Disclaimer : Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

Pairing : Mikasa Ackerman and Jean Kirstein

Spesial pake telur untuk sahabat terbawel yang bikin sakit perut nanana nara. Ini pesenan elu, sory2 aja kalau g segalau yang kau inginkan. TeHe...

Dan untuk para reviewer dan juga JeanKasa shiper di mana pun kalian berada.


Gadis itu selalu memilih untuk duduk di kursi dekat jendela, seperti biasa ia akan memesan segelas dingin vanilla latte dan sepotong tiramisu yang mengoda. Rambut hitam panjangnya tertiup angin musim semi, pandangannya tertuju jendela, ingatannya melayang jauh kembali ke masa lalu di mana pusat dunianya terenggut dari sisinya.

Bagi gadis itu takdir tak pernah berpihak padanya.

Meringis, saat masa itu sedikit menyisakan luka permanen di hati.

"Apapun yang terjadi, kau harus tetap bahagia!" kata-kata itu selalu terngiang di telinganya. Tak dipungkiri ucapan dari seorang yang tak pernah diharapkannya itu mampu membuatnya bangkit dari penyesalan yang hampir merenggut sisa hidupnya.

"Menikmati harimu?"

Suara bariton itu membangunkan ia dari lamunan panjang. Seorang pemuda tampan berdiri tepat di samping kursinya. Membawa secangkir coklat hangat, pemuda itu mengecup pipinya lembut.

"Aku tak akan membiarkanmu pergi lagi, Mika!"

Mikasa Ackerman, dia hanya bisa tersenyum saat mendengar bisikkan posesif yang dilayangkan kekasihnya. Yakinlah kata-kata itu bagai mantra mujarab baginya, ia tak akan lari lagi. Mikasa akan tetap di sini, di kafe yang selalu mengingatkan pada cinta pertamnya. Dan ia akan tetap duduk disini, menunggu cinta sejati datang menyusulnya, membawakan cinta yang lebih dari cukup untuk membuka masa depan mereka berdua.


Black Cosmos Caffe

~Dimana kau akan menemukan cinta sejatimu~

Bagian 1


Black Cosmos Caffe, tak seperti artinya yang bermakna kecemburuan, kafe ini justru menawarkan cinta yang tersembunyi. Bermodal menu berbahan dasar coklat yang banyak digemari berbagai kalangan, kafe dengan lambang bunga cosmos hitam ini menjulang kesuksesan.

Manis, pahit dan mengesankan, itulah konsep yang dituangkan kafe yang berdiri sejak delapan tahun silam. Seperti cinta, kafeini menawarkan manis pahitnya rasa coklat yang tertuang di dalam menu mereka, ditambah lagi para waiter tampan yang menggoda, cukup mampu mengesankan para pengunjung untuk datang kembali ke kafe yang terletak di jantung kota Sina ini.

Sesuai namanya Black Cosmos, kafe ini tak luput dari rangkaian bunga black cosmos di sana-sini. Kecintaan sang pemilik dengan bunga tersebut, membawanya untuk berbagi kisah dengan semua orang tentang keindahan tersebunyi dari bunga yang melambangkan kecemburuan dan keputus asa-an ini. Termasuk kisah cinta dua anak manusia yang tak sengaja dipertemukan di tempat ini. Kisah cinta yang berawal dari rasa cemburu yang tak mampu melumpuhkan getar-getar cinta sejati. Antara keputus asa-an untuk tetap menjaga cinta yang tak pernah terbalas.

Kini di sinilah cinta itu berkembang dan di sinilah cinta itu berawal. Di Black cosmos.

"-mos, selamat datang..."

Sambut lantang seorang waiter, saat seorang gadis muda berdarah oriental masuk ke dalam kafe. Sore ini cukup lengah, dengan guyuran hujan musim dingin yang hampir membasahi seluruh kota.

Membuka mantelnya gadis itu mengikuti waiter tadi.

"Sore ini sepertinya cukup melelahkan untuk anda, milady." Waiter itu menarik kursi untuk gadis oriental itu, kemudian menyodorkan buku menu.

"Coklat hangat dan segelas dingin vanilla latte."

"Vanilla latte dingin, di hari yang berawan ini?"

"Dia tak kenal cuaca, Connie." Bisiknya diakhir dengan senyum menawan yang mampu membuat siapapun berlutut memujanya.

