Seongnam, Gyeonggi, Korea Selatan.
SEKARANG sudah jam 10 malam lewat 32 menit. Sunyi bersiap menyapa ribuan sudut sebuah gedung sekolah. Choi Nara, gadis berkulit putih pucat dan berambut coklat tanggung masih terus menekan bolpoint bertinta hitam diatas buku tulisnya. Sesekali ia mengibaskan poni ratanya ke samping agar tidak menghalangi pandangan karena memang kini sudah mulai panjang.
"Aaakh~" eluh seorang perempuan. Bukan Nara.
Pupil gadis itu terus bergerak keatas dan kebawah. Menangkap dengan cepat coretan-coretan kapur putih di papan hijau yang melekat di dinding, lalu menyalinnya ke dalam buku tulis putihnya. Kepalanya tak terlalu bergerak banyak hanya manik matanya yang bermain mengikuti instruksi kerja otak kecilnya.
Cast:
Choi Nara (OC)
B.A.P Daehyun as Jung Daehyun
B.A.P Himchan as Kim Himchan
Apink Namjoo as Kim Namjoo
B.A.P ZELO as Choi Junhong
B.A.P Bang Yongguk as Bang Yongguk
B.A.P Jongup as Moon Jongup
Cameo:
B.A.P Youngjae as Yoo Youngjae
f(x) Krystal as Krystal Jung Soojung
Dan beberapa peran pendukung lain (menyusul seiring berjalannya cerita)
Genre:
Mystery/Suspense, Tragedy
Rate: T+
Disclamer:
Story ASLI belong to me
Artists milik orangtua masing2 dan milik perusahaan masing2
Spoiler Warning:
Typo(s), EYD tidak benar, banyak pengulangan kata, OCC, Absurd, Ngayal/mengharap/Ge'eR, cerita maksa, mungkin banyak deskripsi yang membingungkan, sedikit dialog banyak deskripsinya, TIDAK UNTUK ANAK DIBAWAH 18 TAHUN (ONLY 18+)
Intinya 100% gag jelas
Gak tertarik gag usah baca ^_^ DEAL!
.
Oyaw sekilas waktu aku nulis ini tiba-tiba aja seandainya ini di jadiin drama lol nah, aku mikir lagu pembukanya itu lagunya Song Jieun – Going Crazy (feat. Bang Yongguk). Hahaha
Dan setiap ada adegan menegangkan theme songnya itu suara detingan piano yang lembut tapi gimana gitu. Hahaha
Trus ending songnya INFINITE – BTD :D
Oke.. Happy Reading X3
"Bagaimana?"
Nara menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya. Gadis itu benar-benar semakin serius sekarang.
"Kenapa papan tulisnya tidak di foto saja nanti mencatatnya di lanjutkan di rumah. Dan sekarang ayo, kita pulang, Nara-ya!" papar Kim Namjoo yang duduk di depan Nara.
Ya, Kim Namjoo. Nama itulah yang tersemat rapi di blazer seragam sekolah hitam yang gadis berambut pendek itu kenakan.
"Kalau seperti itu aku yakin nanti malah lupa," balasnya singkat.
Choi Nara bukanlah siswi yang sangat lambat dalam menulis tapi ia hanya membutuhkan sedikit pemahaman ketika menyalin catatan agar kelak catatan itu bisa benar benar berguna. Tak heran jika tahun lalu ia sempat mendapat rangking umum 10 besar.
"Kalau begitu bawa pulang saja bukuku."
"Tulisanmu terlalu bagus sampai aku tidak bisa membacanya."
"Maksudmu? Neo Jugullae?"
Namjoo yang kesal langsung mendengus dan mencondongkan tubuhnya kedepan mendekati Nara seraya tangannya menjulur ke depan untuk meraih tubuh sahabatnya itu. Tangan Namjoo bergerak menuju bagian leher Nara. Spontan Nara menjingkat. Ia berlari sambil tertawa geli seraya menyembunyikan lehernya. Namjoo terus saja berusaha untuk mengelitiki Nara. Namjoo sangat tahu kelemahan Nara. Karena tak mau kalah dan terpojokkan Nara pun ikut membalas Namjoo dengan mengelitiki pinggangnya. Namjoo sedikit menggeliat. Sayangnya, gerakan spontan Namjoo membuat Nara kaget sehingga ia mengeluarkan teriakan yang melengking.
