13th Sister of Light

Casts : Do Kyungsoo | Kim Jongin

Genre : Romance, Fantasy

Ratting : T+

Disclaimer :

Semua cast milik Tuhan tapi cerita ini sepenuhnya milik Kak Amalia Yuli Kristanti (Valuable94). Saya hanya mengganti castnya saja

Warning :

Typo's | GS for Uke | OOC

.

Dont Like Dont Read!

.

.

.

Happy reading!

And Enjoy! ^^

Pyeongyang, North Korea

24th December 1901

Author POV

Langit hitam pekat, gerimis yang perlahan jatuh membasahi setiap kehidupan bumi, serta kilatan petir Zeus yang menggelegar menemani setiap detik rasa kehilangan yang tengah menyelimuti kawanan kuda putih bertanduk emas tersebut. Terkungkung dalam sebuah istana dengan sosok besar dan tegap sang kuda putih yang paling bersinar namun dengan tubuh tanpa nyawanya di atas ranjang batu yang menjulang tinggi, semua keagungan itu nampak layu tak berguna.

Pada akhirnya semua makhluk memang akan mati. Dengan atau tidak terhormat, rupawan atau tidak, pada akhirnya seluruh wibawa tersebut akan luruh seiring dengan usia yang telah digariskan sang Moirai bersaudara, entah benang takdir itu memang sudah waktunya diputus oleh Athropos atau memang Khloto dan Lakkhesis yang sudah menggariskannya.

Sangat tidak adil.

Tiga kata yang selalu menyelimuti salah satu Unicorn muda dengan surai putihnya yang berkilau, sangat mirip dengan sang ayah yang kini terbaring di hadapannya. Mata biru bak lautan biru safir itu tergenang oleh cairan bening menyedihkan. Ia hanya mampu menatap tubuh kosong tersebut. Berkali-kali hatinya menggumamkan kesakitan yang teramat dalam tatkala rona kesedihan itu tak hanya terpancar darinya, namun juga dari seluruh anggota kawanan ras kuda suci tersebut.

BLAARRRR

Kilat putih itu menyisakan sebuah asap yang membumbung tinggi mengitari seluruh kawanan Unicorn yang kini lebih nampak layaknya manusia-manusia dengan ukiran rupa dan tubuh yang sempurna. Mereka bukan malaikat, melainkan kawanan kuda suci yang tengah berduka karena kehilangan satu-satunya pemimpin mereka.

Raut wajah yang mengeras kini semakin nampak pada sosok tinggi tegap dengan kulit putih susu dengan surai putih lembut dan mengkilap. Perlahan, sang pangeran mendekat ke arah ranjang batu di depannya. Menunduk dalam seraya mendekap erat satu-satunya yang tersisa dari sang ayah. Tanduk emas.

Gemeretak giginya menambah dingin suasana malam ini. Seluruh kawanan mendekat ke arah pangeran yang tengah bersedih itu. Tidak, bukan hanya pangeran itu yang bersedih, tapi mereka semua, seluruh anggota kawanan.

"Biarkan ayahmu beristirahat dengan tenang bersama segala keyakinannya yang akan selalu menjadi akar kehidupan ras kita. Tuhan tidak akan membiarkan pemimpin seperti ayahmu sendirian di sana." Jongin, sang pangeran yang dengan berat hati akan mengikhlaskan kepergian ayahnya menoleh ke arah suara lembut yang menyejukkannya. Harusnya wanita itu menangis atau mungkin langsung tak sadarkan diri saat mengetahui suaminya mati. Tapi tidak, Jongin membiarkan tubuh pangerannya terengkuh tubuh hangat sang ibu yang kuat, ia bahkan malu mengakui jika ia tak pantas meneruskan kepemimpinan sang ayah karena terlalu lemah.

"Aku akan membalas semua perbuatannya." Jongin mendongak menatap yakin pada ibunya. Dahinya mengernyit saat ia melihat ibunya menggeleng sebagai jawabannya. Penolakan.

"Kau seorang raja sekarang, jangan gegabah mengambil tindakan. Semuanya akan berdampak pada rakyatmu juga," Jongin menggeleng tak setuju. Ia berdiri setegap batu karang, menerawang jauh menembus gerimis yang tak kunjung reda. Menatap yakin dan percaya diri dengan semangat mudanya yang labil. Yang ia tahu hanya membalas kematian ayahnya pada sang Lucifer, setan hina yang menamakan dirinya Tuhan.

"Aku tidak akan membiarkan Lucifer hidup lebih lama,"

"Kau tidak akan bisa membunuhnya," bantah sang ibu seraya bangkit mendekati Jongin.

"Aku bisa," ucap Jongin lantang tanpa keraguan.

"Dengan apa? Aku tidak mau kau berakhir seperti ayahmu. Mati di tangan Lucifer yang tengah kehausan mencari seorang istri,"

"Dan aku tidak akan membiarkan rakyatku mati satu persatu sebagai persembahan Lucifer selama pencarian istrinya." Bantah Jongin dengan oktaf yang meninggi, napasnya tersengal saat ia kembali membeberkan alasan kematian ayahnya. Merelakan darah murninya untuk Lucifer. Seluruh kawanan yang menyadarinya nampak menunduk murung. Mereka sadar bahwa apa yang dikatakan sang pangeran memang benar adanya. Satu persatu dari mereka setiap tahunnya akan menyusul sang raja kemungkaran yang haus akan seorang wanita, merelakan darah suci mereka sebagai ganti wanita yang tak kunjung ditemukan. Dan satu tanduk emasnya hanya akan menjadi bahan tangisan seluruh ras.

Jongin berbalik mendekati sanga ibu kemudian memegang kedua bahunya. "Aku akan mencoba bernegoisasi dengannya," ibunya menengadah tak percaya mendengar keputusan puteranya.

"Sekalipun perjanjian itu menguntungkan keduanya, kau akan tetap kalah. Dia raja dari segala kelicikan dan keburukan," ibunya menangkup wajah Jongin kuat, berusaha meyakinkan Jongin jika keputusannya dirasa kurang tepat.

Jongin melepaskan rengkuhan tersebut. Mencium kedua punggung tangan ibunya kemudian bergegas meninggalkan kawanan mereka. Membawa segala keyakinan untuk melindungi rakyatnya.

"Berhenti Jongin-ah!" titah sang ibu tak lagi menjadi prioritasnya. Saat darah kepemimpinan itu menginstruksinya untuk tetap melangkah untuk membuat perhitungan dengan Lucifer yang menjadi satu-satunya penyebab rasnya merasakan kehilangan yang begitu besar.

Langkah besarnya terhenti karena hadangan kedua prajuritnya sendiri. Jongin hanya mendengus kasar melihat dua tubuh tegap di hadapannya menghadang kuat. Dengan napas memburu disusul dengan erangan dan kilatan cahaya putih yang menyilaukan, kedua prajuritnya terpental membentur dinding istana. Ringkikan seekor Unicorn yang begitu indah terdengar menggema ke seluruh penjuru istana. Sang pangeran berlari dengan kekuatan penuh, menerjang hujan dan pepohonan pinus yang memenuhi hutan. Ia menembus portal yang menutupi pemukiman rasnya dari Lucifer dan para pengikutnya. Tanpa lelah berlari hingga akhirnya langkah cepatnya terhenti seketika tatkala ia melihat bangunan megah dengan dominasi warna merah darah dan hitam. Bangunan menyeruai gereja dengan tanda salib terbalik dan lambang pentagram. Ia menghela napas pelan kemudian bergegas masuk saat gerbang bangunan tersebut terbuka dengan sendirinya.

