Inspired by The judge 2014

.

Jiwa yang Terpisah

.

Hidup adalah pilihan, itu memang benar. Menentukan mana yang baik atau yang menyenangkan hati.

Setiap saat, setiap langkah pasti menemukan persimpangan dan mau-tak mau seorang harus melintasi salah-satunya untuk bisa tetap berjalan. Namun, begini. Inilah pertanyaan sebenarnya yang selalu disembunyikan, manusia berpura-pura tidak mengetahui pertanyaan ini dan berusaha bahkan tidak ingin pertanyaan itu melintas dalam benaknya.

.

Mengapa manusia memilih jalan yang rumit? Kalau adacara yang lebih sederhana, apakah terlalu berat untuk dicoba?

.


"Keluarga Nyonya Huan bisa kembali pulang, sidang ditutup" ujar seorang pria tua mengakhiri ucapannya dengan mengetukan palu sebanyak tiga kali.

Sedang setelah itu wanita baya menangis penuh haru sambil memeluk pria berambut hitam yang kini menepuk-nepuk punggung wanita itu. Tak habis-habis ia mengucap terima kasih jika saja si pria berjas yang dibanjiri air mata, mengangguk pelan dan melepas pelukan itu. Ia tersenyum dan membalas, "Ini semua karena Anda tidak bersalah, Nyonya Huan, tolong tidurlah dengan tenang nanti malam" katanya.

"Terima kasih, Tuan Shikadai"

Ia menangguk dan menerima kecupan ringan di pipinya.

Masih menyalam satu keluarga dan beberapa orang yang ia libatkan sebagai juri, akhirnya ia keluar barisan bangku dan menjawab panggilan yang ternyata sudah berulang-ulang kali menelpon. "Ya, Sera"

"Jangan pulang tergesa-gesa,"

Keningnya mengerut sesaat seraya ia mencerna kata-kata lawan bicaranya di telepon.

Shikadai menautkan alisnya, sudah pasti Sera akan memberikan kabar yang tidak baik. Firasat buruk memang sudah sedari tadi ia rasakan, hanya saja ia abaikan agar tidak mengganggu acara sidang hari ini. "Katakan saja"

Di sebrang sana menghela napas, menyiapkan diri untuk berbicara demikian, "Ibu tidak sadarkan diri, beliau sedang dalam perawatan intensif"

Bagai satu detakan absen pada jantungnya, ia mematung. Tubuhnya kaku, telapak tangannya dingin. Denyut menyakitkan terlalu kencang menyengkram kepalanya, napasnya tidak beraturan.

"Shikadai..."

Kembali ia menenggak liurnya, ia mengagguk perlahan.

"...Dia akan baik-baik saja"


.

Membuka pintu dengan tergesa-gesa bahkan mungkin ia lupa meletekan kunci mobilnya di mana hanya untuk segera sampai ke ruang khusus Ibunya dirawat. Shikadai melintasi berapa lantai kastil kepunyaan keluarga Presiden Negri Angin, mengabaikan semua pekerja yang menyapanya.

Mata hijau yang mulanya menyalang mulai menyendu. Ia mengendalikan napasnya dan tersenyum melihat dua wanita yang tertawa satu-sama lain. Rupanya mereka sudah berbincang-bincang, wanita yang ia khawatirkan cukup membuat jantungnya berdetak normal lagi sekarang.

"Ibu" katanya pelan mengecup kening seorang wanita yang kini terbaring lemah dengan wajah pucat. Rambut pirangemas terurai tak beraturan namun tetap wajah cantiknya berseri-seri tak pernah dimakan usia. Setidaknya itu yang selalu Shikadai katakan padanya. "Kau cantik seperti biasanya" see? Aku tidak mengada-ada.

"Terima kasih" balas wanita itu. Ia mengecup pipi sang pemuda. "Bagaimana hasilnya?"

"Tidak perlu ditanyakan, Bu, dia sudah pasti menang" wanita berumur dua puluh lima tahun itu menanggapi dengan senyuman terlukis di wajahnya. Ia bangkit berdiri dan mendekati Shikadai yang kini juga berdiri tegak berhadapan dengan Sera –wanita berambut pirang yang sekarang melepas dasi Shikadai dan melipatnya. Kemudian ia merogoh tasnya lalu melempar sepasang pakaian ke arah Shikadai. "Mandi, Tuan" katanya.

