Disclaimer: Masashi Kishimoto (Naruto Manga)
Kai Shadowchrive Noisseggra (Love Happen fanfiction)
A sequel for story: Love Happen
Warning: Yaoi, Shonen ai, Boys Love, maybe typo (s), maybe OOC
Menjawab kekecewaan para readers XD ini author bikin sequelnya…semoga nggak mengecewakan (lagi). Ah, niatnya di chapter 2 nanti bakal author bikin video animasinya (kalau jadi, moga aja jadi), and btw, sequel boleh ber-chapter kah? O . o
.
.
.
"Mati kalian! Mati kaliaann!"
Teriakan yang sudah biasa kudengar. Rasanya sudah tak berisik lagi, dan aku dengan santainya mengelap darah di sudut bibirku. Aku melihatnya menenangkan wanita itu, seperti biasa aku hanya menatap jengah.
"Kenapa kita tidak membunuhnya saja Nii-san?"
Lahir dari Kaa-san sinting yang selalu berteriak dia benci gay membuatku ikut sinting juga. Aku jadi benci gay, tapi bukan dengan alasan karena gay yang membuat Kaa-san ku jadi seperti itu. Dari awal aku tidak punya ingatan yang baik tentang Kaa-san, jadi aku tidak peduli apa yang membuatnya begitu, kalau bukan karena Itachi-nii-san aku mungkin bahkan sudah membunuh wanita itu. Jadi karena alasan apa?
"Wooiii…minta perhatian sebentar!" ngiiiinngg…. "Gue pengen membentuk club baru. Club ANTI-GAY. Ada yang mau join nggak?"
Mungkin aku bisa menemukan jawabannya, jadi aku mengangkat tanganku.
" …Aku pasti langsung muntah-muntah kalau sesuatu berbau gay berada di dekatku."
Lalu apa alasannya? Haruskah kutanya begitu? Mungkin karena aku tertarik untuk mengetahui jawabannya, aku ikut dalam permainanmu. Mungkin karena aku ingin melampiaskan kebencianku pada mereka, aku mengikuti permainanmu. Mungkin karena…aku tertarik padamu…?
Dan ketakutanku terjadi saat kau menghardik gadis itu demi aku dan juga saat kau mengecup pipiku. Dan apa yang kulakukan? Aku malah membalasnya dengan mencium bibirmu. Tapi aku masih berusaha menyangkal, aku tidak ingin ketakutanku terjadi, dan aku menyakitimu.
"Lupakan kejadian malam itu ya!"
Aku tahu kau marah, aku tahu kau benci padaku, tapi aku merasa tidak rela kau ingin melupakannya. Apa yang harus kulakukan?
Heh, tapi aku senang saat akhirnya kau menelfon. Aku bisa mendengar nada suaramu yang bergetar, dan kau meminta maaf. Aku merasa menjadi pecundang, kenapa harus kau yang minta maaf? Ah, sudahlah. Yang jelas hubungan kami kembali membaik.
"Selamat datang, calon adik iparku."
Aku tidak tahu ini kesalahan atau bukan membiarkanmu ke rumahku. Di sisi lain aku mendapat dukungan darinya dan mengenalkanmu padanya, di sisi lain kalau kau tahu mengenai keluargaku dan tahu bagaimana wanita itu, kau…mungkin saja akan menertawakanku.
"Kau puas?Kau puas HAH! Sekarang apa? Kau mau menertawakanku karena punya ibu seorang psikopat"
Ketakutanku akan itu malah membuatku melampiaskan kemarahanku padamu.
"Nanti kalau kau tua, keriput, nggak akan ada cewek lagi yang menyukaimu bagaimana?Ah, tapi tidak apa-apa. Kan masih ada aku yang akan menyuka-…"
Lagi-lagi kau yang meminta maaf duluan. Menyebalkan. Dan aku menemukan diriku semakin tenggelam dalam namamu. Aku ingin menyatakan perasaanku, aku sudah yakin aku memang menyukaimu. Tapi kau malah terdengar ragu dan selalu mengalihkan pembicaraan tiap kali aku ingin mengatakannya.
"Perasaanku saja atau kau memang menghindari berduan denganku?"
