.
My fight to live does not begin now. I have been fighting all my life, I just didn't know it.
—Dinah, Queen of Heart by Collen Oakes
.
...*...
.
K belongs to GoRa and GoHands
Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: BL, AU, OOC, miss-typo(s), implisit lime, etc
Sangat terinspirasi dari Queen of Heart series karya Collen Oakes dan Alice in Wonderland karya Lewis Carroll.
Karena karya yang luar biasa perlu diabadikan dengan cara yang berbeda.
Happy Reading ^^
.
...*...
.
Jika udara bisa mengeras, maka saat ini adalah masanya. Dalam ruang berlangit-langit tinggi dengan nuansa hitam dan merah, udara berubah menjadi sedingin es—nyaris sama bekunya dengan ekspresi patung-patung malaikat yang menghiasi tiap tiang yang menjulang hingga ke langit-langit. Dekorasi indah dengan bangku-bangku berderet dari kayu yang diukir sama sekali tak dapat mencairkan suasana, justru menegangkan orang-orang berbusana indah yang duduk di atasnya. Karpet merah gelap yang membentang menutupi nyaris seluruh lantai menguarkan aroma apak samar, debu mengebul tipis dari langkah kaki yang terlalu kuat.
Bisik-bisik dilayangkan dari wajah-wajah yang setengah tertutup kipas dan sapu tangan. Suara melengking dihaluskan hingga menjadi desah samar. Mata-mata gelisah yang dibingkai oleh celak gelap melayangkan pandangan nyalang ke seluruh ruangan, tampak khawatir sekaligus bersemangat. Keringat menetes, menghapus bedak putih yang sengaja dibubuhkan tebal-tebal untuk menutupi kerut usia dan cacat pada wajah.
"Ada pembunuhan."
"... mengincar Yang Mulia Ratu."
"Seseorang terbunuh... terluka..."
"... prajurit hati..."
"Kemurkaan Yang Mulia Raja..."
"... si gila... saksi malam itu..."
"... terbakar di apinya adalah satu-satunya jalan."
Dari kursinya yang berada di balkon khusus, Raja Hati hanya dapat mendengar sepenggal bisik-bisik gelisah itu. Mengetuk-ngetukkan jarinya pada lengan kursi yang menggelap, ekspresinya tenang—tenang yang berbahaya, seperti ketenangan seekor singa yang telah menandai mangsanya—wajahnya tak menampilkan ekspresi apapun. Di sampingnya, Jack Hati memandang dengan tatapan menilai pada tiap orang yang hadir dalam ruang yang mulai penuh.
"Kita pasti akan menangkap pelakunya," Sang Jack berkata tanpa melepaskan pandangan pada orang-orang yang baru tiba. Menaikkan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya untuk menutupi merah samar yang membayang nyata dalam sepasang mata yang masih basah (oleh tangis yang tak pernah jatuh). "Gerbang kota sudah ditutup sejak semalam. Pembunuh Tatara masih ada di kota ini. Kita pasti akan menangkapnya."
Sang Raja hanya memandang sejenak, kembali meneruskan ketukan beriramanya. Percikan api terbang dari ujung jari. Noda terbakar di antara hitamnya kayu semakin meluas. "Darah akan dibayar dengan darah. Abu dari daging dan tulangnya akan teronggok di dasar apiku yang membara, sebagai harga untuk kematian Tatara dan luka pada tubuh ratuku."
Sang Jack biasanya akan mengatakan kata-kata penenang dalam nada sinis untuk meredakan api kemarahan rajanya, namun kali ini dia bungkam. Sepenuhnya setuju pada kata-kata Raja Hati—meski itu sedikit menghianati perannya sebagai kepala prajurit sekaligus penasihat Sang Raja. Bergumam pelan dengan senyum tipis, Jack hati berkata, "Ya, kita akan membakarnya hingga tak ada yang tersisa—demi nyawa yang hilang dan darah yang tumpah."
