Touken Ranbu (c) DMM & Nitroplus
Warning(s) : Tsuru x Saniwa (OC, bukan saniwa katsugeki ya hehe). Pendek. Kurang riset. Banyak typo.
Fanfiksi kegalauan karena gabisa ikut event Kotegiri Gou ((warning macam apa ini))
Fanfiksi ini terinspirasi dari hasil rp-an saya (gak sengaja) sama Tsurumaru-nya page 'Cemil Garam Bersama Odategumi' di facebook. Karena gak tahan, yaudah saya jadiin fanfic aja. Bagi yang baca, jangan lupa follow page nya ya! Kapan lagi bisa cemil garam bersama pedang-pedang Oda dan Dategumi. Bisa bully juga kok! /Gak /ampun
Dedicated to : Admin-san Cemil Garam yang sudah ngizinin diapload di sini hehe thank you so much 3
Happy 7th years anniversary, akunku! /plak
The Crane
Air muka saniwa yang terlihat buruk malam ini bukanlah pertanda yang bagus.
Tsurumaru Kuninaga, bekas pedang keluarga Date, hari ini ditugaskan menjadi sekretaris saniwa Bingo no Kuni dengan code name : Ruu. Sudah hampir dua tahun pedang berlambang bangau itu melayani Tuan-nya, namun bukanlah perkara mudah baginya untuk memahami bagaimana sifat sang tuan.
"Oi. Mukamu seram, Aruji." Tsurumaru menyentil kening sang Tuan.
Anehnya, wajah merengut itu tidak berubah, justru malah balas menatap si pedang jahil dengan pandangan kesal.
"Apa, Cur. Lagi bete ini."
"Aku bukan cucur."
"Curut, maksudku."
"Aku bukan hewan pengerat. Aku bangau."
"Oh aku kira kamu soang, Cur. Soalnya aku gabisa bedain kamu sama soang yang kita pelihara di belakang benteng."
Urat kemarahan Tsuru mulai menegang, "Aruji, kayaknya anda butuh kacamata. Atau mau pinjam kacamata Akashi? Hakata? Atau Tomoe—itte! Jangan gigit jariku dasar Anda hewan pengerat!"
"Aarrrrgh pokoknya aku kesaaal!" sang saniwa menggelindingkan tubuhnya ke sebelah si pedang. Baju miko panjang yang dikenakannya menggulung badan si Tuan hingga wajahnya tertutup rambut.
Tsurumaru menghela napas lelah. 'Sushi roll.'
Tuan-nya adalah orang yang aneh. Merubah dirinya seperti 'sushi roll' bahkan adalah hal yang biasa—seluruh penghuni benteng tahu kalau sang Tuan akan selalu begini ketika ngambek—ada kelakuan si Tuan yang lebih aneh lagi. Kadang Tuan-nya meminta dirinya untuk memandikan Hanataro dan merias kuda legenda itu dengan bunga-bunga. Tuan-nya akan menaiki hanataro untuk jalan-jalan di sekitar benteng mereka, memaksa Dirinya, si pedang Hojo dan Oda, menaiki hanataro bersama dan berkeliling benteng. Tsurumaru akan menatap sang Tuan dengan pandangan lelah—seharusnya dia yang mengerjai tuannya, namun ilmu kaget nya akan selalu kalah dengan tingkah laku aneh sang Tuan.
"Lalu anda kesal kenapa? Oi. Jangan menggulung badan seperti itu." Tsurumaru menekan-nekan pipi sang Tuan yang tertutup rambut. 'dia terlalu banyak makan cokelat, huh.'
"Uuh," kepala saniwa menyundul ke luar, "hari ini developer menghubungiku."
Developer. Ah, pemerintah. "Anggota baru?"
Saniwa mengangguk pelan, "Tapi seperti biasa, ada misi berat untuk kalian semua."
"Apa kali ini? Ekspansi?"
"Bukan. Ke desa harta."
Oh. Misi lama. "Berapa mutiara yang dibutuhkan?"
Alis sang saniwa mengerut dalam, "…. Seratus ribu."
Tsurumaru bersiul, "Lebih mahal dari Kogarasumaru."
"Itu masalahnya!" Saniwa keluar dari gulungan badannya, bersandar di punggung si pedang, "Anak itu manis sekali, Cur. Tapi seratus ribu dalam 14 hari, aku nggak yakin bisa membangkitkannya."
"Loh, Anda meremehkan kami, ya?"