Tatapan memangsa sangat kentara dari para prajurit yang berwujud seperti manusia dengan kepala kerbau lengkap dengan trisula mereka. Seolah sang raja tahu jika ia akan kedatangan tamu istimewa, seluruh penghuni kerajaan hanya berdiri tegap menyambutnya meski dengan perasaan haus akan darah sucinya yang tertahankan.

Ada sedikit keraguan dalam hati Jongin, tapi kebencian yang lebih mendominasi membuatnya buta akan perasaan ragu. Ia melakukan ini untuk rakyatnya, meskipun dengan mengorbankan dirinya, seperti yang dilakukan sang ayah.

Ia terus berjalan di sepanjang lorong yang hanya diterangi dengan obor di sekelilingnya. Sampai di ujung lorong, ia kembali berhadapan dengan prajurit bertubuh aneh. Kali ini ia bertubuh singa dengan 3 kepala ular. Salah satu darinya mendekat ke arah Jongin kemudian melilitkan tubuhnya pada leher Unicornnya yang ditumbuhi surai putih nan lembut. Jika boleh jujur, Jongin benar-benar ingin muntah sekarang juga saat mencium bau amisnya.

"Lucifer tidak menerima tamu seekor hewan di sini." Ular itu berbisik di telinganya yang membuat Jongin benar-benar ingin menarik dan membantingnya sekarang juga. "Menyingkir dariku, ular menjijikkan." Hanya terdengar desisan yang menyerupai tawa. Perlahan ular itu menjauh dari Jongin. Kembali kilatan putih menyilaukan itu menampakkan sosok pria tegap, rupawan dengan balutan jubah putih bersihnya dan surai panjangnya yang berubah menjadi pendek mengkilap. Tanduk emasnya hilang dan menamakkan sosok layaknya manusia setengah malaikat.

Perlahan pintu dengan ukiran lambang yang sama dengan gerbang itu terbuka dengan pelan. Menampakkan keramaian ruangan megah tersebut. Kemegahan itu tergambar jelas dari kilauan berlian dan beberapa perabotan yang juga terbuat dari batuan mulia tersebut. Lambang pentagram dan salib terbalik di seluruh sisi ruangan, dengan yang paling besar berada di antara singgasana gereja ini. Dentuman musik yang biasa dinikmati oleh beberapa manusia di malam hari dengan gemerlap lampu yang menyilaukan mata. Bir, buah-buahan segar, makanan-makanan dengan porsi besar yang hanya dihadap oleh satu makhluk yang seperti manusia kelaparan. Beberapa pasangan pria dan wanita yang asyik mencumbui satu sama lain tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Telanjang. Menjijikkan.

Ouch. Ini amat sangat menjijikkan bagi Jongin, dimana rasnya sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kelemah-lembutan. Di sinilah kebalikannya, dimana seluruh kenikmatan dunia begitu menyilaukan mata dan memuaskan nafsu manusia, tapi tidak untuknya. Dia Unicorn yang diciptakan dari segala kemurnian.

Saat Jongin berjalan memasuki ruangan tersebut, segala keramainnya terhenti seketika. Dengusan kecewa terdengar menggema di seluruh ruangan hingga sosok berbadan besar denagn bulu lebat dan tiga tanduk di kepala kambingnya duduk di atas singgasana kebanggaannya.

Suasana riuh itu kembali meredup seiring dengan tudukan hormat seluruh pengikutnya, kecuali Jongin yang masih tertegun melihat tingginya kekuasaaan sang Lucifer bagi para pengikutnya. Sekali lagi tidak untuk Jongin, ia tersentak saat dentuman pintu di belakangnya terdengar begitu keras. Ia tahu apa yang harus ia lakukan saat tangan Lucifer menginstruksinya untuk mendekat.

Sejurus kemudian, derap langkah berat Jongin melangkah maju dengan pelan. Seluruh penghuni ruangan tersebut menatapnya dengan pandangan haus dan… Meremehkan.

Hanya beberapa langkah, hingga akhirnya ia tepat berada di hadapan singgasana Lucifer dengan deretan wanita-wanita cantik di sampingnya. Mereka berpenampilan sama, rambut hitam lurus mengkilap, wajah putih pucat dengan lipstick merah menyala, jubah hitam dengan kerah menutupi leher mereka dan tanda yang sama di lengan kirinya, tanda salib terbalik. Keduabelas istri Lucifer.

Suara dehaman besar itu seolah menjadi perintah untuk seluruh pengikutnya mendengarkan pidatonya. Mereka mendongak menatap Luifer yang dengan senyum lebar nan liciknya selalu terpendar saat bertatapan langsung dengan Jongin.

"Aku tahu apa yang kau inginkan, pangeran," Jongin sedikit kaget saat mendengar pernyataan Lucifer.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Jangan ganggu ras kami lagi!" ucap Jongin lantang, tak ingin bertele-tele lagi karena ia tahu betul Lucifer tak tahu jika kedatangannya ke sini adalah membuat perjanjian.

"Lalu, apa yang akan kudapatkan darimu jika aku melakukan perintahmu, hum?" seringaian kembali terpatri jelas di wajahnya yang menyeramkan. Hal itu membuat Jongin semakin geram dan ingin segera menyelesaikan perjanjiannya pada Lucifer.

Jongin nampak terdiam beberapa saat. Ia menunduk dalam saat sadar jika tak ada yang bisa ia tawarkan untuk Lucifer sebagai gantinya. Ia hanya berbekal keberanian kemari. Lalu apa yang harus ia berikan? Dirinya sendiri? Yah, mungkin benar apa yang di katakan ibunya, ia hanya akan berakhir seperti ayahnya jika tetap memaksa.

Beberapa saat setelah terdiam, akhirnya Jongin memutuskan untuk memberikan hal yang setimpal sebagai ganti perjanjiannya dengan Lucifer. "Apapun." Hanya itu. Mungkin akan sangat berharga untuk Lucifer dan akan menjadi hal yang menimbulkan banyak kesengsaraan bagi dirinya sendiri dan mungkin juga rasnya kelak.

Tawa menggelegar Lucifer membuat telinga Jongin memekak. Seperti tawa kemenangan dan Jongin sangat tak menyukainya. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan Lucifer dan Jongin memang tak menyukainya dari awal, bahkan sebelum mereka bertemu, dan jauh saat ia hanya mendengar namanya dari kedua orang tuanya sebagai raja iblis yang kejam.

"Kau yakin?" Jongin mendongak, hendak membuka mulutnya saat ingin menyuarakan ketidaksukaan saat Lucifer meragukan keyakinannya namun tercekat saat ia mulai merasakan sesak di dadanya karena pasokan oksigen yang terhenti saat bayangan hitam itu mencekat leher putihnya dengan cepat.

"Aaa~ tidak. Yakin ataupun tidak kau harus tetap melakukannya untukku."

"AAKHH!" Jongin mengerang saat cengkeraman di lehernya semakin menguat hingga tubuhnya terangkat ke udara. Otot tangannya bermunculan saat tak kalah kuatnya juga ia mencoba untuk melepas cengkeraman itu namun tak kunjung lepas.

"Dengar pangeran tampan. Sebenarnya aku bisa saja membunuhmu dengan tanganku sekarang juga. Tapi… kurasa permainan tidak akan menarik jika kau langsung mati seperti ayahmu," darah Jongin berdesir hebat saat ia mendengar Lucifer menyebutkan ayahnya.