"Terima kasih, sayang" bisik Temari –Ibu Shikadai sedang anaknya berjalan menuju kamar mandi.

Sera mengedipkan sebelah matanya dengan senyuman lebar. Ia kembali mendudukan dirinya di sebelah Temari ketika wanita itu meminta Sera untuk mendekatinya. Tangannya digenggam sangat erat.

Merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan, Sera agak memiringkan kepalanya untuk mendekatkan indra pendengarnya.

Temari menutup matanya sejenak lalu membukanya tepat setelah ia meghela napas, mengarahkan mata hijau sendu itu kepada pemilik wajah cantik yang sekarang ia raba tulang pipinya.

"Jangan menyerah padanya, Sera anakku" ujarnya pelan. Sera menggeleng pelan dengan senyuman kecil. "Aku tahu dia keras kepala dan menjengkelkan, jangan seakan dia tidak pernah menyakitimu" Keduanya terkekeh sebentar berusaha agar percakapan khusus untuk wanita ini tidak terdengar oleh Shikadai.

Temari melanjutkan, "Sudah sedari kecil aku mengenalmu, kau yang sangat berpengaruh baginya"

"Tidak, dia melakukan segalanya untuk Ibu"

"Tapi dia mencintaimu, Sera"

Kepala gadis itu merunduk, kemudian mendongakan kepalanya agar air mata dapat terhalang meski hanya bisa bertahan sebentar. Ia terkekeh kecil dan menggeleng, "Aku tidak tahu"

Sera memberanikan dirinya untuk menatap Temari yang kini tersenyum kecut, alisnya menyatu menyiratkan bahwa kesedihan yang Sera rasakan juga dapat dirasakan oleh Temari.

Ia menyeka air matanya, lalu tersenyum, "Aku akan terus mencintainya, Bu" katanya sambil membuat tanda silang dengan telunjuknya di dadanya. Membuat sumpah layaknya seorang anak dengan segenap hati dan ketulusan yang sungguh. Tawaan pelan membuyarkan raut konyol Sera dan ia menggeleng, "Tidak akan pernah kulanggar selamanya"

Lama Temari menatap Sera dengan senyuman di wajahnya. Samar raut wajah gadis itu berbayang seperti melihat dirinya ada dalam diri gadis itu. Seorang gadis muda penuh kasih dan sayang, semangat yang besar untuk mencapai sesuatu, yaitu; tinggal bersama kekasih hatinya.

Seorang wanita dengan mimpi sederhana, dapat membangun keluarga sendiri dengan kehangatan yang diciptakan oleh pasangan yang selalu dimabuk cinta setiap hari.

Dengan bergetar bibirnya, Temari membuka mulutnya dan kembali mengucapkan sesuatu, "Selama ini aku hidup, Sera, aku tahu dari semua orang bahwa cinta adalah seribu rasa, yang dominan di situ adalah kebahagiaan dan kesakitan

"Namun aku belajar sesuatu, bahwa ketika aku sudah mengenal apa itu cinta dan siapa yang kucintai, aku tidak bisa berhenti mencinta, meski itu menyakitkan"

Temari memalingkan wajahnya sebentar, tak ingin melihat gadis itu menangis tersedu-sedu.

"Dan aku baru menyadari sesuatu, bahwa rasa sakit yang kita korbankan tidak akan sia-sia, waktunya akan datang"

Untuk yang terakhir kalinya, isakan Sera terdengar. Ia menghapus air matanya dan membersihkan hidungnya. "Aku percaya"

Wanita paruh baya itu tersenyum lembut dan mengusap air mata gadisnya.

"Aku perlu waktu sebentar, Bu" katanya, ia beranjak keluar ruangan tepat ketika Shikadai selesai berpakaian.

Pria berumur dua puluh sembilan tahun itu mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan seorang yang dicarinya.

"Dia keluar sebentar" Sahut Temari.

