Disclaimer : BLEACH©Tite Kubo, MARSHMELLOW©Relya Schiffer

Rate : T

Pair : Keroyokan alias banyak.

Genre : Romance, friendship

Warning : Sequel story from 'LOLLIPOP', AU, OOC, gaje, abal, aneh, nista, typo(s), etc.

A/N : Weleh, weleh. Niat hati menjadikan fic Lolipop sebagai one shot, eh ternyata banyak yang nanyain sequel-nya. Akhirnya kubikin juga deh. Berhubung ini sequel, bagi new readers kusarankan untuk mampir dulu ke fic-ku yang berjudul 'Loliipop'. Biar nggak bingung, hehehe.

Nah, kali ini akan menampilkan Soi-ggio sebagai pembuka. Kupersembahkan chapter ini untuk Scarlet Yukarin (yang nge-request secara personal) dan seluruh pecinta Soi-ggio di FBI.

Okeh, happy reading, minna-san…^^


"Apa yang kau masukkan ke dalam lollipop itu, Kisuke?"

"Semacam sihir, love magic tingkat rendah, Yoruichi. Pemilik lollipop itu, akan berjodoh dengan orang yang menemaninya saat ia memakan permennya. Hanya pada jilatan pertama sihir yang kutambahkan akan berlaku."

"Yakin akan berjalan lancar? Berapa kemungkinan keberhasilan sihirmu itu?"

"Kuharap lebih dari 80%. Dan sengaja kupilih objek anak-anak karena alam bawah sadar mereka lebih mudah untuk diberikan sugesti. Tingkat keberhasilah sihirku jadi cukup tinggi. Semoga saja kita masih hidup 12 tahun lagi, jadi kita bisa menyaksikan apakah sihirku sukses besar atau tidak."

.

.

.

MARSHMELLOW

BY

RELYA SCHIFFER

Chapter 1 : The Sweetest Grape (part I)

.

.

.

"KEMBALIKAAAN!"

Sebuah teriakan kesal menggema keras. Ruang loker Karakura Senior High School pun mendadak ramai didatangi para murid yang kebetulan mendengar teriakan masih banyak murid yang datang, kecuali mereka yang terhitung rajin atau belum mengerjakan PR.

Seorang siswa berambut hitam menutup telinganya erat-erat. Dia meringis kecil sembari terkekeh pelan. Terbayangkah bentuk wajahnya sekarang? Meringis sambil terkekeh?

"Kalau tidak kau kembalikan, kuhajar kau, Vega!"

Deretan gigi putih itu kembali dipamerkan. Pemiliknya yang bermata emas menatap siswi berseragam di hadapannya―berdiri dengan tangan terkepal dan wajah merah padam.

Eh? Sudah sampai batas kesabaran minggu ini, ya?

"Ah, kau pelit sekali, Soifon. Semalam aku main game dengan Grimmjow sampai larut. Jadi aku lupa mengerjakan PR. Ayolah, Soi, aku pinjam sebentar. Ya, ya, ya?"

Rayuan gombal! Wajah innocent instant itu tidak akan bisa mengelabui kali ini.

"Sekali kubilang tidak, berarti tidak!" geram siswi berkepang. Ia mulai mengadahkan tangannya. Sedangkan sepasang mata abunya yang menyorot tajam terarah pada buku tulis bersampul di genggaman siswa bermata emas lincah itu.

"Kuminta baik-baik sekali lagi, kembalikan bukuku, Vega!"

Pemuda berusia 17 tahun itu merengut. Sudah dua belas tahun berlalu, tapi dia masih juga dipanggil dengan nama keluarga. Padahal mereka tetangga, teman sejak kecil, teman baik pula. Err, yang terakhir perlu dipertanyakan. Karena dari caranya menatap, siswi itu jelas sedang tidak menatap sorang teman. Apalagi dalam kategori teman baik.

"Kejam sekali," berlagak mencibir, siswa berkepang itu menyodorkan buku di tangannya.

Hanya menyodorkan, tidak memberikan. Dia memaksa siswi itu melangkah mendekat ke arahnya untuk menggapai bukunya. Tangan mungilnya meraih (atau merampas?) buku itu dengan kasar. Permata kelabu gelap menatap bola mata emas dengan tajam.

"Sekali lagi kau berani menyalin PR-ku tanpa seizinku, akan kubuat kau menyesal pernah mengenalku. Ingat itu!"

Usai melancarkan ancaman, siswi itu berlalu. Sedangkan siswa yang diancam hanya cengar-cengir tanpa rasa bersalah. Terus dipandanginya sosok mungil itu hingga menghilang di balik tembok. Keributan sudah selesai. Beberapa murid yang perhatiannya tersita oleh keributan rutin itu pun mulai beraktivitas kembali.