"Namjoo-ya, ampun! Aku menyerah, aku menyerah."
Bukannya mengampuni orang yang telah memohon ampunan Kim Namjoo malah semakin menjadi-jadi. Tangan gadis itu malah bergerak kearah batang leher Nara dan memitingnya. Kaki yang lebih panjang dua sentimeter dari Nara dan tangan yang lebih terlatih akibat latihan keras klub Tae Kwon Do membuat pergerakan Nara mudah terkontrol oleh sahabatnya sendiri.
"Joo-ya~ lepaskan sakit~"
"Ya, ngomong-ngomong, Sunbae-nim eodieoseo? Biasanyakan dia selalu diam-diam datang menjemputmu ketika sekolah sudah sepi," sepertinya Namjoo sudah bisa menangkap jalan cerita selanjutnya. "Kau suruh Sunbae-nim pulang lagi?"
Nara terdiam.
"Bukan ya. E-em~ Jamkkan! Jangan bilang kau mengabaikan teleponnya lagi?!"
Nara terdiam kembali. Sehingga Namjoo melepaskan kunciannya dari leher Nara.
"Ya! Apa yang telah terjadi? Berita apa yang tidak kuketahui?"
Akhirnya Nara merespon pertanyaan Namjoo meskipun, hanya mengangkat bahu sambil membuat sedikit lipatan bibir. Namjoo kesal. Gadis itu menahan napasnya dan menyudutkan sebelah bibirnya.
"Auw! Kenapa kau memukulku?" Nara mengaduh saat tangan kanan Namjoo menghantam lengan kirinya. Rasanya cukup sakit karena Namjoo benar-benar memukul keras.
"Kau mencintainya atau tidak?"
Nara terdiam. Gadis itu terus memegang lengan kirinya. Ia memandang Namjoo dengan sangat polos dan bibirnya mengerucut dan menjawab singkat, "Ne."
"Lalu kenapa kau membuatnya seperti ini?"
Nara terdiam kembali. Kepalanya tertunduk dan memilih untuk memainkan ujung dasinya dengan kedua tangannya.
"Daehyun Oppa adalah pacar pertamaku. Aku pikir kalau setiap hari harus pulang bersama akan terlihat berlebihan."
Daehyun Oppa adalah pacar pertamaku. Sehingga Nara tidak punya cukup pengalaman soal itu. Ditambah Nara yang suka dengan film thriller selalu merusak suasana ketika Daehyun mengajaknya berkencan. Tak pernah satupun film romantis yang dia jamah ketika masuk ke ruang bioskop. Tak pernah berpegangan tangan. Tak pernah menatap dengan serius. Seolah Daehyun hanya…
"Kau gila ya?" bentak Namjoo. "Selama ini kau hanya melakukan itu?"
Kepala Nara mengangguk polos tanpa membantah sedikitpun. Seantero sekolah yang mengenal Choi Nara sudah tahu sifatnya yang satu ini. Cuek. Pemalu. Mengumbar kemesraan di depan umum menurutnya terlalu berlebihan. Meskipun hampir tujuh bulan ia menjalin hubungan dengan senior tampan―striker andalan tim football di sekolah―yang menjadi idola, tetapi masih banyak yang tidak mengetahui kalau keduanya menjalin hubungan. Atau bahkan, mereka tidak terlalu yakin Choi Nara berpacaran dengan Jung Daehyun. Sampai-sampai pernah suatu hari ada adik kelas Nara yang mengajak Daehyun berkencan di malam tahun baru. Tapi Daehyun menolaknya dengan alasan bahwa dia mencintai orang lain.
"Cih! Tidak berguna."
"Ya! Memang sudah sehebat apa kau soal cinta?" sentak Nara.
"Tentu aku lebih hebat daripada dirimu. Aku juga punya banyak pengalaman."
Nara terkekeh, "Pengalaman tentang putus cinta."
"Hah! Itu terdengar lebih baik daripada kau yang malah menyakiti cinta."
"Ya, ya sudahlah aku tidak mau beradu argumen denganmu."