Bisik-bisik yang tadinya pelan berubah keras, udara yang dingin mmbeku berubah menjadi sepanas api akibat kemarahan yang pekat. Wajah-wajah yang lebih kasar dan pakaian-pakaian yang lebih lusuh duduk serampangan di bangku-bangku panjang di belakang ruangan. Menyerukan kemarahan-kemarahan dalam teriakan keras.
"Ganyang si pembunuh!"
"Habisi pemberontak!"
"Lindungi Yang Mulia Ratu!"
"Tatara Totsuka adalah pahlawan!"
"Bunuh!"
"Bakar!"
Izumo Kusanagi, sang Jack Hati, tak bisa menahan senyum pedihnya. "Setidaknya Tatara mati sebagai seorang pahlawan. Jika dia hidup sementara Yang Mulia Ratu meninggal, maka api yang membara adalah miliknya. Dan namanya akan tercatat dalam sejarah gelap tempat para penjahat dan pemberontak berada." Izumo mengepalkan tangannya, senyum tipis tak hilang dari wajahnya. "Tapi kematian tetaplah kematian. Dan tak ada yang bisa menghidupkan kembali mereka yang telah mati meski pembalasan dendam dilakukan."
"Setidaknya, pembalasan dendam dapat menenangkan perasaan mereka yang ditinggalkan."
"Sepenuhnya aku setuju padamu."
Sang Raja memejamkan matanya sejenak. Membukanya dengan ketajaman dan kekejaman yang tergambar jelas. "Tatara adalah salah satu prajurit terbaik dan terloyal yang kumiliki. Kematiannya—meski itu adalah harga untuk menyelamatkan separuh dari jiwaku—memberikan kekosongan yang nyata dan tidak akan tergantikan."
"Dan di manakah Ratu Hati saat ini berada, Yang Mulia?" Sinisme yang begitu lancang biasanya akan dibayar dengan nyawa—jika bukan berasal dari Jack sekaligus penasihat yang telah mendampingi Sang Raja sejak usia muda. Senyum menyindiri saat mengatakan 'Ratu Hati' sengaja diumbar. "Bukankah dalam persidangan sebesar ini seharunya Sang Ratu mendampingi Anda, Raja Mikoto? Namun saya bisa merasakan kealphaan kehadirannya saat ini."
"Aku mengatakan pada dewan jika dia beristirahat di ruangannya karena luka di lengannya masih belum sembuh."
"Tapi kenyataan tidaklah begitu, bukan?"
"Seseorang dengan jiwa keadilan yang begitu tinggi sepertinya tidak akan pernah meninggalkan persidangan kasus ini sebelum kebenaran ditegakkan." Mikoto Suoh melirik kursi megah dengan simbol ratu yang berada di sisi kanannya. Tempat yang biasanya dihadiri seseorang dengan gaun megah dan cadar menutupi seluruh wajahnya. Senyum tipis mengembang. "Dia berada di sini, di tempatnya yang seharusnya. Sebagai seorang saksi—bukan Ratu."
.
...*...
.
Mad Hatter—Pembuat Topi Gila, begitulah nama julukannya dikenal. Dia memiliki sebuah bengkel topi kecil di wilayah utara (di dekat Hutan Tersesat dan Pemakaman Hantu) yang sudah sangat lama tidak dibukanya. Dia disebut sebagai seorang pengelana aneh yang tak pernah melewatkan waktu minum teh—membawa seperangkat peralatan minum teh dalam tas besar di punggungnya. Ada yang mengatakan jika dia mampu menggunakan sihir setingkat bangsawan atau bahkan keluarga raja. Beberapa orangtua bahkan menceritakan jika dia akan membekukan anak kecil yang ditemuinya dalam perjalanan dan mengubah mereka menjadi cangkir-cangkir atau hiasan topi untuk dijual.
Reishi Munakata selalu merasa terhibur mendengar dongeng-dongeng mengerikan yang menyebar tentang dirinya—beberapa bahkan sengaja dibuatnya untuk menampik kenyataan yang sesungguhnya. Kabar yang beredar dan hidupnya (baik di masa lalu saat dia masih seorang pembuat topi, atau di kehidupannya kini yang begitu berbeda) adalah dua hal yang begitu berlawanan. Tapi sedikit banyak itu menghiburnya.
