Tittle : My Past

Cast : Huang Zitao, Wu Yifan and Others

Genre: Drama and hurt/comfort

Genderswitch

Rated : T

AUTHOR : dabel17

Disclaimer : EXO milik SM, tuhan dan orang tua mereka. But this fict always be mine.

WARNING: TYPO,tdk sesuai EYD , ABAL DLL

HAPPY READING ^^

.

.

Chapter 1 of 4

Malam hari di tengah musim dingin angin terasa sangat menusuk kulit dan udara terasa begitu membekukan, terlihat sebuah tumpukan salju putih yang memenuhi sebuah balkon lantai dua dari salah satu rumah mewah yang ada di komplek perumahan elit. Di balkon itu hanya ada sebuah kursi taman panjang dan beberapa pot tanaman yang hanya tinggal ranting dan tertutup salju begitu tebal. Memang musim dingin tahun ini salju yang turun sangat lah banyak bahkan sering terjadi badai salju yang biasanya jarang terjadi pada musim dingin di kota Seoul ini. Suasana saat itu sangat sunyi karena pastilah para penghuni rumah lebih memilih untuk tidur berlapis selimut tebal di depan sebuah perapian melihat bagaimana dinginnya cuaca diluar saat ini. Tapi di sudut balkon yang penuh dengan tumpukan salju tadi terlihat sesosok gadis mungil yang sedang meringkuk seperti anak kucing membentuk sebuah posisi yang bisa menghangatkan tubuh mungilnya yang dari tadi bergetar karena udara diluar saat ini memang sangatlah dingin. Surai hitamnya yang sekelam langit pada malam itu terlihat kusut dan sangat berantakan, kulitnya yang sepucat es pun Nampak semakin pucat melebihi tumpukan es yang ada di sekelilingnya, kedua manic matanya yang hitam kelam nampak berkaca-kaca dan tak hentinya mengeluarkan Kristal - kristal bening yang membasahi pipi dan kedua lengan yang ia gunakan untuk menenggelamkan sebagian wajahnya itu, bibirnya tampak membiru dan terlihat sedikit darah yang sudah mengering disalah satu sudutnya. Tubuh gadis mungil itu tak henti-hentinya bergetar karena kedinginan dan isak tangis yang dari tadi ia lakukan.

Hingga sebuah suara pintu yang terbuka pelan mengusiknya, gadis mungil itu menghentikan isakannya dengan membekap mulut dengan kedua tangan mungilnya. Saat langkah kaki itu semakin mendekat padanya, gadis mungil itu hanya bisa semakin meringkukkan tubuhnya hingga sudut, lagi-lagi tubuh mungilnya kembali bergetar tapi kali ini bukan karena udara dingin yang ia rasakan yang daritadi menusuk kulit pucatnya. Getaran tubuh mungil itu terlihat sangat ketakutan saat langkah kaki tersebut semakin mendekat ke sudut balkon yang ia gunakan untuk meringkuk.

Malam yang sunyi dipertengahan musim dingin itu seketika menjadi memilukan, saat suara tangisan dan teriakan seorang gadis mungil menghiasi malam yang dingin itu. Gadis mungil yang tak bisa melakukan perlawanan itu hanya bisa berteriak dan menangis saat dirasakannya tubuh mungilnya kembali merasakan sakit akan pukulan seorang yang seharusnya menyayangi dan memberikan kasih sayang padanya, tangisan pilu dan rintihan gadis mungil itu tak terlalu dihiraukan oleh sosok lain yang berada di balkon tersebut. Hingga beberapa saat hal itu berlangsung dan tangisan sang gadis mungil mulai tak terdengar karena tubuhnya yang sudah jatuh meringkuk ke alam bawah sadarnya, gadis mungil itu tak sadarkan diri saat langkah kaki itu mulai melangkah keluar meninggalkan tubuhnya dan menutup pintu balkon, meninggalkan sosok mungil yang tengah meringkuk tak sadarkan diri di salah satu sudut balkon.