Connie teramat tahu siapa yang disebut dia oleh gadis cantik ini. Seorang pemuda yang diam-diam menjadi saingan berat teman kerjanya.

"Ah pria yang aneh bukan? Mikasa-chan, jika kau tak lagi tertarik dengan kekasihmu, katakan padaku. Aku punya banyak kenalan yang jauh mempesona dari pacarmu." Akhir Connie sambil menunjuk seorang pemuda yang tak berhenti menatap mereka di balik bar counter.

Mikasa terkikik, ia kemudian berbisik pada Connie. "Ohhh, Oke. Katakan pada temanmu aku siap kapan saja. " Candanya, kemudian di akhiri dengan tawa renyah mereka berdua.

"Apa ini?" Tanya Reiner Braun, salah satu waiter populer di kafe ini.

"Bukan urusanmu." Jawab Jean acuh. Buru-buru disingkirkan buku sketsa yang ada di atas bar counter.

"Lihatlah siapa yang datang?" Pekik Connie persis di depannya Jean, sambil memberikan kertas pesanan.

Reiner bersiul profokatif. Kemudian ber-hight five ria bersama Connie. Bukan rahasia lagi jika Jean Kirstein pemuda tampan bermanik coklat ini menaruh hati pada gadis cantik berdarah oriental yang duduk di dekat jendela.

"Diamlah botak!"

Merona merah saat manik coklatnya bersinggungan dengan obsidian tamu setianya, ia mencoba mengabaikan lelucon penuh godaan rekan kerjanya.

Connie terkikik kemudian mengedipkan mata konspirasi, mencoba mengoda Jean lagi.

"Kau memang payah Jean! Hehehe."

Suara gelas beradu, dilihatnya Jean yang mengeram jengkel kearah Connie. "Cukup botak, lanjutkan pekerjaanmu."

Reiner menyeringai kemudian merangkul Jean akrab. "Ayolah, Jean, seluruh dunia sudah tahu jika ada seorang pengecut tinggal di kafe ini." Akhirnya, menyindir tindakan Jean yang terkesan malu-malu dengan perasaannya.

"Tembak dia. Buktikan kalau kau jantan!"

"Dia tak akan mampu, Braun. Jean hanya bisa bersembunyi di balik meja ini sambil mengambar Mikasa-chan diam-diam."

"Hoi, Connie. Berani taruhan! Jika Jean mau mengantarkan pesanan ini, uang tips ku hari ini milikmu."

Connie bersiul gembira. Dia yakin di dalam dompet Reiner tumpukan uang cukup mengiurkan. Banyak tamu yang memberikan tips lebih untuk pemuda berotot itu. "Kalau Jean tak berani?"

"Uang tipsnya milik ku." Jawab Reiner. Mereka berjabat tangan tanda persetujuan.

"Hai kalian, cari mati!"

"Tidak. Kami cuma cari makan." Kikik Connie, tak memperdulikan wajah masam Jean.

"Ayolah, Jean beranikan dirimu! Kau tak mau kalah kan dengan pemuda cungkring yang baru saja sampai sini." Pancing Reiner ke arah pemuda yang baru saja masuk ke dalam kafe.

"Black Cosmos selamat datang."

"Diamlah Connie! Antarkan pesananmu." Kini Marco memotong pembicaran ke tiga pemuda tersebut. Pemuda yang diam-diam mendengarkan percakapan temannya itu hanya bisa sedikit membantu.

"Kau benar-benar tak asik, mate. Biarkan Jean yang melakukan ini." Usul Connie.

"Kita sama-sama tahu jika, Jean, tak mungkin bisa." Marco kembali berpendapat. "Kau tak mau kan jika gelas ini tak akan sampai ke mejanya dengan benar, jika Jean yang mengantar."

"Dia hanya sedikit tegang, mate." Reiner berpendapat. "Rilekskan ototmu, kawan. Rileks..!"

Jean hanya diam, menatap nampan dan ketiga temannya bergantian.

Ketiga orang itu hanya menatap Jean putus asa. Lihat saja, nampan yang berisi minuman itu hanya tergeletak tanpa sedikitpun Jean sentuh. Jean mengangkat tanganya menyerah.

"Tidak!" Putus Jean.

"Dasar banci!" Cibir Connie tak sabar, lalu membawa nampan menuju dua orang yang duduk di meja dekat jendela.