"Ish bukan gitu! Aku nggak ngeremehin! Aku cuma pusing mikirin gimana caranya ngumpulin biji sebanyak itu dalam dua minggu. Terangkanlah Curut Ya Allah."
"Anda gila ya? Aku mau diterangin kayak gimana lagi, udah pucat begini."
"…. Kok aku bisa jadiin kamu sekretaris-ku sih Cur. Marah ah."
"Lagian anda ngomong gak dipikir dulu."
"Ah bodo. Sebel. Aku butuh dada buat disandarin. Menurut kamu dada siapa ya yang enak? Saran dong, Cur."
Tsurumaru bergumam, 'Padahal sepertinya kau lebih menyukai punggungku daripada dada.'
"Woi Cur."
"Dada Sengo Muramasa saja. Atau Mitsubou."
"Gak mau Sengo. Dia sering buka baju depan aku. Aku bilang aja itunya kecil. Kalau Mas Mitsu kayaknya terlalu keras ya dadanya."
Si Bangau memutar bola matanya. Cuma aruji nya yang satu ini yang selalu membuatnya terkejut.
"Pilihin dada yang enak dong Cur."
"Mana kutahu, dasar Aruji Bodoh. aku bukan pemerhati dada seperti Shinano. Tanya saja dia."
"Tapi kamu kan pemerhati Aruji, Cur. Sekretarisku. Harusnya bantuin pilih! Misalkan nih ya, dada Jiji sama dada kamu. Mending yang mana? Dada Jiji bagus sih kayaknya ya?"
"Ya 'kan terserah Aruji. Anda pilih yang mana? Kalau nemplok di dadaku gak empuk tapi mulus. Kalau nemplok di dada Jiji, yah, tanggung sendiri lah nemplokin kakek-kakek."
"Bau balsam gitu?"
"Bau kareishu, Aruji…"
"Kalau kamu bau apa, Cur?"
"Aku? Aku wangi, Aruji. Kasen suka numpahin pewangi yang banyak ke baju perangku."
"Itusih karena kamu bau empang kata Kasen."
"Mana empang, Aruji bodoh."
Tersinggung dipanggil bodoh, si Tuan menarik rambut Tsurumaru yang tumbuh di sekitar lehernya sebagai balasan. Tsurumaru membalas dengan menjewer telinga saniwa lebih kencang.
Pertandingan saling jambak tidak terelakkan, meskipun punggung mereka masih menempel erat.
"Eh Cur, kalau kamu mendingan dada Jiji atau dada Ichigo buat dipeluk? Eh apa Jiji ya yang mending?"
Terus ini kenapa malah balik lagi ngomongin dada. "Gak dua-duanya. Aku lebih pilih Hanataro. Lebih lembut, empuk, bisa ditunggangi."
"Emang soang bisa nunggang kuda?"
Eta terangkanlah.
"Aku bukan soang. Aku bangau. Bangau c-oo-l."
"Wow keren sekali Cur. Aruji jadi ingin sebor kamu pakai air kobokan."
"Air kobokan yang pakai jeruk nipis? Kata Hachisuka bisa bikin muka kinclong."
"Kamu kayaknya dibohongin mas Hachi, Cur. Sini peluk aku. Kasian aku sama kamu."
….. ini dia mau modus atau gimana? Dasar orang aneh.
Ya meskipun ada rasa panas setitik di dada si Bangau. Pasti karena perkataan tuan nya barusan adalah hal yang paling bodoh.
Tapi, memeluk Tuan-nya di sudut benteng tengah malam begini, bukannya akan jadi hal yang sangat aneh? Meskipun Tuan-nya sendiri yang memintanya—entah bercanda atau serius, yang manapun—, perbuatannya akan dilihat orang—atau dilihat seorang kakek tua namun tampan yang dadanya terus dibicarakan sang Tuan sejak tadi—dan jadi pembicaraan satu benteng. Atau yang lebih parah, Hasebe, sekretaris utama benteng ini, akan mengamuk karena dirinya dianggap telah melecehkan Tuan nya sendiri. Tsurumaru tentu saja tidak ingin menjadi bahan siksaan pemotong lemari itu besok pagi.
"…. Terakhir kali dipeluk, aku kena repair enam jam. Yang memelukku oodachi musuh, ngomong-ngomong. Aku jadi trauma untuk dipeluk."
Alasan bodoh memang. Tapi jika dilihat dari kemampuan si Tuan yang sepertinya tidak melebihi kapasitas kepala Hanataro, tentu saja Tuan-nya akan percaya.