"Kau sama sepertinya. Merelakan diri sendiri untuk kepentingan rakyatnya. Tsk, itu sangat tidak menyenangkan," Jongin masih berusaha meronta hingga akhirnya kilatan putih menyilaukan itu kembali membuat seluruh ruangan itu menyipitkan mata mereka disusul dengan suara tebukan seperti benda terjatuh tapi itu bukan benda, itu Jongin yang terbatuk dengan napas tersengalnya terduduk lemas. Cekikan itu masih terasa membakar lehernya.

"Katakan saja apa yang harus aku lakukan, bajingan." Lucifer kembali menyunggingkan seringaiannya seraya mengusap pelan telapak tangannya yang terkena cahaya dari Jongin. Terbakar.

"Kau sangat tidak sabaran sekali,"

"Aku hanya akan meminta satu hal kecil darimu. Mungkin lebih tepat dikatakan kau hanya perlu meneruskan perjuangan ayahmu,"

"Maksudmu, kau…" Tanya Jongin mencoba menerka.

"Ya. Tepat sekali. Aku ingin kau mencarikanku seorang istri. The sisters of light ke-13. Seorang perawan yang lahir pada bulan purnama ke-666 di tahun naga api. Gadis itu memiliki perisai seekor naga berkepala singa dengan sisik emas. Jika kau bisa menemukan gadis itu, aku akan melepaskan ras kalian, selamanya."

Itu mustahil. Batin Jongin. "Ta…tapi apakah memang gadis itu benar-benar ada?" tanyanya ragu.

"Tentu saja. Sayangnya hanya pada gadis berperisai itulah aku tak bisa melacak keberadaannya. Sekalipun harus menunggu sampai beratus-ratus tahun, aku akan tetap menanti kedatangannya, dan jika kau tak berhasil mendapatkan gadis itu dalam waktu 250 tahun, maka kau akan bernasib sama seperti ayahmu. Dan satu lagi, rasmu juga akan lenyap di tanganku jika kau melanggar perjanjian ini."

Sial. Jongin terus saja mengumpat atas permintaan Lucifer. Tidak, dia takkan pernah mundur sekalipun harus mencarinya selama 250 tahun, sekalipun hasilnya nihil. Ia bertekad akan tetap mencarinya meskipun ia sendiri tak begitu yakin apakah akan ada seorang gadis yang lahir di purnama ke-666. Tidak, sekalipun itu mustahil ia akan tetap mencarinya. Tekadnya sudah terlanjur membulat.

"Baiklah. Aku akan melakukannya."

Jongin mencoba berdiri meskipun sedikit terhuyung. Ia bangkit seraya memegang lehernya yang terasa semakin memanas. Letupan panas itu bukan hanya terasa di lehernya tapi kini juga terasa di sekujur tubuhnya.

"AAAKHH! Brengsek! Apa lagi yang kau lakukan padaku, HUH?" kembali tawa Lucifer itu menggema disusul dengan para pengikutnya. Tubuh Jongin kembali limbung seiring dengan panas yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Panas itu membuat tubuh Jongin menghitam seperti hangus terbakar namun raganya masih tetap utuh hingga suara rintihannya berubah menjadi ringkikan seekor Unicorn. Bukan Unicorn putih nan bersih melainkan Unicorn hitam kelam, sama dengan surainya. Tidak juga dengan tanduk emasnya namun berganti dengan tanduk sehitam batu bara.

Perlahan ringkihannya terhenti diiringi dengan napas tersengal. Ia terbatuk keras dengan kucuran keringat di sekujur tubuhnya. Dan tawa di seluruh ruangan tersebut kembali menggelegar.

"Kau, akan tetap menjadi Unicorn hitam bersama para rasmu selama pencarian gadis itu. Jika ia bisa merubahmu kembali, maka riwayatmu akan tamat beserta seluruh rakyatmu." Tubuh Unicorn hitam Jongin tertunduk lemas. Ia tahu, bahwa semua sudah terlanjur dan ia tak mungkin kembali lagi ke masa dimana ia akan mendengarkan nasehat ibunya dengan baik.

112 years later

Pyeongyang, North Korea

24th November 2013

11 a.m

"Kyungsoo-ya, kau tidak lupa memakai mantel bukan?"

"Tidak nek." jawab gadis itu malas.

"Topi?"

"Sudah." Kyungsoo masih sibuk bersiap dengan sepatunya tanpa menoleh ke arah sang nenek yang tengah menyiapkan sarapan. Sejurus kemudian, perhatiannya teralih saat ia merasakan tepukan pelan di bahunya. Kemudian terasa syal rajutannya menghangatkan lehernya yang tak tertutupi apapun.

"Nenek sudah siapkan bekal untukmu. Jangan lupakan kesehatanmu. Besok kau harus pulang dengan selamat, arrachi?" gadis tersebut tersenyum patuh pada neneknya. Ia membenarkan kupluknya kemudian memasukkan bekal makanan dari neneknya dan beranjak menjauhi pintu belakang rumahnya. Langkahnya terhenti sesaat tatkala ia merasa ada yang kurang darinya.

Ia berbalik menuju salah satu kandang kecil di samping pintu rumah. Membukanya, kemudian menarik keluar sang penghuni, si hewan gembul dengan warna dark chocolate, telinga panjang, dan kumis putih yang kontras dengan warna bulunya.

"Aish~ bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu kelinci manis." Gadis itu tersenyum puas seraya menciumi kelinci kesayangannya tersebut. Ia bergegas kembali seraya menggendong kelinci tersebut, berjalan pelan menyusuri area persawahan luas yang tertutupi salju di belakang rumah sebelum akhirnya ia bertemu dengan perbatasan hutan yang selama ini terlarang bagi siapapun untuk memasukinya. Tapi tidak untuk gadis itu, papan peringatan reot yang sudah lapuk termakan jaman itu tak lagi menakutinya karena di sanalah ia bisa hidup dengan bahagia saat semua speciesnya menolak untuk berdekatan dengannya. Mereka bilang dia gadis aneh.

Ia memasuki kawasan hutan tersebut tanpa rasa takut sedikitpun, awalnya tempat itu memang terlihat hanya kumpulan pepohonan pinus yang menjulang tinggi dengan hiasan semak belukar di bawahnya yang memenuhi jalan setapak tempat kaki gadis itu memijak. Ia menyingkap tanaman-tanaman yang menjuntai menutupi jalannya. Sekitar satu kilometer, entah hanya gadis itu saja yang bisa melihatnya atau orang-orang itu yang justru terlalu penakut untuk masuk ke dalam hutan hingga melewatkan pemandangan yang begitu indah ini.

Rerumputan hijau layaknya padang savanna yang luas dengan banyaknya Unicorn berwarna hitam kelam hidup bahagia di sana. Ia bergegas memasuki kawanan tersebut yang juga menyambutya dengan baik. Secepat kilat mereka berubah menjadi sosok menyerupai manusia dengan jubah hitam menjuntainya, Kyungsoo memeluk gerombolan anak-anak dari kawanan tersebut mengerubunginya. "Noona, apa kau bawa makanan lagi?" Gadis itu mengangguk cepat kemudian mengeluarkan kotak makan yang harusnya jadi bekalnya. Ini sangat menyenangkan, baginya. Setidaknya ia masih bisa diterima sekalipun mereka adalah hewan, tidak sepenuhnya sebenarnya. Mereka lebih ramah daripada manusia, menurutnya. Sayangnya, ia hanya bisa bertemu dengan mereka saat bulan bersinar penuh, dan saat ia akan melepaskan kesakitan penuh dalam tubuhnya di samping abu kremasi kedua orang tuanya.

