Benang Merah

Disclaimer © Masashi Kishimoto

Pairing: SasuHina

Warning: banyak pokoknya

Don't like? Don't read!

Happy reading, minna~


Chapter 1: Benang Merah yang Hilang

Hinata Hyuuga, anak gadis Tuan Hiashi Hyuuga. Siapa yang tak kenal dia? Selain karena dia anak dari seorang Tuan Hiashi, berperangai manis—pun wajah yang cantik, gadis Hyuuga ini juga terkenal karena memiliki sebuah kelebihan. Hinata Hyuuga mampu melihat—

.

.

.

"Hinata-chan mana, ya?"

"Eh, itu!"

"Hinata-chan, bisakah kau melihat siapa dia?"

Hinata tersenyum kecil menanggapi dua gadis seumurannya—anak kelas sebelah.

"Dia adalah pacarmu yang sekarang, Yamanaka-chan,"

Gadis yang dipanggil Ino bersorak bahagia.

"Dengar itu, Jidat! Jodohku adalah Sai-kun! Haha, terima kasih, Hinata-chan! Sampai jumpa!"

.

.

.

Ya, Hinata Hyuuga mampu melihat "benang merah". Apakah ia mampu melihat siapa jodoh siapapun? Ya. Itu artinya, ia mampu melihat benang-benang itu berkaitan? Ya. Apakah ia mampu melihat melihat jodohnya sendiri? Ya. Namun, ia melihat jodohnya memiliki dua benang merah. Poligami? Tidak, itu hanya "sedikit" kesalahan. Mungkin.

.

.

.

"Hinata-chan! Aku sudah menunggumu dari tadi!" lelaki bersurai kuning itu melambaikan tangan ke arah Hinata.

"H-hai, Uzumaki-kun," Hinata tersenyum kecil. Di sana, di jemari kelingking itu, mereka berdua terikat.

"M-maaf, aku tadi piket," lanjut Hinata.

"Hehehe, tidak apa-apa, Hinata-chan! Walaupun kau piketnya menghabiskan waktu selama satu dekade, aku akan terus menunggumu!" seru Naruto.

Hinata tersenyum kecil, ia merasa pipinya menghangat.

"Hai, Hinata-chan," suara lain menyapanya. Ah, Sakura Haruno.

"Hai, Haruno-chan," gadis itu tersenyum ramah. Di sana, di jemari kelingking gadis bersurai merah muda itu, ia bisa melihat bahwa benang merah milik Sakura Haruno juga terikat dengan jemari seorang Naruto Uzumaki.

"Sakura-chan, maaf ya, aku juga mengajak Hinata-chan untuk membantu tugas kita!" Naruto tertawa.

"Kau modus, ya!" tuduh Sakura sambil tertawa.

"Hati-hati, Hina-chan, walau si Kepala Kuning ini bilang ingin bertanya materi matematika, sebetulnya ia ingin mencuri kesempatan untuk mendekatimu!" bisik Sakura keras.

"Eh? T-tidak, kok! Aku betulan ingin bertanya materi dari Kakashi-sensei!" seru Naruto membela diri.

"Mau kau berbohong atau tidak, kita berdua tidak tahu! Iya, kan, Hinata-chan!" Sakura terkikik.

Hinata yang mendengar percekcokan keduanya hanya tertawa canggung. Dia merasa sakit.

.

.

.

"Ah, kenapa sullit sekali!" Naruto mengacak rambutnya.

"Berisik, seharusnya yang mengeluh di sini adalah Hinata-chan, bukan kamu, Naruto!" semprot Sakura.

"E-eh? Ke-kenapa aku, Haruno-chan?" tanya Hinata bingung.

"Yah, karena kau ditakdirkan mengajari manusia bodoh seperti kami!" Sakura tertawa. Naruto pun tertawa.

"E-eh? Ahahaha.. t-tidak, kok!" Hinata pun akhirnya tertawa—tertawa canggung.

"Jangan berbohong, Hinata-chan!" Sakura menggoda si gadis Hyuuga.

Hinata salah tingkah.

"S-sudah, lebih baik kita kembali mengerjakan. Tinggal satu soal lagi, kok!" Hinata mencoba mengubah topik. Ia ingin segera pulang.

.

.

.

"Terima kasih, Nak Hinata, kapan-kapan main lagi kemari," Mebuki Haruno melambaikan tangan ke arah Hinata.

Hinata tersenyum kecil, "Baik, Bi. Terima kasih."

"Hati-hati di jalan, Nak Naruto, tolong antar Nak Hinata sampai rumah, ya!" seru Mebuki.

"Hehe, tenang saja, Bibi! Aku akan mengantarnya, walau nyawa adalah taruhannya!" seru Naruto.

"Dasar," keluh Sakura.

"Kalau sampai rumah, kabari aku, ya, Hinata-chan!" lanjut gadis bersurai merah muda itu.

Hinata mengangguk, "Sampai jumpa!"

.

.

.