Tatapan mata emas siswa berkepang itu tertuju pada lantai di bawahnya. Selembar kertas tergeletak di sana. Keningnya agak berkerut saat menatap kertas itu―kertas berwarna biru, semacam brosur, dengan gambar dan tulisan-tulisan berdesain menarik serta warna cerah. Sepertinya jatuh dari buku siswi berambut biru tadi. Sambil meraih kertas itu, siswa berambut hitam itu tersenyum simpul.

Takdir akan selalu punya jalan untuk mempertemukan dua orang yang telah terikat. Benar, kan?

"Masih juga mengganggu gadis galak itu, Ggio Vega?"

Siswa yang dipanggil Ggio Vega menoleh pada sosok berambut dirty blonde yang sedang bersandar santai di salah satu pintu loker. Dia tersenyum meledek.

"Masih belum putus asa juga?" cecarnya lagi.

Ggio berseringai kecil.

"Tesla Lindocruz seharusnya tahu siapa yang dia ajak bicara. Ggio Vega tidak kenal kata kalah," balasnya, sedikit terdengar sombong.

Sungguh sebuah hiburan yang menarik.

Tesla terkikik geli. Dia beranjak dan merangkul rekan sekelasnya itu, kemudian―dengan setengah memaksa―menariknya untuk mulai mengayunkan langkah. Kedua sosok tampan yang cukup menarik perhatian murid perempuan itu pun menyusuri koridor menuju kelas mereka.

"Sombong sekali kau. Jaga ucapanmu, atau kau akan terkena tulah dari kata-katamu sendiri," Tesla memperingatkan. Cukup bijak sebagai teman.

"Selama aku bisa mewujudkannya, tidak masalah, bukan? Atau kau merasa bermasalah? 'Target'-mu sama denganku, ya?" kali ini giliran Ggio meledek. Diliriknya teman karibnya itu dengan tatapan penuh curiga. Tesla tahu, dia hanya bercanda. Karena itulah ia akan meladeni candaan itu.

"Kau yakin aku boleh ikut serta dalam kontes ini, Ggio? Kau yakin bisa menang dariku?"

Lagi-lagi, Ggio tertawa. Wajah manisnya membuat beberapa siswi yang melintas―dan sedang sial lantaran masuk dalam jangkauan pesona Ggio―langsung ber-blushing ria tanpa diminta. Ada yang tersenyum lebar seperti orang gila, ada yang menjatuhkan buku yang sedang dipegang, bahkan ada yang sampai pingsan.

Ah, yang terakhir itu berlebihan. Tapi, adakah yang percaya? Bahwa Ggio Vega terlalu mempesona? Tolong hentikan!

"Siapa pun kau, jika sudah menjadi lawanku, akan kuladeni habis-habisan," setelah tawanya berhenti, Ggio menjawab pertanyaan Tesla dengan santai. Biar pun begitu, tetap terasa keseriusan dalam kata-kata itu.

Tesla melepaskan rangkulannya dari pundak Ggio. Ia memindahkan kedua tangannya ke dalam saku. Mereka terus melangkah.

"Karena itulah aku tidak berminat bersaing denganmu. Itu membosankan, Ggio."

"Bilang saja kau takut kalah, Tesla! Hahaha, murid kelas tiga Karakura Senior High School ada yang takut persaingan. Ck, ck, ck…"

"Urusai!"

Ggio terpingkal-pingkal. Sedangkan Tesla hanya mengulum senyum. Tentu saja dia tidak berminat pada perebutan yang mereka bicarakan. Karena 'hal' yang diperebutkan sama sekali tak menarik baginya. 'Hal' itu hanya menarik bagi Ggio.

Ya, Tesla paham. Satu-satunya hal menarik bagi sahabatnya itu sejak bertahun-tahun―hanyalah seorang Shaolin Fon.

*#*#*#*

Sebuah buku bersampul dihempaskan di atas meja dengan keras. Spontan, beberapa siswi yang sedang berkerumun di meja itu pun tersentak kaget, termasuk beberapa murid lain yang telah ada di kelas. Satu, dua, tiga, oh―delapan pasang mata langsung menyorotkan ekspresi yang sama : kaget.

"S-Soifon? Astaga, hampir copot jantungku!" seloroh seorang siswi bermata violet.

"Ah, benar. Kau membuatku kaget, Soifon-chan," tambah seorang siswi bercepol.

Soifon, tersangka yang baru saja menganiaya sang buku malang, bertolak pinggang. Mata kelabunya seperti elang yang sedang memilih mangsa untuk dijadikan santapan.