Dan kini, setelah bertahun-tahun menghilang dan menjadi legenda, untuk pertama kalinya Reishi akan menunjukkan wajahnya di depan umum—murni sebagai seorang yang waras.
Dia adalah seorang saksi. Dari sebuah pembunuhan dan penyerangan brutal yang terjadi malam sebelumnya. Sebuah plot rapi untuk melengkapi kekosongan kisah sudah disiapkan, Reishi siap kembali menjadi dirinya yang lama—seorang pembuat topi berbakat yang eksentrik, tak pernah meninggalkan kegiatan minum teh dan terlihat seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
Reishi sedang melakukan acara minum teh rutinnya dalam sebuah ruang sempit dengan cat emas dan merah. Sebuah meja bundar dengan empat buah kursi mengelilinginya terlihat mewah dengan warna putih gading dan simbol hati di puncaknya. Bunga mawar biru terangkai rumit dalam vas perak di tengah meja, dikelilingi satu set peralatan minum teh yang dapat digunakan untuk empat orang—namun hanya satu orang yang duduk di kursi itu, seorang lainnya berdiri kaku di samping pintu dengan sikap siaga.
"Apa kau tidak ingin bergabung denganku di meja ini, Misaki Yata?" tanya Reishi pada prajurit hati yang tengah berjaga—menjaganya. "Aku sedikit kesepian minum teh seorang diri."
"Tidak." Seorang prajurit hati berwajah masam menoleh padanya dengan pandangan tak suka. Reishi menimpalinya dengan sebuah senyum simpul. "Terima kasih," tambah pemuda itu setengah hati.
Kembali menyibukkan diri dengan cangkir teh di tangan kirinya, Reishi mengangkat bahu tanda dia tak terlalu peduli pada jawaban ketus sang prajurit berjubah merah dengan simbol hati hitam di kerahnya yang kaku."Kau bisa mengatakan apapun yang ingin kau katakan padaku."
"Saya tidak memiliki hak untuk itu," sang prajurit berkata dengan bibir yang nyaris terkatup rapat. "Saya hanya diperintahkan untuk melindungi Anda selama berada di tempat ini."
"Aku hanyalah seorang pembuat topi, aku tak perlu dilindungi." Reishi mengisap sedikit teh di cangkirnya. Mengecap aroma pahit yang menguar dengan cepat—dia salah menakar, betapa tidak praktisnya bekerja dengan satu tangan. "Bukankah seharusnya kau memfokuskan diri pada keamanan Tuan Putri?"
"Saya berada di sini atas perintah Yang Mulia Raja—untuk melindungi Anda. Yang Mulia Putri Anna aman di kamarnya dengan perlindungan yang dirasa pantas."
Senyum tipis itu mengembang sedikit lebih lebar. "Tahukah kau? Kau tak perlu bicara sopan denganku saat ini. Karena, seperti yang telah kukatakan, aku hanyalah seorang pembuat topi gila. Dan tak ada keraguan atasnya." Reishi mengarahkan tatapan mata menantangnya pada prajurit yang tangannya mengepal akibat kemarahan. "Kau berhak mengatakan apapun padaku saat ini—dan tak ada yang akan menyalahkanmu."
"Kau turut berperan dalam pembunuhan Tatara," kata-kata tajam itu meluncur tanpa tedeng aling-aling. Ekspresi marah yang tak lagi disembunyikan dalam sopan-santun palsu dikeluarkan secara terbuka. Matanya membara seolah ada seseorang yang sedang menyulut api di sana—dan Reishi paham jika dia lah orang itu. "Itu sama artinya dengan kau membunuhnya."
"Aku tidak," bantah Reishi. "Kau yang sudah terjun ke medan pertempuran berkali-kali tentunya paham. Ada kematian yang bisa dihindari, dan ada yang tidak. Kematian Totsuka termasuk yang pertama."