Tumpukan salju di sekeliling tubuh mungil yang tadinya putih pucat kini telah ternodai dengan cairan merah pekat. Gadis mungil itu masih tak sadarkan diri hingga seorang lelaki paruh baya membuka pintu balkon dan berjalan kearahnya. Lelaki itu menatap kasihan pada sosok mungil yang selama ini ia rawat semakin miris melihat tubuh mungil sang nona muda yang harus menerima siksaan dari nyonya besarnya yang berarti adalah ibu dari sosok munggil yang sekarang telah berada dalam gendongannya. Lelaki yang sering dipanggil dengan sebutan kepala pelayan Kim itu hanya bisa memandang miris tanpa bisa melakukan apa-apa karena yang melakukan ini semua adalah nyonya besarnya, nyonya Huang ibu dari sang gadis mungil yang bernama Huang Zitao tersebut.


Hari ini pagi – pagi sekali Tao sudah rapi, dia duduk di depan sebuah kaca yang menampilkan bayangan wajahnya. Rambut hitam legam sebahu dengan poni yang menutupi dahinya yang kali ini tertata rapi ditambah dengan sebuah pita biru yang menghiasi sisi kiri dari rambutnya menambah kesan manis dan imut untuk anak kecil seusianya. Gaun biru langit selutut yang berwarna senada dengan pita yang ia kenakan pun menambah sempurna penampilannya. Luka memar di bibir akibat kejadian beberapa waktu lalu pun sudah tak terlihat hanya luka lecet yang ada di siku kirinya yang masih menampakan bekas di kulitnya yang putih. Hari ini Tao bangun pagi - pagi dan berpakaian seperti ini untuk menyambut sang kaket tercinta yang rencananya akan berkunjung kerumahnya, Tao sangat senang saat diberi tahu oleh kepala pelayan Kim tentang rencana kunjungan sang kakek ke rumahnya. Sudah hampir satu bulan ini sang kakek tak mengunjunginya dan Tao sangatlah merindukan sosok kakeknya. Berbeda dari kedua orang tua Tao yang selama ini selalu menganggap dan memperlakukan Tao seperti bukan anaknya sendiri, sang kakek adalah sosok yang penyayang dan selalu memperlakukan cucu satu - satunya itu dengan penuh kasih sayang.

Tao berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu setelah tadi pelayan kim memberitahunya bahwa sang kakek sudah tiba dan sekarang sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Langkah gadis mungil itu sangat ringan, senyum yang selama ini tak nampak dari bibir mungilnya sekarang sudah kembali ketempatnya semula. Mata hitamnya menangkap sosok lelaki tua yang sedang duduk berbincang dengan dua sosok lain didalam sebuah ruangan. Senyumnya semakin mengembang saat dilihatnya sosok sang kakek menoleh kearahnya, memperlihatkan senyuman hangat ala sang kakek tercinta. Tao pun langsung berlari dan menghambur kedalam pelukan sang kakek. Hangat dan nyaman itulah yang ia rasakan saat sang kakek memeluknya dan mengusap-usap surai hitam nya dengan sayang. Tao sangat menyukai hal ini, hal yang selalu dilakukan kakeknya dan ini tak pernah sekalipun orang tuanya lakukan padanya.

Seharian ini Tao melakukan hal-hal yang sangat menyenangkan dengan kakeknya, hanya dengan kakeknya. Karena kedua orang tua Tao memilih untuk hanya menjadi penonton saat Tao tengah asik bermain dan bersenda gurau dengan sang kakek. Sesekali kedua orang tua Tao hanya membalas dengan senyum atau penolakan halus saat sang kakek menyuruh mereka bergabung.

"kami tak ingin mengganggu waktu kakek dan cucu, kami bisa melakukan hal itu dengan Tao kapan saja. Tapi ayahkan tidak akan bisa melakukan ini setiap saat"

Selalu kata-kata seperti itu yang keluar dari mulut kedua orang tuanya, sang kakek hanya mengangguk mengerti, sama sekali tak menaruh curiga pada anak dan menantunya tersebut. Kedua orang tua Tao sangatlah pandai berakting di depan sang kakek.

