"Kau. . ." Sasuke menggantungkan kalimatnya.

"Sudah berapa lama tinggal di apartement kumuh seperti ini?"

Bibir Hinata manyun mendengar Sasuke mengatai apartement ini dengan sebutan kumuh, memang ada beberapa bagian dari apartement ini yang perluh diganti tapi selebihnya tempat ini masih layak untuk dijadikan tempat bernaung dari panas dan hujan.

"Mungkin sejak lima tahun yang lalu." Tangan Hinata menopang dagunya seraya mengingat-ingat awal ia tinggal disini. Sasuke terhenyak, ternyata ada juga manusia yang bisa bertahan lama di tempat yang baunya saja sudah mengantarkan bau lapuk dan jamur.

Hinata masih tetap tak mengubah posisinya. Jari-jari tangan satunya ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk meja. Sasuke intens memandang wajah Hinata di depannya. Gadis itu melamun rupanya, Mata putihnya hanya berkedip beberapa kali, kadang menyipit kadang pula melebar, ah gadis yang aneh. Tapi biarpun begitu ini kali pertama Sasuke bisa merasa nyaman berada dekat-dekat dengan seorang gadis yang baru ia kenal. Tidak ada teriakan memekakkan telinga, tarikan kasar tangan-tangan gatal, atau kerlingan mata genit yang menggoda. Hinata lebih terasa seperti air yang mengalir menuju pembawaan Hinata yang tenang benar-benar berbeda dari kebanyakan fans girlnya yang suka berteriak histeris mengganggu kenyamanan hidupnya.

"Ah, gomen. Aku melamun, ini sudah malam. Aku harus kembali ke kamarku." Hinata buru-buru mengambil tasnya yang tergeletak di sampingnya. Ia merasa terlalu tenang duduk bersama lelaki asing yang tak terlalu ia kenal hingga ia harus mengingat tiap lembaran hitam yang menyusun hidupnya.

Berdiri di depan pintu, Hinata memasang sepatunya asal. Sasuke ikut berdiri sebagai rasa hormat terhadap tamu yang akan pulang. Sedikit merapikan bajunya yang berlipat-lipat, Hinata lalu berpamitan pada Sasuke.

"Bila Uchiha. . ."

"Sasuke! panggil aku Sasuke saja." potong Sasuke cepat.

Hinata mengangguk. Lelaki di depannya ini ternyata tak selamanya bersikap dingin dan kasar. "Ne, Sasuke. Bila kau butuh bantuan apapun kau bisa meminta bantuan kepadaku, khususnya dalam hal memasak." Ada tawa halus di sela kalimat yang Hinata sampaikan.

"Aku rasa aku akan sering meminta bantuan itu padamu." Ya, Uchiha Sasuke memang berotak dangkal bila menyangkut urusan dapur.

"Jaa ne, Sasuke."

Sasuke memandang punggung kecil Hinata sebelum Hinata masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya tetap datar saja, namun ada secuil rasa hangat yang ia rasakan saat bersama gadis itu. Menggeleng pelan, Uchiha bungsu itu lalu menutup pintunya. Mata hitamnya memandang ruang tamu kecil yang baru saja menjadi tempat ia dan Hinata duduk. Hidung mancungnya mencium aroma lavender yang tertinggal, tidak terlalu menyengat atau memabukkan seperti bau parfum yang sering digunakan para wanita saat bertemu dengannya. Wangi itu lembut dan menenangkan. . .

Mungkin Sasuke bisa sedikit melihat nilai positif di tempat ini, meskipun malam ini dan seterusnya ia harus tidur di futon yang sempit dan , tanpa peduli untuk membasuh mukanya terlebih dulu, cowok bermarga Uchiha itu langsung menuju tempat tidurnya dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas futon yang ia kutuk sebagai matras brengsek. Tetapi meski dalam keadaan memprihatinkan sekalipun dan tidak sempat membersihkan diri, siapa juga yang akan mengatakan bahwa ketampanan seorang Uchiha Sasuke akan berkurang?

.

.

Lain Sasuke lain Hinata. Begitu sampai di dalam ruangannya, gadis itu segera mencuci mukanya terlebih dulu. Menghapus sisa-sisa bedak yang mungkin tertinggal. Mata bulannya memandang ke arah kaca kecil yang memantulkan wajah basahnya. Entah sejak kapan ia mulai mengingat segala apa yang ingin ia lupakan. Selama ini ia terus menyibukkan diri agar terbebas dari ingatan-ingatan yang membelenggunya, namun ketenangan yang ditawarkan Sasuke mampu membuatnya kembali mengorek sebuah luka lama yang mati-matian ia kubur.

Mengambil handuk kecil dan mengelap sisi wajahnya, Hinata memasuki kamarnya untuk tidur. Keluar dari kamar mandi Ia memandang sebentar ruangan apartementnya, begitu sepi juga dingin. Tak ada siapapun di ruangan ini selain dirinya. Matanya lalu tertuju pada sebuah bingkai foto ukuran sedang yang sengaja ia letakkan di dekat pintu.

Seorang wanita yang tersenyum lembut dengan seorang pria dewasa yang merangkul pundak wanita itu dan juga menggendong seorang anak perempuan kecil. Hinata menatap kosong pada sosok pria yang wajahnya ia buramkan dengan pen hitam. Raut kekecewaan jelas terpancar dari wajah cantiknya.

"Tou-san." Suaranya serak serta berat saat mengucapkannya. Dan seperti malam-malam sebelumnya, ia akan tidur meringkuk dengan butiran air mata yang menggenang di bantalnya.

To Be Continued

Yay! Chap pertama selesai (~^ ^)~ ~(^ ^~) bagaimana? Bagaimana? Jujur author rasa sifat Hinata sedikit OOc, namun bagaimana lagi. ini semua demi kepentingan cerita (^O^)

Author harap para reader berkenan memberi review, baik berupa kritik atau saran yang membangun.

RnR

please