Disclaimer : 'Bleach' milik Tite Kubo. Fanfic ini milik author.
WARNING : AU, OOC SANGAT T.T
Biarkan udara ini mengirimkan musikku untukmu
Aku mencintaimu…
The Lost Melody
Rukia menghentakkan tangannya di setir mobil karena kesal mobilnya mogok tiba-tiba. Sesudah melontarkan beberapa umpatan di kursi pengemudi, dirinya pun menelan ludah karena malu. Untung saja tidak ada yang mendengar sumpah serapahnya, kalau iya, pasti dia akan langsung ditertawakan karena akhirnya dia sadar apa yang menyebabkan mobilnya mogok –bensin, bensin mobilnya ternyata sudah habis. Dan itu artinya, sumpah serapah yang dia lontarkan tadi akan kembali kepada dirinya sendiri karena dialah yang menyebabkan mobilnya berhenti tiba-tiba.
Alih-alih turun dari mobil untuk memberitahu montir panggilan yang sedang memeriksa mobilnya di pinggir jalan, Rukia malah memanjatkan beberapa doa agar umpatannya tidak menjadi kenyataan. Berhubung tadi dia ingat telah menuduh bahwa montir yang menservis mobilnya minggu lalu bekerja tidak becus dan menyebabkan mobilnya mogok hari ini, kemudian mengumpatnya segera diberhentikan dari pekerjaan karena mengalami kecelakaan yang menyebabkan tangannya tidak bisa bekerja lagi seperti sedia kala.
"Nona… saya sudah memeriksa mobil anda dan…," kata montir panggilan sambil mengetuk kaca pintu mobil di samping kanan Rukia, ucapannya terhenti seketika itu juga ketika Rukia memotongnya dengan cepat.
"Maafkan aku, aku yang salah. Aku rasa mobilku tidak kenapa-kenapa," katanya sambil membuka kaca mobil yang menghalangi mereka berdua.
"Ya, memang," montir itu mengerenyitkan dahinya, sebenarnya dia agak geli melihat gadis kecil itu tadi tengah bergumam tanpa suara sambil menengadahkan tangannya.
"Aku yang salah," wajah Rukia memerah. "Ternyata tangkinya kosong."
Montir itu tersenyum geli. "Anda sangat beruntung," ujarnya. "Rem mobil anda blong, kalau mobil anda tidak mogok, aku rasa aku akan mendapatkan berita kecelakaan mobil malam ini."
Rukia mendengus, agak tersinggung karena montir ini seperti mengejek dirinya. "Wah… aku rasa Tuhan sangat memberkati gadis cantik sepertiku. Kau tahu? Populasi gadis cantik dan berhati mulia sepertiku saat ini sudah menurun."
Sang montir terkekeh pelan. "Saya akan memanggilkan mobil derek untuk anda. Tapi bengkel kami sudah tutup, anda harus membawanya besok kesana. Jadi mobil ini terpaksa harus di derek ke rumah anda."
Rukia memutar bola matanya. "Ya, ini sudah jam sepuluh malam. Dan aku tahu jam tutup bengkelmu, itu bengkel langgananku."
"Anda tampak sangat kesal sekali hari ini, nona. Pastinya bukan hanya karena mobil ini, kan? Ada apa?"
Rukia mendengus. "Bukan urusanmu."
"Berbagilah sedikit, kadang-kadang montir juga butuh gosip untuk hidup."
"Tidak, kau hanya butuh uang," sahut Rukia pendek dan membuka dompetnya. "Panggilkan aku mobil dereknya segera," dikeluarkannya beberapa lembar uang. "Dan beberapa liter bensin. Aku tidak mau membiarkan tangki mobilku kering."
Si montir mengangguk dan memberi hormat pada gadis bermata violet di hadapannya. "Siap bos, lima belas menit lagi mobil dereknya akan datang. Permisi."
Rukia tidak menanggapi sikap konyol orang itu dan memilih bersandar dengan tenang pada bantalan leher di kursi mobilnya.
Montir itu benar, Dia sedang dalam keadaan marah saat ini. Hari ini dia sangat kesal pada kekasihnya –Ichigo Kurosaki, si pemain biola tampan dan berbakat. Waw, sangat beruntung memiliki kekasih seperti dirinya, si orang terkenal. Semua orang akan mengenalmu juga, sebagai orang yang amat sangat beruntung bisa berdampingan berjalan dengan Ichigo Kurosaki yang kaya raya dan jenius dalam bermain musik.