Semua kebahagian itu akan berlangsung seharian, hingga sang kakek menemani Tao untuk tidur dan membacakan sebuah buku cerita dan mengecup puncak kepala cucunya dengan sayang. Dan sang kakek akan mengusap - usap kepala sang cucu walaupun Tao sudah tertidur, hingga sang kakek akan berhenti saat sang menantu atau anaknya mengingatkan bahwa ini sudah larut malam. Dan begitulah akhir senyum bahagia sang cucu, karena pagi hari di saat Tao bangun dari mimpi indahnya. Hari-harinya akan kembali seperti biasa. Dan di saat malam ia tidur bukan mimpi indah yang akan ia temukan, tapi mimpi buruk yang selalu menjadi teman dalam tidur sang gadis mungil.


Siang ini saat Tao pulang dari sekolahnya, saat ia hendak turun dari mobil yang biasa menjemputnya. Tiba-tiba saja pelayan kim yang memang bertugas untuk menjemput sang nona muda itu memeluk tubuhnya dan mengusap surai hitam sang nona muda dengan sayang, cukup lama pelayan kim mendekap dengan sayang tubuh nona mudanya yang mungil itu hingga sang nona muda pun bertanya kenapa. Dan pelayan kim hanya bisa membalas pertanyaan polos dari sang nona muda dengan senyum hangat yang sangat terlihat dipaksakan. Hingga akhirnya pelayan kim mengajak untuk sang nona muda cepat masuk kedalam rumah. Tak bermaksut sama sekali untuk menjelaskan apa yang sebenarnya ia khawatirkan pada sang nona muda yang terlihat ingin tahu. Pelayan kim hanya bisa berdoa supaya sang nona mungilnya yang selama ini ia sayang seperti anaknya sendiri tak akan mendapatkan penderitaan lagi dalam hidupnya.


" ayah ibu Tao pulang "

Kata-kata itu selalu Tao ucapkan saat dirinya masuk kedalam rumah besarnya sehabis pulang sekolah. Gadis mungil berumur 7 tahun itu tahu bahwa teriakannya itu akan percuma. Ia tahu bahwa sang orang tua tak akan membalas ucapannya itu walaupun kedua orang tuanya sedang ada di rumah dan mendengar ucapannya sekalipun. Gadis kecil itu paham bahwa ia tak akan disambut dengan pelukan hangat dan pertanyaan seputar bagaimana kegiatan disekolahnya tadi, seperti yang biasa dilakukan oleh keluarga normal lain. Tao hanya diam walaupun hati gadis kecil itu selalu menangis saat menyadari kenyataan bahwa ia seperti anak yang tak di inginkan oleh kedua orang tuanya, terlalu muda untuknya memahami apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya.

Tapi gadis kecil itu mengerti, bahkan sangat mengerti akan penderitaan yang selama ini ia hadapi. Ia tahu bahwa sang ayah selalu menyalahkan sang ibu karena tak bisa melahirkan anak laki-laki yang bisa melanjutkan perusahaan besarnya. Ia tahu bahwa sang ayah membencinya karena gara-gara melahirkan Tao sang ibu harus rela kehilangan rahimnya dalam operasi setelah melahirkan Tao. Ia paham alasan sang ibu membencinya dan menjadikan Tao pelampiasan karena sudah menjadi penyebab hancurnya keluarga Huang. Gadis kecil itu paham akan penyebab penderitaannya, mimpi buruknya berasal dari dirinya sendiri. Dan ia sangat tahu itu.

Langkah kaki kecilnya terhenti saat ia sampai disebuah pintu kayu besar yang tertutup, sayup-sayup di dengarnya tangis pilu sang ibu. Tangisan sang ibu sangat menghancurkan hati milik gadis mungil itu, Tao sangat menyayangi kedua orang tuanya tak perduli dengan apa yang selama ini kedua orang tuanya lakukan. Tao tak menyadari sekarang mata hitamnya sudah mengeluarkan Kristal-kristal bening yang tak tahu sejak kapan sudah keluar dan membasahi pipi putih mulusnya.