Mentari mulai lelah, kini saatnya mentari beristirahat. Perlahan tapi pasti, mentari kembali ke peraduan, sembari menatap dua insan yang berjalan beriringan dalam diam. Naruto berjalan pelan, sesekali melirik ke arah Hinata ragu-ragu.

"Ano,"

"Ano,"

Mereka berucap bersamaan. Naruto membuang muka, dia salah tingkah. Hinata menunduk, jantungnya berdegup sangat kencang.

"Kau duluan, Hinata-chan," ujar Naruto.

"Um.." Hinata menggumam ragu-ragu.

"K-kurasa aku bisa pulang sendirian, Uzumaki-kun. Aku tidak mau merepotkanmu. Lagi pula.. kita tidak searah," ujar Hinata pelan.

"Eh? Kenapa?" tanya Naruto cepat.

Hinata diam saja, ia hanya tersenyum.

"A-ah," Naruto kehabisan kata-kata, ia terpana pada seulas senyum yang diselimuti cahaya senja.

"K-kalau begitu, hati-hati, Hinata-chan! Kabari aku kalau sudah sampai rumah!" Naruto memilih untuk menuruti permintaan Hinata. Ia berbalik arah, berjalan perlahan meninggalkan gadis Hyuuga itu sendirian.

"Sampai jumpa," balas Hinata, lirih.

Hinata mengamati benang merah yang memanjang, menyesuaikan jarak yang memisahkan dirinya dengan Naruto.

DUK!

"Ah, m-maaf," Hinata menunduk, meminta maaf karena tidak sengaja menubruk seseorang, walau ia tidak sepenuhnya salah.

Lelaki itu hanya melirik Hinata sekilas, lalu kembali berjalan.

Hinata terpaku. Bukan, bukan karena ia terpesona dengan manik hitam lelaki itu, tapi ia terpaku karena jemari kelingking lelaki itu tidak ada. Lelaki itu tidak memiliki benang merah.

"T-tuan!" Hinata mengejar lelaki itu.

.

.

.

"Hinata-chan, benang merahku terikat dengan siapa?"

"..."

"Hinata-san, apa benang merahku terikat dengan kekasihku?"

"..."

"Hyuuga-senpai, apa senpai itu terikat benang merah denganku?"

"..."

"Hyuuga-san, bagaimana bila ada orang yang tidak memiliki benang merah?"

"... ajal menjemput sebelum jodoh menjemput,"

.

.

.

"Apa?" tanya lelaki itu begitu Hinata berhasil meraih lengannya. Mereka berhenti di sebuah persimpangan jalan.

Hinata bergetar hebat. Lelaki di depannya ini mungkin akan dijemput ajalnya sebentar lagi. Lelaki itu mungkin akan mati esok—atau mungkin hari ini.

Hinata mengeratkan jemarinya.

Eh?

Netra Hinata tidak lagi fokus pada lelaki bermanik hitam pekat itu, tapi terfokus pada benang merahnya yang perlahan memudar.

"A-aku.. akan.. mati..," Hinata berbisik.

"Hei, Nona," lelaki itu mengguncangkan bahu kecil Hinata yang bergetar.

"E-eh?" Hinata mengerjapkan matanya.

Benar, benang merah itu sudah sepenuhnya lenyap. Apa dia akan mati bersama dengan lelaki asing ini?

"Nona? Oi!" lelaki itu kembali mencoba menyadarkan lamunan Hinata.

"A-ah, m-maaf, m-maafkan aku!" Hinata menunduk, ia merasa malu sekali.

Lelaki itu menatap Hinata datar, "Kalau tidak ada urusan, aku pergi dulu."

Lelaki itu meninggalkan Hinata, lalu menyeberang jalan begitu lampu tanda penyeberang menampakkan lampu hijau. Hinata menatap lelaki itu. tidak ada yang aneh, kecuali jemari kelingkingnya yang kosong. Ia lalu menatap jemarinya yang kini sudah tidak ada lagi benang merah.

TBC


Catatan Penulis:

Wuhu, pertama kali Bipo bikin twoshoot, atau mungkin lebih? Who knows XD

Semoga saja bisa rajin update XD karena Bipo sudah janji sama diri sendiri buat bikin karya minimal satu dalam seminggu (entah itu ff, atau naskah lainnya). Namun, kayakunya susah, deh, karena Bipo "penganut" sistem FDS *nangis

Btw, chap 2 bakal di update secepatnya, tapi ngga yakin kalo update-nya pekan ini *nangis lagi

Oh iya, lupa. Fanfic ini terinspirasi oleh novel yang dulu pernah Bipo baca, tapi Bipo lupa judulnya XD tenang saja, minna, Bipo tidak menulis persis novel itu kok! Cuma bagian beang merahnya yg ngga ada XD soal kelebihan Hina-hime, itu murni khayalan Bipo sewaktu tadi ngerjain tugas Matem XD

Udah, deh, pokoknya gitu XD

Semoga suka~

Jangan lupa follow, review, fav, dll~

NB: jangan lupa bantu Bipo menemukan saltik *wink