Bulan purnama ke-11 di tahun ini. Mungkin juga akan menjadi bulan terakhirnya ia mengunjungi tempat ini. seorang pemuda dengan tinggi yang tak jauh darinya mendekatinya.

"Kau mau mampir dulu?" gadis itu menggeleng.

"Aku harus segera menemui ayah dan ibu." Kyungsoo bergegas meninggalkan kawanan tersebut keluar dari sebuah gerbang. Ia menghela napas berat saat berhadapan langsung dengan dua pohon pinus yang berjajar rapi di depannya. Ia membungkuk sebentar kemudian meletakkan dua bunga mawar yang ia bawa dari rumah pada masing-masing pohon tersebut.

Semilir angin siang ini begitu sejuk dengan langit yang mendung. Ia memutuskan untuk duduk bersandar pada salah satu pohon tersebut. Meletakkan ranselnya dan memangku kelincinya. Masih banyak waktu untuknya bersenang-senang dengan alibi menemani kedua orang tuanya. Ia mulai mengeluarkan kertas ukuran A4nya lengkap dengan pensil sketsa yang sudah teraut rapi kemudian mulai menelanjangi setiap sudut hutan indah tersebut. Ia mendengus kesal kemudian membolak-balik kertas yang sudah hampir terisi penuh oleh sketsa hutan tersebut dari sudut yang berbeda-beda.

"Huufft… membosankan." Gerutunya seraya membanting kertas dan pensilnya. Kelinci dalam pangkuannya tersebut dengan sigap mengambilnya kemudian meletakkannya tepat di samping gadis itu dan berlari menjauhinya. Sadar saat kelinci kesayangannya itu menjauh, gadis itu mengejarnya hingga tanpa sadar ia melewati portal yang selama ini melindungi kawasan tersebut.

Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kawasan ini. Sebenarnya tempat itu hampir sama dengan hutan yang lain, hanya saja hawa kegelapannya akan segera menyergapmu tatkala dingin yang mencekam itu menyelimuti tubuh tiba-tiba. Ia ragu saat akan meneruskan langkahnya mengejar kelinci tersebut. Dengan langkah pelan dan pandangan waspada ke seluruh hutan, ia berteriak berkali-kali memanggil kelincinya yang sudah menghilang.

Sraakk.

Tak ada pergerakan lagi darinya. Ia mematung melihat dengan cepat sekelilingnya. Kanan, kiri, depan, belakang, bawah, tak ada. Mungkinkah…

Buuk.

"AAARRRGGGHHH!" gadis itu terpekik keras saat tubuh kelinci tak berdaya itu jatuh di depannya dengan luka menganga di bagian leher. Ia sadar sudah terlampau jauh dari jangkakuan teman-temannya dan tidak akan mungkin ada bantuan untuknya. Ia berbalik, matanya terbelalak denga mulut menganga saat seekor kambing mengerikan dengan tubuh manusia dan mata semerah darah berada di belakangnya.

Tubuh gadis itu lunglai begitu saja, tubuhnya memaksa untuk mundur. Keringat dingin mengucur saat tubuh makhuk aneh itu semakin mendekatinya. Tidak, di saat seperti ini perisainya tak akan mampu melindunginya, malam ini adalah tepat saat ia kehilangan segala pelindung diri dan adalah sebuah kesalahan besar jika ia keluar dari portal yang telah ditentukan.

Gadis itu tetap berusaha bangkit meskipun kakinya terasa amat lemas hanya dengan melihat wajah mengerikan itu. Langkah gontainya ia paksakan untuk berlari, tak lagi ia pedulikan tawa makhluk di belakangnya yang berjalan santai hampir menyamai langkahnya yang tergesa.

"AAKKHH!" gadis itu memekik keras saat benda tajam itu berhasil menggores pergelangan kaki kirinya dan menghentikan langkahnya pasti. Samar, tanduk yang baru saja melukainya itu tertarik kembali ke atas kepala sang pemilik, si makhluk mengerikan. Kyungsoo meringis kesakitan seraya mencengkeram kuat luka lebar di kakinya. Sepertinya tanduk itu beracun.

Di tengah kesakitan yang mendera, Kyungsoo terlihat pasrah saat ia tak tahu apa yang harus ia lakukan tatkala melihat makhluk dengan seringaiannya itu kembali mendekatinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Meminta tolong? Oh, tidak mungkin. Bahkan sang Unicorn hitam pujaannya itu tak… Tunggu, Unicorn hitam? Yah, ia ingat jika Unicorn hitam itu akan datang saat ia menggumamkan namanya dengan penuh harap. Sejurus kemudian Kyungsoo menggenggam kedua tangannya, menggumamkan nama Unicorn hitam tersebut dalam gemetar tubuh yang hebat karena pengaruh racun itu.

Kyungsoo memejamkan matanya erat saat tangan besar makhluk itu bermaksud mencengkeramnya. Lama, ia tak merasakan kesakitan yang bertambah dalam tubuhnya. Hanya semilir angin yang mengayunkan surai hiram panjangnya dengan suara ringkikan kuda gagah dan erangan mengerikan yang tiba-tiba menghilang.

Ia baru berani membuka mata saat tubuhnya terasa terangkat ke dalam gendongan seorang pria. Punggung lebarnya yang terasa hangat membawanya berlari begitu kencang hingga dalam waktu singkat ia kembali terduduk bersandarkan pohon pinus, tempatnya semula.

"Kau terluka?" pertanyaan bodoh, tentu saja iya. Batin Kyungsoo kesal. Kalau saja tubuhnya tak lemas mungkin ia sudah menghadiahkan bogem mentah ke pipi mulus pria ini. Perlahan Kyungsoo menarik sedikit celananya hingga menampakkan luka di bagian kaki kirinya. Pria itu mengelus pelan luka itu kemudian begegas mencari duri di semak belukar terdekat. Ia kembali mendekati Kyungsoo kemudian menggoreskan duri tersebut pada jarinya dan meneteskan darah putih peraknya ke luka Kyungsoo. Tidak butuh waktu lama, luka itu kembali terbungkus kulit putih Kyungsoo. Ia bangkit dari sandarannya, memeriksa lukanya yang sembuh dengan cepat.

"Woaahhh, apakah ini benar-benar sudah sembuh?" tanyanya tak percaya. Ia mengusap bekas ukanya dengan keras dan tak terasa sakit sama sekali.

"Jangan berlebihan, kau sudah sering melihatnya, bukan? Berterima kasihlah padaku," Kyungsoo menoleh ke arah pria di sampingnya dengan pandangan jijik. Cih. Pria ini, cerewet dan selalu menyakitkan hati hanya dengan beberapa patah kata saja.

"Terima kasih Jongin-ssi, kau menyelamatkan hidupku kali ini," sedikit tidak ikhlas memang tapi dalam hati ia benar-benar berterima kasih karenanya.

"Aku sudah sering menolongmu," protesnya.

"Kau perhitungan sekali padaku," Pria itu menyandarkan pungungnya pada salah satu pohon pinus di samping Kyungsoo. Sebenarnya mulut cerewetnya itu bisa saja berkata jika ia yang akan mati berdiri jika melihat Kyungsoo celaka sedikit saja. Tapi tidak, ia lebih memilih diam daripada mendengar ejekan gadis kecil di sampingnya itu.

