Gadis Kafe

Mata hijaunya jernih memandang dalam ke secangkir cappuccino dengan latte art yang sudah pudar di atasnya. Sesekali jemari lentiknya mengelus cangkir putih yang nyaris kosong itu. Ia tak begitu memedulikan pejalan kaki yang berlalu-lalang di depan kafe. Jendela lebar itu menampakkan pemandangan menawan kota di musim dingin.

Sikunya kini bertumpu pada meja, memangku kepalanya yang ia alihkan pandangannya ke salju yang jatuh perlahan.

"Ini hampir jam sebelas, Nona Tsunade. Tidakkah sebaiknya kita memintanya untuk pulang?", tanya seorang pemuda sembari mengelap bagian dalam cangkir kopi dengan serbetnya. Mata hitamnya masih erat mengamati gadis bermantel merah jambu senada dengan warna rambut pendeknya.

"Tak apa. Dia memang biasa begitu", jawab wanita berparas cantik dengan ukuran dada di atas normal yang bersembunyi di balik kancing kemeja hijaunya. Ia masih fokus menatap layar laptopnya ketika menjawab pertanyaan pemuda berambut hitam dengan poni belah tengah sepanjang dagunya itu.

"Begitukah?", tanya pemuda itu skeptis. Sementara wanita berambut pirang yang ia panggil Tsunade itu masih sibuk memeriksa laporan keuangan kafe. Ia tak menghiraukan pertanyaan pemuda yang baru dua minggu bekerja di kafenya. Tetapi wanita paruh baya yang selalu terlihat muda itu paham akan perilaku gadis itu – yang telah menjadi pelanggan tetapnya setiap Jumat malam.

Wajah tirus maskulinnya mengedarkan pandangan ke seluruh kafe. Mulai lengang pikirnya. Hanya tinggal gadis itu saja. Ia melirik bosnya yang masih lekat dengan laptop tercintanya dan mochaccino yang sesekali ia sesap.

Ia sudah selesai mengelap semua gelas dan cangkirnya. Ia menghela nafas. Dalam hati ia ingin cepat-cepat membereskan semuanya dan segera menutup toko. Hari sudah mulai larut, ia harus cepat pulang – tak mau diomeli lagi oleh kakaknya. Tapi kehadiran gadis itu yang berlama-lama menghambat pekerjaannya yang hampir usai.

Pemuda itu berdecak. Ia sepertinya tak bisa berharap pada bosnya. Kakinya perlahan melangkah ke arah gadis itu. Ia masih sibuk memandang luar jendela entah melamuni apa. Suara hentakan kaki di lantai kayu oleh pemuda itu memecah lamunannya. Ia perlahan mengalihkan pandangannya, menengok ke si empunya hentakan yang telah menghancurkan pikirannya yang termenung-menung.

"Maaf, Nona. Anda masih menunggu seseorang?", ujarnya sopan. Sebuah senyum simpul tersungging di bibir tipisnya.

Mata hijau jernihnya menatapi pemuda berompi hitam dan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu di lehernya. Ia membalas senyuman pemuda itu dengan senyum kecil yang terlihat sangat alot. Seketika pandangannya jatuh di taplak meja kafe yang berwarna cokelat. Pemuda itu langsung merasa tak enak dengan yang barusan ia lakukan. Mungkin gadis itu mengira bahwa ia sedang mengusirnya, pikir pemuda itu.

"M-Maaf! Jika anda masih ingin menunggu, tak apa", ucapnya takut-takut setelah melihat wajah gadis itu tertunduk.

"Tidak. Kau benar. Aku tak seharusnya menunggu lagi", kini ia mendongak menatap pemuda itu. Ia tersenyum meski mata hijaunya mulai berkaca-kaca. Cahaya lampu jalan menegaskan sorotan mata sedih yang berusaha ia palsukan dengan bibirnya.

Tangan putih gadis itu mulai memunguti barang-barang miliknya. Kacamata, sapu tangan, telepon genggam, semuanya ia masukkan ke dalam tas jinjingnya. Wajahnya kembali tertunduk dalam saat air mata deras menetes dari pelupuknya. Ia tak ingin pelayan kafe di depannya melihatnya menangis. Itu akan terasa aneh pikirnya.