Rukia agak risih dengan tanggapan-tanggapan itu, padahal menurutnya, Ichigo lah yang beruntung mendapatkan dirinya –setidaknya itulah yang ada di pikiran Ichigo juga. Jadi untuk apa memikirkan gunjingan orang lain yang makin hari makin menjadi-jadi, bahkan ada yang mengira Rukia menggunakan sihir untuk memikat Ichigo.
Rukia mendengus lagi saat mengingat hal itu, dia tidak sejelek itu hingga harus menggunakan sihir untuk memikat laki-laki. Dia kan cantik, punya reputasi, dan cukup hebat juga bermain musik. Sebelum kedatangan Ichigo, Rukia adalah pemain biola nomor satu, tapi masa kejayaannya berakhir ketika Ichigo datang. Tapi sayangnya, hanya segelintir orang yang tahu akan kenyataan itu.
Hari ini dia merasa ingin memberikan kekasihnya itu kepada orang lain secara cuma-cuma karena saking jengkelnya. Bagaimana tidak? Siapa yang tidak akan marah kalau pacarmu menganggap biolanya lebih penting ketimbang dirimu. Rasanya ingin diraihnya kerah baju si rambut oranye tadi, lalu menamparnya bertubi-tubi. Tapi Rukia hanya bisa menatap garang ke arah Ichigo dan langsung pulang mengakhiri kencan mereka.
Gadis mungil itu bahkan tidak memedulikan handphonenya yang berbunyi sejak tadi, ia tahu itu pasti dari Ichigo. Bukannya tidak mau membiarkan pria itu menjelaskan atau menghiburnya, itu hal yang sangat sia-sia, karena bahkan pria itu tidak akan melakukannya. Pasti si rambut oranye itu akan bersikukuh bahwa memang biolanya itu akan lebih setia dari dirinya.
Konyol, sangat konyol kalau mau berdebat soal biola dan cinta dengan Ichigo Kurosaki. Pria itu sangat mencintai biolanya melebihi apapun di dunia ini –termasuk dirinya sendiri dan kekasihnya. Jadi Rukia hanya butuh waktu sendiri saat ini, menerima dengan akal sehat segala perilaku tidak 'sehat' dari kekasihnya. Bagaimanapun juga, walaupun hal ini sangat benci untuk diakui, dia benar-benar mencintai Ichigo.
Lamunan Rukia terhenti ketika dia melihat mobil derek datang melalui kaca spion.
"Oke Rukia, pulang, mandi, tidur, dan lupakan masalah ini," gumamnya pelan.
Gadis mungil itu terlalu lelah untuk membuka matanya pagi-pagi buta seperti ini, tapi dering ponselnya yang memaksa tubuhnya bergerak mencari-cari di sekitar bantal.
"Halo," sapanya setengah sadar.
"Rukia, kau masih tidur? Dasar pemalas!" Terdengar suara Ichigo di seberang.
"Hmm…," jawab Rukia malas.
"Aku pinjam mobilmu, mobilku tidak bisa nyala tiba-tiba, aku harus cepat pergi ke kantor ayah. Orang tua itu berisik sekali dari kemarin karena aku tidak mengajukan lamaran pekerjaan."
"Iya," jawab Rukia pendek dan ponsel itu mati seketika karena batreinya telah habis, dan seketika itu juga dia kembali tertidur tanpa merasakan bahwa ada yang salah dengan jawabannya.
Ichigo sampai di apartemen milik kekasihnya dengan berjalan kaki karena tempat tinggal mereka memang hanya terpisah sejauh satu blok. Pria itu hanya geleng-geleng kepala melihat kekasihnya tengah asik berada di alam mimpi.
Ichigo mengusap kepala Rukia dan mencium dahinya hati-hati, takut membangunkan macan tidur. Setelah itu ia mengambil kunci mobil di tempat biasa kekasihnya meletakkan kunci mobil, Ichigo memang sudah sangat hapal seluk beluk apartemen Rukia, dia kan sering kemari.
