Ketika pagi itu sekretaris Grimmjow berkata ada seorang calon klien yang ingin menemuinya, pria bermata sian tersebut sama sekali tidak menyangka bahwa calon klien yang dimaksud adalah Renji Abarai, seorang pemain basket profesional yang sukses membawa Las Noches Titans menjadi juara liga nasional selama empat tahun berturut-turut. Seorang pemain basket profesional yang disebut-sebut sebagai salah satu atlet terbaik di dunia. Seorang pemain basket profesional yang pernah menjadi brand ambassador setengah lusin merek lintas negara, mulai dari produk furnitur, kosmetik khusus pria, hingga alat-alat olahraga.
Seorang pemain basket profesional yang saat ini tengah terseret kasus pembunuhan berdarah tingkat kedua.
"Selamat pagi, Tuan Jaegerjaques," sapa Renji begitu memasuki ruang kerja Grimmjow. Dari penampilannya pria itu terlihat seperti berusaha keras agar dirinya tak dikenali sebagai selebriti. Mengenakan celana katun dan sweater lengan panjang yang berukuran dua nomor lebih besar serta sebuah topi rajut untuk menutupi warna merah rambutnya yang menyala, Renji memang terlihat jauh beda dari gaya berpakaiannya yang biasa. Dikenakannya pula sebuah kacamata hitam berbingkai lebar yang kemudian ia lepas sebelum mengulurkan tangan kanan untuk menjabat sang penyelidik swasta.
"Pagi," sahut Grimmjow. "Ada yang bisa kubantu?"
"Tentu. Saya memang datang kemari karena membutuhkan bantuan Anda." Renji melayapkan pandangan ke sekeliling ruangan. Namun tak dilihatnya satupun barang yang bisa dibilang mencolok ataupun menarik perhatian. Jelas sekali bahwa Grimmjow tidak ingin ada orang yang membaca kepribadiannya dari tata ruang tempatnya bekerja. Tak ada lukisan ataupun diploma yang dipajang di dinding, apalagi tanaman pemanis dan pot bunga. "Boleh saya duduk?" tanyanya begitu ia yakin tak menemukan tanda-tanda Grimmjow akan mempersilakannya menempati kursi seberang meja.
"Duduk saja," kata Grimmjow tak acuh. "Dan jangan ber'saya-anda' karena aku benci formalitas."
"Baiklah," Renji duduk. Lalu ditunggunya sebentar sampai Grimmjow bertanya lagi, "Jadi apa yang bisa kubantu?'
"Aku yakin kau sudah bisa menebak bantuan macam apa yang kubutuhkan."
Gelak kering dari dasar kerongkongan Grimmjow sempat terdengar sebelum pria itu membalas, "Pembunuhan tingkat kedua atas korban bernama Kaien Shiba. Kau sudah resmi jadi tersangka, kalau aku tidak salah. Kenapa polisi tidak menahanmu?"
"Bail," jawab Renji. Jutaan dollar memang sudah dikeluarkannya demi menjauh dari dinginnya jeruji besi penjara kota. "Tapi pengadilan menyita pasporku."
"Jadi benar kau adalah orang terakhir yang terlihat bersama korban?" tanya Grimmjow. Tak ingin disebutkannya keterangan resmi kepolisian yang menyatakan bahwa sidik jari Renji ditemukan di hampir seluruh lokasi pembunuhan. Tak juga Grimmjow menyebut hasil tes urine yang membuktikan kalau kadar alkohol dalam darah pemain basket itu berada di atas ambang batas toleransi ketika peristiwa tersebut terjadi.
Renji mengangguk. "Karena itulah aku butuh bantuanmu. Aku ingin kau menemukan bukti bahwa aku tidak bersalah."
Sebelah alis Grimmjow terangkat naik mendengarnya. "Apa kau benar-benar tidak bersalah?"
Tak ada alasan bagi Renji untuk tidak menjawab dengan mantap, "Aku tidak bersalah."
"Dan kau tak percaya pada usaha polisi menuntaskan kasus ini," tebak Grimmjow. "Itukah alasanmu datang kemari?"
"Kau pasti tahu polisi Hueco Mundo itu seperti apa. Jika tidak bisa menemukan pelaku sebenarnya, mereka akan memaksaku untuk mengaku."
Grimmjow mengangguk paham. Hukum memang selalu meletakkan bobot pengakuan di atas bobot barang bukti. Tak heran jika setengah pelaku kriminal yang ditangkap sepanjang tahun kemarin rela mengaku demi mendapatkan plea bargain dari jaksa wilayah setempat.