"Kau benar-benar manusa bodoh, harus berapa kali kubilang padamu untuk meminta bantuanku sedini mungkin. Untung saja aku tidak terlambat tadi."

"Aku lupa." Jawab Kyungsoo masih kesal.

"Kurangi sifat pelupamu itu, kau bisa saja terbunuh racun Baphomet tadi."

"Iya, iya, aku tahu, kenapa hari ini kau cerewet sekali?"

"Dicereweti saja kau masih ceroboh, bagaimana kalau aku diam sebentar saja?"

"Aish~ berhenti bicara! Kau benar-benar mirip nenekku,"

"Kenyataannya aku bahkan lebih tua dari nenekmu." Kyungsoo mendengus kasar saat mendengar pria itu begitu pandai bersilat lidah hingga ia selalu kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Yah, sepertinya sifat pelupa itu memang harus segera ia kurangi. Pria itu bahkan sudah berusia 200 tahun tapi otaknya masih encer, lebih encer dari gadis 19 tahun sepertinya. Kyungsoo terdiam mengamati wajah lembut Jongin dengan mata terpejamnya. Rambut hitam kelam dengan poni menutipi dahi sampai alis, hidung mancung, kulit kecoklatan dan lingkar hitam di bawah matanya. Jubah hitam panjangnya tak mampu menyembunyikan tubuh egap seorang pangeran dalam dirinya. Seharusnya dia masih berusia 25 tahun jika di dunia manusia. Batin Kyungsoo kagum.

Mereka kembali terkungkung dalam diam. Kyungsoo terlihat sibuk menulis hangul namanya dan Jongin dalam lingkaran berbentuk hati hingga tanpa sadar ia memekik pelan saat tubuhnya terhuyung ke samping ketika tubuh besar Jongin menggeser duduknya. Hatinya mencelos saat Jongin memerhatikan tulisan yang ia buat dengan penasaran.

Memerhatikan tulisan di depannya dengan aneh. "Ini… apa artinya?" Kyungsoo menghela napas lega. Harusnya ia ingat jika pria menyebalkan itu tak tahu arti tulisan manusia dan harusnya ia juga ingat jika pria menyebalkan di sampingnya ini adalah pria yang ia sukai. Pria yang 12 tahun ini menemani segala kesakitannya di hutan ini, di samping makam kedua orang tuanya. Mungkin dia gila, menyukai seorang kakek-kakek. Hey, umur hanyalah sebuah angka saat kau bicara tentang cinta.

"Aku membencimu." sahut Kyungsoo kesal. Ini lebih menyebalkan, saat kau merasakan cinta sepihakmu karena kau sendiri yang memulainya tanpa diketahui oleh orang yang kau sukai.

"Aish~" Kyungsoo mengeucutkan bibirnya kesal karena poninya ditarik kasar oleh Jongin.

"Ayo kita pulang, sebentar lagi bulan purnama akan muncul." Jongin kembali berbalik menatap Kyungsoo yang hanya terduduk memeluk kedua lututnya. Tak mau beranjak.

"Ayo pulang!" titah Jongin kembali. Dan Kyungsoo menggeleng.

"Aku mau menemani ayah dan ibu di sini," Jongin menghela napas kesal melihat kekeras kepalaan gadis itu.

"Sudah cukup kau menemani mereka dengan rintihan kesakitanmu selama ini. malam ini adalah purnama ke-11, kau mau mereka mendengar yang lebih parah dari yang biasa mereka dengar?" sejenak Kyungsoo nampak berpikir, ia ragu saat melihat uluran tangan Jongin. Ada benarnya memang.

"Cepat sedikit, kau mau seluruh penghuni hutan juga mendengar teriakanmu?"

"Baiklah." Ia menyerah. Seringai kemenangan itu semakin membuat Kyungsoo pasrah menuruti kemauan Jongin. Ia menaiki punggung Jongin saat sosok pria tampan itu kembali menjadi seekor Unicorn hitam.

"Ayo jalan!" titahnya seraya menarik surai hitam Jongin yang sangat lembut seperti menarik kuda. Jongin mendengus seraya mengibaskan surainya hingga mengenai wajah Kyungsoo.

"YA!" protes Kyungsoo tak lagi ia hiraukan, ia melajukan langkah cepatnya membelah pepohonan pinus yang semakin gelap.

Kyungsoo meringis pelan saat pemukiman kawanan Jongin terlihat tak begitu jauh, rintihan Kyungsoo yang semakin lama semakin mengeras saat goresan salib terbalik di tangan kirinya semakin membakar tubuhnya, membuat Jongin semakin melajukan langkah kakinya lebih cepat dari sebelumnya. 'Bertahanlah! Sebentar lagi.' Batin Jongin seraya memacu syaraf adrenalinnya semakin tinggi. Dadanya bergemuruh saat perlahan hangat di punggung Jongin semakin terasa, tanpa sepengetahuannya tubuh Kyungsoo terkungkung dalam merah api yang berbentuk seperti ular.

Mereka sampai di gerbang pemukiman, dengan cepat Jongin berlari menuju istananya. Secepat kilat ia membawanya ke sebuah ruangan yang terlindung oleh portal yang hampir sama seperti di luar lingkungan istana, mengungkung pekikan keras Kyungsoo layaknya ruangan kedap suara. Tubuh Unicornnya kembali menjelma menjadi sesosok pria tegap dengan jubah hitam kebesarannya, menggendong Kyungsoo, kemudian dengan hati-hati meletakkan tubuh Kyungsoo yang dingin dan bergetar hebat dengan tangannya yang mencengkeram erat jubah Jongin.

Jongin memeluknya erat, memberikan kekuatan pada gadis lemah yang mencoba mencari perlindungan darinya. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Mungkin hanya hangat yang dirasakan Jongin saat ini, namun bagi Kyungsoo, ini terlampau panas. Puncak dari segala panas yang biasa ia rasakan pada purnama biasanya.

"PANNAAAASSS~ AKU TIDAK TAHAAAANNN!" Kyungsoo menggeleng keras. Mencengkeram baju Jongin, bersandar pada jubahnya yang ikut basah karena keringatnya.

"AKU INGIN MATI SAJA. SAAAKIIITTTT!"

"Bertahanlah, ini bukan pertama kali kau mengalami ini." Jongin berusaha menguatkan meskipun kenyataannya itu tak berarti apapun untuk Kyungsoo.

"JONGINNN TOLONG AKU!" oh Tuhan. Ini bukan kali pertama untuk Jongin tapi hatinya masih saja mencelos saat ia tak mampu berbuat apapun untuk gadis yang ia cintai kali ini. Jika saja darahnya bisa membuat Kyungsoo kembali tenang, ia akan dengan senang hati memberikannya.

"AARRGGHHHH!" cengkeraman pada baju Jongin semakin menguat, suara Kyungsoo tercekat berganti dengan geraman singa yang mengakhiri segala penderitaannya malam ini. Jongin menghela napas lega, terus saja mengelap peluh di wajah Kyungsoo saat gadis itu memejamkan matanya dengan napas tersengal. Jongin ingin menangis, sejujurnya. Melihat gadis yang ia cintai menderita kesakitan tanpa ada pertolongan, wajah pucatnya semakin membuat Kyungsoo terlihat menyedihkan.