"T-Tunggu Nona", pemuda itu berusaha menghentikan tangan gadis itu berkemas. Perasaan tidak enak berkelebat di dalam hatinya. Ia jadi menyesali niatnya untuk mengusir gadis itu yang muncul dalam batinnya dua menit yang lalu.

Wajah mulus gadis itu mendongak lagi. Kali ini terlihat sungai air mata mengalir di pipi putihnya. Tak ada pria yang tak melemah saat melihat seorang gadis menangis di depannya, begitu pula pemuda itu. Ia terperanjat mendapati tamu kafe yang menangis karena ulahnya.

"M-Maafkan aku, Nona!", ia membungkuk cepat-cepat. Tetapi gadis itu sudah mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menaruhnya di atas meja. Ia dengan terburu dan semakin terisak beranjak dari meja kafe. Kaki jenjangnya yang di bungkus celana jeans melangkah lebar dan cepat meninggalkan kafe dan pemuda yang masih membungkuk tajam itu.

Spontan kaki pemuda itu berlari mengejar tamu kafe. Tsunade yang agak terganggu dengan suara hentakan kaki mereka berdua hanya berdecak, masih menggemingkan pandangannya di laporan keuangannya.

Pelayan kafe itu sudah was-was. Ia mengejar pelanggan yang kini terlihat sangat marah karena perilaku kurang sopannya. Pikirannya sudah kemana-mana. Mungkin besok ia akan dapat teguran dari Tsunade karena menghilangkan salah satu pelanggan setianya. Atau mungkin lebih buruk. Dipecat. Yang benar saja! Ia baru mendapat pekerjaannya dua minggu yang lalu. Jika besok ia dipecat, ia bisa dibantai habis-habisan oleh kakaknya.

"Nona tunggu!", pekiknya. Gadis itu akhirnya berhenti. Hawa dingin mulai menusuk seluruh tubuhnya. Nafasnya yang terengah membuat uap berwarna putih transparan tertampak dari tiap hembusannya.

"Maafkan saya, Nona", gadis itu diam memunggunginya. Masih diam saat pemuda itu selesai membetulkan nafasnya. Diam tak menjawab. Pemuda itu mulai merasa percuma telah mengejarnya hingga ke seberang jalan, membuatnya harus susah payah menembus mobil-mobil yang berlari kencang dan mendapat makian dari beberapa pengendara.

"Nona, saya tidak bermaksud untuk – ".

"Kau tak salah", potong gadis itu. Tubuh mereka bergeming di atas paving block berselimut salju yang mereka pijak. Jalanan mulai lengang sehingga hanya beberapa orang yang berjalan di sekitar mereka. "Kau tak perlu minta maaf", tukas gadis itu.

Pemuda itu kembali membungkuk. Ia merasa sangat tidak enak karena membuat gadis itu kesal. "Saya benar-benar minta maaf Nona! Ijinkan saya menebus kesalahan saya!", gadis itu berpaling perlahan. Kini wajahnya heran menatap pemuda yang masih membungkuk itu. Air matanya sudah tak lagi menempel di pipinya. Sudah ia hapus saat berjalan cepat keluar dari kafe.

"Menebus kesalahan?", dahinya mengerut bingung.

"Benar, Nona. Saya sudah bersikap tidak sopan pada anda dan mencoreng nama baik kafe. Ijinkan saya melakukan hal apapun yang bisa membuat anda memaafkan saya!", ia masih membungkuk saat menjelaskan maksudnya. Gadis itu berjalan perlahan mendekatinya. Kedua boots hitamnya kini berdiri tepat di depan pemuda itu.

"Apapun?", tanyanya pelan. Melihat sepasang boots di depannya, perlahan tubuhnya ia tegakkan dari posisi membungkuknya. Memperhatikan mata gadis itu yang sudah menancap hambar padanya.

"I-Iya", ia terbata-bata dengan pertanyaan gadis itu. 'Apapun' yang ia lontarkan itu adalah semisal diskon paket donat, atau kupon kopi gratis seperti yang sering diberikan kepada pelanggan yang kurang puas. Ia harap gadis itu tak salah persepsi.

"Kalau begitu cium aku", ucapnya tanpa mengganti wajah hambarnya yang menatap pemuda itu.

"Apa?!", mendengar kalimat itu, ia berjengit terkejut.


Mohon reviewnya kaka ^.^ FF pertamaku nih.. ^.^