Sudah sebulan ini sang ayah sakit dan tak sadarkan diri, dan selama itu pula sang ibu tak pernah keluar dari dalam kamarnya sehingga sudah sebulan juga Tao tak pernah bertemu kedua orang tuanya walaupun sebenarnya mereka ada dalam satu atap yang sama hanya pintu kayu besar ini yang menjadi penghalang. Nyonya Huang selalu merawat sang suami dengan sabar dan sayang tak perduli dengan apa yang suaminya sudah lakukan, tak perduli bahwa karena ego dari sang suaminya lah penyebab nyonya Huang yang lembut itu berubah kasar dan suka menyiksa sang anak tunggal mereka. Watak ibu dan anak yang sangat sama, menyayangi orang yang mereka sayang dengan tulus tak perduli sekasar dan sekejam apapun perlakuan yang sudah ia terima. Cinta tulus dari seorang istri kepada suami dan cinta yang putih dari sang anak kepada kedua orang tuanya, bukankah seharusnya ini sudah cukup untuk menjadikan keluarga kecil mereka selalu bahagia. Tapi nyatanya kebahagiaan itu hanyalah angan semata, karena cinta yang tulus itu tak mampu mengalahkan ego dari sang kepala keluarga.

Tao mengusap kasar airmata yang membasahi pipinya, tubuh mungilnya kembali bergetar dengan isakan –isakan kecil mendengar sang ibu yang kembali menangis pilu didalam sana. Ingin sekali gadis mungil itu masuk dan memeluk sang ibu dengan sayang, tapi tubuhnya seketika membeku tak mau bergerak barang seinchi pun. Tao terlalu takut jika sang ibu akan marah karena Tao paham sang ibu tak akan mau melihatnya apalagi dalam keadaan seperti ini. Sehingga Tao hanya berdiri diam sambil menahan isakan-isakannya, berdiri diam memandang pintu kayu besar yang menjadi penghalangnya hingga tanpa Tao sadari ia sudah berdiri disana selama berjam-jam.


Pagi ini di sebuah bukit yang biasanya sunyi, terdengar tangis pilu seorang gadis mungil. Tubuh mungilnya memeluk sebuah batu pualam hitam, gadis itu tak perduli dengan gaun hitam selututnya yang kotor dengan tanah yang basah karena hujan di musim semi yang turun sedari upacara pemakaman berlangsung. Langit masih kelabu, menegaskan bahwa ia masih belum puas menurunkan bulir-bulir beningnya. Langit seperti menemani sosok gadis mungil yang sedari tadi menangis tak perduli dengan baju yang sudah basah dan kotor, tak perduli bahwa bibir mungilnya sudah membiru, tak perduli badan mungilnya bergetar hebat karena udara yang begitu dingin dan tak perduli pada sosok pelayan Kim dan sang kakek yang sedari tadi sudah membujuknya untuk pulang. Bahkan gadis mungil itu berteriak mengusir kedua lelaki tersebut untuk pulang, gadis mungil itu hanya ingin bersama ayahnya, gadis itu ingin menemani ayahnya. Tak perduli sang ayah selama ini membencinya, tak perduli sang ayah yang selama ini tak menganggapnya.

Hati gadis mungil itu begitu tulus menyayangi sosok sang ayah, bahkan sekarang ia rindu bentakan sang ayah ia rindu pukulan kasar sang ayah. Ia rindu semua yang ayahnya lakukan, semua kenangan tentang sang ayah walaupun semuanya itu bukan kenangan yang indah tapi gadis mungil itu tetap rindu. Ia berharap ayahnya akan bangun dan memarahinya ataupun memukulnya kasar seperti biasanya saat sang ayah melihatnya mengotori pakaiannya walaupun itu hanyalah noda kecil yang bisa hilang dengan dibilas dengan air saja.

Tak disadari oleh ketiganya, ada sosok lain yang dari tadi menatap sang gadis mungil dengan airmata dan tatapan yang sulit di artikan. Marah, benci, muak, sedih, haru, sayang entah apa arti tatapan wanita yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon yang letaknya tak terlalu jauh dari tiga sosok lain itu.