Dan aku kesal saat kau tak menatap mataku, jadi sekali lagi aku memaksakan ciumanku padamu.
"Apa kau masih perlu bertanya Dobe? Sudah jelas kan, aku mencintaimu! Dan aku ingin menjalin hubungan lebih denganmu!"
Harusnya aku bisa menebak, harusnya aku bisa melihat untuk kedepannya. Dari sikapmu yang terus menghindar itu, sekalipun kau membalas perasaanku, kau tidak punya keyakinan akan hubungan kita ini. Dan semua itu terbukti.
"KAU BISA BERKATA SEPERTI ITU KARENA KAU PUNYA ITACHI-SAN! Apapun keputusanmu, apapun yang kau lakukan, kau tahu Itachi-san selalu ada di belakangmu! Dia akan selalu mendukungmu! Tapi bagaimana denganku?! Kau sama sekali tidak memikirkan perasaanku!"
Kau tidak mengerti Dobe! Meskipun tidak ada dia, aku berani bersumpah aku akan tetap mengambil keputusanku ini. Karena aku selalu melakukannya.
"… aku punya orang tua, aku tidak tahu apa aku punya cukup keberanian untuk hidup hanya bersamamu tanpa dukungan dari mereka,aku belum ingin melepaskan diri dari mereka untuk menjalani hidupku hanya bersamamu…aku hanya belum…cukup berani untuk itu…"
Lihat? Kau memang tidak pernah yakin pada hubungan kita. Apapun yang kukatakan untuk meyakinkanmu, apapun yang kukatakan untuk menunjukkan seberapa besar aku mencintaimu, semua itu tidak akan berpengaruh pada keputusanmu. Jadi aku sama sekali tidak menyesali tindakanku di hadapan kepala sekolah. Dan aku tahu aniki mengetahui itu. Walau eksekusi tindakannya melebihi apa yang ada di pikiranku.
"Apa? Menghapus keberadaan? Kalian gila! Tidak, aku tidak mau membantu!" tentu saja, ini memang gila. Tapi ini sudah keputusannya, ya, keputusannya dari hasil tindakanku. Aku yang memulainya.
"Ayolah Kyuu, ini yang terbaik untuk mereka berdua. Kau ingin mereka terus saling menyakiti?"
"Aku tidak mau! Tapi apa Cuma ini caranya?!"
"Kau punya cara lain?"
"Ya! Kalian baikan! Kau, bocah, kembali ke sekolah, bisa putus atau tidak, tapi tetap jalani seperti biasa! Suatu saat kalian pasti menemukan penyelesaian!"
"Suatu saat? Heh," aku mencibir. "Kapan?"
Ia terdiam.
"Dan itu tidak menyelesaikan permasalahan dengan orangtua Naruto, Kyuu. Dengan ini mereka dan bahkan kepala sekolah pasti memberi tekanan berat padanya. Kalau Sasuke masih berada di sekolah, itu hanya akan memberatkannya saja."
"Kalau begitu biar Sasuke pindah sekolah saja. Ke luar negeri atau kemana. Tidak perlu sampai sejauh ini."
"Lalu hal itu menyelesaikan apa?"
"I-itu…"
"See? Sudahlah, ikuti saja permainan—…"
Kriiinngg…
"Siapa?"
"U-umm…Na-Naruto."
"Angkat. Loud Speaker."
"Moshi moshi."
"Kyuu-nii, kau masih suka kencan dengan Itachi-san?"
Aniki memberi isyarat jawaban apa yang harus diberikan Kyuubi.
"Eh? Itachi? Siapa?"
Tentu saja reaksi Dobe tidak percaya. Bagaimana bisa Kyuubi melupakan pacarnya sendiri.
"Yee…siapa juga yang bercanda. Ah, pacarku nelfon sms minta jemput. Sudah dulu ya Naru-chan…"Kyuubi memutuskan untuk mengakhiri panggilan.
"Pacar? Siapa?"
"Akame-chan lah…siapa lagi. Sudah dulu ya…bye…"
"Terimakasih sudah membantu," aniki tersenyum setengah meledek.
"Oookke, ini sudah keterlaluan. Sampai kapan aku harus pura-pura?"
"Tentu saja selamanya."