Shikadai mengangguk dan ia mengecek alat-alat medis sekitar lalu membuka catatan medis mengenai kesehatan Ibunya.

Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca laporan yang membuatnya merasa agak lega sedikit.

Baru ia akan membuka lembar selanjutnya, Temari memanggilnya. "Ya?" sahutnya meletakan kembali buku tersebut dan mendekati Temari.

"Kau memenangkan sidang itu, bukan?"

Ia mengangguk, "Ya, media begitu cepat menjamur"

"Hei, bukan karena itu, aku hanya membenarkan ucapan Sera, kau memang akan selalu menang"

Shikadai terkekeh. Dia menduduki kursi dan mulai mengusap dahi sang Ibu.

"Rayakanlah seperti biasa" Lanjut Temari. Keduanya menoleh saat Sera membuka pintu dan masuk.

"Tidak bisa, aku harus menjagamu atau kau harus ikut"

Wanita itu menggeleng tertawa, "Aku sudah lelah berjalan, Shikadai, dengan Sera saja lebih baik, aku tidak akan mengganggu"

Mulanya Sera akan protes namun sedetik kemudian ia mengerti ketika Temari dengan sekelebat menyipitkan matanya berusaha mengatakan sesuatu yang harusnya dipahami oleh Sera.

"Ide bagus"

"Sera setuju, sana pergilah" Temari meyakinkan anak semata wayangnya dengan tatapan mendalam. "Ayolah, aku akan baik-baik saja bersama Matsuri"

Sera menepuk-nepuk tangannya dengan bersemangat dan penuh kegembiraan, ia menarik lengan Shikadai, "Mari bersenang-senang, Cengeng!"

Setelahnya mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan Temari yang kini tersenyum. Anak itu sungguh hebat mengubah suasana hatinya katanya, memejamkan mata.

Dan tertidur.

Berharap terbangun ketika sudah ada seseorang yang sudah sangat ia nantikan kehadirannya berada di sisi Temari.

.

"Aku yang menyetir" ujar gadis yang kini melebarkan matanya untuk mengancam pria yang masih di luar mobil. Sera menyelak masuk menduduki kursi supir sedang ia membukakan dari dalam pintu untuk Shikadai duduk di sebelahnya. Dua detik ia mengisyaratkan Shikadai untuk masuk, namun ia hanya bergeming di situ. "Hei orang tuli tidak mau disamakan denganmu, jadi cepatlah masuk

Lagipula aku tidak mabuk!"

Shikadai menghela napas tidak mampu berkkata-kata, menyerah pada Sera dan akhirnya duduk di sebelahnya.

Ia memasang sabuk, berharap ia tidak perlu tahu kegunaannya setelah ini.

Wanita itu mulai menghidupkan mesin dan menyalakan lampu untuk menerangi perjalanan. Setidaknya bukan karena 'tidak kelihatan' faktor yang menyebabkan mereka kecelakaan jika ada insiden malam ini.

"Jangan tegang, Tuan" katanya. Mobil mulai berjalan hanya saja kaki Sera terlalu ditekan sehingga bunyi mobil ini agak menyeramkan bagi Shikadai.

"Biarkan aku menyetir"

"Tidak, tidak, kau diam saja di situ menikmati sisa harimu" Shikadai menoleh lalu memicing. "Oh, tidak aku bercanda"

"Kau menabrakan mobilmu dua puluh empat kali Sera, tidak hari ini, biarkan aku menyetir"

Sambil terus melihat jalan dan mengendarai perlahan, ia menjawab dengan santai , "Dua puluh sembilan kali legalnya aku ditangkap polisi"

"Biarkan. Aku. Menyetir" Shikadai berharap ini terakhir kalinya ia memperingatkan Sera dan ia mendengarkannya. Tetapi ini yang ia dapat:

"Shut your damn mouth!" dan itu selalu membuatnya bungkam.

Kembali ia berharap, bahwa malam ini bukan terakhir kalinya ia dibentak seperti itu.

.

Mobil hitam terparkir sempurna di depan restoran Italia dengan desain kuno yang terkenal paling mahal sejagat Negeri.