Saat beranjak pergi, Ichigo melihat beberapa kaleng bir di atas meja dapur. Jadi tahulah dia alasan kenapa gadis mungil itu masih tidur sampai saat ini, cewek itu mabuk semalam, dan sepertinya dia tahu alasan pacarnya meneguk alkohol.
Ichigo tersenyum geli, mana mungkin dia lebih mencintai biola ketimbang cewek manis bermata violet dengan tubuh mungil yang menggoda itu? Ichigo hanya kesulitan untuk mengungkapkan isi hatinya. Dan dirinya hanya bisa mengelus dada, karena begitulah perempuan, butuh ucapan dari sekedar tindakan pengekspresian cinta.
Satu jam kemudian, Rukia terbangun dari tidurnya dengan rambut acak-acakan. Dia segera duduk tegak di kasurnya karena sepertinya telah melewatkan sesuatu.
Mobilku mogok semalam, aku naik mobil derek. Pulang-pulang langsung minum, dan tadi…
Rukia buru-buru mengecek ponselnya, tapi benda itu sama sekali tidak mengeluarkan cahaya. Jadi ia segera berlari mencari charger di atas meja dekat tempat tidurnya. Gadis itu bergidik ngeri karena kunci mobilnya tidak ada di atas meja.
Ya Tuhan!
Air mata Rukia langsung meleleh.
Mimpi, telpon dari Ichigo itu cuma mimpi. Mimpi, mimpi, dan mimpi… aku hanya lupa meletakkan kuncinya di tempat biasa…
Baru saja ponsel miliknya menyala, nama salah seorang temannya –Orihime Inoue, menghiasi layar.
"Rukia! Kau kemana saja, aku berusaha menghubungimu dari tadi," kata Orihime serak.
"Ada apa?" tanya Rukia cepat, dia tahu kemungkinan apa yang terjadi. "Ichigo? Ichigo baik-baik saja, kan?"
"Tidak," jawab Orihime kaku. "Dia sekarat."
Rukia membeku.
Ya Tuhan! Salahku!
Pekik Rukia dalam hati, air mata tak henti meleleh dari ujung matanya.
Petunjuk singkat dari Orihime sudah cukup membuat Rukia tahu kekasihnya sedang berada dimana. Dengan langkah kaki tergesa-gesa, ia segera memasuki koridor rumah sakit di Karakura. Tanpa perlu bertanya pada resepsionis, Rukia bisa langsung menemukan tempat Ichigo dirawat. Di luar ruangan ICU nampak beberapa orang temannya dan kedua orang tua Ichigo.
Dengan gemetar Rukia menghampiri mereka semua.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rukia yang terselimuti rasa takut.
Ibu Ichigo langsung berdiri dan menampar Rukia dengan keras. "Kau masih berani bertanya?"
Rukia menelan air liur, tahulah dia bahwa dirinya sedang mendapat predikat tersangka saat ini. Lihat saja tatapan orang-orang itu –tatapan menuduh, bahwa dialah penyebab kecelakaan Ichigo.
"Aku lupa, aku benar-benar lupa memberitahunya bahwa mobilku sedang rusak."
Nyonya Kurosaki nampak naik pitam dan menampar Rukia sekali lagi, kali ini tamparannya sukses membuat bibir gadis itu berdarah.
"Kau akan diadili, dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Jangan dekati anakku lagi. Aku yakin dia tidak mau menemuimu lagi. Dokter bilang tangannya tidak akan sanggup bermain biola lagi. Kau tahu, kan? Betapa dia mencintai biola? Tapi kau malah merenggut hal yang paling dia cintai," bentak wanita itu sambil menangis.
Rukia membisu. Dia mengerling ke arah Orihime, meminta bantuan. Tapi temannya mengalihkan pandangan.
"Baiklah," jawabnya lirih. "Hukumlah aku, tapi kalau dia sadar nanti, aku ingin bertemu dengannya. Dia pasti mengerti."
"Tidak. Dia tidak akan mau mengerti," balas nyonya Kurosaki.
Rukia menunduk, sadar akan kesalahannya yang sangat fatal. Bagaimana mungkin dia bisa dengan bodohnya melupakan masalah remnya yang blong dan membiarkan Ichigo meminjam mobilnya?