"APA?!"
"Apa maksudmu 'apa'? menghapus keberadaan artinya membuat kami seolah tidak pernah ada di bumi ini. Mulai sekarang kau juga harus melakukannya. Aku sudah menghapus seluruh data kami di Negara ini, juga bukti fisik kami pernah di sini. Dan sore ini aku dan Sasuke akan pergi ke—…"
Grep!
Kyuubi mencekal lengan aniki.
"E-mail mu, juga nomormu. Kau tidak akan menggantinya kan?" suaranya terdengar gemetar.
"Sayang sekali. Aku sudah menonaktifkan keduanya. Kau tidak akan bisa lagi menghubungi kami."
"Yang benar saja! aku tidak mau! Kalau kau tidak memberikan nomormu atau e-mail mu yang baru, aku akan membocorkan semuanya pada Naruto!"
"Kyuu, jangan keras kepala. Itu namanya bu—…"
Kyuubi membungkam bibir aniki dengan bibirnya.
"Ini tentang Sasuke dan Naruto kan? Bukan berarti kita juga harus melakukannya! Aku mencintaimu! Dan aku tidak mau kehilanganmu! Terutama setelah apa yang sudah kulalui."
"Kyuu, mungkin benar kata Naruto. Kita belum tahu ke depannya. Kita tidak tahu apa suatu saat kita akan tertarik pada wanita dan—…"
"Aku tidak peduli! Aku menyukaimu dan aku sudah yakin untuk menghabiskan seluruh hidupku denganmu!"
Aniki terbelalak, apalagi aku. Ah, seandainya saja Naruto memiliki keyakinan yang sama. Seandainya saja dia merasakan apa yang kurasakan…
Aku melihat aniki tersenyum, lalu dengan lembut mengecup bibir Kyuubi.
"Kalau begitu kuberikan seluruh hidupku padamu, Kyuu."
~OoooOoooO~
Ah, tapi ideal itu juga sepertinya terlalu tinggi. Waktu berganti dan memakan habis ideology itu. Lima tahun berlalu sejak kami pindah ke luar negeri, yang kutahu aniki dan Kyuubi masih mengadakan kontak lewat telefon. Tapi aku juga tahu kalau aniki sangat sibuk, ia harus mengurus perusahaannya yang semakin berkembang, juga mengurus Kaa-san di rehabilitas, biasanya ia bahkan tidak makan dan tidak tidur beberapa hari saking tidak ada waktunya. Aku yang notabene tinggal serumah dengannya pun sangat jarang bertemu. Hingga suatu hari aniki memiliki sedikit waktu luang dan ngobrol denganku. Ia menunjukkan sebuah kotak cincin dan dua buah cincin berwarna perak di dalamnya.
"Aku berniat melamar Kyuubi," ucapnya. Bisa kulihat ia tengah berusaha menahan senyum bahagianya.
"Good for you," aku meninju pelan lengannya.
"Minggu depan aku ada waktu luang beberapa hari. Kurasa aku akan kembali dan menemui Kyuubi."
"Melamar langsung eh?"
"Tentu saja. ini kan hal penting," ia menutup kotak cincinnya. "Ah, maaf," ucapnya. Mungkin merasa bersalah telah mengingatkan hubunganku dengan Naruto. Aku Cuma angkat bahu.
"Aku hanya ingin tahu kalau dia baik-baik saja," ucapku. Aku tahu aniki tidak akan menampakkan wajahnya pada orang lain selain Kyuubi, jadi siapa tahu saja dia melihat Naruto atau sekedar menanyakan keadaannya pada Kyuubi.
Yeah, semua sudah terencana. Dia sudah memesan tiket pesawat, sudah booking hotel dan menyiapkan acara. Tapi yang terjadi adalah dia mendapat kabar kalau Kyuubi sudah menikah. Ya, sudah menikah. Dan lebih parah lagi, istrinya sedang hamil. Darimana aniki dapat info itu tidak penting—jaringannya selalu luas meski sebagai bayangan—hanya saja mungkin selama ini ia tidak memiliki waktu untuk sekedar mencari informasi mengenai Kyuubi. Jadi pada hari dimana ia harusnya kembali, ia hanya menelfon Kyuubi, ingin mendengar reaksinya. Ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
"Maaf."