Renji lalu mengeluarkan dompetnya, mencari sebuah kartu nama yang terselip di sana. Disodorkannya kartu nama itu sambil berkata, "Ini kartu nama pengacaraku. Aku sudah berpesan padanya untuk membagi semua keterangan yang kau perlukan sebelum memulai investigasi."
"Aku belum bilang bersedia, Abarai," tukas Grimmjow tanpa antusiasme.
"Aku tahu," sahut Renji maklum. "Tapi kumohon pertimbangkanlah. Akan kubayar berapapun yang kau mau."
Terbayang jelas di benak Grimmjow betapa Renji sudah lelah menjadi buruan wartawan dua puluh empat jam sehari. Tapi bagaimanapun juga Grimmjow tetap paling enggan menyelidiki kasus yang tidak membuatnya tertarik seperti ini. Jika melihat dari betapa yakinnya pengakuan Renji barusan, Grimmjow berani bertaruh kalau pria berambut merah itu memang tidak bersalah. Masalahnya, lelaki bermata sian itu paling benci mencari bukti untuk seseorang yang sudah jelas-jelas tidak melakukan kejahatan. Grimmjow lebih menyukai kejahatan yang kotor, yang pelik dan melibatkan banyak tangan.
Satu-satunya alasan Grimmjow menerima uluran kartu nama tadi adalah rasa penasaran. Penasaran tentang pengacara mana yang dipilih oleh tersangka kriminal berstatus figur publik seperti Renji. "Ichigo Kurosaki?" bacanya keras. "Pengacara muda yang bergabung dengan tim pembela Mascaron Paints dalam kasus sengketa tanah melawan Pemerintah Kota Las Noches itu?"
Renji mengiyakan.
"Wah, ternyata kau memang sudah nyaris putus asa, Abarai," Grimmjow berkomentar. "Pengacara seperti Kurosaki pasti tarifnya mahal sekali. Aku bahkan bisa memprediksi kalau orang itu akan berhasil mengisi satu kursi di parlemen sebelum usianya genap tiga puluh tahun."
Senyum bangga mengembang di wajah Renji. "Kebetulan saja Ichigo adalah teman masa kecilku."
"Apa itu berarti dia memberimu diskon?'
"Bukan cuma diskon." Renji bertutur, "Ichigo bahkan dengan sukarela mengajukan diri untuk menjadi pembelaku tanpa bayaran sepeserpun."
Wow. Grimmjow bersiul mendengarnya.
-x-
-x-
Disclaimer: I don't own Bleach
Warning: AU, slash, a bit OOC, chara death(s). Main pairing Grimmjow/Ichigo. No chara bashing purpose. Don't like don't read.
-x-
-x-
-x-
An Innocent Defendant
-x-
-x-
-x-
-x-
-x-
Lift yang dinaiki Grimmjow mengantarkannya ke lantai 35 gedung Ambrosia Tower, salah satu pusat perkantoran dengan biaya sewa paling mahal di seantero Hueco Mundo. Bunyi denting terdengar sesaat sebelum Grimmjow bergerak menyusuri koridor sambil melihat lagi alamat yang tertera pada kartu nama pemberian Renji untuk terakhir kali. Lalu sampailah ia di depan sebuah pintu yang memajang nama Ichigo Kurosaki dalam huruf cetak berwarna platinum. Dibukanya pintu tersebut dan dimasukinya sebuah ruangan depan yang dijaga seorang perempuan molek berambut pendek.
"Selamat pagi," sapa si perempuan berkulit gelap eksotis. "Ada yang bisa saya bantu?"
Tanpa menyahut sapaan itu Grimmjow berjalan menghampiri meja sang wanita yang kemungkinan besar adalah sekretaris di kantor tersebut. Kemudian diulurkannya kartu nama yang ia bawa sembari berkata, "Renji Abarai memberikan kartu nama ini padaku." Sebab jika Grimmjow susah payah mengutarakan niatnya bertemu dengan Ichigo Kurosaki, ia yakin perempuan itu justru akan segera mengusirnya karena belum membuat janji temu.
T. Hallibel, nama sekretaris itu, menerima kartu yang diulurkan Grimmjow dan melihat sepintas lalu nasib sepotong kertas yang sudah tertekuk dan lecek di beberapa bagian. "Silakan tunggu di sini sebentar," kata Hallibel mempersilakan seraya menunjuk kursi tunggu di sudut ruangan. "Biar saya beritahukan dulu kedatangan Anda pada Tuan Kurosaki."
Grimmjow mengangguk.
"Nama Anda?"
"Grimmjow Jaegerjaques."
Hallibel mengernyit sesaat. Susah juga rupanya melafalkan nama tamu yang satu itu. "Jangerjackz?"
