Haikyuu (c) Furudate Haruichi
Saya tidak mendapatkan keuntungan materiil apa pun atas pembuatan fanfiksi ini.
.
selamat membaca!
"Waktu itu dan kini West End"
[Didekasikan untuk Haikyuu Pair Parade 2018]
Minggu Kedua - Nostalgia Zaman Dulu
West End di mata Hitoka tak ubahnya teka-teki dalam novel serial detektif, mengandung tanya tapi penasaran, dan kini ia mendadak tidak paham dengan perasaannya sendiri. Terakhir kali Hitoka cek, lini masa ponsel dan riwayat telepon juga pesannya diisi oleh nama Kei, mereka berbincang selama sepuluh menit (maaf tidak bisa menjemput, kata Kei, Mrs. Blake rupanya keras kepala juga kalau sudah menyangkut soal pertunjukan perdana putrinya, astaga) dan Hitoka tidak mempermasalahkan. Bukan kali pertama Hitoka menjejakkan kaki di London, meskipun yah, rasa gugup itu selalu muncul tanpa ia minta.
Lalu Kei mengiriminya pesan singkat berupa alamat, blok, nomor yang harus ia tuju hingga Hitoka berhenti di depan sebuah flat agak tua (tidak besar, tidak juga kecil) tapi memberikan kesan elegan dan mengingatkan Hitoka pada rumah-rumah bergaya Queen Anne. Cat warnanya salem berpadu peach tua, jendela berkosen putih, dan ia tanpa sadar mengulas senyum tipis begitu mendapati kedai kopi bernuansa cozy tepat di bagian bawah. Hitoka menebak si pemilik flat mungkin saja seorang wanita tua dengan gaya aristokrat.
Ia lekas menekan bel interkom nomor sebelas, menunggu sejenak meski tidak ada panggilan (atau barangkali suara Kei) kemudian pintu utama terbuka. Keperluan pindahan beserta koper besar sudah lebih dulu dikirimkan lewat jasa logisitik jadi Hitoka tidak terlalu kersulitan. Tali selempangnya agak melorot, Hitoka membenarkan sembari berjalan dengan langkah lebar di sepanjang lobi, setelah itu berlari menuju lift karena ia sepertinya terlambat. Beruntung pria muda di dalamnya menyadari keberadaan gadis itu, yang langsung menekan tombol tahan dan Hitoka berhasil masuk. Ia menggumamkan terima kasih, pria muda itu bertanya akan ke lantai mana ia pergi dan Hitoka menjawab lantai lima.
Ada angka yang Hitoka hitung dalam benaknya, berjalan mundur, terinterupsi oleh suara ting yang nyaring dan berhenti di lantai lima; lantai Hitoka. Atau sebut saja destinasi kepindahannya mulai saat ini.
"Oh, baru saja mau aku jemput."
Bahu Hitoka tersentak kecil. Ia mendongak dan mengerjapkan mata, lalu tersenyum tipis ketika sosok jangkung berambut pirang, juga kacamata bingkai hitam itu, atau pula gurat wajahnya yang—bagaimana Shouyou bilang, menyebalkan kalau tidak salah?—sepertinya tidak banyak berubah semasa mereka berada di bangku SMA. Namun harus Hitoka akui, Tsukishima Kei yang ada di hadapannya sekarang ini terlihat jauh lebih matang, lebih penuh pertimbangan, dan tentu saja lebih dewasa.
"Sori," Hitoka nyengir tipis, Kei terkekeh pelan, kemudian menarik pergelangan tangan gadis itu dan menuntunnya ke pintu nomor sebelas. Mau tak mau Hitoka terkikik pelan, berusaha ia sembunyikan, tapi tidak lebih cepat dari pendengaran Kei.
"Kenapa?"
Hitoka menggeleng sambil bergumam hm-hm, bentuknya jenaka. "Kalau aku bandingkan Kei yang dulu dan sekarang, rasanya lucu juga."
Mata Kei mengerling. "Begitu?"
"Nah, bagaimana yaaa …"
"Eh, barusan bilang apa, Tsukishima-san?"
"Tidak dengar, ya sudahlah."
"Eh? Tapi, tapi—"
Bermulanya dari hal yang klise. Usai latihan dan mereka penghuni terakhir di gedung olahraga, sore itu, entah karena sengaja atau skenario hidup inginnya begitu. Kiyoko-san sudah bilang tidak bisa bantu-bantu bereskan peralatan karena ada urusan mendadak, Hitoka tidak mempermasalahkan dan mengerti, pun ketika ia tahu Kiyoko-san meminta Tsukishima Kei sebagai pengganti jasa bantuan.