"Katakan, siapa yang membiarkan Vega meminjam buku PR-ku?" tanyanya garang. Sengaja ia menekankan nada pada kata 'meminjam'. Ya, karena dimana-mana 'meminjam' haruslah disertai izin. Dan yang terlalu sering ia alami justru sebaliknya.

Siswi berambut perak dan bertubuh paling tinggi terdengar menelan ludah dengan keras. Wajahnya memucat seketika. Dan reaksi ini tak luput sedikit pun dari mata Soifon. Ditatapnya siswi itu tajam.

"Kau Isane?"

Ah, itu bukan lagi pertanyaan, tapi sebuah tuduhan. Dan sebelum Isane menjawab, terdengar suara lain menyelak.

"Jangan salahkan temanmu dulu, Soi,"

Soifon memutar kepalanya ke arah seorang siswi tomboy yang duduk di barisan kedua dari meja tempat ketiga teman baiknya berkumpul. Siswi berambut pendek itu sedang bertopang dagu. Kelihatannya dia sedang berbincang santai dengan sahabat dekatnya, Si Rambut Orange itu.

"Apa maksudmu, Arisawa?" tanya Soifon

"Si Kepang itu tadi datang saat kamu tidak ada. Dia melompati jendela seperti biasa," Tatsuki menjelaskan.

Gemeretuk rahang Soifon membuat Isane bergidik ngeri. Berani taruhan, sebentar lagi akan ada asap yang keluar dari ubun-ubun teman sebangkunya itu.

"Iya, Tatsuki-chan benar, Soifon-san. Kuchiki-san dan Hinamori-san belum datang. Isane-san juga sudah berusaha keras melarang. Tapi Vega-kun tidak peduli," sambung Si Rambut Orange menjelaskan, Orihime Inoue.

Soifon kembali menatap Isane yang masih bertampang pias. Sebersit sesal menelisik ke hatinya melihat reaksi gadis jangkung itu. Ah, apakah image-nya memang seram sekali?

"Benar, Isane? Kamu sudah melarangnya?"

"Te-tentu saja, Soi. Aku tahu akan seperti apa reaksimu. Tapi, dia tetap ngotot," jawab Isane pelan.

Remaja berkepang dua itu pun menghela nafas. Dia telah salah sangka.

"Gomenne, Isane. Aku telah menuduhmu tanpa bukti."

Senyum cerah merekah di wajah Isane, "Iie, tidak apa. Itu bukan masalah,"

" Hei, Soifon," panggil Rukia. Sejak tadi ia terus mengamati Soifon tanpa disadari oleh yang diamati. "Apa kau tidak heran dengan sikap Ggio padamu?" tanyanya saat Soiifon menoleh.

"Apa? Heran apa?"

"Sikapnya aneh. Kau tahu, selama ini dia hanya mengganggumu. Sejak kecil, hanya kau yang diganggunya."

"Ah, benar, Soifon-san," tambah Momo. "Aku juga heran. Ggio-kun selalu cuek kepada semua anak perempuan, kecuali kamu."

Entah kenapa, mendengar penuturan Momo barusan, Soifon merasakan sensasi aneh di dalam dirinya. Hei, jantungnya seperti berhenti berdetak. Nafasnya tertahan. Ada apa ini?

"Kalian bicara apa, sih? Jangan sembarangan!" tandas Soifon seraya mengibaskan tangan. Dia berpura-pura membaca buku Fisika di hadapannya. Padahal tak satu pun angka serta huruf yang ada di sana mampu dicerna dengan baik.

"Kurasa dia hanya berminat mengganggumu, dia tidak berminat pada gadis lain selain kamu," Rukia semakin gencar. "Seperti―kau berbeda baginya."

Sofon berjengit. "Apanya yang berbeda? Dia hanya senang mengangguku, Rukia. Dia menyalin semua PR-ku. Dia juga selalu meledekku. Dia tak pernah bisa membiarkanku tenang sebentar saja."

"Kau yakin begitu? Apa kau yakin tak ada maksud lain dibalik sikapnya selama ini padamu?" Rukia kelihatan ragu.

"Tentu saja!" tegas Soifon.

"Atau mungkin―" Momo meletakkan telunjuk di dagunya, terkesan berpikir. Kemudian dia menatap Soifon polos, "―dia menyukaimu, Soifon-san?"

Tebakan Momo membuat Soifon tercekik. Yang benar saja? Selama ini dia tak pernah memikirkan tentang Ggio sampai sejauh itu. Tentu apa yang dikatakan Momo itu salah. Iya, kan?

Isane tersenyum kecil. Sejak tadi, dia hanya menjadi pendengar di antara obrolan ketiga temannya itu. Jadi, sepertinya akan lebih seru jika ia ikut bicara. Perlahan, Isane mendekati Soifon dan berbisik pelan di telinganya.

