Dalam malam yang sunyi, ditemani kerik jangkrik dan suara bambu yang menyentak bebatuan—mimpi itu kembali lagi.

Dia berulang kali bertanya pada Bucky soal kejadian di Ikeda-ya—memastikan bahwa dia-lah satu-satunya pedang yang dibawa Okita Souji. Berulang kali pula Bucky mengafirmasi jawabannya dengan alis tertaut dalam.

Namun rasa gamang masih berdenyut dalam jantungnya, jiwanya—tatkala melihat jelas tubuh tuannya tergeletak di atas tanah dengan darah segar merembes lewat goresan diagonal di dada depannya.

Seakan dia-lah yang benar-benar bersama Okita sampai saat terakhir.

" Buck, apa kau benar-benar yakin kalau yang Souji bawa waktu itu kau, bukan aku?"

" Sudah kubilang berulang kali : hanya aku yang dia bawa waktu itu. Itu keputusan terakhirnya,"

Itu.

Dan Steve masih saja terjebak dalam mimpi mengerikan itu.

Bahkan meski hari-harinya di safehouse selalu mengalihkan pikirannya untuk sesaat, tapi rekaman itu terus terulang jelas tanpa memberikan Steve kesempatan untuk merasa lega barang satu sekon saja. Kematian sang tuan selalu menghantui si pemilik netra biru—di setiap langkah, di setiap waktu atau di tiap ayunan pedang dan suara benda tumpul yang menghunus tamengnya—dia menyesal tak bisa bersama Souji pada malam itu.

Pendar api kecil dalam lentera yang berada di atas meja menyalakan ruangan tersebut tak lama setelah Steve terbangun. Yukata putih yang dikenakan Steve juga mulai terasa lembab—mungkin karena dia terlalu banyak berkeringat sepanjang tidurnya.

" Hei," Bucky tetiba membalikkan tubuhnya agar menghadap Steve. Pijar keemasan menciptakan siluet sahabat berambut gelapnya itu dalam kegelapan," well, you know. Mungkin rambutmu bisa kau panjangkan lagi biar mirip Souji."

Ya, rambut sehitam arang Okita Souji selalu diikat ponytail dan—andai saja Steve tak memikirkan trauma dari mimpi itu, mungkin dia akan membiarkan rambutnya panjang sampai separuh dari lengan atas dan mengikatnya.

Tapi dia tahu betul itu bukan penyelesaian yang bagus untuk permasalahannya.

" Kau punya saran bagus?"

" Ingat ketika Stark bercerita soal Natasha yang waktu itu terbakar di insiden Meireiki? Dia terlalu syok dan trauma sampai-sampai ingatannya terhapus bersih ketika dibangkitkan lagi."

Steve menatapnya datar, " Maksudmu kau menyuruhku untuk membakar diriku sendiri biar lupa semuanya? Hell no, Buck. Idemu mengerikan sekali, astaga,"

Sahabatnya hanya tertawa.

" Nggak lucu, Buck. Sumpah,"

" Habis kau selalu kelihatan serius sampai lupa caranya menanggapi joke ringan."

" Itu bukan joke ringan. Carilah joke yang lebih menghargai nyawa lagi,"

Bucky meninju bahunya, " Hey! Clint dan Pietro melakukan lebih dari yang kulakukan tapi mereka tak pernah kau protes!"

" .. Pfft—Buck. Kau cemburu pada anak kecil dan satu pria tua?" tawa mulai keluar dari mulutnya, " .. Oh God, Please spare me—"

" Cemburu apanya? Dijadikan target rutin ke'usil'an wakizashi yang berpartner dengan tachi itu tak menyenangkan sama sekali tahu."

Bucky yang bersungut membuat Steve lega. Sahabatnya memang selalu mampu membuatnya merasa lebih baik saat kondisinya tengah terpuruk. Meski bayangan akan mimpi itu belum memudar sepenuhnya, paling tidak Steve tetap bisa merasa rileks sebentar.

" Oke. Karena kau masih sanggup buat menanggapi lelucon dengan komentar super kaku begitu, aku akan menarik selimut dan kembali tidur. Para gadis di mimpiku tengah menanti pangerannya disana. Bye-bye, punk,"

Steve memutar mata, " Thanks buat pujiannya, jerk. Mau tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang? Aku ingin sekali menghajarmu di latihan besok,"

" Well, shame of you. Aku tiba duluan di safehouse setahun yang lalu jadi jangan harap bisa mengalahkanku,"

" Oh yeah?"

" Yep."

" Haha. Baiklah. Anyway, thanks, Buck."

" Hm?"

" Thanks karena sudah menjadi partnerku sejak masih bersama Okita. Kuharap kita bisa bertemu dengannya lagi,"

Hening. Jeda tercipta lantaran si pemuda berambut coklat cepak mulai terlihat lain saat mendengar sahabatnya berharap.

Dirasa terlalu lama (dan nantinya bakal menimbulkan kecurigaan dari Steve), Bucky hanya menjawab sekenanya dengan, " Have a nice dream, Pal," namun sahabat pirangnya itu tak kunjung membalasnya. Mungkin Stevie sudah tidur, pikirnya. Dimatikannya lentera kecil dengan hati-hati. Lalu dia kembali bergelung di dalam selimut dan futon yang hangat, membayangkan kembali mimpi indah yang tadi sempat diinterupsi si pemilik netra biru—

.

.

.

.

.

.

.

.

-5 minutes later-

" Shit. Sekarang malah aku yang gak bisa tidur,"