Namjoo mendengus, "Ngomong-ngomong, jadi kalau aku simpulkan adalah kalian masih belum pernah berciuman?"
"Ssst~! Kumohon jangan keras-keras!"
"Waaah.. dasar gadis nakal kau malu ya kalau ada yang tahu kau masih bayi, huh?"
"Bukan. Lebih baik mereka tidak mengetahui apa-apa daripada mereka mengetahui sesuatu yang menjijikkan itu dan membuat heboh seisi sekolah."
"Aneh. Kau tidak suka jadi pusat perhatian, tapi bukannya dengan mengencani idola sekolah akan terlihat sama saja."
Nara terpaku.
Namjoo berjalan ke bangkunya dan meraih tas punggungnya, "Kalau begitu aku pulang dulu ya. Sebentar lagi aku ada les. Annyeong!"
Namjoo melambanikan tangan dan berjalan memunggungi gadis yang terpaku dibelakangnya. Pergi tanpa rasa tanggungjawab akan dosanya yang telah membuat sahabatnya terperangah oleh kata-kata logisnya. Kata-kata dimana sebenarnya adalah sebuah spontanitas dari kejelian mata Kim Namjoo yang tak terlalu suka dengan sekolah. Pergi les hanyalah salah satu formalitas dalam hidupnya. Jika banyak orang bilang bersekolah diluar negeri sangat menyedihkan tapi bagi Kim Namjoo itu adalah impian terbesar agar terlepas dari gilanya sistem pendidikan di Korea.
Nara yang masih terpaku hanya melihat punggung Namjoo yang kian lama menjauh dari pandangannya. Entah kenapa hatinya merasakan suatu keanehan pada Namjoo. Sosok Namjoo hilang di balik pintu membuat hatinya bertanya akan satu hal yan tak ia mengerti pertanyaan apa itu. Bola-bola mata Nara bergerak beriringan mendekati kutub yang sama. Gadis itu melamun sesaat.
"Hei! Tahu tidak?" tiba-tiba Namjoo muncul dari balik pintu. "Sekolah kalau di malam hari itu menakutkan loh."
"Aku tidak takut," kesal Nara yang telah dikejutkan oleh sahabatnya.
Namjoo melesat pergi sambil tertawa sambil terus mengolok-olok sahabatnya. Sedangkan, Nara memasang ekspresi aneh untuk melawan kekhawatirannya.
"Bodoh! Aku tidak perlu mengkhawatirkannya," gumam Nara yang memang mudah mengubah mood-nya.
Seminggu yang lalu Nara benar-benar sibuk. Kelas Nara dan kelas 11 yang lain harus menyelesaikan tugas studi observasi mereka sebelum seminar tiba. Seolah sebuah agenda tahuan SMA Oksan tentang simulasi keadaan repot, panik dan tegangnya skripsi yang pasti akan dilalui oleh seluruh siswa yang hendak melanjutkan ke perguruan tinggi. Halo! Jangan dipikir melakukanstudi observasi akan slamanya menyenangkan karena bisa berlibur bersama ketempat-tempat baru bersama teman-teman sekelas!
Bahkan, Nara, Namjoo, teman-teman sekelas mereka dan juga seluruh siswa seangkatan mereka jadi sering pulang larut agar bisa menyelesaikan laporan sebelum tanggal pengumpulan laporan seminar. Tak jarang banyak yang lupa untuk mengurus diri masing-masing tak terkecuali Nara. Kadang ia lupa mengabari orang rumah kalau akan pulang larut. Apalagi untuk mengangkat panggilan Daehyun. Boleh dibilang mengabaikan panggilan pemuda itu tanpa menghubungi kembali. Dia juga selalu hanya mengirim pesan "Oppa, pulang duluan saja aku masih ada tugas" kepada Daehyun. Ya, cukup sampai di situ.
Tanpa di ketahui oleh Nara ternyata pemuda itu masih terus menunggunya dengan setia. Walaupun pada akhirnya harapan kosong Daehyun memang benar-benar kosong. Gadis yang di tunggunya tetap tidak pernah muncul meski jam di pergelangannya sudah lewat hampir satu jam. Cuaca ekstrem yang telah berdosa membuat udara dingin musim dingin yang menjejal paksa kedalam kulit putih yang tak terlalu putih dan melesat menusuk tulangnya. Dan udara dinginlah yang berhasil menyadarkan bahwa itu semua sia-sia. Terkadang angin bertiup bukan mengikuti keinginan manusia tapi untuk melebur hasrat panas mereka yang bodoh.