"Pipimu merah, Soifon."

Soifon tersentak. Ia menjauh dari siswi berambut perak itu dengan gerakan menyentak seraya menutup mulutnya dengan punggung tangan. Rukia dan Momo tertawa terpingkal-pingkal melihat rekasi Soifon yang―menurut mereka―terlalu berlebihan itu. Kalau memang yang dirasa hanya benci, reaksi seperti tadi sungguh sangat tidak perlu, kan?

"A-apa maksudmu, hah?" Soifon bertanya agak keras. Pipinya makin memerah.

Kali ini Isane tak bisa lagi menahan diri. Akhirnya, ia pun terkikik.

"Ah, gomenne, Soi. Aku hanya merasa, ekspresimu itu lucu sekali. Dan aku tidak bercanda. Kau manis sekali kalau blushing begitu," kata Isane setelah tawanya reda.

Soifon masih tak bisa menjawab dan hanay mengerutkan kening.

Ya, kenapa? Kenapa dia harus bereaksi seperti ini? Ayolah, yang sedang dibicarakan hanyalah seorang Ggio Vega. Seorang anak laki-laki jahil yang selalu mengganggunya. Anak laki-laki yang―

Soifon terpaku. Tiba-tiba saja semua yang ada di sekelilingnya memudar. Hanya menyisakan ia dan slide-slide hitam putih yang bergerak cepat.

.

.

.

"Itu milikku."

Terdengar sebuah suara dari atas. Anak laki-laki itu pun mendongak. Didapatinya seorang anak perempuan berambut biru pendek sedang duduk di batang pohon yang menaungi mereka. Anak perempuan itu menatap ke bawah, kelabu dan keemasan bertemu pandang.

"Terjatuh atau kau berikan padaku?" anak laki-laki berkepang pendek itu menyeringai kecil.

Tersirat raut tidak suka dari si anak perempuan. Dia pun melompat dengan gerakan lincah, mendarat tepat di depan anak laki-laki yang memegang erat lollipop berwarna ungu. Dia mengulurkan tangan mungilnya.

"Sini, kembalikan!"

Melihat ketidakramahan anak perempuan berkepang, si anak laki-laki semakin menyeringai. Dengan gerakan cepat, ia membuka pembungkus lollipop dan memasukkan permen itu ke mulutnya sendiri. Aroma anggur langsung menguar.

"Yah, sudah kumakan," ucapnya meledek.

"Hei, kau mencuri! Aku tidak memberikannya padamu," anak perempuan itu mulai marah.

"Kau itu angkuh sekali," cibir si anak laki-laki sambil terus menjilati lollipop yang―memang―bukan miliknya itu dengan gaya lebay.

"Kau menyebalkan sekali! Pokoknya kembalikan permenku!" si anak perempuan bersikeras, masih menadahkan tangan dengan wajah geram.

Anak laki-laki itu justru tertawa. Sifat usilnya memang sudah tersebar di Las Noches, apartemen tempat tinggalnya. Dan hari ini, dia menemukan kegiatan menarik selain berdiam diri sampai ia ditemukan.

Ini akan lebih seru dari pada petak umpet.

"Namaku Ggio Vega. Tangkap aku kalau kau bisa…"

.

.

.

"Soifon? Kau tidak apa-apa?" Rukia menggoyang-goyangkan tangannya tepat di depan wajah Soifon. Ia tak berhenti sampai temannya itu mengerjap beberapa kali. Aneh. Kenapa Soifon tiba-tiba bengong begini?, pikir siswi bermata violet itu. Dia berpandangan dengan Isane.

"Soifon-san? Kau kenapa?" Momo ikut bertanya.

"Eh?" Soifon kelihatan seperti orang bingung. Dia menoleh ke arah teman-temannya. "Euh, maaf, aku mau ke toilet sebentar," ujarnya sambil tersenyum aneh.

Soifon segera bergegas, meninggalkan Rukia, Momo dan Isane yang masih bertatapan heran. Langkahnya yang cepat berubah menjadi lebih cepat. Dia berlari.

Entah kenapa koridor kelas tiga terasa lebih panjang dari biasanya. Butuh beberapa waktu bagi Soifon untuk mencapai toilet anak perempuan. Beruntung, ketika ia sampai di sana, toilet sedang kosong. Soifon segera berdiri di depan cermin dan menyalakan keran. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin.

Tunggu dulu.

Kenapa? Ada apa? Kenapa wajahnya terasa panas? Hanya dengan mengingat semua keusilan anak itu dia bisa jadi seperti ini? Hanya dengan mengingat saat pertama kali mereka bertemu, jantungnya sudah berdegup keras begini? Apakah pipinya benar-benar merah, seperti yang dikatakan Isane di kelas tadi?