"Tatara tidak pernah terjun ke medan pertempuran. Dia putra bangsawan, kemampuan bertarung dan memburunya sangat buruk, namun loyalitasnya pada Wonderland tak dapat dibandingkan dengan siapapun." Misaki menampilka ekspresi berduka saat mengatakannya. "Satu-satunya yang membuatnya berada dalam elit pasukan hati dan bukannya wajik yang rendah adalah karena kedekatannya dengan Raja Mikoto dan Jack Izumo. Tidakkah kau pikir menjaga Ratu dan Putri selama di istana adalah kesia-siaan—hingga malam lalu?"
"Kematiannya adalah kelengahanku. Dan bukan berarti aku tidak menyesalinya." Reishi meletakkan cangkir tehnya—benar-benar tak menyukai rasanya yang terlalu pekat. "Aku cukup kuat untuk melindunginya, namun dia tak akan mau mendengarkanku. Karena, memang bukan itu tugasnya—dia bertugas untuk melindungi Ratu. Dan atas kebanggaan atas kewajibannya itu, dia menyongsong kematiannya."
Mata yang membara itu menyipit dengan intensitas kemarahan yang tak berkurang. "Kau sama sekali tak memiliki hati. Saat seseorang mati, kau bisa begitu tenang seolah dia tak ada hubungannya denganmu."
Reishi mengusap rambut birunya. Memasang topi tinggi dengan hiasan bunga mawar dan ekor burung yang mencolok di kepalanya. "Hatiku masih tetap milikku—setidaknya setengahnya. Kalaupun hatiku beku, separuh hati yang menggantikannya adalah hati hangat yang penuh kasih—dan hati itu membara karena kematian Tatara Totsuka." Reishi bangkit dan menepuk-nepuk debu imajiner dari mantel biru dengan payet emas yang digunakannya. "Lagipula, kau pikir apa yang memanggilku datang ke tempat ini sebagai seorang saksi?"
Misaki tak menjawab. Mendengus pelan, muak pada permainan kata-kata sang pembuat topi bermata indigo yang dia tahu tak akan dia menangkan. "Cari pembunuhnya dengan segala yang kau tahu. Dan biarkan dia terbakar dengan api Raja—itulah satu-satunya cara untuk membalaskan kematian Tatara."
"Keadilan selalu membimbingku." Reishi tersenyum kecil sembari memandang telapak tangannya yang terbuka sebelum menutupnya. "Jiwa yang baik pantas mendapatkan pembalasan yang layak."
Sang prajurit hati tersentak mendengar kata-kata itu. Terkekeh pelan sebelum membungkukkan tubunya dengan sopan. "Maafkan atas kelancangan hamba, Yang Mulia. Dengan segala kelembutan dan keadilan Anda, saya memohon agar Yang Mulia sudi melakukan apapun yang akan membawa sang pembunuh ke tungkunya."
"Tentu saja."
.
...*...
.
Hakim pengadilan itu adalah pria tua dengan tubuh kekar dan wajah tegas. Di masa mudanya, Daikoku Kakujouji terkenal sebagai Jack Hati yang membawa Wonderland menuju masa kejayaannya. Anak-anak mengenalnya sebagai pahlawan dalam penakhlukkan legendaris di Tanah Dewa yang sebelumnya dikuasai suku liar. Namun, begitu usia mulai menggerogoti badan dan tonggak kepemimpinan dialihkan pada mereka yang masih muda dan kuat, Daikoku harus merelakan jabatannya. Jiwa kepemimpinannya membawa dirinya menjadi salah satu hakim tertinggi untuk peradilan kerajaan—bentuk dedikasi terakhir sebelum tubuhnya menjadi bagian dari tanah Wonderland.
Mata cokelat membara sang prajurit veteran masih terlihat begitu muda dan kuat—berbanding terbalik dengan rambutnya yang uban semua atau keriput yang menghiasi seluruh wajah. Di bawah tatapan mata cokelat nan tajam itu, dikisahkan tak ada penjahat yang sanggup mengelak dari kejahatan mereka.