"Ups, kasar." Seringai Reiner.

"Ayolah Jean. Benar kata Connie, jangan hanya menunggu! Cobalah untuk mendekatinya..." Marco memulai.

Jean Kirstein mahasiswa tingkat akhir jurusan seni rupa di Sina Universitas . Bila ditengok kembali penampilannya, Jean, bukanlah pemuda yang kekurangan uang saku hingga mencoba bekerja paruh waktu seperti kebanyakan waiter yang bekerja di sini. Jean, dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan, terlahir sebagai anak pertama pasangan pengacara TOP dikota ini, uang sakunya jelas sudah cukup untuk menghidupinya. Namun, bekerja disini bukan hanya sekedar untuk menambah uang saku, melainkan menyangkut hati dan perasaannya.

"Itulah alasan kenapa aku bekerja disini, Bott!" Kilah Jean malas, manik coklatnya bergerak gelisah.

Sejak pertama kali melihat sosok Mikasa di kafe ini. Iris kecoklatan miliknya tak mampu lagi berpaling dari godaan gadis manapun. Berbekal tekad yang diwariskan oleh kedua orang tuanya, Jean mulai menyelusuri gadis yang telah menjeratnya dalam binar-binar cinta pada pandangan pertama itu.

" Kau butuh usaha yang besar untuk mendapatkanya Jean."

"Aku tahu." Jawab Jean pasrah, Marco bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain, Jean tahu itu.

Mengamati Mikasa lebih dari dua tahun sudah cukup bagi Jean mengenal diluar kepala siapa gadis yang menjadi obsesinya selama ini.

Mikasa Ackerman putri tunggal pemilik hotel bintang lima Ackerman, gadis yang lebih tua satu bulan dua puluh lima hari darinya. Mengambil jurusan bisnis di universitas Sina. Pintar dan berbakat tanpa cela, sang prodigi yang sering dielus-elus sebagai penerus kejayaan pamannya di kursi parlemen. Tunangan dari pewaris utama Jaeger Internasional Hospital, Eren Jaeger.

Menghela nafas, Jean, menuruti kekeras kepalanya mengejar, Mikasa. Dia amat tahu bahwa gadis berambut hitam itu tak akan menoleh padanya. Menurut sumber yang dipercayai mereka akan menikah awal musim semi tahun depan. Setelah Eren lulus dari sekolah kedokterannya. Tak ada kesempatan, batinnya.

Menyenggol bahu sang rekan kerja, Connie bersiul panjang. Kini mereka berkumpul kembali di bar counter.

"Lihatlah saingan beratmu, Jean!" Marco dan Connie hanya dapat menahan tawa saat mimik wajah Jean berubah kesal saat melihat orang yang baru saja dibicarakannya.

"Mereka sungguh serasi ya? Kau kalah Jean."

Kikik Reiner yang baru saja keluar dari dapur. Berkumpul di sudut counter mereka melihat pemandangan dua sejoli itu.

"Mau menyerah?"

"Kurasa kau salah, Braun. Jean, walaupun banci, dia tak akan menyerah!"

"Ku harap itu pujian, Con." Sela Marco.

"Mau taruhan?"

"Sepakat!" Jawab Connie antusias, mereka kemudian merundingkan hal menarik apa yang akan menjadi taruhan mereka.

Sementara Jean, tatapannya masih tertuju ke arah dua sejoli itu. Tak memperdulikan kebisingan yang terjadi di sampingnya. Jean membuang muka saat melihat, Mikasa dan Eren, keduanya saling bertautan tangan. Tanpa Jean sadari, kecemburuan masuk terlalu dalam di hatinya.

"Ku harap kau menghilang, berengsek."

Tak tahu kata-kata yang meluncur dari mulutnya akan ia sesali di kemudian hari.


~0.0~


Samar-samar Jean mendengarnya, suara isakan yang tak tahu siapa pemiliknya. Mencari keberadaanya, Jean mulai beranjak. Gelap, saat Jean menelusuri lorong demi lorong untuk mencari pemilik suara itu. Isakan pun semakin kencang. Berlari mendekat, Jean membuka pintu lorong terakhir.

Cahaya di dalam ruangan cukup gelap. Jean, hanya bisa mengandalkan cahaya redup yang berasal dari pantulan lilin-lilin kecil yang menggantung indah di dinding.