Oh, ayolah. Ggio itu menyebalkan. Dia sangat mengganggu ketenangan.

Tapi…

Tangan mungil Soifon mengusap wajahnya yang basah. Sepasang mata kelabunya menatap sesosok gadis berambut pendek yang terpantul di cermin. Dan dia hampir tak percaya bahwa semburat kemerahan memang muncul di pipi gadis berkepang itu.

"Mungkin―dia menyukaimu, Soifon-san."

Kening Soifon sedikit berkerut mengingat kata-kata Momo. Tangannya yang bertumpu pada wastafle terkepal. Dia menundukkan kepala.

"Tidak mungkin…" desisnya seraya mengangkat wajah dan menatap bayangan di cermin untuk kedua kalinya. Seperti mencari kepastian.

"Dia tidak mungkin… menyukaiku, kan?"

*#*#*#*

Ggio celingukan di depan gerbang sekolah sendirian. Bel tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi beberapa saat yang lalu. Ajakan pulang bersama dari Grimmjow, Tesla, dan Neliel pun sempat dilontarkan kepadanya lantaran tempat tinggal mereka sama―Apartemen Las Noches. Tapi, Ggio menolak ajakan itu. Dia masih punya urusan yang harus diselesaikan.

Ketika melihat seorang siswi melangkah sendirian di pelataran sekolah, Ggio tersenyum kecil. Ia segera menghampiri siswi berkepang itu. Tatapannya tetap ramah sekali pun reaksi yang diberikan siswi berambut biru tua itu bukanlah sinyal positif.

"Hai, Soifon."

"Mau apa lagi kau?"

Ggio pura-pura kaget. Ia mengerucutkan bibirnya, berlagak merengut.

"Ah, kau itu judes sekali padaku. Apa sih salahku padamu?"

Dalam hati Soifon menggeram sengit. Entah kenapa ia selalu kesal jika melihat Ggio. Mungkin insiden lollipop dua belas tahun lalu telah memberikan kesan negatif dalam hubungan mereka.

Hubungan teman, tentu saja.

"Pikirkan sendiri apa salahmu!" Soifon langsung bergegas melewati Ggio. Namun belum jauh ia melangkah, pergelangan tangannya telah digamit. Perempuan bertubuh mungil itu pun mendengus sebal. Ia tahu siapa pelakunya.

"Lepaskan aku, Vega!"

"Kau sedang mencari kue ulang tahun, kan?"

Soifon terdiam sejenak. Kata-kata tajam yang telah menggantung di ujung lidahnya batal terucap. Dengan kaku, dia menoleh. Saat itulah ia mendapati Ggio sedang tersenyum manis ke arahnya. Genggaman tangan pemuda itu terlepas.

"Brosur kue ini jatuh dari buku PR-mu tadi pagi."

Ggio menyodorkan kertas di tangannya yang sedari tadi luput dari perhatian Soifon. Kertas bergambar macam-macam kue itu pun langsung direbut Soifon.

"Arigatou," ucap Soifon pelan, terkesan tidak rela. Tanpa memberi kesempatan pada Ggio untuk mengucapkan balasan, ia segera melangkah

Ggio menghela nafas. Susah sekali menakhlukan singa betina cantik satu ini.

Beberapa detik kemudian, mata emasnya yang terarah pada Soifon berbinar cerah. Yah, dia akan menanggung semua resiko dari sebuah keputusan nekat yang akan diambilnya : mengikuti Soifon.

"Kau mau mencari kue untuk siapa?"

Ekspresi tidak suka muncul di wajah Soifon ketika Ggio menjajari langkahnya. Serius, pulang bersama dengan orang yang dibenci membuat gadis bermata kelabu itu merasa sedang bermimpi buruk.

"Bisa tidak kau berhenti mengikutiku?" tanya Soifon tajam.

Ggio tersenyum kecil. Dia mengangkat kedua tangannya dan meletakkan di belakang kepala, bersikap sesantai mungkin sambil terus melangkah.

"Aku hanya bertanya," jawab pemuda berambut hitam itu enteng. "Apa salah kalau aku bertanya? Niatku baik, kok. Siapa tahu kau kesulitan mencari kue ulang tahun―untuk siapa pun itu―jadi, aku bisa membantumu."

"Aku tidak butuh bantuanmu," Soifon tetap berkeras.

"Yah, baiklah. Satu yang perlu kau ingat. Aku tahu di mana toko yang menjual kue ulang tahun rendah lemak dan harganya murah."