Langkah kaki Daikoku berat dan menggema saat dia memasuki ruangan, bisik dan teriakan yang sebelumnya berkuasa mereda. Hening berupa langkah kaki pelan yang membelah ruangan menyita perhatian dari tiap mata yang memandang. Jubah berwarna hitam yang digunakannya terseret hingga satu meter di belakang kakinya, sulaman empat simbol kerajaan (hati, keriting, wajik dan sekop) dibuat dari warna emas menyala dengan hiasan berlian sederhana. Melangkah menuju meja panjang dengan simbol peradilan kerajaan (berupa griffin emas yang menjunjung hati merah dengan mahkota) yang disediakan untuknya.
Sepuluh juri duduk berderet di sisi kiri ruangan, berseberangan dengan balkon yang ditempati Raja, berdiri saat Daikoku sampai pada tempatnya. Para hadirin yang datang mengikuti serempak.
"Untuk Yang Mulia Raja Hati, Mikoto Suoh dari Wonderland yang berani!" Suaranya bergema di seluruh ruangan. Sang hakim membungkukkan tubuhnya hormat dan meletakkan tangan kanannya di dada kiri. "Semoga kebijaksanaan selalu memenuhi hatinya."
"Diberkatilah Raja!" dengung lembut menyahut dari seluruh orang yang hadir.
Mikoto mengangkat tangannya dan mengangguk.
"Untuk Yang Mulia Ratu Hati, yang namanya terlarang untuk disebutkan. Hari ini, Yang Mulia Ratu tidak hadir bersama kita karena keadaannya yang tidak memungkinkan," Daikoku mengatakannya dengan suara yang lembut menghormati. Bisik-bisik kembali terdengar di antara hadirin. "Semoga kebaikan dan kelembutan selalu menyertainya, dan keselamatan selalu bersamanya."
"Diberkatilah Ratu," dengung yang sama kali ini dihiasi oleh kekalutan.
Biasanya, di atas balkon kerajaan, seorang wanita bercadar tebal akan berdiri dan membungkuk santun, namun kali ini tidak.
"Dan untuk Yang Mulia Putri Hati, Putri Anna Kushina, yang saat ini juga tidak dapat mendampingi kita semua untuk alasan keamanan." Daikoku mengatakannya dengan nada prihatin. "Semoga keceriaan dan kebahagiaan selalu bersemayam dalam jiwanya yang suci!"
"Diberkatilah Putri!"
Hening sejenak memenuhi aula besar tersebut. Daikoku menegakkan tubuhnya sembari berdeham pelan. "Pagi ini, Wonderland diguncang oleh sebuah kekuatan mengerikan. Desas-desus beredar dengan cepat di kalangan masyarakat. Ketakutan merebak seperti momok. Kalian, wahai saudara-saudaraku, pastilah sudah mendengar kabar mengerikan itu."
Bisik-bisik terdengar lagi.
"Yang Mulia Ratu terluka."
"... seorang prajurit hati meninggal saat melindunginya."
"... ada pembunuh di istana..."
Daikoku mengangkat tangannya. Keributan mereda. "Seseorang berusaha mencelakakan ratu kita!"
Konfirmasi itu membuat teriakan-teriakan kemarahan menggema di bagian belakang ruangan. Tangan-tangan terkepal marah dan tubuh-tubuh berdiri dari bangkunya. Seruan-seruan kasar makin ramai terdengar.
"Namun, seorang ksatria telah menyelamatkan beliau! Dengan mengorbankan nyawanya, dia buktikan baktinya pada tanah Wonderland dan keluarga kerajaan! Karenanya, Yang Mulia Ratu hanya mengalami sebuah luka dan bukannya kehilangan nyawa—namun itu sudah cukup untuk membuat siapapun terpanggang dalam api suci Wonderland!" Daikoku meninggikaan suaranya, menyaingi seruan-seruan kasar yang terdengar. "Tatara Totsuka!Seluruh doa dan puji tidak akan cukup untuk membalas apa yang telah dia berikan untuk kita semua! Untuk Wonderland."