Jean mematung, saat ia mencoba untuk mengenali pemilik suara tangisan yang memilukan jiwanya. Gadis itu berada tak jauh dari tempat Jean berdiri. Walau samar Jean mampu untuk mengenali gadis yang tak asing baginya.

Jean mencoba mendekat, namun anehnya gadis itu juga akan mundur sesuai jumlah langkah kaki Jean yang mencoba mendekat.

"Jangan takut, aku tak akan menyakitimu.." Janji Jean.

Gadis itu mulai memberanikan diri untuk melihat Jean. Rambutnya hitam sekelam malam, poni yang menjutai membingkai wajah orientalnya, wajah putih bersih dengan semburat merah di pipinya. Gadis itu menatapnya sendu seakan meminta pertolongan, mata sehitam malamnya tak henti mengeluarkan cairan bening yang melewati pipi mulusnya.

Jean mengenali gadis itu, dia.

"Mikasa.." gumamnya.

Apa yang terjadi? Semuanya kemudian terlihat gelap disekeliling mereka. Lilin-lilin yang menerangi ruangan itu padam. Membuat Jean sedikit bergetar untuk mendekati Mikasa. Yang Jean lihat terakhir Mikasa hanya memandangnya, tangisannya berhenti.

Menggapai udara Jean mencoba menyentuh pipi mulus itu, menghapus jejak air mata yang tumpah dari obsidiannya.

'Tak bisa..' Ujarnya kesal, saat kedua tangannya tak bisa menggapai tubuh Mikasa.

Mikasa terdiam memandangi Jean yang sedang berusaha menggapainya. Memutar tubuhnya, Mikasa berjalan meningalkan Jean yang memekik memanggilnya.

Bayangan Mikasa mulai menjauh.

"Mikasa.." sekali lagi Jean mencoba memangilnya, seakan tak mendengar pangilan dari Jean, Mikasa terus berjalan, kali ini dia tak menangis, suara isakannya tak terdengar lagi. Tubuh Jean menegang kala bayang-bayang Mikasa mulai meredup di depannya. Mengerakkan kakinya, Jean mencoba berlari mengejar gadis itu.

"Mikasa.."

"Mikasa..!"

"Mikasa...!"

"Jean.."

"Jean..he Jean, bangun!" Marco menguncang tubuh Jean.

Membuka mata, Jean mengerjabkan matanya di lihat sobat baiknya duduk di samping tempat tidurnya.

"Kau tak apa?"

Tanya Marco khawatir sambil memberikan segelas air putih pada Jean. "Kau mimpi buruk!"

"Hn, aku tahu.."


~0.0~


Dua minggu sudah cukup bagi Jean menahan rindu yang menyesakkan dada. Connie pasti akan tertawa terbahak-bahak saat mendengar kekonyolan ini. Begitu pula dengan yang lainnya, terutama Reiner. Mereka berdua pasti akan menertawakan Jean sepanjang hari.

Ini bukan masalah besar. Jean mampu mengatasinya, namun kenyataannya, Jean sama sekali tak bisa tidak terlihat cemas dan juga khawatir. Dua tahun lebih Jean bekerja di sini dan Mikasa tak pernah absen selama ini mengunjungi kafe.

Ada yang tak beres? Atau hanya kekhawatirannya saja yang berlebih.

Ini awal musim dingin. Banyak orang yang malas berjalan keluar rumah. Mungkin Mikasa salah satu dari mereka yang malas untuk keluar.

Tidak.

Mereka, Mikasa dan Eren selalu berkencan di sini. Apakah mereka sedang bertengkar? Sehingga mereka tak datang kesini lagi?

Tak mungkin.

Mereka bukan pasangan yang terlihat suka bertengkar. Mikasa akan selalu mengalah untuk Eren, itulah yang bisa Jean lihat dari pasangan muda itu.

Lalu apa?

Itulah teka-teki yang dipikirkan oleh pemuda tampan ini.

"Hai...masih memikirkan gadismu?" Tanya Reiner.

Kafe sedang sepi, para pegawai banyak yang berkelompok dan saling bercanda mengusir kejenuhan. Di kafe ini ada sekitar delapan pekerja, dua di dapur mengurus pesanan makanan, di bar counter ada Jean dan Marco yang bertugas meracik minuman. Sisanya menjadi waiter. Jika kafe ramai, Jean biasa berperan sebagai waiter juga . Itu jika terdesak, Jean tak akan mau repot harus mengurusi para tamu yang kebanyakan wanita itu. Baginya ini merepotkan.