Usai berkata, Ggio mempercepat langkahnya. Ia tak sempat melihat ekspresi aneh Soifon setelah mendengar kata-katanya tadi. Entah kenapa, dia tahu bahwa Soifon akan memanggilnya.

"Tunggu, Vega!"

Tuh, benar, kan? Ggio berseringai kecil. Namun saat ia menoleh, seringai itu sudah lenyap. Dia menatap Soifon dengan tatapan biasa, padahal hatinya sedang bersorak-sorak riuh.

"Apa benar, kau tahu di mana toko itu?" tanya Soifon ragu.

Ggio mengangguk, "Letaknya agak jauh dari sini. Tapi aku bisa mengantarmu sekarang. Itu pun jika kau memang butuh sekarang."

Soifon masih kelihatan ragu. Sejujurnya ia tak mau meminta bantuan dari Ggio. Tapi dia sudah tidak punya pilihan lagi.

"Baiklah. Antarkan aku ke sana!"

Hei, itu bukan cara yang baik untuk meminta tolong.

"Kau sedang memohon bantuan atau sedang memerintah?" cibir Ggio.

"Vega Cerewet! Kau mau mengantarku, tidak?" sengat Soifon. Cengiran siswa berambut hitam itu sudah cukup membuat darahnya bergolak.

Ggio terbahak sebentar. "Dengan satu syarat," cetusnya setelah berhenti tertawa.

"Apa?" sergah Soifon.

"Panggil aku Ggio. Itu saja. Kau bisa?"

"Baik," Soifon menyahut. Ditatapnya pemuda berkepang itu seraya berkata,"Ggio! Kau puas?"

Sebuah senyum kecil terkembang di wajah tampan Ggio. Jujur saja, Soifon baru menyadari satu hal yang selama ini terlewat. Ketika berdiri dengan jarak cukup dekat seperti sekarang, ternyata senyuman Ggio Vega―manis sekali.

Argh, apa yang kupikirkan?, seseorang di dalam diri Soifon menjerit panik. Pemikiran aneh apa yang tadi merasukiku? Soifon membuang muka sementara Ggio masih tersenyum.

"Deal. Kalau begitu, kita berangkaaat!" serunya penuh minatseperti anak kecil.

Soifon mendengus sebal. Ia melangkah di belakang Ggio. Sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat bayangan Ggio terlukis di tanah. Soifon yang berada di dalam bayangan itu―lantaran berjalan di belakang Ggio―tertegun sejenak.

Hei, perasaan apa ini? Kenapa Soifon merasa aman saat tenggelam di bawah bayang-bayang Ggio. Seolah bayangannya saja berniat melidungi. Lalu, bagaimana dengan pemiliknya?

Soifon menggeleng keras, berusaha mengenyahkan semua pikiran aneh yang melintas di benaknya. Dia tidak sadar, bahwa sepasang mata emas terus mengamatinya dalam diam.

*#*#*#*

Pukul 6 sore, di depan sebuah toko kue dan permen.

Soifon menatap bangunan mungil di hadapannya dengan kening berkerut. Dia tidak mengerti. Ggio bilang bahwa toko ini menjual apa yang ia cari. Baiklah, dekorasi luar dari toko itu memang bergambar macam-macam cake, cup cake, dan berbagai bentuk permen dengan bungkusan aneka warna. Tapi, kenapa nama toko ini harus… Love Magic?

"Kau yakin ini tempatnya, Ggio?" tanya Soifon. Jujur saja, ia ragu.

Ggio menoleh. Dia menyeringai kecil melihat wajah Soifon kelihatan bingung.

"Kau pasti tidak percaya, ya? Waktu pertama kali ke sini pun aku tidak percaya," jawab Ggio. "Tapi kau harus percaya padaku. Aku tak mungkin membohongimu. Ayo, masuk!"

Lonceng kecil berdentang riang ketika pintu toko didorong oleh Ggio. Soifon tak punya pilihan. Ia pun mengikutinya.

"Hai, Urahara-san, apa kabar?"

Seorang pria yang sedang berdiri di dekat etalase menoleh mendengar sapaan Ggio. Dia tersenyum membalas senyuman ramah Ggio. Soifon menduga, mereka pasti sudah kenal.

"Ah, Ggio-kun, lama tak bertemu. Kabarku baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana?" balasnya.

"Aku selalu baik," jawab Ggio. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Ah, iya, aku hampir lupa. Kenalkan, ini Soifon," ia melirik gadis mungil di sebelahnya.

Pria berambut pirang itu, Urahara, menatap Soifon dan tersenyum ramah. Soifun pun tersenyum juga dan menunduk hormat.

"Kau manis sekali, Soifon-chan," komentar Urahara. "Kau teman Ggio?"