Hanya itu.
Dan bisa kulihat efek nya pada aniki. Aku tahu dia masih aktif di perusahannya, di rehabilitas Kaa-san, di semua kehidupannya, tapi aku tahu kondisinya buruk. Dan dia sempat masuk rumah sakit seminggu gara-gara malnutrition dan over work. Saat aku menjenguknya, ia bahkan masih tidak mau menelan makanannya sehingga slang infuse menggantung di samping ranjangnya. Aku melihat tangannya membuka menutup kotak cincin yang dulu ia perlihatkan padaku.
"Heh, pada akhirnya ocehan bocah blonde itu memang benar," ucapnya. "Persetan!" dia melemparkan kotak cincin itu ke tempat sampah.
Aku tak mengatakan apapun, hanya menaruh bunga yang kubawa di vas kosong di meja samping ranjang. Seumur hidup baru kali ini aku melihat aniki seberantakan ini, maksudku, biasanya apapun masalah yang dihadapinya, dia selalu tenang dan jarang menunjukkan emosi. Tapi saat ini sangat terlihat kalau ia marah, dan tentu saja…depresi.
Ia menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya.
"Kau juga Sasuke," ucapnya. "Sebaiknya kau segera mencari orang lain. Lupakan saja Naruto."
Yeah, harusnya itu juga yang kulakukan. Tidak seperti Kyuubi dan aniki yang masih pacaran selama mereka berpisah, aku dan Naruto sudah jelas putus dan bahkan aku membuat seolah-olah keberadaanku tak pernah ada di Negara itu. Sewajarnya aku mencari orang lain, entah wanita, entah pria, siapapun. Tapi faktanya aku masih belum bisa menemukan orang lain itu. Entah kenapa otakku terus tertuju pada blonde itu. Apa seandainya pun kami masih pacaran, semua juga akan berakhir seperti aniki dan Kyuubi? Aku tidak tahu.
Dua tahun berlalu, dan aniki mengenalkan seorang wanita padaku. Aku merasa lega dia menemukan orang lain, meski aku juga yakin dia tak bisa sepenuhnya lepas dari bayangan Kyuubi. Karena aku tahu dua tahun sebelum aniki bersama wanita itu, dia mati-matian berusaha melupakan Kyuubi. Tak lama kemudian mereka menikah, dan punya seorang anak laki-laki. Sementara aku? Well, jangan tanya lagi. Aku masih jomblo. Shit!
Kalian enak punya alasan buat jomblo. Lah gue?
Oke, mungkin itu terlalu berlebihan. Aku pernah berpikir untuk masuk ke club malam, mencari wanita penghibur, bersenang-senang seperti teman-temanku yang lainnya. Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Teman-temanku juga menyuruhku untuk mulai memainkan wanita, kau tahu, meski pindah Negara ternyata aku masih popular juga, seandainya pun aku meniduri wanita malam ini dan meniduri wanita lain malam berikutnya, tidak akan ada yang protes. Beberapa bahkan mengajakku bermain bersama beberapa wanita. Tapi kau tahu? Aku tidak melakukannya.
Aku mulai depresi pada diriku sendiri. Hingga suatu saat pernah sekali aku ingin mencoba melakukannya. Saat itu pesta ulang tahun di rumah temanku. Tapi tentu saja, 'pesta' ini bisa dikatakan 'pesta'…you know what. Seorang gadis menghampiriku dengan minuman di tangannya, hampir seluruh pakaiannya terbuka, dan tentu saja dia merayuku. Aku hampir menolak seperti biasa, tapi aku ingat kedpresianku.
"Baiklah, ayo lakukan," ucapku nekat.
Dan cerita itu berakhir dengan aku yang tidak jadi melakukannya karena bahkan untuk membuka pakaianku dan memperlihatkan milikku pada gadis itu, aku tidak sudi. Akupun hanya meminta maaf dan melenggang pergi dari pesta itu.
Aku ini kenapa?
Dan sejak saat itu aku tidak pernah coba-coba lagi 'nekat' melakukannya. Well, tapi aku sudah tidak sedepresi itu, karena sekarang aku sudah dipercaya aniki untuk memegang beberapa cabang perusahaan. Jadi kurasa aniki sudah tidak sesibuk dulu.