Sebenarnya Jean tak kalah populer dari Reiner. Jean cukup tampan dan juga menarik. Namun, sikapnya yang tak peduli ini lah yang membuat para fansnya satu demi satu mundur untuk mendekatinya. Sikapnya juga sedikit tak ramah pada tamu, ini yang membuat manajer balck cosmos geleng-geleng kepala pada Jean. Dan menyuruh Jean stay di bar counter selama ini.

"Kau tahu, aku sangat populer dikalangan wanita. Jika kau ingin menanyakan sesuatu padaku tanyakan saja. Aku tak keberatan." Saran Reiner.

"Benarkah?" Jean menangapi. Ia tahu di kafe ini Reiner cukup populer dikalangan tamu wanita. Tapi Jean tak tahu jika Reiner benar-benar tertarik dengan salah satu dari mereka.

"Ya, bukanya aku sombong. Bahkan aku pernah berkencan dengan tiga wanita sekaligus."

Pernyatan Reiner barusan mampu membuat Jean menganga.

"Tiga? Jangan bercanda!"

"Aku serius. Tapi aku tak pernah serius dengan mereka. Paling lama cuma satu bulan, setelah itu...wuzzzzzz selesai." Menghisap tembakaunya perlahan, Reiner mulai membuka buku sketsa yang ada di meja. "Mereka berisik. Dan tak masuk akal." Keluh Reiner.

"Oh ya?" Jawab Jean sekenanya.

"Kalau kau tertarik, aku bisa mengenalkan salah satu dari mereka. Annie cukup bagus, jika kau suka tipe tsundere. Atau Hanna, tapi dia sedikit berisik." Tawar Reiner. Tangannya masih asik membolak-balikan buku milik Jean.

Tak ada jawaban, sudah pasti Jean tak tertarik dari salah satu wanita yang di sebutkan Reiner barusan. Kini fokus Reiner tertuju pada gambar-gambar kasar Jean. Ia tersenyum kemudian membaliknya lagi. Obyek gambar Jean tak berubah.

Hanya satu yaitu gadis cantik yang biasa duduk di dekat jendela. Lukisannya berbeda ekspresi. Ada saat gadis itu diam, tersenyum, tertawa, bahkan ada ketika gadis itu menangis. Kalau tak salah peristiwa itu tiga bulan lalu, ketika Eren-kalau tak salah namanya marah pada gadis itu.

Reiner tak menyangka, hanya dengan gambar kasar Jean, hatinya merasa hangat. Ini menarik untuknya. Bahkan Reiner berpikir jika Jean benar-benar sudah gila.

"Apa kau benar-benar menyukainya?" Cemooh Reiner tak percaya.

"Siapa?"

"Si oriental itu."

Jean mengerutkan alisnya bingung. "Maksudmu Mikasa Ackerman?"

"Bahkan kau tahu nama panjangnya." Kikik Reiner di akhir.

Jean nyengir, tak tahu itu merupakan sindiran atau pujian Reiner padanya.

"Dari mana kau mengenalnya?"

"Kau ingin mendengar ceritaku?"

"Tidak. Tapi aku ingin tahu. Apa yang kau rasakan itu Jean?" Reiner Memajukan wajahnya penasaran ke arah Jean. "Kau selalu membuatku merinding saat aku melihatmu menatap gadis oriental itu." Cicitnya geli.

Jean tertawa. "Itu pujian?" tanyanya pada Reiner.

"Tidak."

"Kau tahu Reiner. Cinta itu buta." Cengir Jean akhir.

"Dan kau benar-benar buta, Jean."

"Ya aku buta. Aku buta sejak pertama kali melihatnya."

"Kau menggelikan, mate!"

"Kau akan merasakan itu jika kau jatuh cinta suatu saat nanti, Braun."

Reiner mendengus, kemudian dia meninggalkan Jean. "Ya terserah kau saja, Mr. Patah hati."

"Sial!"


To Be Co...


A/N: Mikasa di sini, di gambarkan gadis yang ceria* berhubung di canon Mikasa kehilangan senyumnya setelah kematian kedua orang tuanya.

Kritik n saran sangat di terima untuk kemajuan cerita.

Terimakasih sudah membaca fic ini.