Tiga tahun setelah kematian ayahnya, tuan Huang. Kehidupan Tao masih sama seperti sebelum ayahnya meninggal hanya saja sekarang sang ibu tak lagi memukulnya bahkan berteriak atau memarahinya saja tak pernah. Tapi jujur saja Tao lebih memilih sang ibu yang seperti dulu, selalu bertindak kasar dan memarahinya daripada ibunya yang sekarang. Memang semenjak kematian suaminya sang ibu lebih pendiam, tak terlalu banyak bicara dan malahan jarang terlihat. Sang kakek pun sering menegur dan menasehati nyonya Huang saat berkunjung kerumah dan melihat Tao yang sendirian dirumah, kakek Tao juga tak tega melihat nyonya Huang yang adalah anaknya satu-satunya itu menjadi pendiam dan berubah semenjak kepergian sang suami.

Bahkan pernah suatu hari Tao memberanikan diri menemui ibunya yang sedang duduk melamun ditaman belakang rumahnya. Gadis kecil itu memberanikan diri untuk bertanya kepada sang ibu, tak seperti dulu saat sang ibu akan marah dan memukulnya kini nyonya Huang hanya diam tak menatap sang anak yang sedang berlutut sambil menangis di depannya. Tangisan Tao semakin menjadi saat sang ibu hanya diam dan masih memandang langit dengan tatapan kosong. Dipeluknya kaki sang ibu berharap sang ibu akan memberi respon seperti dulu, Tao ingat sekali sang ibu tak suka bersentuhan dengannya bahkan hanya berdiri dengan jarak 3 meter di sekitar sang ibu saja sudah bisa membuat nyonya Huang marah dan murka kepada anaknya itu. Tapi apa kini? Sang ibu bahkan tak bergerak saat Tao memeluk dan menangis terisak di kakinya.

" kenapa ibu tak bicara hiks?jangan hiks seperti ini hiks hiks bu. Pukul hiks pukul saja Tao hiks hiks seperti dulu bu hiks hiks"

Berulang kali Tao memohon supaya sang ibu tak lagi diam dan bahkan Tao menawarkan dirinya untuk dipukul sang ibu, tapi sepertinya sang ibu tak bergeming dan masih terdiam dengan tatapan kosongnya. Tao semakin tak tau harus berbuat apa saat menyadari sang ibu masih saja diam. Akhirnya ia melepaskan pelukannya pada kaki sang ibu dan berlari masuk kedalam rumah. Gadis mungil itu masih terus saja menangis. Nyonya Huang hanya diam, tatapan mata hitamnya masih kosong hingga dirinya mirip sebuah patung daripada sebuah manusia. Hingga tiba-tiba Tao sudah kembali berada di hadapannya. Gadis kecil berusia 10 tahun itu tersenyum, tak ada lagi airmata atau isakan yang ada hanya sebuah senyum tulus yang terasa sangat menyakitkan jika dilihat.

Tao berjalan mendekat,

.

.

Selangkah

.

.

Dua langkah

.

.

Tiga langkah

.

.

Hingga jarak ibu dan anak itu sudah cukup dekat, tanpa aba-aba Tao memotong rambut hitam panjangnya dengan sebuah gunting yang entah sejak kapan gadis kecil itu bawa. Rambut hitam indahnya kini sudah terpotong berantakan hingga menggantung diatas bahu. Tak berhenti sampai disitu sekarang Tao mengarahkan gunting tajam itu keperutnya hingga baju yang tadi ia pakai sudah robek tak beraturan sehingga memperlihatkan perutnya. Kulit perut yang putih mulus itu sekarang sudah ternoda dengan cairan merah kental karena sebuah gunting yang tanpa perasaan melukai dan memberi luka sayatan yang cukup panjang.

"ini untuk penderitaan ibu karena sudah melahirkan anak monster seperti Huang Zitao, ibu aku minta maaf untuk penderitaanmu"

.

.

.

TBC

Maaf bgt kalau critanya gak menarik dan boring huhuhu,

MAKASIH BGT BUAT READERS YANG UDAH MAU BACA DAN REVIEW FF INI^_^

KRITIK DAN SARAN SELALU SAYA BUTUHKAN

RCL ya yang udah baca.. ^^

Mohon dukungannya buat next chap *BOW ^^