"Pppfffttttt…!" aku menyemprotkan minumanku saat mendengar ucapan aniki malam itu. "A-apa?"
"Aku bilang kita akan membuka cabang di sana. Jadi sebaiknya kita turun ke lapangan untuk—…"
"Tidak. Aku tidak mau kembali ke sana."
"Hei, Negara itu luas. Bukan berarti kita ke sana lalu tanpa sengaja kita papasan dengan Naru—…dengan orang itu," dia menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Hei, tapi kalau kita buka cabang di sana kita bakal langsung ketahuan kalau perusahaannya sudah besar?"
"Kita tidak pakai nama Uchiha atau nama kita di perusahaan itu. Kurasa hanya orang terkait saja yang akan menemui kita di Negara itu."
"Ah, bagaimana dengan istrimu. Dia sedang hamil kan, mana mungkin kau meninggalkannya begitu saja."
"Sasuke, kandungannya baru empat bulan. Jadi kurasa tidak masalah kalau kutinggal untuk beberapa hari."
"La-lalu bagaimana dengan—…"
"Sasuke!" ia sedikit menggebrak meja. "For God sake, ini sudah Sepuluh tahun sejak kejadian itu!"
"…" aku terdiam. Cukup lama. Atau terlalu lama. "…baiklah. Aku mengerti. Baiklah…"
"Sasuke…"
"Hei, kubilang aku mengerti."
~OoooOoooO~
Jadi begitulah, aku kembali ke Negara dimana aku mengubur kenanganku, Negara di mana kami pernah menghapus semua kewarganegaraan kami, dan kini kami kembali dengan kewarganegaraan baru dan singgah sebagai tourist.
Seperti biasa, sore itu aku berada di depan laptop ku. Mereview data, merancang strategi pemasaran dan lain-lain. Tapi seperti sebelumnya sejak aku di sini, aku tidak bisa focus. Ini malam ketiga kami di sini, kalau aku tidak mengerahkan otakku dengan benar, proyek di sini sama sekali tidak akan ada kemajuan. Tapi aku benar-benar stuck!
Jadi kuputuskan untuk keluar sebentar. Mengambil jaket dan kunci mobil, aku menyusuri kota di Negara yang dulu pernah kutinggali. Well, ini bukan kota di mana dulu aku tinggal, jadi aku tidak begitu depresi karena tak perlu melihat tempat-tempat di sini yang mungkin bisa mengingatkanku pada kenangan lampau.
Kesialanku bermula saat aku sok menjadi superhero. Jalanan macet, kukira hanya lampu merah, tapi karena terlalu lama aku penasaran juga. Aku turun dari mobil dan mengetahui kalau rupanya telah terjadi kecelakaan. Banyak orang berkerumun, kudengar dari percakapan mereka mereka sudah memanggil ambulance. Tapi kudengar lagi ambulance tidak bisa sampai tepat waktu.
"Dimana rumah sakit terdekat?" aku menawarkan bantuan karena kulihat sama sekali tidak ada yang berminat membawa korban kecelakaan itu ke rumah sakit. Mereka memberitahunya, ternyata tidak begitu jauh. Mereka pasti Cuma malas direpotkan dengan membantu korban, well, ini jam pulang kerja, kebanyakan orang berpikir untuk segera pulang ke rumah kurasa. "Bantu aku membawa mereka ke mobil," ucapku dan menghampiri korban. Saat itulah aku tau kalau aku baru saja menggali kuburanku sendiri.
Di hadapanku tergeletak seorang wanita bersurai hitam keunguan, wanita yang aku berani bersumpah adalah Hyuuga Hinata, teman sekelasku saat di SMA. Yang membuatku semakin yakin aku tamat adalah bahwa di samping dia tergeletak dua orang bocah—laki-laki dan perempuan—dengan dua goresan seperti kumis kucing di kedua pipi mereka. Tidak mungkin aku tidak mengenali garis tipis situ. Jangan bilang mereka…
Tapi sudah terlambat untuk itu. Orang-orang sudah menggotong Hinata dan anak perempuannya, sementara aku kebagian menggotong anak lelaki pirang itu.