"Lagian kenapa malah peluk oodachi musuh. Peluk saja oodachi benteng kita. Taroutachi misalnya. Aku kan jadi senang."
"Tarou najis sama bangau katanya, Aruji. Aku pernah mengerjainya dengan timpukan tai kuda yang dikumpulkan Namazuo. Setelah itu dia menyapu mukaku dengan onusha miliknya."
"Kamu kenapa kayaknya hina banget ya, Cur. Aruji jadi sedih."
"Yha. Makasih. Semenjak anda membangkitkanku, aku tahu aku berubah menjadi orang yang sabar. Jadi tidak apa-apa."
"Kenapa kamu jadi mellow gini, Cur. Yaudah aku gak jadi sebor kamu pakai air kobokan."
Tsuru mengurut keningnya pelan. Benar-benar baru kali ini, ada orang yang membuatnya pusing setengah mati. Padahal dia adalah biang onar di benteng ini, ternyata aruji nya sendiri lebih menyebalkan dari dirinya.
"Oke, kembali ke topik. Lalu bagaimana? Kau mau aku jadi kuli mencari seratus ribu mutiara itu?"
Sang saniwa terdiam. Seolah lupa kalau benda yang jadi sandarannya adalah punggung sang bangau, saniwa makin melesakkan sandarannya ke sana.
"sejujurnya aku lebih menginginkan yang lain."
Oh. Jadi kami yang di sini belum cukup? Aku belum cukup? "Oh. Siapa yang Anda tunggu."
"… Aku ingin Mas Oni datang ke benteng ini."
Mendengar nama yang sangat dikenalnya keluar dari bibir saniwa, punggungnya menegang.
"… Kenapa kau menginginkannya kemari?" tanpa sadar, nada yang dikeluarkannya terlalu dingin.
"Aku ingin kamu punya teman, Cur! Bukannya kau dan Mas Oni sering bersama di masa lalu?" tuan-nya melepaskan punggungnya, berbalik menatapnya dengan ceria. Raut kesalnya yang daritadi terpasang di wajahnya mendadak hilang.
Tsurumaru Kuninaga, si tukang onar satu benteng Bingo no Kuni, tidak bisa menatap Tuan-nya sendiri.
Tuan nya yang nada suaranya meninggi dan bahagia ketika mengucap nama 'itu'.
Nama yang tidak ingin dia dengar lagi, bahkan dari mulut Tuan-nya.
Saniwa-nya, yang menurut Tsurumaru hanya punya kepala sebesar Hanataro, menelengkan kepala begitu melihat reaksi kognitif yang dia buat, "Cur? Kamu kangen sama Onimaru, 'kan?"
"…. Aku tidak kenal dengannya."
"… Hah?"
"Aku tidak kenal pedang yang bernama Onimaru Kunitsuna. Saat aku masih di Hojo ataupun Oda. Aku tidak pernah kenal dengannya."
"…. Tapi kamu barusan menyebutkan namanya, loh."
Tanpa sadar nadanya semakin meninggi. "Oh ya? Mungkin aku barusan amnesia. Tapi kutegaskan sekali lagi; aku tidak kenal si Onimaru Kunitsuna yang Tenka Goken itu. Teman? Bukankah seluruh pedang yang ada di benteng ini adalah temanku? Jadi aku tidak butuh yang lain. Terutama si setan itu. Sudah ya. Oke. Aku permisi. Mau tidur. Besok nguli."
Tsurumaru meninggalkan sang Aruji begitu saja, tanpa mengetahui aruji nya dilanda kebingungan yang amat sangat. Tanpa menyadari kaki panjangnya berjalan terlalu cepat. Meninggalkan sang Tuan di sudut teras benteng yang gelap.
Tuan-nya yang sekarang adalah orang bodoh. Orang aneh. Yang paling naif dari seluruh tuan yang pernah dia abdikan namanya. Dengan otak seperti kuda, tentu saja dia akan percaya dengan perkataannya.
"Cur—Tunggu."
Pedang Hojo cukup dirinya saja kan?
Tenka Goken juga cukup dengan si kakek tua itu saja, 'kan?
Tidak perlu pedang iblis seperti sosok itu.
Bukankah dia sudah cukup?
Bukankah, dirinya seorang di benteng ini sudah cukup?
Tidak perlu ada yang lain.
Seharusnya Tuan nya itu tahu.
"Aku bilang tunggu—itte-!"
Dentuman agak kencang terdengar dari balik punggungnya. Dia menengok sekilas, melihat si saniwa yang jatuh terjerembab akibat tersandung baju miko nya sendiri.