Perlahan Jongin mengusap lembut tubuh Kyungsoo. menyingkirkan selongsong sisik ular emas yang menyelimuti tubuhnya. Ia mendekatkan bibir penuhnya menyentuh dahi Kyungsoo yang basah karena keringat. Jongin menghisapnya habis hingga tubuh dan baju Kyungsoo kembali mengering. Kenyataan inilah yang membuatnya tak bisa jauh dari Kyungsoo.

112 tahun ia mencari, kemudian menyembunyikan gadis itu dari Lucifer karena ia juga membutuhkan cairan tubuhnya. Setidaknya itu yang membuat darah Jongin tetap murni. Itu dulu, karena sekarang gadis kecil periang telah tumbuh menjadi gadis yang cantik, dengan segala kecerobohan dan sifat pelupanya. Ia manyukainya, bahkan mencintai segala hal dari gadis itu.

Salahkan ia jika mencintai buruannya. Buruan yang harusnya ia berikan untuk Lucifer 12 tahun yang lalu. Tidak, jangan menyalahkan cinta karena ketidakptepatan ini. kau, tak akan pernah bisa memilih pada siapa kau akan jatuh cinta. Pilihannya adalah mau melepasnya atau berkorban dan mempertahankannya. Dan sejauh ini ia lebih memilih mempertahankannya. Tidak setelah purnama ke-12.

Kyungsoo's House

8 a.m

"AW! Nenek hati-hati mencabutnya," suara gerutuan Kyungsoo terdengar begitu jelas di kamarnya sementara neneknya hanya tersenyum jahil seraya membawa nampan berisi satu sisik emasnya keluar kamar. Kyungsoo mengelus pelan lengannya yang masih terasa sakit, menikamati hangat sinar mentari yang muncul malu-malu dari balik awan. Ia turun dari ranjang, menikmati semilir angin pagi yang membawa suara tawa riang dari anak-anak dari pemukiman warga yang tak jauh darinya.

Ia hanya bisa menerawang jauh keluar rumah kecilnya dengan perlindungan portal tak kasat mata yang diberikan Jongin 12 tahun lalu, ingin sekali pergi kesana. Tapi sayangnya ia tak bisa, akan sangat berbahaya jika ia nekat melewati portal yang dibuat Jongin. Ia juga tak mau bertemu dengan Baphomet mengerikan seperti kemarin siang.

"Sarapan dulu," tepukan pelan di pundaknya menyadarkan Kyungsoo jika ada neneknya di kamar. Ia turun menuju dapur mengikuti sang nenek. Menatap gembira sup labu kesukaannya kemudian dengan lahap menyantapnya. Hanya butuh beberapa menit untunya menandaskan satu mangkuk sup paling lezat buatan neneknya.

"Nenek," panggilannya hanya dijawab dehaman.

"Apa aku sudah pantas untuk menikah?" Tanya Kyungsoo ragu.

"Memangnya berapa usiamu sudah berani menanyakan hal seperti itu?" sahut neneknya kemudian kembali menyesap supnya.

"Tidak, hanya bertanya saja." Kyungsoo menunduk kecewa atas jawaban nenek. Yang ingin ia dengar adalah jawaban iya, bukan pertanyaan.

"Wae? Kau sedang jatuh cinta?" Kyungsoo mendongak menatap neneknya yang sudah selesai dengan supnya.

"Siapa laki-laki itu?"

"Bukan siapa-siapa, nenek juga mengenalnya," ujar Kyungsoo resah.

"Jongin?" sergah neneknya.

"Aish~ nenek terlalu pandai membaca pikiranku," neneknya tertawa keras saat melihat pipi Kyungsoo memerah.

"Bagaimana bisa kau menyukai anak itu?"

"Em. Aku hanya berpikir untuk melengkapi keanehan hidupku saja,"

"Apa maksudmu bicara seperti itu?" protes neneknya dengan nada tak suka.

"Selama ini semua orang menganggapku aneh karena aku hidup bersama dengan seekor naga berkepala singa dan bersisik emas dalam tubuhku. Mereka menganggapku monster. dan mereka menganggapku orang sesat karena tanda salib terbalik di pergelangan tanganku. Apa mungkin untukku menikah dengan manusia biasa?" neneknya terdiam seketika, menghela napas pelan saat menyadari apa yang dikatakan cucunya itu memang benar. dan kini mereka terasingkan ke tempat ini selama 12 tahun. 7 tahun setelah kelahiran Kyungsoo dan kematian kedua orang tuanya, itu semua karena manusia-manusia normal itu menganggap mereka monster.

"Tapi Jongin, dia berbeda dariku tapi kami sama," sambung Kyungsoo kembali menyadarkan lamunan sang nenek.

"Iya, kalian sama-sama aneh,"

"Neneekk~" protesnya dengan nada manja.

"Hahaha. Kau benar-benar menyukainya?"

"Lebih dari sekedar itu, selama ini Jongin adalah pahlawn bagiku. Dia Unicorn aneh yang sangat baik meskipun cerewet. Dia bahkan lebih cerewet darimu,"

"Aku senang bersama mereka. Mereka lebih dari sekedar keluarga yang melindungi nenek dan aku."

"Tapi kau juga memberikan kontribusi yang besar untuk mereka, keringatmu bisa membuat darah mereka yang terkutuk oleh Lucifer murni kembali."

"Itu hanya balasan kecil saja,"

"Aish~ Kurasa kau terlalu buta karena Jongin,"

"Kalau saja aku bisa lepas dari Lucifer, mungkin aku sudah melamarnya sekarang juga."

"YA! Mana ada perempuan yang melamar laki-laki?"

"Aku yang akan memulainya,"

"Aish~ berhenti melamunkan hal-hal aneh. Imajinasimu terlalu tinggi." Kyungsoo mengekor langkah neneknya bergegas mengangkat piringnya menuju dapur.

"Nenek setuju jika aku menikah dengannya?" Tanya Kyungsoo saat membantu mengelap piring yang sudah bersih. Kyungsoo mendelik takut saat melihat tatapan neneknya seperti malas membahas topik tentang 'Menikah dengan Jongin'.

Keesokan harinya

"Tidak ada salju hari ini, cuaca jadi sedikit cerah. Kau mau menolong nenek?" Kyungsoo hanya menoleh sesaat ke arah neneknya seraya menyiram bunga di depan jendela yang tertutup.

"Kau mau membawakan beberapa pakaian ini untuk anak-anak di sana?"

"Taruh saja di kamarku! Aku akan mengantarnya bulan depan," ketusnya. Nenek Kyungsoo hanya menggeleng pasrah melihat kemarahan cucu satu-satunya. Dan sayangnya sebentar lagi ia akan kehilangan gadis itu, memberikannya untuk Lucifer.

"Aaa~ nenek hampir lupa. Berikan mantel ini pada Jong… ah~ maksudku calon cucu menantuku," Kyungsoo melompat mendekati neneknya kemudian memegang bahunya, mencoba meyakinkan.

"Nenek tidak bercanda?" tanyanya girang.

"Aish~ cepat kerjakan saja sebelum aku berubah pikiran." Kyungsoo melihat bungkusan pakaian itu dengan mata berbinar . Dengan semangat ia mengambil kupluk, sarung tangan, dan mantelnya kemudian mengambil kembali bungkusan tersebut.

"Nenek, berdoalah pada Tuhan agar Jongin menerima lamaranku." Ucapnya semangat. Neneknya mengangguk pasti.

"Eoh, bagaimana jika aku menginap di sana untuk beberapa hari?" tawarnya lagi.