Tak hanya itu. Nara juga selalu menolak beberapa ajakan kencan Daehyun tanpa memberi alasan yang jelas. Bahkan, ia pernah membatalkan pada hari-H. Tiket nonton film sudah dibeli oleh kekasihnya, tapi Nara tiba-tiba menelpon dan mengatakan sesuatu yang dapat mengecewakan orang lain.
"Yoboseyo! Oppa, mian bagaimana kalau kita menonton di hari lain. Jinja mian Oppa!"
Dan benar kata-kata itu mencuat tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Oppa, belum membeli tiketnya, kan?"
Daehyun terdiam sejenak, "Belum, tenang saja."
Bohong.
"Ah~ syukurlah."
Dan sukses kebohongan Daehyun ternyata berhasil menipu Choi Nara. Seulas senyum terukir paksa di bibirnya. Memaksa bibirnya untuk tak mengatakan dengan jujur. Pemuda itu terlalu mencintai kekasihnya.
Kelas benar-benar sepi sekarang. Itulah yang dipikirkan Nara sesaat setelah menarik diri dalam memori masa lalunya. Sekilas ada rasa merinding di benaknya, namun hal itu hilang saat ia melihat coretan-coretan di papan tulis yang mengingatkannya tentang aktivitasnya yang tertunda beberapa menit lalu. Nara melangkah menuju bangkunya kembali. Kini ia kembali serius untuk mencatat kata demi kata yang ia tangkap dengan korneanya ke dalam bukunya. Sesaat ia berhenti, lalu melihat sekeliling. Tidak enak juga kalau sepi. Benaknya. Gadis itu kemudian menyeluk saku jasnya dan mengambil mp3 lengkap dengan earphone putih miliknya. Lalu, ia memasang benda kecil itu ke telinganya dan menyetel lagu serta volume yang tak terlalu keras. Choi Nara bukan tidak suka yang berisik hanya telingganya memang sudah disetel seperti itu dari awal.
Dua buah lagu sudah terlewat. Tiba-tiba ponsel Nara bergetar di atas mejanya. Ia hanya melirik santai. Kim Namjoo. Nama itu tertulis jelas di layar ponselnya. Sebenarnya Nara sangat malas merespon panggilan itu, tapi ponselnya tak berhenti menjerit. Pikir Nara bahwa pasti sahabatnya itu akan menggodanya lagi untuk kesekian kali apabila ia merespon panggilan tersebut. Sehingga dia mengabaikan panggilan tersebut, tapi panggilan kedua kembali muncul. Namun kejadian itu masih belum bisa menggugah hatinya untuk mengangkat panggilan dari Namjoo. Nara hanya mendengus kecil menandakan tanda kesal. Dan lagi-lagi panggilan dari Namjoo berusaha menjejal keluar dari ponsel Nara.
"Anak ini mau apa sih? Iseng sekali," katanya pada ponselnya sendiri. "Yoboseyo? Ya! Mwo, mwo?" pengulangan kata yan menggambarkan kekesalan Nara.
Tak ada jawaban hanya deruan napas seseorang dibalik sana.
"Namjoo-ya? Ya! Kau tidak ada kerjaan lain selain menggodaku, hah? Apa kau melakukan marathon lagi dari sini menuju tempat kursusmu?"
Suara hembusan napas tak teratur semakin terdengar di telinga Nara. Apa yang terjadi?
Pekikan kencang terdengar sebelum akhirnya sambungan telepon mereka terputus dan meninggalkan sejuta tanda tanya dalam diri Nara. Ekspresi Nara berubah cepat. Kedua alis matanya mengerenyit seakan ingin bersatu padu. Matanya yang bertanya-tanya dengan cepatnya berubah seketika.
Usil.
Intuisinya sedari awal kini menjawab realita yang ditangkapnya. Ya, ini sudah biasa terjadi dan pada akhirnya Namjoo akan mengatakan semacam "Selamat ulang tahun!" "Selamat tahun baru!" "April Mop!" "Trick or treat!" atau "Selamat malam! Semoga mimpi indah!".