Hitoka tidak mendengar pasti, saat itu ia terlalu fokus menghitung bola voli yang ia lemparkan ke dalam keranjang, ketika tiba-tiba saja, tanpa tedeng aling-aling, tiga kata berupa konfensi yang tidak pernah Hitoka bayangkan dalam hidupnya akan keluar dari bibir Tsukishima Kei.
Bukannya ia tidak mendengar, bukan pula pura-pura tidak mendengar.
Hanya saja, itu terlalu … mengejutkan. Amat sangat mengejutkan.
"Tsukishima—" Ucapan Hitoka terputus, manakala ketika Kei memilih untuk berjongkok di depannya, mengambil bola di hadapan Hitoka dan dia lemparkan secara sembarang walau akhirnya telak berada dalam keranjang, kemudian mata mereka saling bertemu.
Hitoka seakan melihat kunang-kunang, di mata Kei, di sorot yang sengaja pemuda itu umbarkan untuknya, lalu sekelilingnya tampak begitu mengecil saat Kei meraih jemari-jemari Hitoka dengan pelan, menautkan rapat, kemudian berubah menjadi genggaman erat.
Kei tak pernah berkata apa-apa lagi. Cukup dari sorot matanya saja, Hitoka juga tidak menuntut lebih.
Dan gadis itu mengerti.
"Ew," cibir Kei sinis, sesaat setelah ia membuka pintu flat dan berpijak di ruang tengah. Hitoka jelas memisahkan diri dari Kei dan berjalan mondar-mandir di setiap ruangan flat yang akan mereka tempati bersama. "Itu kedengarannya …"
"Cheesy?"
"Berbanggalah karena kau jadi orang pertama yang menyebutku seperti itu, Hitoka."
"Duh, suatu kehormatan." Hitoka meringis geli. "Omong-omong, ini flat yang ba—macaron!"
Sudut bibir Kei terangkat beberapa senti. "Sudah aku duga, pasti langsung ke sana."
"Yah, yah," tangan dikibaskan asal. "Berbanggalah kau jadi orang pertama yang aku beri macaron khusus buatan Yachi Hitoka di hari valentine waktu SMA dulu, Kei."
"Ah, benar juga. Insiden ciuman pertama itu, ya."
"Kei!"
Hubungan yang kaku, tetapi manis dengan caranya sendiri.
Kei tidak pernah menuntut untuk diberikan cokelat, meski loker sepatunya penuh dengan berbagai macam dan ia jadi bual-bualan Tobio. Tanaka-senpai dan Nishinoya-san jauh lebih berisik, tapi Kei rela berbagi dengan Sugawara-senpai (peduli setan kalau Kapten Daichi sampai marah dan cemburu, Kei juga tidak bermaksud membelot).
Akan tetapi, ketika malam itu Hitoka Yachi muncul dan diam-diam menyelipkan kotak kecil berpita toska ke dalam saku mantel Kei, atau ketika Kei terlalu cepat berbalik dan Hitoka hilang keseimbangan dan nyaris jatuh kemudian momentum itu terjadi; Kei refleks membungkuk, Hitoka mencoba menyeimbangkan kembali gravitasi dengan berjinjit sembari mendongak dengan mata berbilur konfesi maaf, lalu bibir saling bertemu, cuma menempe tidak lebih, dan sekon yang hening; Kei sepenuhnya sadar, bahwa mengharapkan sesuatu seperti cokelat yang diributkan Tanakan-senpai bukanlah hal yang buruk. Cukup dari seorang Yachi Hitoka saja, dan Kei tak pernah meminta lebih.
Kotak kecil berisi macaron, ciuman pertama, lalu rona manis di kedua pipi Hitoka.
Kei rasa hari valentine tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini.
Hitoka tidak protes saat Kei kembali berkutat dengan tumpukan kertas partitur dan gitar di atas pangkuan alih-alih menyambut kedatangannya dengan pesta kecil, pria itu seorang musisi, dan Hitoka mengerti kemampuannya dalam bermusik sangat dibutuhkan untuk acara besar teater bulan ini. Namun Kei juga tidak protes karena waktu yang akhirnya dihabiskan berdua itu penuh bersama hening, bersama petikan gitar Kei pada detik tertentu.
Kei mengulas cengir simpul, beringsut cepat begitu Hitoka berlutut di hadapannya dan mencuri satu kecupan panjang.