Gadis itu segera berbalik dengan tatapan mata hampa, hatinya berteriak memanggil nama Ichigo. Kedatangannya ke rumah sakit sungguh sia-sia, dia sama sekali tidak bisa melihat wajah kekasihnya, padahal dia sangat ingin melakukannya. Sekedar menggenggam atau mengusap pipi mulus yang sering ia cium, atau melihat betapa rapuhnya tubuh itu kini dan berusaha menjaganya. Tapi ia sama sekali tidak bisa, tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan.
Semua itu bukan karena ibu Ichigo yang menghalangi. Tapi semua itu karena kesalahannya, kalau saja bukan dia yang menyebabkan kecelakaan Ichigo, pasti ibunya akan mengizinkan dirinya terus mendampingi kekasihnya.
Dan kini, bagaikan sebuah palu telah menghantam hatinya dan menghancurkannya berkeping-keping. Tubuh mungil itu berjalan tanpa hati. Tatapan matanya menyiratkan rasa sesal dan emosi yang bergemuruh, dinding kasat mata telah menopangnya, menjadikannya gadis yang tampak sangat sombong dan bengis dari luar.
Rukia berjalan, dan terus berjalan. Berusaha menyanggupi takdirnya, berusaha menerima bahwa Ichigo tidak akan memeluknya lagi.
Gadis Kuchiki itu tidak mendapat hukuman atas tuduhan yang ditudingkan terhadap dirinya, dia terbukti tidak bersalah. Dan semua itu hanyalah ketidak sengajaan. Rukia sama sekali tidak senang, dia ingin dihukum, dia ingin dipukuli, dan dia ingin dimarahi, karena memang dialah yang salah.
Dengan sedikit takut-takut, diapun berjalan menuju rumah sakit. Sudah sebulan berlalu sejak kejadian itu, tapi Ichigo masih di rawat di rumah sakit. Menurut info dari Orihime, kepala Ichigo terbentur sangat keras dan beberapa jarinya patah. Selebihnya, tubuh pemuda itu baik-baik saja.
Rukia berjalan di koridor seraya berdoa agar tidak ditemukan oleh salah satu anggota keluarga Kurosaki. Ayahnya adalah pengusaha kaya raya yang sangat mencintai anaknya, sedangkan ibunya adalah pemain biola ternama yang juga sangat perhatian pada putra tertuanya. Keduanya menginginkan Ichigo menjadi seperti diri mereka, pengusaha atau pemain biola. Ichigo lebih cenderung memilih menjadi seperti ibunya, ya karena sepertinya yang kalian tahu, dia mencintai biola.
Rukia mengerjapkan matanya dua kali, kakinya berhenti mengayun saat itu juga. Pemuda berambut oranye yang tengah berjalan kearahnya sambil memegang kaleng jus menyedot perhatiannya.
Ichigo Kurosaki
Ichigo menatap Rukia beberapa detik, tatapannya dingin, sedingin es yang mampu membekukan hati Rukia. Kemudian pemuda itu berlalu seolah-olah tidak mengenal gadis itu.
Diabaikan
Sikap Ichigo memperjelas bahwa mereka berdua sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi, Rukia menatap punggung pemuda itu dalam kebisuan.
Jangan menanangis! Kau sudah mempersiapkan hati untuk hal ini, kau sudah tahu hal ini yang akan terjadi, jadi jangan menangis!
Tapi suara hati Rukia sama sekali tidak bisa menahan air mata gadis itu, ia pun segera berlari menuju pintu keluar. Berusaha melegakan dadanya yang tiba-tiba terasa sangat penuh sesak, berusaha mencari rasa lelah yang bisa menggantikan lelah yang menyerang hatinya. Kakinya yang mungil berlari menelurusi trotoar, terus berlari tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang keheranan melihatnya.
Berakhir
Sepatah kata yang terucap pelan dalam kepalanya, membangkitkan emosinya yang sejak kemarin berhasil tertidur. Dia sama sekali tidak ingin semua ini berakhir, dia menginginkan pemuda itu, pemuda yang dekapannya sangat hangat, yang ciumannya sangat lembut, yang belaian tangannya terasa kokoh dan siap menopangnya setiap saat.
Kedua kakinya bergegas masuk ke dalam apartemennya, tangannya dengan sigap mengambil koper dan memasukkan pakaian kedalamnya.