"Terserah kau saja," Kyungsoo memekik senang seraya melompat-lompat. Ia membukakan pintu dan melangkahkan kakinya cepat hingga hamper saja terpersok salju tipis di depannya

"YA! Perhatikan jalanmu!" teriak neneknya khawatir. Kyungsoo malah memeletkan lidahnya seraya menunjukkan jempol kanannya.

Hutan

"Noona, baju ini bagus. Ini untukku, kan?"

"Tentu saja,"

"Eonni, bajuku yang ini sudah kekecilan. Bolehkah aku meminta satu?"

"Ini memang untukmu anak manis," Kyungsoo mencubit pipi cubby anak perempuan di sampingnya. Ia Nampak sibuk membagikan mantel-mantel hasil jahitan neneknya untuk anak-anak tersebut. Tak jauh darinya nampak 2 orang pria seumuran duduk dengan cokelat panas di cangkir mereka, memperhatikan Kyungsoo.

"YA!" Jongin mendengus saat ia merasakan panas di jari kelingkingnya yang baru saja dimasukkan Sehun ke dalam cokelat panas.

"Kau selalu lupa berkedip saat melihat gadis itu."

"Bukan urusanmu." Jongin melanjutkan tegukan ketiganya.

"Kyungsoo-ah!" cokelat Jongin tumpah dari mulutnya saat gadis itu melambai riang kemudian beranjak dari duduknya dan berlari ke arah mereka. Jongin salah tingkah. Ia mencoba membenarkan letak bajunya yang sudah rapi. Sehun hanya tertawa menyindir melihat tingkah konyol Jongin.

"Sehun Oppa!" Bruukk! Jongin melangkah cepat menangkap tubuh Kyungsoo yang terhuyung karena tersandung potongan kayu di bawah tumpukan salju, semetara Sehun hanya tersenyum malu melihat dua orang di depannya itu.

"YA! Perhatikan jalanmu!" Kyungsoo segera melepaskan tangan Jongin dari tubuhnya. Kemudian bergegas duduk di samping Sehun, diikuti Jongin.

"Aku membuatkan ini untukmu," Sehun menunjukkan ukiran kayu berbentuk setengah hati dengan tulisan nama Kyungsoo.

"Woahhh! Daebakkida~ kapan kau membuatnya?" Jongin mecibir sikap berlebihan Kyungsoo.

"Semalam, ini karena suruhan J…"

"YA! Kenapa kau menginjak kakiku?" protes Sehun.

"Jaga mulut besarmu itu! Dasar."

Jongin beranjak meninggalkan Kyungsoo dan Sehun yang masih terheran melihat sikapnya. Ada yang tidak beres memang. Tapi ia tidak tahu apa itu. "Eoh, kenapa bentuk hatinya hanya setengah?" Tanya Kyungsoo.

Jongin termenung dari balkon kamarnya, ia tak menyadari tatapan ibunya yang mengikuti matanya. Sedari tadi, ia hanya mengamati Kyungsoo bermain dengan anak-anak di lapangan. Jongin tersenyum seraya menggeleng, menghela napas pelan, mengusap dahinya pelan seraya menggeleng memikirkan betapa gilanya ia hanya karena melihat senyum gadis itu.

"Kalau kau menyukainya katakan saja."

"Eoh, Eomma. Sejak kapan ada di sini?" tanya Jongin kikuk seraya menggaruk tengkuknya canggung.

"Jangan jadi pria pemalu. Kau seorang pangeran. Suatu saat nanti kau juga membutuhkan seorang penerus, sebagaimana kau meneruskan kekuasaan ayahmu,"

"Tapi kami berbeda, lagipula sebentar lagi dia akan segera menikah dengan Lucifer,"

"Apa kau juga akan merelakannya untuk Lucifer begitu saja?" Jongin terdiam.

"Jika kau memang berniat menentangnya, lakukan dengan penuh keyakinan. Rakyatmu pun akan yakin, jika kau melakukannya karena baktimu pada Ras kita. kau tahu dengan jelas Jongin, mereka rela menanggung kutukan ini bersamamu, membantumu menjaga gadis itu dari Lucifer sebisa mungkin. Semua karena gadis itu membawa kebahagiaan untuk mereka," Jongin kembali mengingat saat pertama kali gadis itu kemari. Mencairkan segala suasana duka karena kutukan Lucifer.

Jongin mendongak saat merasakan usapan lembut di kedua bahu tegapnya, membalas lembut tatapan hangat sang ibu. "Mereka juga ingin memeberikan kebahagiaaan pada Kyungsoo, apa mereka juga akan rela gadis itu dimiliki Lucifer? Tidak."

"Perbedaan akan membat kalian terlihat semakin lucu." Jongin tersenyum mendengar pernyataan ibunya. Benarkah? Haruskah ia mengatakannya sekarang?

Tokk tokk tokk

Suara ketukan pintu membuyarkan pergolakan batin Jongin. Ibunya beranjak membukakan pintu. Jongin semakin salah tingkah saat ibunya memilih keluar kamarnya dan meninggalkannya bersama Kyungsoo dengan jubah hitam di tangannya.

Jongin berbalik tak ingin menambah ritme detakan jantunganya yang sudah cepat menjadi semakin cepat, mengalihkan perhatiannya kembali menatapi bulan purnama yang sesekali menampakkan diri dari balik awan hitam. Meski hanya sekilas, Jongin mampu melihat perubahan wajah pucat Kyungsoo kemarin malam menjadi lebih merah sekarang. Ia menghembuskan napas pelan mengalihkan segala gusarnya saat Kyungsoo berdiri tepat di sampingnya dengan bahu yang saling melekat.

"Ini untukmu," Kyungsoo menyerahkan mantel tersebut tanpa menoleh Jongin. Sejujurnya apa yag dirasakannyapun sama dengan Jongin. Hanya berdua di kamar seorang pria. Oh, menggelikan sekali.

Jongin mendengus seraya meraih mantel itu cepat. "Sampaikan rasa terima kasihku pada nenekmu."

"Em." Singkat. Karena itupun sebenarnya sudah susah payah ia ucapkan.

"Kau tidak ikut bermain di bawah?" Kyungsoo berusaha mencairkan suasana.

"Aku tidak suka keramaian." kata Jongin seraya menikmati langit malam.

"Kenapa kau jadi pendiam? Biasanya kau cerewet sekali kalau bersamaku,"

"Apakah harus seperti itu?"

"Iya, kurasa,…"

"Aku senang saat kau mengatakan banyak kalimat padaku, memarahiku. Itu semua membuatku senang," Jongin mengernyit heran, ia mengalihkan pandangannya ke arah Kyungsoo yang tengah tersenyum. Oh sial, semua ini membuatnya kembali gila. Bisakah ia berteriak di depan gadis ini untuk berhenti tersenyum dan membuatnya terpesona? Sayangnya tidak, ini terlalu indah untuk ia lewatkan.

Kyungsoo menghela napas dalam, perasaan ini sudah ia tahan selama 12 tahun. Saat pertama kali ia melihat sosok pria dewasa yang merengkuhnya dalam kesakitan pertama yang ia rasakan. Memberikannya teman-teman baru yang menyenangkan, keluarga baru dalam lingkungan yang baru dan sekali lagi, ini sangat menyenangkan baginya. Jongin, bukan hanya pahlawan baginya, lebih dari sekedar itu. Kejujurannya yang mengaku jika ia membutuhkan gadis itu untuk diberikan pada Lucifer sejak awal. Ia tak pernah keberatan akan hal itu. Jikapun pada akhirnya mereka tak akan bersatu, setidaknya ia bisa menggunakan kesempatan terakhirnya malam ini ia bisa mengungkapakan perasaannya pada Jongin.