Choi Nara kembali menenggelamkan dirinya dalam ribuan kata dalam tinta hitam di buku tulis kecilnya. Ia tidak mau ambil pusing dengan lelucon yang dibuat sahabatnya. Hampir setengah jam berlalu begitu saja. Dan akhirnya Nara menyelesaikan catatannya cantik nan rapinya. Sangat rapi dan cantik penuh dengan warna sebagai penegas kepentingan tulisan itu. Memandangi dan mengapresiasi sendiri apa yang telah dikerjakannya sampai kemudian ia teringat oleh perkataan senior Krystal Jung—ketua klub jurnalis—untuk meletakkan data anggota baru klub jurnalistik yang lulus tes kemarin di ruang jurnalistik karena Choi Nara adalah sekretaris klub jurnalistik. Sebelum ia memutuskan untuk meletakkan berkas-berkas itu hatinya tergugah untuk membersihkan papan tulis di kelasnya.
Beberapa menit terbuang untuk kegiatan menghapus papan. Nara membersihkan blazer hitamnya dan rok merah polosnya dari debu kapur yang berterbangan.
"Hus, hus, pergilah! Jangan kotori seragamku!"
Hah! Kau pikir serbuk kapur itu kucing?! Konyol!
"Selesai," gumam Nara setelah meletakkan map berkas di sebuah lemari.
Saatnya pulang. Dan saatnya untuk menghubungi adiknya, Choi Junhong yang bandel. Sudah menjadi hal atau bahkan pemandangan biasa kalau Choi bersaudara selalu pulang bersama. Rumah mereka memang cukup jauh dari sekolah. Kalau mengandalkan bus bisa-bisa keduanya akan mencetak rekor poin terlambat paling banyak dan di hukum tiap hari. Bukan salah jadwal bus, tapi salahkan kedua muda-mudi itu yang tak bisa mengatur jadwal bangun pagi mereka.
Sang kakak akan menunggu sang adik pulang, tapi yang lebih sering adalah sang adik yang selalu menunggu sang kakak. Menunggu? Em, apakah kata-kata itu cukup tepat sedangkan, kenyataannya Choi Junhong selalu akan pergi bermain atau sekedar jajan bersama kawan-kawannya sambil menunggu kakaknya yang super sibuk. Dan kembali lagi untuk menjemput sang kakak dengan perut kenyang.
Tangan kirinya yang menggenggam ponsel di angkat. Memijit tombol pembuka kunci layar. Dilihatnya angka sebelas berdempet dengan angka nol yang berpasangan dibatasi oleh tanda titik dua. Sekarang jam sebelas malam.
"Sudah jam segini," gumam Nara.
Kesunyian koridor sekolah menyambut Nara yang keluar dari ruang klub jurnalistik. Perasaan tidak enak muncul di benaknya. Buru-buru ia mengunci pintu ruang jurnalistik dan pergi dengan meyakinkan dirinya gedung sekolah di pagi, siang atau malam hari sama saja.
Langkahnya sekejap terhenti. Bulu romanya berdiri dan langsung tangan kanannya menyapu lembut tengkuk putihnya. Gadis itu melempar pandangan ke sekeliling. Tak ada apa-apa semua baik-baik saja.
"Huft~ ini hanya perasaanku saja," gumamnya yang kemudian melepas earphonenya.
Tap. Tap. Tap.
Suara langkah kaki Nara meramaikan seluruh gedung sekolah. Jari-jari lentiknya terus asik memainkan layar ponsel merah jambunya. Raut wajah tak sabar mencuat tergambar jelas disana.
"Eoh!" pekiknya lirih ketika ponselnya berdering. "Yeoboseyo!"
"Noona, mian! Aku keasikan main dengan Jongkook-ie dan Bambam-ie," suara seorang pemuda terdengar dari ponsel Nara.
"Ya! Neo jugullae, eoh?" ancam Nara seraya berjalan mendekati jendela dan melihat keluar jendela.