Aku harus menjauh
Ditatapnya biolanya yang kini tengah berdiri manis di samping tempat tidurnya. Wajahnya memanas mengingat betapa ia dulu suka memainkan bioalanya agar dipuji oleh Ichigo. Betapa seringnya pria itu berkata bahwa permainan biolanya itu sangat indah –melebihi permainan biola dirinya.
Rukia merasa itu hanya omong kosong, tapi ia tetap tidak bisa menolak wajah bahagia Ichigo sehabis mendengarkan lantunan melodi yang ia mainkan.
Rukia membereskan biolanya dan memasukkan sebuah kertas partitur dalam kopernya, kertas yang berisi lagu buatan Ichigo, yang dulu sering ia mainkan. Tapi Ichigo sendiri tidak pernah memainkannya. Ichigo bahkan tidak pernah memainkan lagu ciptaannya sendiri, ia selalu menyuruh Rukia melakukannya. Menurutnya, lagunya akan hidup ketika gesekan biola Rukia yang melakukannya.
Pria yang tidak hanya jenius dalam memainkan biola, tapi juga menciptakan lagu.
Rukia menjejalkan segala emosinya bersamaan dengan beberapa barang ke dalam kopernya. Sudah cukup, ia ingin pergi dari sini dan melupakan segalanya. Kalau orang-orang itu tidak bisa menghukumnya, maka dia akan menghukum dirinya sendiri.
Ichigo sangat bersemangat mengelilingi kampus sahabatnya –Sado, di Kyoto. Rupanya orang-orang tidak mengada-ngada tentang kemegahan Universitas tersebut. Walaupun awan kelabu tengah menggantung di atasnya, namun kampus tersebut tetap terlihat megah.
"Kuliahmu dimulai besok?" tanya Sado pada Ichigo yang tengah mengagumi sebuah gedung.
"Ya, jadwalku tidak terlalu padat. Kuliah magister itu mungkin tidak terlalu sibuk."
Sado terkekeh. "Lihat saja nanti. Oh iya, aku tidak bisa menemanimu berkeliling, aku harus pergi menemui salah seorang dosen."
Ichigo mengangguk. "Pergilah, lagipula aku akan lebih mudah mendapatkan cewek kalau tidak ada dirimu. Kau tahu, kan? Wajah dan tubuhmu menakutkan."
Sado melotot ke arah pria itu dan langsung meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ichigo tersenyum geli lalu memilih mengayunkan kakinya menuju luar gedung, mencari tempat yang sekiranya menarik untuk dilihat.
Tapi baru saja ia berkeliling selama lima belas menit, curahan air dari langit langsung membahasi tubuhnya tanpa ampun. Ichigo berlari mencari tempat berlindung, hingga sampailah ia di teras sebuah bangunan yang besar tapi bergaya kuno, sebuah gereja, yang umurnya sepertinya sudah sangat tua.
Tubuhnya mengigil kedinginan, tanpa berpikir lagi ia langsung menarik pintu gereja yang ukurannya dua kali ukuran tubuhnya dan masuk ke dalam. Diusapnya rambutnya, berusaha sedikit mengeringkannya, tapi tangannya berhenti begitu saja ketika telinganya akhirnya menangkap sebuah suara.
Sebuah suara yang menggantikan gemuruh hujan diluar. Sebuah suara yang menimbulkan gemuruh baru dalam dadanya. Suara biola.
Ichigo berjalan pelan menghampiri podium yang di atasnya kini tengah berdiri seorang gadis yang sedang menghayati permainannya sendiri. Lagu yang dimainkan gadis itu adalah lagu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, selama ini ia tahu lagu-lagu klasik yang sering dimainkan ibunya, tapi lagu ini sama sekali bukan termasuk lagu-lagu tersebut. Jelaslah sudah, bahwa gadis ini pasti menciptakannya sendiri.
Ichigo menatap gadis itu dengan seksama, tubuhnya mungil, rambutnya hitam, matanya tengah terpejam, namun gerakan tangannya menyiratkan bahwa gadis itu tengah berkonsentrasi penuh pada permainanya.
Si rambut oranye memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. Diresapinya melodi yang dimainkan gadis itu. Indah –lebih indah dari permainan biola ibunya.