Keduanya memasuki restoran dan mengambil meja lalu memesan makanan. "Keduanya jangan ada makanan laut apapun, dia alergi" ucapnya sambil terkekeh mendapatkan tatapan dingin dari Shikadai. Sang pelayan tersenyum kecil lalu mengangguk tanda mengerti. "Namun –umm –Nona Hannah," katanya setelah membaca papan pengenal di dada si pelayan, ia melanjutkan, "Tolong antarkan ke tepi pantai, ya, aku sangat berterima kasih padamu, sexy"

Pelayan itu tertawa malu, ia menyadari bahwa Sera tahu ketika dia meminikan roknya karena akan bertatap wajah dengan Shikadai. "Lipstick itu sangat cocok untukmu, Darling, jangan hilangkan senyum manismu" lanjut Sera dengan mengedipkan matanya.

"Tapi Nona, di sana sangat berisik dan banyak orang-orang yang tidak berkelas, tempat itu bukan milik restoran ini"

Berapa detik Sera menatap si pelayan tanpa berkedip dengan senyuman lebar yang terlihat sangat aneh. Hannah, mengangguk segera dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Italia lalu bergegas pergi.

Ia memalingkan wajahnya dan menatap Shikadai yang kini tersenyum kecil.

Sera ikut tersenyum hanya saja ia menyatukan alisnya, "Kenapa kau terlihat seperti orang sakit gigi? Mari ke belakang" katanya. Sera menarik lengan pria itu lalu mengajaknya berlari hingga Sera hampir terjatuh tersandung pasir jika saja Shikadai tidak menahan lengannya.

Wanita yang memakai baju biru muda itu melepas pagutan tangannya dan mulai menggerakan pinggulnya setelah melempar sepatu sembarang arah, mengikuti tarian yang lain diiringi musik pantai yang membuat Shikadai tertawa. Ia melihat sekeliling, mereka mulai menari mengelilingi Sera dan bernyanyi bersama.

"Kau mendengar musik ini dan tidak menari?" Tanya Sera setengah berteriak agar bisa didengar oleh Shikadai. Ia menarik tangan Shikadai dan mengajaknya bergabung.

Ya, itulah keunggulan Sera. Memaksa.

Tentunya Shikadai sudah lihai menari, karena ia dipaksa melakukannya setiap saat mereka mendengar musik yang selalu membuat Sera menari.

Wanita itu, memang selalu mengajak Shikadai ke tempat yang tidak pernah dapat dibayangkan Shikadai, tidak terduga dan terus membuatnya terkejut.

Dia terus melakukan sesuatu yang berbanding berbalik dengan kebiasaan Shikadai, mislanya ia suka mendaki gunung dan berselancar. Tetapi Sera akan mengajaknya ke tempat balet, pasar malam atau memancing –keributan.

Seperti sekarang.

Dia membuat tempat ini menjadi gila dengan terus menghentakan kakinya dengan lihai melakukan tarian Irlandia.

Shikadai bertepuk tangan bersama dengan yang lainnya ketika musik mengakhiri bersamaan dengan tarian mereka yang ikut berhenti. Tawaan terdengar sangat bahagia lalu mereka meminum sampanye bersama-sama.

Sera memberikan berapa lembar uang kepada musisi dan mereka melambaikan tangan kepada Sera dan Shikadai ketika wanita itu menarik tangan Shikadai untuk menjauh, menuju meja dekat bibir pantai.

.

"Oh tidak, sepatuku tertinggal"

Shikadai buru-buru mencegah Sera untuk kembali, "Tidak perlu diambil, biarkan"

Gadis itu mendengus, "Tentu, agar kau bisa menyetir 'kan!"

"Ya! Itu sudah jelas"

Tawaan terdengar dari mulut Sera, ia memeluk Shikadai dengan erat.

Melesakan kepalanya di dada bidang pria itu dan menghirupnya dalam-dalam. Ia menyengkram erat punggung Shikadai seakan berusaha memusakan hasratnya untuk memiliki Shikadai utuh tanpa boleh seorangpun menyetuh pria itu atau seakan pula tiada hari-hari berikutnya tersedia bagi mereka. Seolah setelah ini mereka akan berpisah untuk waktu yang lama dan tidak akan pernah bertemu kembali.