"Jaegerjaques." Grimmjow mengoreksi, "Jaeger, pemburu dalam bahasa Jerman dan jaques, seperti dalam nama orang Perancis atau Spanyol."
Hallibel mengangguk paham, lalu segera menghilang ke ruangan lain. Sementara Grimmjow membuka jaket panjang yang ia pakai dan duduk di kursi yang tadi ditunjuk oleh sang sekretaris. Tampak olehnya tumpukan majalah mingguan dan koran pagi yang tertata dalam baki majalah. Iseng saja Grimmjow meraih satu surat kabar yang berada paling atas, Las Noches Times, yang halaman pertamanya menampilkan artikel berjudul 'Espada: The Hidden Scandal'. Artikel tersebut mengulas rumor yang mengatakan bahwa perusahaan senjata kenamaan Hueco Mundo, Espada Arms, diam-diam menyuplai senjata ke sejumlah organisasi kriminal dan tentara pemberontak di berbagai negara konflik. Bagi produsen produk pertahanan yang dinakhkodai Sosuke Aizen itu, rumor seperti ini memang bukan yang pertama kalinya. Sepuluh tahun lalu seorang pria dengan berani muncul di depan publik dan menyatakan bahwa dirinya memiliki bukti keterlibatan Espada Arms dalam memburuknya perang saudara dan pertikaian etnis di empat belas negara miskin. Namun sebelum pria tersebut sempat dimintai keterangan secara resmi, ia keburu meninggal setelah kereta yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan meluncur jatuh ke dasar jurang.
Grimmjow merengut. Kalau menilai dari betapa banyaknya koneksi yang Aizen punya dan besarnya suap yang bersedia ia berikan, rasanya mustahil rumor ini bisa dibuktikan kebenarannya.
"Tuan Jaegerjaques?" Hallibel memanggil. "Tuan Kurosaki sudah menunggu Anda."
Grimmjow bangkit sambil melipat lagi surat kabar yang ia baca dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah itu diikutinya Hallibel menuju sebuah ruangan lain yang memiliki akses langsung terhadap pemandangan pusat kota Las Noches dan daerah sekelilingnya. Hallibel sendiri hanya sekedar membukakan pintu saja. Meninggalkan Grimmjow bersama seorang pria berumur dua puluh-sekian tahun dengan rambut oranye mencolok dan sepasang mata amber yang menyiratkan sejuta nyali.
"Selamat pagi, Tuan," sapanya professional sembari menghampiri Grimmjow dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Perkenalkan, nama saya Ichigo Kurosaki."
Sang tamu balas mengulurkan tangan. "Grimmjow Jaegerjaques, PI."
"Private Investigator? Apa Anda penyelidik swasta yang disewa oleh klien saya Renji Abarai?"
"Tidak juga," jawab Grimmjow. "Aku belum bilang bersedia." Kemudian Grimmjow berbohong, "Tapi kupikir tidak ada salahnya datang kemari dan mendengar pendapatmu tentang kasus ini. Siapa tahu kau bisa membuat permasalahan Renji jadi sedikit lebih menarik buatku." Padahal kasus Renji hanyalah alasan yang dipakainya agar bisa bertemu langsung dengan Ichigo.
Sang pengacara tersenyum saja. "Percayalah, Tuan Jaegerjaques. Anda pasti akan tertarik," ujarnya. "Silakan duduk."
"Namaku Grimmjow. Dan tolong sebut saja 'kau', bukan 'anda'."
Alis Ichigo terangkat naik, seperti berusaha mencerna bahwa Grimmjow bukanlah orang seperti dirinya. Grimmjow merupakan pria berinsting tajam dengan basa-basi tingkat dasar dan kepribadian kucing jalanan. Sedangkan di saat yang sama Grimmjow diam-diam membenarkan semua pendapat orang tentang sosok Ichigo Kurosaki. Ya, badannya tegap. Ya, garis wajahnya keras. Dan ya, si buah stroberi itu adalah tipe lelaki yang bisa membuat pakaian seperti apapun terlihat menarik asalkan dia yang mengenakannya.
"Jadi, apa lagi yang perlu kutahu tentang kasus ini?" tanya Grimmjow kemudian. "Selain bahwa Renji terlihat bersama korban sebelum pembunuhan itu terjadi, sidik jarinya yang ditemukan di tempat kejadian dan kondisinya yang setengah mabuk."