"T-tunggu—aw."
Ah, lututnya berdarah.
"…. Dasar Aruji bodoh." Tsurumaru menghela napas kembali. Jadi sudah berapa kali dia menghela napas malam ini? Ayolah, energi kejutannya benar-benar terhisap oleh Tuan-nya ini.
Diliriknya sang Tuan yang kini tengah meringis sambil memegang lutut yang terluka, "Anda ngapain? Kenapa lari-lari. Anda kenapa bisa bodoh sekali? Huh. Sini, kugendong."
"….Kamu marah?"
"…Hah."
"Kamu marah kalau aku ingin Onimaru pulang ke benteng kita?"
Dia membalikkan badannya kembali, "Kenapa harus marah, Aruji. Aku sudah bilang kalau aku tidak kenal dengan pedang bernama Onimaru Kunitsuna itu."
"Jangan bohong, Cur. Kalau nanti di akhir tahun dia datang ke benteng ini gimana?"
"… Ya gak gimana-gimana. Paling balik ke Sadayasu."
Tidak ada jawaban dari sang Tuan. Diliriknya sekali lagi tuan nya, hanya untuk melihat sang tuan yang tengah menitikkan air mata.
"... Astagaaaa. Kenapa anda malah menangis? Hei, ah—jangan menangis!" cepat-cepat dihapusnya air mata yang masih saya menetes deras dari pelupuk mata saniwa.
"…Kamu mau pergi?"
"Saya mau tidur, Arujiii. Dewa terangkanlah Aruji ini."
"Hiks. Huwe."
Demi dewa, dia ini sebetulnya tengah mengabdi pada wanita dewasa atau bocah balita? Kenapa kelakuan tuan nya seperti bayi?
Tsurumaru ingin menjambak rambutnya sampai botak.
"Jangan nangis. Anda butuh apa? Butuh belaian bulu halus Hanataro? Biar aku bawa dia kemari."
"Gak mau Hanataro. Dia bau kayak kuda."
"… Dia kan memang kuda, Aruji—"
"Aku mau bau soang aja."
Sedetik Tsurumaru tercengang. Kali ini, tanpa sadar, ada senyuman lembut mengawang di wajahnya yang pucat.
Ya. Meskipun bodoh, dia tidak akan memungkiri kalau ada perasaan hangat di dadanya saat ini; ketika menatap wajah Tuan-nya sendiri.
Dia bahkan tidak berani mengakui perasaan apa yang hinggap di hati manusianya.
Perasaan yang belum pernah dirasakannya ketika masih menjadi 'benda pusaka'.
"Ngomong-ngomong, kalau anda tahu, bau ketekku sama persis kayak bau soang di peternakan. Kalau mau, sini peluk."
Biasanya Aruji nya yang bodoh ini tentu akan menolak. Dia tahu, Tuan-nya tidak terlalu suka bau binatang, dan ketika menunggang Hanataro, Tuan-nya harus menyemprotkan banyak parfum ke badannya sebelum jalan-jalan dengannya.
Tentu saja, Tsurumaru bercanda soal bau badannya.
Tentu saja, Tsurumaru tidak terlalu berharap kalau sang saniwa akan benar-benar memeluknya. Perbuatan itu illegal, dan Hasebe, selaku teman lamanya dari keluarga Oda tentu saja tidak akan memaafkannya.
Tapi, tangan mungil sang saniwa sudah terlanjur melingkar di pinggangnya, wajahnya yang kecil sudah berada di dada sang Bangau. Dia bahkan bisa merasakan tarikan napas dari sang Tuan yang tubuhnya sudah menempel, erat.
Sekilas, raut merah menjalar di seluruh wajah pucat Tsurumaru.
"…. Bau soang."
Yah, tentu saja Tsurumaru Kuninaga tahu.
Tuan-nya yang paling bodoh ini adalah 'hidupnya' yang sekarang.
Sejujurnya saya kaget waktu Curut agak ngambek saya mention onimaru. Padahal niat saya mau ledekin curut, kali aja dia kangen. Eh dia malah bete. Saya beneran jadi ngerasa bersalah ;"( Maaf ya Tsuru sayang. Aruji ga maksud gitu. Aruji Cuma pengin isengin kamu aja kok y h a
Buat Admin-san terutama, semoga berkenan dengan cerita ini ya. Maaf kalau ada yang kurang dan nggak ngenakin. Makasih banyak sudah mau chat sama saya :'DD
RnR?
Much Love,
Takeuchi Mihara.