Dan mungkin hal itu memang akan terjadi

Terdengar samar lantunan lagu Perfect oleh Ed Sheeran mungkin berasal dari salah satu restoran di dekat tempat ini. Kurang jelas terdengar kadang kabur terbawa angin pantai namun cukup memanjakan telinga dan mendamaikan hati Sera saat ini.

Tersentak kaget sedikit ketika Sera sadar perlahan pinggulnya kini dilingkari oleh tangan kekar Shikadai dan pria itu mengajak tubuhnya untuk bergerak. Sera tersenyum lembut, ia mengadahkan kepalanya untuk menatap Shikadai, "Dansa yang sangat aku dambakan, Shikadai"

Pria itu membalas tatapan Sera, "Aku juga"

Keduanya mengatupkan mata, membiarkan petikan gitar dan setiap kata dari lirik lagu romantis itu menjalar memenuhi telinga mereka lalu mengalir turun sampai ke hati.

Berusaha mengungkapkan perasaan mereka melalui napas yang berhembus mengenai wajah satu sama lain.

Gerakan kaki kiri-kanan, tangan Sera yang mulai mengalungi leher Shikadai dan tangan Shikadai pula telah naik mengusap punggung wanita itu. Membuat dansa ini semakin merasuk mendalami emosi mereka.

Insting Shikadai sebagai lelaki, diikutinya. Ia mulai mendekatkan bibirnya, menyentuh pelipis Sera dan turun mengikuti rahang sempurna ciptaan Tuhan dan menyatukan mulutnya dengan kulit leher wanita itu. "Wangimu membuatku mabuk" ujar Shikadai masih menyesapi bagian tubuh sensitif milik Sera membuat sang gadis melenguh.

Sera menghentikan kecupan Shikadai, ia mendorong lelaki itu dengan kencang hingga tubuh mereka terhempas di atas pasir, Sera tertawa sangat keras.

Ia langsung meletakan kepalanya di atas dada Shikadai dan memeluk tubuhnya. Sera menoleh, melihat bintang-bintang, terkikik mendengar pria di bawahnya menggerutu.

"Aku lelah dikuntit oleh wanita berisik sepertimu, kalau boleh jujur"

"Tapi aku tidak pernah capek mengikutimu"

Dengan cepat Shikadai membalikan tubuhnya dan berada di atas wanita yang kini tertawa meminta ampun untuk segera dilepaskan.

Namun tawanya terhenti ketika ia melihat mata hijau Shikadai menatapnya dalam. Ia menangkup wajah Shikadai seraya ia berkata, "Kau sangat cantik" lalu perlahan mengecup bibir sang gadis.

Menyentuh bibir atas merah muda itu dengan pelan, mengecup bawahnya, keduanya dan melahapnya.

Sera menarik rambut Shikadai dan membalas kecupannya, merasakan sentuhan yang sudah sangat ia rindukan. Wanita itu menarik kepala Shikadai, berusaha mendalami ciuman mereka dengan sesekali mengambil kesempatan untuk bernapas.

Ditemani dengan deru ombak di bawah rembulan penuh bintang, kedua bibir itu saling berpagutan. Menjadikan angin sejuk malam ini sebagai saksi atas cinta bisu yang tidak akan pernah bisa terkatakan.

.

"Ya, aku pikir hanya debu yang ada di mataku, ternyata belek HAHAHA!" sendok yang sedari tadi sudah menanti di depan mulut gadis itu tidak sepatutnya dibiarkan hanya karena ia berbicara sedari tadi. Shikadai ikut tertawa dengan sepintas melihat makanan Sera akan habis sedikit lagi. "dan pemotretan itu tetap jalan! Untung saja mereka pintar menggunakan photoshop jadi mataku bisa dibersihkan" lanjutnya. Sedang Shikadai sengaja mendorong sendok di depan mulut Sera agar segera dilahap.