Choi Junhong, pemuda imut berkulit putih, adik sematawayang Choi Nara sedang berdiri—tak jauh dari motor sport hitam lengkap dengan 2 helm—di luar untuk menjemput kembali sang kakak tercinta. Sang kakak dapat melihatnya dengan jelas adiknya menunggunya di luar. Lesung pipit pemuda manis itu nampak seperti sebuah jurang yang curam ketika kedua sudut bibirnya ditarik ke kutub yang berlawanan. Sang kakak pun begitu juga. Ya, keduanya punya lesung pipit yang sama. Memiliki kadar pigmen melamin yang sama pula sehingga membuat keduanya seperti berasal dari keluarga Cullen. Mereka bagai pinang di belah dua jadi, tak heran kalau orang yang baru bertemu langsung bisa menilai bahwa mereka memiliki hubungan darah. Hanya perbedaannya Choi Junhong bertubuh jangkung sedangkan, Choi nara bertubuh mungil. Betapa imutnya kakak beradik itu. Bahkan bisa di katakan keduanya cocok menjadi pasangan kekasih kalau seandainya mereka bukan bersaudara karena hubungan persaudaraan mereka sangat manis.
"Tidak mau~ ampun~!"
Hah! Dasar anak manja. Bagaimana bisa kelak kau jadi kepala keluarga kalau sifatmu masih seperti ini?! Pikir Nara singkat jika, adiknya itu mulai merengek.
Choi Junhong menengadah. Ia baru tahu kalau kakaknya ada disana dan sedang memperhatikannya. Refleks tangan kanannya—yang semula sejak awal terbenam sangat dalam di dalam saku celana seragamnya—di angkatnya dan memberikan lambaian semangat pada gadis mungil yang berada di ruang kelasnya di lantai 2. Kakaknya juga membalas lambaiannya santai.
"E-em, Noona, cepatlah sepertinya gerimis ini akan menjadi hujan lebat! Aku tidak mau kulit wajahku yang cantik ini jadi pucat karena kedinginan."
"Hah! Kau benar-benar akan mati setelah ini. Tunggu di sana! Tak ada ampun untukmu."
Junhong mengerucutkan bibir tipisnya sambil menatap layar ponselnya. Ia heran pada diri kakaknya yang selalu saja marah padanya walaupun, ia tahu kemarahan sang kakak tidak sungguh-sungguh. Ya, tak jarang pula kepalanya menerima pukulan keras dari tangan sang kakak. Namun dia tetap sayang kakaknya, Choi Nara.
Nara menurunkan tangannya yang sedang menggenggam ponsel dari telinganya. Memijit tombol merah di layar ponselnya. Ia membiarkan paru-parunya memasok oksigen beberapa cc sebelum pandangannya kembali di lontarkan ke luar jendela. Betapa terkejutnya Nara saat melihat ada seseorang berjas hujan gelap menghampiri Junhong dari belakang sambil membawa sebilas pisau tajam. Prasangka buruk langsung terpikir Nara.
"Ya! Junhong-ah! Belakangmu awas! Junhong-ah," jerit Nara.
Jelas mana mungkin Junhong bisa mendengar suaranya. Meskipun dia berteriak sampai suaranya habis pun sampai kapan pun Junhong yang jelas-jelas ada di luar gedung tak akan mendengar jeritannya. Segala cara gadis manis itu coba untuk menarik perhatian Junhong agar mau melihat ke arahnya. Nara memukul-mukul jendela kaca. Dan berhasil. Usahanya untuk memberitahu Junhong tidak sia-sia ketika bertubi-tubi tangannya menghujam jendela.
Junhong mendapati suara-suara yang membuat dirinya ingin tahu. Sehingga ia mencari suara itu. Ia melihat kekanan dan kiri lalu pandangannya berhenti saat dia menengadah melihat tingkah aneh kakaknya yang mengedor-gedor jendela, menunjuk-nunjuk seraya berucap yang tak ia tangkap maksudnya. Dia hanya berbalik badan ketika merasa ada seseorang di belakangnya. Oh! Suatu benda tajam memaksa masuk kedalam perutnya. Junhong tertohok. Ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang membuat suaranya tercekat dan tak berhasil keluar. Sangking tak kuatnya akan rasa perih yang mulai menyebar keseluruh tubuhnya tangan kirinya mencengkram keras bahu seseorang yang tak di ketahui yang tiba-tiba menusukkan sebilah pisau ke arah perutnya.