"Tenanglah jiwanya dalam keabadian..." dengung lembut itu diiringi beberapa isak pelan dari para wanita yang duduk di bagian depan.
"Persidangan ini, kita semua berkumpul di sini pada hari ini, adalah semata-mata demi membalaskan budi dan sisa dendam untuk Prajurit Tatara Totsuka. Agar dalam keabadiannya, segala beban di hatinya lepas dan yang tersisa hanyalah kedamaian." Sorakan setuju terdengar. Daikoku mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar. "Kita akan mencarikan kedamaian untuknya! Kita akan membalaskan dendam yang mengikatnya pada dunia!"
Sepuluh menit penuh aula membara oleh teriakan-teriakan marah dan tangis pilu dari para hadirin yang datang. Daikoku hanya memandangi mereka dengan tatapan bangga. Tangannya terangkat kembali untuk menyudahi ramai yang tercipta.
"Saudara-saudaraku, keluargaku dari Wonderland yang agung ini...," Daikoku melayangkan pandangannya pada tiap orang yang ada di sana sembari mengangguk pelan. "Untuk mencapai tujuan kita, maka persidangan ini dimulai."
Satu per satu saksi dipanggil. Yang pertama adalah seorang prajurit wajik dengan seragam berwarna kuning dan abu-abu. Dia adalah penjaga gerbang istana pada malam terjadinya penyerangan. Tak banyak informasi yang bisa didapatkan darinya. Dia mulai berjaga pada pukul tujuh malam dan sama sekali tidak meninggalkan posnya sebelum pukul empat pagi. Dia bahkan sama sekali tidak beranjak saat istana diguncang—pekerjaan adalah prioritas, begitu perintah yang didapatkan dan diturutinya. Dari kesaksiannya, dia bersumpah jika tak ada satu pun orang yang masuk atau keluar dari istana selain rombongan raja yang baru pulang berburu sekitar pukul sembilan malam.
Saksi kedua adalah seorang pelayan wanita yang menjadi pelayan khusus untuk Ratu Hati. Namanya Seri Awashima. Gadis berekspresi keras dengan rambut pirang yang disanggul ketat dan mata biru tajam yang terlihat cerdas. Beberapa orang berbisik, berkata jika gadis itu terlalu cantik dan cerdas untuk sekedar menjadi pelayan. Namun kesaksiannya membawa banyak titik terang dalam kasus yang sulit dipecahkan.
"Saya Seri Awashima. Pekerjaan saya adalah menjaga dan memenuhi segala kebutuhan Ratu. Termasuk di dalamnya, menjaga keamanan beliau secara pribadi."
Daikoku mengangguk sementara para juri mencatat keterangan tersebut pada gulungan kulit mereka. Sang hakim berdeham. "Seri Awashima, mantan prajurit wanita dari devisi sekop. Dua belas tahun lalu mengundurkan diri dari keprajuritan untuk menjadi pelayan pribadi Yang Mulia Ratu," mengumumkan identitas sang pelayan berseragam biru gelap yang duduk di kursi saksi. "Saya menanyakan apa yang Anda lakukan di malam saat terjadinya tragedi tersebut."
"Saya berada di kamar saya, tepat di samping kamar Yang Mulia Ratu, sepanjang malam," gadis itu menjawab tanpa keraguan. "Yang Mulia Ratu meminta beberapa topi baru yang sesuai dengan gaun yang sedang dipesannya. Saya tengah mendiskusikan desain topi yang sesuai dengan sang pembuat topi saat kejadian itu terjadi. Bersama-sama kami menerobos kamar Yang Mulia Ratu—suatu kelancangan yang hanya dapat dilakukan di saat darurat—dan menemukan Yang Mulia tengah diserang dan jasad Tatara Totsuka sudah terbaring di depan pintu. Saya segera menolong Yang Mulia Ratu sementara pembuat topi mengejar sang pelaku yang kabur."