"Alasan polisi menetapkannya sebagai tersangka bukan hanya itu ," Ichigo memulai. "Tapi juga karena Kaien Shiba sempat meraih ponsel dan menekan lima digit angka pada saat-saat terakhirnya sebelum tewas karena kehabisan darah." Di sini Ichigo sengaja mengambil jeda sejenak, membiarkan Grimmjow membayangkan kondisi korban yang ditemukan di atas tempat tidurnya dengan pisau menancap di punggung dan tangan kanan yang memegang telepon genggam. "Lima digit angka itu adalah 44455."
"Nomor apa itu?"
"Nomor telepon Renji," jawab Ichigo. "311 – 44455. Tadinya aku sempat berpikir kalau barangkali Kaien berniat menghubungi Renji untuk meminta tolong, tapi—"
"Tapi itu tidak mungkin," potong Grimmjow cepat. "Kalau Shiba berniat menelepon, mestinya ia mengetik dulu kode wilayahnya, yaitu 311. Dalam kondisi seperti itu, kesimpulan yang paling bisa diterima adalah bahwa korban berusaha menunjukkan siapa pembunuhnya."
Ichigo mengangguk sepakat. "Aku juga sudah meminta informasi ke perusahaan telekomunikasi nasional. Mereka bilang angka 44455 cukup banyak dipakai di Hueco Mundo. Di Las Noches saja ada tiga. Salah satunya milik klien lama Kaien, Sosuke Aizen, yang nomor telepon rumahnya adalah 344 – 44455. Dan kebetulan saja nomor telepon adik Kaien, Kukaku Shiba, juga hampir sama, yaitu 355 – 44455. Hanya nomor kode wilayahnya yang berbeda."
Kedua alis Grimmjow menaut sesaat. Berpikir, barangkali. "Lalu apa lagi?"
"Selain lima digit angka itu petugas juga menemukan jejak DNA Renji di tubuh korban."
Tanya Grimmjow penasaran, "Jejak DNA seperti apa?" Sebab menurut penalaran pria tersebut, satu atau dua helai rambut yang kebetulan saja ditemukan di tempat kejadian tidak lantas bisa dipakai sebagai bukti bahwa Renji telah melakukan pembunuhan.
Namun sayang jawaban yang Ichigo sampaikan berikutnya sama sekali bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan Grimmjow dalam kepalanya. Pengacara bertinggi lima kaki sebelas inci itu menjawab, "Sperma," yang kemudian ia lanjutkan dengan, "Petugas forensik menemukan sperma Renji di dalam lubang anus Kaien. Mereka juga menemukan sejumlah memar, luka-luka cakaran dan bekas cekikan di leher yang secara umum diasumsikan sebagai tanda-tanda perkosaan."
Kontan saja Grimmjow langsung terdiam tanpa kata. Tak disangkanya bahwa hasil pemeriksaan yang dibeberkan polisi ternyata tidak seberapa jika dibandingkan dengan penemuan mereka yang sebenarnya di lokasi kejadian. Sesaat berselang Grimmjow terdengar berdecak kagum, lalu menatap Ichigo sambil berkata, "Kau sungguh pengacara bernyali baja, Kurosaki." Lanjutnya, "Orang lain yang berada di posisimu pasti sudah mendesak Abarai untuk mengaku sebelum berkonsentrasi pada usaha pengurangan masa hukuman. Atau setidaknya mencoba menurunkan tuduhan dari pembunuhan tingkat kedua menjadi pembunuhan tingkat ketiga. Tapi kau tidak. Kau berkeras mempercayai bahwa dia bukan pembunuh."
Ichigo tersenyum simpul. "Apa Renji tidak memberitahumu kalau kami adalah teman masa kecil?"
"Tidak semua teman masa kecil bersedia melakukan apa yang kau lakukan," ujar Grimmjow. "Dan kurasa kau benar tentang satu hal, Kurosaki."
"Apa itu?"
Seringai lebar terpampang di wajah Grimmjow ketika lelaki itu menuturkan, "Sekarang aku tertarik."
-x-
-x-
-x-
TBC
-x-
-x-
-x-
a/n: Aloha, jumpa lagi dengan saya. Kali ini tidak akan ada terlalu banyak orang yang saya bunuh, cukup dua saja. Jangan bosen-bosen ya, baca fic crime yang model begini.
Keterangan:
Bail: Uang jaminan, yang apabila dibayar maka seorang tersangka tidak perlu ditahan selama proses peradilan. Tapi tetap berkewajiban hadir di hadapan sidang.
Plea Bargain: Jujur, saya tidak tahu apa padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia. Pokoknya kalau seorang tersangka tidak mau kasusnya disidangkan, dia pasti mengaku bersalah, menyatakan penyesalan dan menerima tawaran apapun yang disodorkan jaksa penuntut. Nah, tawaran ini namanya plea bargain.
Thanks for reading and please leave your review.