Tak puas sampai disitu si pelaku memutar pisau yang masih menancap di perut kiri Junhong. Serasa isi perutnya terkoyak keluar. Junhong makin tak bisa merasakan kakinya menapak di tanah lagi.
Gerimis sudah menjadi lebat sekarang. Helaian-helaian rambut abu-abu Junhong melekat satu sama lain sejak air mata langit berlomba-lomba membasahi tubuh tingginya. Tubuhnya membungkuk tak bisa tegak seperti biasa. Menahan sakit yang luar biasa memang tidak nyaman. Hujan juga menghalangi pandangannya. Pandangan untuk melihat siapa orang yang tanpa izin melukai perut datarnya. Tubuh tingginya kian merosot dan ambruk ke tanah.
Sedangkan, orang misterius itu hanya berdiam diri. Membiarkan titik-titik air menjatuhkan diri pada tubuh tegap yang tertutup jas hujan gelap, sarungtangan hitam dan sepatu warna hitam yang kotor terkena pasir menjadi objek yang dapat di jadikan alibi kalau ini adalah pembunuhan berencana.
Tangan kiri orang itu mulai bergerak. Menekuk keempat jarinya dan mengacungkan telunjuknya dan menempelkannya di bibirnya sendiri. Orang itu sepertinya ingin agar Nara tutup mulut. Atau orang itu punya niat lain. Mungkinkah orang itu sedang menghitung di lantai mana Nara berada dan di ruangan apa Nara sekarang agar bisa membunuhnya juga. Ini seperti film-film psikopat.
Nara memekik keras saat tubuh adiknya terhentak kebelakang dan membuat tubuh sang adik terus membungkuk. Mata Nara menangkap dengan jelas apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja ia lupa caranya berkedip dan membuat kedua bola mata itu semakin kering. Entah kenapa ia menjadi pendiam di saat-saat seperti ini. Suaranya semakin melemah ketika orang misterius itu mengisyaratkan agar ia tak banyak bicara. Seketika gadis itu menarik pandangannya dari keadaan di luar, lalu melemparkan pandangannya ke pemandangan ruang kelasnya. Mengerjap-ngerjapkan matanya untuk beberapa detik. Tak ada tindakkan yang terbesit di otaknya. Ia tak tahu kenapa kerja otaknya lambat kala itu. Seakan-akan pembuluh darah di otaknya seperti tersumbat sehingga darah tak sampai di otaknya. Tubuhnya terasa melayang. Kejadiaan barusan membuatnya begitu shock.
Nara menghidupkan kembali kesadarannya dan langsung saja jari jemari langsingnya menari-nari di atas layar ponsel yang di genggamnya dari tadi.
"Yeoboseyo! Ini benar kantor polisi?... Saya butuh bantuan. Adik saya baru saja di tusuk oleh seseorang. Sekarang saya ada di dalam gedung sekolah SMA Oksan... Saya mohon saya tidak sedang bercanda... Ya, saya melihatnya sendiri... Nama saya Choi Nara..."
Nara bangkit dan berdiri. Ia melihat keluar jendela lagi. Di luar sepi. Hanya jalan dan motor sport hitam Junhong yang menjadi basah yang dia lihat. Gadis itu juga tidak menyadari sejak kapan gerimis itu mulai melebat. Hah, itu bukan masalah yang penting sekarang. Yang jadi masalahnya adalah kemana adiknya dan orang misterius itu pergi? Apa ini mimpi? Tidak, ini bukan mimpi lalu kemana orang jahat itu membawa Junhong?
To Be Continued…
KET:
Jugullae? = Mau mati kau?
Geumanhaera! = Sudah cukup!
Jamkkan = Tunggu
Neon jigeum eodiya? = Kau sekarang dimana?
Maaf yaw kalo chapter ini kebanyakan.. terlalu bertele2.. aku akan berusaha melanjutkannya.. SEMANGAT! Jangan lupa meninggalkan jejak setelah baca.. don't forget give me review for my story.. kita harus saling menghargai ^^ KAJJA! REVIEW JEBAL
Ngomong2 chapter ini bikin penasaran gak?