"Brengsek! Kenapa harus semirip ini sih!" gerutuku pada diri sendiri tanpa berani menatap bocah blonde di gendonganku. Begitu mereka berada di mobilku, aku melajukannya ke arah rumah sakit, mobil yang lain dengan senang hati memberiku jalan. Shit! Benar kan? Mereka Cuma tidak ingin direpotkan. Aku Cuma berdoa dalam hati semoga saja ketiga manusia di kursi belakangku itu tidak akan sadar sampai aku membawanya ke rumah sakit, setelah itu aku akan langsung kabur ASAP sebelum ada orang lain yang menjenguk mereka. Terutama dia. Dan untung saja doaku terkabul.
"Kami akan segera menangani mereka," ucap seorang perawat. "Tuan, apa Anda kerabat mereka."
"Tidak, aku hanya membawa mereka ke sini. Ah, ini tas wanita itu. Mungkin ada ponsel atau tanda pengenal," aku menyerahkan tas itu pada si perawat yang langsung menyambarnya dan melangkah pergi mengejar ranjang yang menggotong ketiga korban itu. Baiklah, sekarang aku akan per—…
"Permisi tuan," polisi! Crap! Apa aku dituduh sebagai penabraknya? Tidak tidak, kalau sampai mereka menginterogasiku di sini—…ah, aku tidak mau lama-lama berada di sini.
"Bukan aku yang menabrak mereka. Aku hanya membawa mereka ke sini," ucapku langsung.
"Kami tahu," mereka tersenyum. "Beberapa saksi melihat mobil merah yang kabur setelah menabrak. Kami kesini hanya untuk menginterogasi Anda sebagai saksi."
"Huh? Kalian bilang sudah menanyai beberapa saksi. Aku sama sekali tidak tahu. Hanya jalanan macet, lalu aku turun untuk melihat apa yang terjadi dan ternyata ada kecelakaan," belaku, dan sial nya salah satu dari mereka sudah mencatat. Crap! Jadi aku memang sudah masuk sesi interogasi?
"Apa Anda…"
Pertanyaan mereka lanjutkan, dan aku Cuma bisa berharap ini akan cepat sebelum keluarga Hinata sampai ke sini. God! Semoga perawat tadi belum menghubungi mereka. Tapi kali ini doa ku tidak terkabul. Aku melihatnya bergegas masuk ke rumah sakit, ya, kilatan kuning dari rambut blonde nya sangat kukenali. Juga tiga garis tipis di pipinya itu, dan mata sapphire nya…aku harus segera bersembunyi, paling tidak menutupi wajahku. Well, aku punya hoodie, harusnya aku menaikkannya untuk menyembunyikan wajahku. Ya, arusnya begitu.
Tapi aku membatu.
Tubuhku sama sekali tidak bergerak dan mata onyx ku justru tak lepas dari sosoknya yang kian mendekat. Dia balas menatapku, aku tahu dia melihatku, pasti. Tapi ia terlalu terburu-buru, dan jantungku seolah berhenti berdetak saat dia mengalihkan tatapannya dari mataku dan menatap lurus sambil terus berlari ke arah ruangan mereka dirawat. Dia mengacuhkanku.
Bukannya itu bagus? Mungkin dia sedang panic dan tak memperhatikan sekelilingnya. Itu bagus karena berarti dia belum menyadari keberadaanku. Dia tidak tahu siapa aku. Itu bagus. Ya.
Tapi kenapa hatiku sakit begini?
"…an…Tuan…?"
"Huh?" aku tersadar oleh panggilan polisi yang tadi menanyaiku. "Ya?"
"…" ia tampak bingung, tentu saja. mungkin aku membatu terlalu lama. "Kalau begitu terimakasih atas waktunya, kalau memang hanya itu informasi yng Anda tahu. Kami permisi," aku tak mempersilahkan, aku tak menjawab mereka. Aku tidak bisa. Mulutku seolah terkunci. Tapi mereka pergi, dan aku bersyukur. Aku mulai mendapatkan kesadaranku dan mulai melangkahkan kaki saat pundakku ditepuk dari belakang.