"Ugh...aku selesai" lanjutnya. Ia menyudahi makanya dengan menyapu sudut-sudut bibirnya, "Aku sudah kenyang sekali"

Shikadai mengangguk-anggukan kepalanya sambil mengambil sisa makanan yang terdapat di wajah Sera.

Wanita itu beranjak, "Kau juga sudah selesai? Ayo pulang"

Lama Shikadai terdiam tak meresponi ajakan Sera. Raut wajah sang gadis bertanya-tanya apa yang salah denganku, sih? salah tingkah memeriksa sekujur tubuhnya.

Sampai akhirnya ia tersadar akan sesuatu. "Aku harus apa?" bisiknya dengan alis bertaut dan senyuman kecut menunjukan ekspresi bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat-sangat-sangat bodoh.

Shikadai mendekati Sera, menunjukan punggungnya.

Gadis itu tersenyum lebar dan menaiki punggung Shikadai sementara si pria kini mulai berjalan. Hembusan napas sang gadis terasa hangat menjalari lehernya, dengan sengaja hidung Sera mengusap telinga belakang Shikadai. Ia mengecupnya berulang dengan lembut.

"Kau tambah berat"

Sera mengalungkan tangannya, menyengkram dagu Shikadai sebelum menjawab, "Kau yang tidak pernah menggendongku lagi"

"Aku tidak pernah menggendongmu, kau yang langsung naik"

Tawaan Sera sangat kencang sampai Shikadai dengan refleks menggedikan pundaknya. Thank God tidak ada orang sekitar sini batinya, atau dia harus menerima intimidasi dari berpuluh pasang mata yang menatap keanehan mereka –Sera, maksudnya.

Mereka melewati restoran menuju pintu keluar, mengabaikan seisi restoran itu yang mungkinterganggu dengan keberadaan mereka. Aku tidak perlu menjelaskan bagaimana suasana restoran bangsawan dengan musik simponi sekarang memerhatikan dua orang muda, wanita yang digendong dan kakinya kotor penuh akan pasir pantai. Dan, tanpa ada rasa bersalah tertawa dengan suara kencang di tengah ketenangan bangunan klasik ini.

"Terima kasih, sweetheart!" Sera melambaikan satu tangannya kepada para pelayan, keduanya merunduk lalu dengan cepat seorang pelayan yang bernama Hannah mengipasi wajahnya dengan air muka sangat terkejut. "Katakan mereka bukan Shikadai dan Sera Johnson!"

Yang lain menyahuti, "Aku menjadi paparazzi dadakan malam ini"

"Mereka memang begitu terus, selera yang aneh dan malah makan di luar area restoran, tapi aku berani bertaruh, tip yang ditinggalkan besar sekali"

"Kau benar"

Sedangkan dua orang yang sibuk menjadi bahan perbincangan, mereka berdebat –seperti biasa. Sera berisikeras untuk tetap menyetir. "Kumohon," katanya dengan wajah memelas. Shikadai tetap berkata tidak dengan ketusnya.

Ia tidak mengindahkan permintaan Sera dan malah menurunkan gadis itu dari punggungnya di pintu kursi sebelahnya.

Shikadai berjalan memasuki mobil dan terkejut mendapati Sera kini berdiri di dekat pintu.

"Aku tetap mau duduk di kursi ini" Sera memasuki mobil pula dengan perlahan duduk di atasShikadai menyamping. Kakinya ia lipat sedang tangannya mengalungi leher Shikadai membuat si pria menggeleng sebentar dan terkekeh kecil.

.

Melaju pelan melewati lalu jalan yang tidak padat terlintas lampu-lampu oranye ditemani lagu romantis yang sengaja Sera putar. Ia mendekati leher Shikadai dan mengecupinya. Begitu lama hingga pria itu menghentikan mobilnya dan mengecup bibir Sera. Mengulum bibir bawah sang gadis, memanjakannya dengan sentuhan lidah yang ringan.

Hembusan napas Sera semakin menambah hasrat untuk mengecup bibirnya ditambah lenguhan lembut membuat indranya semakin ingin mendengarnya lebih.

Satu kecupan panjang menghentikan gerak bibir Shikadai untuk kembali menyentuh Sera, gadis itu menatapnya. Shikadai membalas tatapannya dengan satu kalimat tanya tersirat dari matanya.