Soifon mengangguk, "Iya, aku teman sekolahnya, Urahara-san."

"Hm, begitu," Urahara mengangguk-angguk. Tapi mata pria itu masih mengamati gadis berambut biru tua itu dengan seksama.

Ggio berdehem pelan.

"Urahara-san, Soifon sedang mencari kue ulang tahun rendah lemak dan gula," ujarnya lugas. "Tentu saja yang harganya sesuai dengan kantong pelajar. Yah, aku yakin, Soifon pasti sudah menabung susah paying untuk mendapatkan tipe kue yang dicarinya."

Cengiran Ggio berubah menjadi ringisan kecil saat Soifon menginjak kakinya dengan keras. Dia menoleh bingung dan mendapati mata kelabu sedang memelototinya garang.

Ayolah, Ggio. Jujur memang dianjurkan. Tapi tidak perlu menyinggung soal 'harga' sampai seperti itu, kan? Bikin malu saja!

"Apa, sih? Kenapa kau menginjakku?" bisik Ggio protes.

"Pikirkan dulu kata-katamu sebelum kau bicara, baka!" desis Soifon geram.

Urahara terkekeh menyadari sikap kedua remaja itu. Suara tawanya membuat Soifon dan Ggio menghentikan kontes saling tatap mereka.

"Sudah, sudah, tidak perlu malu begitu. Aku paham kok," kata Urahara masih dengan tersenyum. "Aku masih punya persediaan. Kebetulan Yoruichi sedang menghiasnya di dapur. Kalian tunggulah di sini. Aku akan melihatnya."

Soifon dan Ggio mengangguk kompak. Lagi-lagi Urahara terkikik geli dibuatnya. Dan tawa pria itu membuat Soifon menundukkan kepala, malu.

"Ah, Soifon-chan, kuenya mau ditulisi apa?" tanya Urahara lagi.

Soifon mengangkat wajahnya yang masih memerah.

"Mmh.. 'Otanjoubi Omedetto, Omaeda-san'. Kukira itu saja cukup," jawab Soifon.

Ggio melirik dari sudut matanya. Eh, jadi kue itu untuk pamannya, Soifon?

"Baiklah, aku masuk sebentar, ya."

Urahara memberikan senyuman kecil, kemudian menghilang di balik pintu yang menuju ke dapur.

Hening menyergap seluruh sudut. Toko sedang sepi. Otomatis hanya Ggio dan Soifon yang ada di ruangan itu sekarang. Sedikit aneh, karena mereka tak pernah sediam ini sebelumnya. Selalu ada ledekan yang memicu pertengkaran di antara mereka. Pergi kemana semua kebiasaan itu?

"Kita duduk dulu, Soifon," ajak Ggio. Sebenarnya ia juga tidak nyaman dengan keheningan ini.

Soifonmengangguk. Mereka menuju meja yang tersedia bagi para pelanggan yang ingin menikmati kue di toko itu. Pilihan mereka jatuh pada meja yang terletak di dekat jendela.

"Haaahhh, rupanya sudah sore, ya," desah Ggio membuka pembicaraan.

"Ya," sahut Soifon singkat. Dia melemparkan tatapan ke luar jendela. Ggio benar, hari sudah sore. Warna jingga khas senja sudah tampak jelas di seluruh penjuru langit.

"Sepertinya aku paham kenapa kau mencari kue ulang tahun rendah lemak jika itu untuk Omaeda-san," Ggio kembali bersuara. Mata emasnya ikut menatap objek yang ditatap Soifon.

"Omaeda-san punya penyakit diabetes. Kadar gula dari makanannya harus dijaga. Karena itulah aku tidak bisa membelikan sembarang kue untuknya."

Ggio mengalihakan tatapannya dari jendela. Ia memperhatikan ekspresi Soifon dengan seksama. Sungguh, dia masih tidak bisa sepenuhnya percaya―bahwa Soifon yang sedang berbagi cerita ini adalah Soifon yang sama yang selalu bertengkar dengannya.

"Aku menyayangi Omaeda-san. Dia sudah seperti orang tuaku. Sejak orang tuaku meninggal, dialah yang merawatku. Jadi, aku akan melakukan semua yang terbaik untuknya. Dia satu-satunya keluarga yang kumiliki."

Soifon terlalu sibuk dengan ceritanya, hingga dia tidak menyadari perubahan mimik di wajah Ggio. Hanya sejenak karena ekspresi itu sudah tersembunyi dibalik senyuman tipis.

"Aku mengerti, Soifon."

Suara pelan Ggio membuat Soifon menoleh. Ia sedikit heran lantaran belum pernah mendengar Ggio bersuara begitu. Suaranya… menunjukkan perhatian.