"Apakah kau sempat melihat bagaimana wajah sang pelaku?"
"Saya tidak, Tuan Hakim." Sang gadis pelayan menggeleng pelan. "Sang pelaku menggunakan topeng rubah dan jubah cokelat kumal. Saya sempat menendang rusuk sang pelaku, namun dia sama sekali tak mengaduh atau mengatakan apapun. Saya tidak tahu apakah di balik topeng mulutnya tersumpal ataukah dia memiliki kemampuan seorang prajurit yang mampu menahan rasa sakit..."
Sang hakim berdeham pelan, memotong penjelasan Seri. "Tolong sampaikan fakta, Nona Seri Awashima. Jangan ada praduga di dalamnya."
"Saya tidak melihat wajah atau mendengar suaranya."
"Tadi Anda mengatakan mengenai topeng dan jubah sang penyerang. Bisakah Anda menjelaskannya dengan lebih detail?"
"Saya khawatir saya tidak dapat melakukannya dengan baik, Tuan Hakim. Ruangan Yang Mulia Ratu gelap saat itu, lilin yang biasa menyala di atas meja rias terguling, dan musim panas membuat Ratu enggan menyalakan perapian. Namun saya akan mencoba sebaik mungkin." Sang pelayan memejamkan matanya sejenak, tampak berusaha mengoleksi kembali memori yang kabur. "Jubahnya berwarna cokelat gelap dari bahan murah yang begitu kasar jahitannya. Nyaris terasa seperti karung gandum atau kentang. Aromanya apak, seperti sesuatu yang nyaris membusuk. Sementara topengnya... saya hanya melihatnya sepintas. Berbentuk wajah rubah dengan warna putih dengan dekorasi merah dan hitam. Saya tidak pernah melihat topeng seperti itu sebelumnya."
Bisik-bisik keras terdengar memenuhi seluruh ruangan. Ketakutan dan adrenali akibat misteri yang semakin meluas menguatkan bisik-bisik. Daikoku berdeham meminta perhatian. "Apakah selain itu tidak ada ciri-ciri lain yang bisa Anda sampaikan, Nona Seri Awashima?"
Sang gadis kembali mengambil jeda untuk berpikir. "Tinggi badannya. Saya rasa... meski hanya melihatnya sepintas dalam kegelapan... dia tidak terlalu tinggi. Bahkan, mungkin sedikit lebih pendek daripada saya. Dan gerakannya—saya tahu saya tidak boleh berasumsi di sini, Tuan Hakim, namun saya merasa saya harus mengatakan hal ini—sebagai seorang mantan prajurit, bagi saya gerakan sang pelaku semalam bukanlah gerakan seorang awam yang mencoba melakukan pemberontakan dengan membunuh Ratu. Dia tangkas dan lincah, dia menguasai teknik-teknik standar dalam bertarung dan sangat ahli dalam melepaskan diri. Dia seperti seseorang yang sedang atau pernah melakukan latihan militer intens."
"Dan Anda menendang dadanya?"
"Ya, Tuan Hakim."
"Apakah tendangan Anda cukup kuat untuk menimbulkan bekas lebam?"
Beberapa tawa meremehkan datang dari penonton. Seri Awashima mengembangkan senyum percaya diri. "Di masa-masa terbaik saya sebagai seorang prajurit, Tuan Hakim, tendangan saya cukup untuk mematahkan tukang paha seseorang. Dan meski sudah belasan tahun saya tak lagi melakukan latihan intens, Yang Mulia Ratu selalu mengingatkan saya untuk melatih diri—karena keamanan dan keselamatan Yang Mulia Ratu merupakan bagian dari tanggung jawab saya." Pelayan wanita itu menggelengkan kepalanya perlahan. "Di kasus biasa, Tuan Hakim, saya dengan percaya diri akan mengatakan jika saya pasti telah mematahkan satu atau dua tulang rusuknya. Namun, saat saya menendangnya kemarin, kaki saya seperti mengenai besi atau sesuatu yang keras. Dia menggunakan pelindung. Saya yakin ada lebam yang tersisa karena saya menendangnya sekuat tenaga, tapi... lebam itu akan segera hilang dalam hitungan hari, jika saya dibiarkan berpendapat."