"Kudengar Anda yang membawa istri dan anak-anakku kesini," suara yang kukenali, hanya saja terdengar lebih berat, lebih dewasa dari yang dulu biasa kudengar. "Terimakasih banyak, tuan…?" nada biacaranya menanyakan namaku.
"Ah, aku hanya kebetulan lewat," jawabku tanpa menoleh.
"Apa yang harus kulakukan untuk berterimakasih," ia melangkah ke hadapanku. Menatap wajahku. Ya! Kini kami berhadapan. Aku menatap senyumannya yang dipaksakan karena kutahu dia sangat sedih dengan kondisi keluarganya.
"Tidak perlu. Sudah kubilang aku hanya kebetulan lewat," ucapku. "Aku permisi dulu, ada tempat yang harus kukunjungi."
"Umm…baiklah. Maaf mengganggu," ia menepi selangkah, memberi jalan untukku pergi. "Maaf, kalau boleh tahu siapa nama Anda. Maksud saya, siapa tahu kita bertemu lagi lain kali. Saya harus membalas kebaikan Anda."
Dan saat itulah aku yakin jantungku memang sudah berhenti berdetak.
~OoooOoooO~
Aku berbaring di ranjang dengan kepala bersandar ke bantal yang kutinggikan, buku bacaan di tanganku hanya terbuka tanpa pernah terbalik halamannya. Tatapanku menerawang kosong.
Dia melupakanku.
Tentu saja. Apa yang kau harapkan Sasuke? Ini sudah lewat sepuluh tahun. Orang normal biasanya melupakan kawannya dari sepuluh tahun lalu, dan kondisi ini bahkan di atas normal. Aku menghapus keberadaanku, semua dataku, semua foto ku, semuanya. Tidak ada yang tersisa selain kenangan yang ada di otak. Dan kenangan itu tak berdasar pada bukti fisik karena aku sudah menghapus semuanya. Kenangan dengan bukti fisik saja sering terhapus, bagaimana dengan yang ini?
Dia melupakanku.
Aku hanya bisa menenggelamkan wajahku di bantal sampai seseorang menerobos masuk ke kamarku.
"Sasuke, data yang kemarin sudah kau—…" suara aniki. Sepertinya ia berhenti bertanya melihat kondisiku.
"Yeah, ada di laptop," aku menjawab dan beranjak duduk. Tapi dia lebih tahu aku dari pada diriku sendiri. Jadi meskipun aku bersikap bagaimanapun untuk menutupinya, dia akan segera tahu detik itu juga.
"Apa yang terjadi?" tanyanya dan duduk di samping ranjang, di hadapanku yang kini duduk bersila.
"Tidak ada. Aku hanya lelah dan sedikit mengantuk," jawabku. Dia akan tahu aku tidak ingin membahas ini.
"Biar kutebak. Kau—…" aku meletakkan telunjukku di bibirnya.
"Jangan menebak. Tebakanmu selalu benar," dengusku. Kudengar ia mendesah lelah, aku menutup bukuku.
"Lalu?" tanyanya.
'Tidak ada lalu. The end," jawabku dan melempar buku ke meja lalu membuka laptop. "Lagipula kita akan pergi empat hari lagi kan?"
"Tidak kalau ada perubahan rencana."
"Kalau begitu tidak ada perubahan rencana."
"Haik haik, tunjukkan data nya," ia menghampiriku dan kami kembali membahas tentang pekerjaan.
Tiga hari berlalu begitu saja. besok kami sudah harus pergi, dan perasaanku masih tidak karuan.
"Sudah kubilang, mungkin sebaiknya kau menemuinya sekali lagi," ucap aniki. Saat itu kami sedang makan siang di café.
"Untuk apa? Tidak ada gunanya kan," jawabku.
"Tapi kau terus-terusan gelisah seperti itu. Mungkin kau hanya perlu melihatnya sekali lagi, tidak perlu menemuinya kalau memang tak mau. Seperti yang kau bilang dulu, hanya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja."
"…" aku terdiam. Mungkinkah aku harus menemuinya? Atau setidaknya melihatnya sekali lagi. Well, walaupun menemuinya pun tidak ada masalah kan, toh dia sudah lupa padaku. "Yeah, mungkin aku harus melakukannya," ucapku kemudian.