Sera menggeleng ringan, ia tersenyum merundukan kepalanya. "Aku akan menikah" ia menghela napas, kembali tersenyum dan menatap Shikadai.

Senyum kecil mengembang wajah Shikadai, ia mengangguk cepat.

"Shinki mengatatakan Natal kalau aku siap"

Mobil kembali melaju perlahan mulai cepat. "Kurasa aku harus siap, benar 'kan, Shikadai? Oh ya, dia mau mengajak makan malam, kau harus mau"

.


Ternyata bukan karena tidak mau mencoba, namun tiada kesempatan untuk memilih


.

Shikadai sudah mencurigai adanya kehadiran seorang baru di kastil. Mobil yang terparkir bukan milik Gaara maupun Kankuro atau milik orang-orang yang dikenalnya. Matanya menyipit bahkan ia sudah sadar betul tingkah Sera yang seakan ingin agar ia bersikap tenang.

"Kau tidak ingin tinggal di sini sebentar?" Tanya Sera, ia masih tidak ingin beranjak dari pangkuan Shikadai.

"Aku harus menemui Ibu" jawab Shikadai. Ia berusaha memindahkan Sera namun gadis itu langsung turun tak ingin menyusahi Shikadai.

"Tunggu" ia mengejar langkah cepat Shikadai dan menggenggam tangannya erat.

Tentu saja Shikadai akan berlari jika Sera tidak seakan menahan lajunya, ia semakin curiga ada beberapa orang yang tak dikenalnya namun terlalu lama jika ia harus menginterogasi satu-persatu.

Pintu lift terbuka, sampai pula di depan ruangan pribadi sang Ibu, Sera melepas genggaman tangannya, membiarkan Shikadai masuk dengan napas berat dan tatapan memicing.

Seorang pria membuka pintu dengan agaknya menenangkan napasnya. Ia tidak lama memerhatikan seorang asing sedang menggenggam tangan Ibunya yang obrolan mereka terhenti ketika pria itu masuk.

"Shikadai" panggil Temari, Shikadai berjalan pelan mendekati ranjang.

Terlihat Sera mendekap mulutnya erat di belakang Shikadai, ia menggeleng dan menangis dilihat oleh Temari, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, kalau-kalau Shikadai akan menghajar seorang pria yang kini menatapnya sendu.

Seorang pria yang sangat mirip dengan dirinya.

Seorang pria yang sangat dibenci dirinya.

Mungkin akan terjadi perkelahian setelah ini, mungkin Sera akan meringkuk menangis ketakutan melihat amarah Shikadai meluap, mungkin saja berita pembunuhan tersiar sampai ke ujung penjuru, Sera menahan isak tangisnya sekarang.

Tidak sanggup melihat betapa terkejutnya Shikadai, menahan emosinya, sangat ketara bagi Sera.

Tetapi, tidak. Tidak.

Pria itu berjalan pelan tidak menghiraukan seorangpun di sana, mendekati sebelah kanan Temari dan mengecupnya setelah ia memuji, "Kau cantik seperti biasanya" lalu menyisir rambut emas sang Ibu.

Seolah tidak percaya dengan kejadian yang terlihat, Sera menitikan air mata sambil terus mendekap mulutnya. Menhindari jika isakan lolos dari tenggorokannya. Gadis itu berjalan keluar, menyenderkan tubuhnya di balik tembok ruang Temari. Menangis di situ semampunya.

Lututnya tidak lagi kuat menopang, maka jadilah ia terduduk dengan paksa, benar-benar meringkuk dan menangis.

"Tuhan, jangan biarkan Shikadai memiliki pilihan" ucapnya dalam batinnya dan terus berujar demikian.

.

.

.

To be continued


Halo, udah lama banget aku ga nulis astaga –lebay banget. Btw, aku kangen banget berada di forum, website, ffn ini. Berusaha ngelupain, tapi tetep ga bisa! Kayaknya menghantui terus tiap malem kaya harus nulis ini cerita banget.

Okay, need your support, honey!

Please write your review, below!

Thank you!

Love,

Cristine