Sangat indah, sampai Ichigo merasa bahwa ia sekarang tidak berada di sebuah gereja tua, melainkan sedang berada di sebuah tempat yang damai dan tentram, entah dimana –mungkin surga.
"Kau?" Suara biola terhenti.
Kurosaki membuka matanya, yang tanpa ia sadari tadi menutup sendiri karena terlalu tenggelam dalam permainan biola gadis itu.
"Aku? Hah, maaf. Aku tadi tidak sengaja masuk kesini dan mendapatimu bermain biola."
"Jadi?" tanya Rukia sambil mengangkat kedua alisnya.
"Apa aku salah?"
"Tidak sengaja masuk, bukan berarti boleh dengan sengaja mendengarkan permainan biolaku," jawab Rukia dingin.
Ichigo terkesiap. Gadis ini terlalu sombong untuk bisa menghasilkan nada seindah barusan, benar-benar kontras. "Kau tidak bisa menyalahkanku, aku tidak tuli. Telingaku bisa menangkap suara apapun di sekelilingnya tanpa aku suruh."
"Tapi kau duduk di situ, sengaja mendengarkan," tuntut Rukia.
Ichigo menghela nafas. "Oh ya… aku memang salah. Maafkan aku karena telah sengaja mencuri dengar permainan biolamu yang indah."
Rukia memutar bola matanya lalu segera memasukkan biolanya ke dalam tas dan menuruni podium.
"Tunggu!"
Rukia berbalik. "Ada apa?"
"Mainkanlah sekali lagi untukku," pinta Ichigo tulus.
"Kau suka?" tanya Rukia datar, tanpa ekspresi.
"Suka, aku sangat suka. Aku berharap bisa bermain biola sepertimu, kau tahu? Ibuku pemain biola…"
Rukia mendengus, lalu melanjutkan langkah kakinya. Tapi Ichigo tidak berhenti mengoceh. "Tapi aku sama sekali tidak bisa bermain biola, padahal aku sangat menginginkannya. Sangat-sangat ingin bisa bermain biola."
"Kau suka? Kau suka lagu yang kumainkan?" tanya Rukia tepat saat ia membuka pintu gereja. Di luar tampak pilar kokoh yang menopang atap teras gereja tersebut.
Ichigo mengangguk.
"Kau sangat ingin bermain biola? Tapi tidak bisa?"
Lagi-lagi Ichigo mengangguk.
"Kau tahu kenapa aku bermain biola?"
Kali ini Ichigo menggeleng.
"Aku bermain untuk seseorang yang sangat ingin bermain tapi ia tidak bisa melakukannya. Aku bermain supaya ia bisa merasakannya."
Ichigo membisu, tidak mengerti ucapan gadis mungil yang jauh berada di hadapannya ini.
"Apa hatimu sakit mendengar aku bisa bermain tapi ternyata kamu tidak?"
Ichigo ragu-ragu. "Mungkin iya…"
Rukia tersenyum tipis, diturunkannya tas biola miliknya dan di keluarkannya benda itu.
"Kalau begitu, aku tidak memerlukan ini."
Hal yang dilakukan gadis itu setelah mengucapkan sebuah kalimat tersebut membuat Ichigo tercengang. Tanpa memperlihatkan rasa ragu, gadis bermata violet itu menghantamkan biolanya ke pilar yang berada di teras. Tanpa perlu dlihatpun, hasilnya sudah jelas. Biola itu pasti sudah menemui ajalnya.
Ichigo berlari menghampirinya. "Apa yang kau lakukan?"
Rukia berjalan menembus hujan, kemudian berbalik, menatap Ichigo tanpa ekspresi. "Menghukum diriku."
Samar-samar Ichigo bisa melihat gadis itu mengeluarkan air mata di tengah guyuran hujan, entah mengapa ia merasa tahu hal itu. Banyak tanya bermunculan dalam benaknya, tapi dibiarkannya pertanyaan dan gadis itu berlalu dalam kepalanya.
Aku bertemu orang gila.
Wah, senang sekali bisa menulis cerita lagi. Hahahaha, mngkin alurnya akan mudah di tebak. Tapi, aku hanya butuh tempat mengekspresikan keinginanku untuk menulis. Semoga saja yang baca bisa menyukainya.
Please read n review yaaa :)