Aku ke toko bunga seteah itu, membeli sebucket bunga dan pergi ke rumah sakit.
"Ah, maaf Tuan. Sepertinya mereka sudah keluar dari rumah sakit kemarin, lukanya tidak terlalu parah," jawab seorang suster saat aku mengunjungi ruangan itu dan pasiennya sudah berganti menjadi seorang gadis kecil bersurai coklat.
"Terimakasih," jawabku dan membiarkan perawat itu pergi. Jadi bunga ini kuapakan? Ah, kutaruh di meja bocah kecil itu saja. Toh, dia sedang tertidur.
"Tenshi," suara itu terdengar saat aku meletakkan bunga di meja. Aku menoleh dan mendapai gadis kecil itu menatapku. Aku tersenyum lalu menghampirinya.
"Cepat sembuh ya," ucapku dan mengecup keningnya setelah itu pergi begitu saja. Sekarang apa? Well,mungkin aku harus pakai cara aniki. Menge-hack data district itu untuk sekedar mencari informasi tentang alamat Naruto. Dan aku betulan melakukannya. Rupanya alamat dia tak begitu jauh dari rumah sakit jadi aku jalan saja sambil melihat-lihat toko di sepanjang district. Entah kebetulan entah apa, saat itulah aku melihat sosok Naruto memasuki toko bersama Hinata dan kedua anaknya. Aku langsung menjaga jarak dari toko itu, mengamati dari jauh. Apa aku harus menemuinya? Atau aku cukup menatapnya dari sini?
Tak berapa lama mereka keluar dari toko itu, Naruto tampak menggendong anak laki-lakinya sambil menenteng tas belanjaan, Hinata menggendong anak perempuannya. Mereka tampak mengobrol dan tertawa, kelihatannya bahagia sekali. Dan aku hanya bisa menatap sayu. Lama aku menatap mereka hingga sepertinya Hinata menyadari keberadaanku sehingga aku menambah jarak antara kami. Saat aku menatap mereka lagi, mereka sudah melangkah menjauh. Aku hanya bisa menghela nafas lelah sampai aku dikagetkan oleh aniki yang tiba-tiba merangkulku.
"Geez! Berhentilah mengagetkanku nii-san! Bagaimana kalau aku jadi kena serangan jantung?" omelku.
"Hahaha orang keras kepala mana mungkin kena penyakit," balasnya.
Aku tak menjawab, kami sama-sama memerhatikan keluarga Naruto yang sudah menghilang dari pandangan.
"Kau yang memutuskan. Aku hanya bertindak sesuai apa yang kau akibatkan," aniki kembali mengingatkan. Aku sudah tau tanpa dia harus bilang.
"…kau benar," balasku. "Dan kurasa itu yang terbaik."
Ia tertawa sambil mengacak rambutku, lalu merangkulku pergi.
"Tapi apa 'menghapus keberadaan' itu tidak keterlaluan ya, Nii-san? Seberapa besar pengaruh orang santai sepertimu sih, Uchiha Itachi-sama yo…" godaku.
"Hee? Harusnya kau bangga punya nii-san sehebat ini, Sasuke-kun," balasnya. "Ah, ngomong-ngomong, kapan kau menikah? Nii-san mu ini sudah akan punya anak yang kedua dan kau bahkan belum mengenalkan calon istrimu?"
"Berisik…" kesalku. Kalau bisa aku juga ingin segera menemukannya.
"…hahaha…"
"…lagipula…"
Kami mengobrol sambil berjalan menuju hotel, aku berpikir sudah tidak akan ada yang terjadi lagi. Memangnya apa? Besok kami pergi. Hanya itu. Dan aku yakin sudah tidak akan ada lagi hal-hal aneh atau sial yang akan terjadi.
Kecuali memang hal itu akan terjadi dan aku sama sekali tidak menduganya.
.
.
.
~To be Continue~
.
.
.
Umm…ano, etto…chapter 1 isinya review and penjelasan dari g sebelumnya :'3 chapter dua baru waktu mulai maju. Niatnya biar kejadian sebelumnya juga jelas gitu yang di time lapse chapter terakhir.
Read and Review please…