"Aku…"

"Aku mencintaimu." kedua mata Jongin dan Kyungsoo sama-sama terbelalak. Kyungsoo kini telah berada dalam rengkuhan protective Jongin sementara pria itu sibuk mengatur kembali detak jantungnya setelah mengatakan kata keramat yang ia pendam lama. Mereka sama-sama terperangah, mengatakan hal yang sepertinya sangat tidak mungkin mereka katakan karena setiap hari pekerjaan mereka hanya beradu mulut saja.

Kyungsoo menunduk malu saat Jongin melepas pelukannya. Lamat, suara kekehan tawa terdengar semakin jelas dari mulut Jongin. Kyungsoo menggerutu dalam hatinya. Bagaimana bisa laki-laki ini tertawa di tengah situasi canggung seperti ini.

"YA! Tidak ada yang lucu."

"YA! Kenapa kau memukul kepalaku?" protes Jongin saat ia merasakan kerasnya pukulan Kyungsoo mendarat di kepalanya.

"Berhenti tertawa! Sama sekali tak ada yang lucu." Ketus Kyungsoo.

"Yang tertawa aku kenapa kau yang marah," balas Jongin tak kalah ketus.

"Kubilang berhenti ter… euummpphh…" Kyungsoo melenguh panjang saat bibir penuh Jongin menyapa bibirnya dengan lembut dan menyesapnya pelan. Kaget karena ciuman tiba-tiba Jongin, ia hanya mampu terdiam. Mungkin mencoba menikmati, karena sesungguhnya ini adalah kali pertama ia merasakan ciuman seorang laki-laki.

"Sekarang, berhentilah memukul kepala kekasihmu." Jongin mengatakannya di tengah pagutan panas mereka.

"Akh!" pekikan pelan Kyungsoo karena gigitan Jongin di bibir bawahnya membuat Jongin dengan bebas menyelusupkan lidahnya melilit lidah Kyungsoo, mengajaknya bermain di dalam mulutnya. Kaku, itu yang Jongin rasakan pada tubuh Kyungsoo yang kini kembali berada dalam rengkuhannya. Pelan, ia mengusap rambut halus Kyungsoo yang terurai. Memberikannya ketenangan.

Seringaian Jongin muncul saat ia tahu jika Kyungsoo mulai terbiasa membalas ciumannya seraya memejamkan mata. 'Gadis pintar.' Batin Jongin penuh kemenangan.

Jongin semakin mengeratkan pelukannya seraya menikmati pergumulan yang tak kunjung selesai di bibir mereka. Jongin mengangkat Kyungsoo pelan, secara tak langsung ia menginstruksi Kyungsoo untuk melingkarkan kedua kakinya di pinggangnya. Jongin membawanya ke arah ranjang, menghempaskan tubuh Kyungsoo dengan sedikit tak sabar hingga mau tak mau pergumulan bibir mereka terlepas karenanya, menyisakan engahan napas keduanya yang membuat hawa di kamar Jongin semakin memanas meskipun tertiup angin malam dari balkon.

Kyungsoo hanya tertunduk malu saat Jongin mencoba mengunci pandangannya ke dalam manik mata hitam kelam milik Jongin. Mata itu yang selama ini memenjaranya dalam kekaguman akan sosok Jongin.

Jongin mengangkat dagunya, menginstruksinya untuk kembali menatap Jongin. Kekasihnya, yang mungkin sebentar lagi akan menjadi suaminya. Persetan dengan Lucifer, toh setan itu tak ada hak apapun atas kehidupannya.

"Menikahlah denganku!" singkat namun terasa begitu dalam merasuk dalam palung hatinya. Kyungsoo tak menjawab, hanya kembali menarik tengkuk Jongin dan memenjarakan keduanya dalam pagutan tak terlupakan.

Malam ini. Sehari setelah malam paling menyakitkannya. Ia menyerahkan seluruh hati dan raga untuk selalu berbakti pada Jongin, suaminya. Desahan dan erangan kenikmatan itu saling bersahutan sepanjang malam, deruan panas napas mereka mengiringi malam dingin yang indah. Saat jerit kesakitan itu menandai kepemilikan Jongin atas Kyungsoo dan desahan napas lega menyertai hangatnya cairan cinta mereka yang bersatu dalam rahim Kyungsoo. Menandakan sebuah kehidupan baru yang akan segera bernyawa, tidak lama lagi.

Mereka terengah saat tubuh tegap Jongin yang berkeringat masih setia mengungkung tubuh Kyungsoo. Simpul manis tertarik di bibir mereka. Bahagia, untuk cinta mereka yang bersatu. Beberapa saat kemudian tanda di tangan kiri Kyungsoo terasa kembali membakar, membuatnya meringis kesakitan.

"Wae?" Tanya Jongin khawatir seraya menggenggam tangan Kyungsoo.

"Aku tidak tahu, ini tidak seperti… Oppa, matamu…" seru Kyungsoo kaget.

"Kenapa?"

"Biru," lirihnya seraya mengusap kedua bekas lingkar hitamnya yang menghilang.

"Apa?" Jongin bangkit. Tak menghiraukan tatapan aneh Kyungsoo. Ia bergegas menuju cermin besar di samping ranjangnya. Beberapa saat kemudian Kyungsoo mengikutinya dengan balutan selimut putih sebatas dadanya kemudian memakaikan jubah hitam Jongin pelan. Jongin masih sibuk mengamati peubahan mata dan bahkan kini rambutnya mulai berubah.

"Oppa, jubahmu," Kyungsoo tertegun seraya menutup mulutnya yang menganga kagum karena perlahan mulai menampakkan warna putih bersihnya. Jongin menarik simpul senyumnya. Inilah dirinya, yang sesungguhnya. Bersih dan suci.

"Kutukannya hilang." Seru Jongin seraya menarik pelan tubuh Kyungsoo ke hadapannya. Memegang bahu Kyungsoo kemudian memeluknya dengan erat.

"Aku kembali." Kyungsoo mengangguk cepat, mengusap pelan punggung Jongin. Apakah ini keajaiban? Ia bahkan tak pernah memikirkan akan melihat sosok asli Jongin.

"Terima kasih" Jongin mengecup lama dahi Kyungsoo. menyalurkan setiap rasa cinta dan harunya. Kebahagiaan yang berlipat-ganda.

BLAARRR

Deraan petir yang bersahutan itu memecahkan romansa kedua insan itu. Raut wajah mereka berubah, ada kekhawatiran yang menyelimuti malam ini. Mendung, petir, dan angin yang datang. Mungkinkah ini pertanda jika mereka harus mendapatkan kesedihan yang berlipat ganda pula?

TBC / END ?

Annyeong! Aku bawa ff baru tapi ini BUKAN cerita saya, saya hanya ngeremake castnya.

Aku suka sama ceritanya makanya tak remake, FF buatan author Valuable94 itu bagus-bagus dan ini salah satu karyanya yang saya suka!

Sebenernya ff remake ini buat selingan dan permintaan maafkuu karna belum bisa ngelanjutin ff'ku yang abal-abal itu -.-

Oke cukup sampai disini saja saya ngomongnya :3

Sampai jumpa Chap depan, itupun kalau kalian ingin kelanjutannya :)