"Aku mengerti," Ggio mengulangi kata-katanya, seolah ingin menyampaikan sesuatu dalam kata-kata itu. Ada sorotan aneh di sepasang mata emas itu. Dan Soifon baru pertama kali ini melihatnya.

Apa itu… kesedihan?

"Ah, Ggio-kun?"

Sebuah suara lain terdengar. Ggio dan Soifon serentak menoleh. Seorang wanita berambut ungu panjang berdiri di depan pintu menuju dapur. Dia memakai sebuah celemek berwarna merah.

Ggio langsung berdiri. "Yoruichi-san," ucapnya menyambut.

Wanita itu tersenyum lebar. Dia mendekati kedua remaja itu. Satu hal yang langsung menarik perhatian Soifon adalah matanya. Ya, manik mata wanita itu berwarna emas, warna yang sama dengan warna mata Ggio.

"Aku sudah dengar dari Kisuke tentang pesanan kue temanmu," kata Yoruichi. Dia menatap Soifon yang juga telah berdiri. "Tunggu sebentar, ya. Kuenya sedang dalam proses freezing," ujarnya.

Soifon tersenyum kecil dan mengangguk. Yoruichi berpaling pada Ggio. Dia hendak mengatakan sesuatu. Namun ketika ia menatap ke luar jendela yang persis berada di belakang Ggio, wajahnya langsung menunjukkan ekspresi heran.

"Eh? Aku tidak tahu kalau hari ini akan turun hujan."

Ggio masih tidak mengerti, tapi Soifon menangkap lebih cepat kalimat Yoruichi. Dia pun segera menoleh ke belakang. Hanya untuk mengakui kenyataan bahwa tetesan air yang berjatuhan dari langit itu memang hujan. Bahkan dengan intensitas cukup deras.

Soifon tersentak. Hujan? Sejak kapan? Rasanya, baru saja ia menatap ke luar jendela, dan tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Lalu, kenapa sekarang…?

"Wah, benar. Hujannya deras sekali," akhirnya Ggio bisa mengerti situasi.

Yoruichi mengangguk,"Sepertinya hujan ini akan lama. Sebaiknya kalian di sini saja dulu. Aku akan membuatkan coklat panas untuk kalian," imbuhnya seraya beranjak pergi.

Selepas kepergian Yoruichi, Soifon menghela nafas panjang. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi dan bertopang dagu. Ada keresahan yang mulai menyusup di hatinya. Bagaimana jika hujan tidak kunjung reda? Jarak toko ini ke Karakura―tepatnya ke Apartemen Sereitei, tempat tinggalnya―cukup jauh. Mau sampai rumah jam berapa?

"Maaf, Soifon, aku tidak tahu akan turun hujan," untuk ke sekian kalinya Ggio memecahkan keheningan.

Soifon menggeleng pelan, "Ini bukan salahmu. Yoruichi-san benar, sebaiknya kita tunggu saja hujan sampai reda. Lagipula kuenya juga belum selesai."

Ggio mengangguk sekali. Seperti Soifon, ia akhirnya ikut menatap butiran-butiran hujan dari balik jendela kaca dalam diam. Soifon sendiri, entah kenapa, seakan melupakan permusuhannya dengan Ggio selama ini. Hujan seperti mampu menentramkan hatinya.

Tapi, satu pertanyaan terpenting sekarang adalah―sampai kapan mereka akan tertahan di sini?

.

.

#TBC#


Yak, yak, bersambung dah. Okeh, okeh, aku mau jualan dulu, ah…*plaakk*

Ulqui : Hei, onna, apa itu dikeranjangmu? *nunjuk2 keranjang punya relya*

Me : Ah, ini? Ini lollipop, ulqui-kun. Kau mau? *senyum ramah*

Grimm : *penasaran* Ada rasa apa aja?

Me : Hm, coba kulihat… *ngelongok ke dalam keranjang* Sepertinya ada blueberry, anggur, raspberry, melon, jeruk, strawberry, nanas, blueberry, dan mangga.

Nel : Kenapa dari sekian banyak rasa nggak ada rasa alpukat?

Me : Ugh, Nel, aku nggak suka alpukat. Asli dah. Satu-satunya buah yang nggak bisa diterima lidahku cuma alpukat.

Grimm : Jadi…*senyum2 aneh*

Me : *nge-deathglare grimm* berani macem2in aku pake alpuket, kulempar kau ke Pluto…*aura hitam menguar, Grimm gemeteran*

Okeh, lupakan ocehan gajeku di atas. Kita ketemu lagi di chapter depan. Masih dengan soiggio, kok.

So, tell me what do you think about my fic, readers? Hehehe. Mind to ripyu?^^