Setelah pertanyaan itu, Seri hanya mendapatkan beberapa pernyataan sederhana mengenai apa yang dilakukannya setelah itu (dan seperti yang diduga semua orang, dia membalut luka Ratu sebelum membangunkan seluruh istana, dia ada bersama Raja saat pria itu menemui istrinya). Tak ada satu pernyataan lagi yang mampu mendekatkan fakta mengenai siapa pelakunya.
Saksi ketiga dipanggil.
Seorang pria dengan topi tinggi dan mantel biru masuk ke dalam ruangan. Semua mata terpana, dan setiap bibir terkunci.
"Saya Reishi Munakata—The Mad Hatter. Dan seperti julukan saya yang lebih terkenal dibandingkan nama asli, saya adalah pembuat topi. Lebih spesifik, saya adalah pembuat topi khusus untuk Yang Mulia Ratu."
.
...*...
.
Mereka yang mencari Reishi setelah persidangan tak akan menemukannya.
Beberapa orang berpendapat jika prajurit hati sengaja mengamankan pria itu. Hingga saat ini, sang pembuat topi gila bisa dikatakan sebagai seseorang yang paling dekat dengan sang pembunuh misterius. Kesaksiannya yang mengatakan jika dia sempat menarik lepas jubah sang penyerang dan sempat memberikan beberapa serangan fatal dengan pedangnya membuatnya sangat mungkin menguak identitas sang pembunuh. Namun itu juga membawanya dalam daftar orang-orang yang pantas mendapatkan perlindungan maksimal.
Orang-orang yang bermulut lebih lancang mulai membisikkan opini-opini yang, sungguh, akan berimbas pada kematian dengan dibakar jika sampai terdengar oleh telinga-telinga Raja Hati.
Mereka mempertanyakan hubungan antara Ratu Hati dengan Mad Hatter. Mengatakan jika keberadaan Reishi di kamar yang begitu dekat dengan kamar Ratu adalah sebuah keganjilan, dan bisa saja pelayan Ratu berbohong demi mempertahankan kehormatan Ratu.
Lagipula, segala sesuatu tentang Ratu Hati adalah sebuah misteri yang terasa menggairahkan di Wonderland. Tak ada yang tahu seperti apa wajah atau nama aslinya. Ratu hanya muncul di acara-acara kebesaran dan persidangan dengan gaun lebar dan wajah tertutup cadar tebal. Muncul begitu saja dua belas tahun lalu sebagai calon mempelai Raja, tak ada yang tahu hidup seperti apa yang dijalaninya sebelum itu.
Penjelasan yang diberikan istana begitu samar dan formal. Ratu Hati adalah seorang wanita terhormat yang bukan berasal dari kaum bangsawan. Dia adalah seorang gadis desa dari wilayah utara. Raja menemukannya saat tengah melakukan perburuan dan jatuh hati pada kecerdasan yang biasanya tak ditemui pada seorang gadis miskin. Membawanya ke istana, Raja Hati memberikan perintah untuk mendidik wanita itu menjadi seseorang yang pantas menjadi pendamping seorang raja.
Namun, kecantikan dan kecerdasan ganjil yang dimiliki sang gadis membuat Raja khawatir. Dia takut akan ada seseorang yang merebut kekasihnya. Raja memberikan perintah agar sang Ratu tak pernah menunjukkan wajah dan menyebutkan nama selama Raja masih hidup. Bahkan, untuk menyampaikan pendapat pun, Ratu akan membisikkannya di telinga pelayan pribadi sebelum Seri Awashima mengatakannya dengan lantang.
Bisik-bisik beredar dalam gang-gang gelap, mempertanyakan kisah yang disebutkan oleh kerajaan. Namun, saat kehamilan Ratu diumumkan dan delapan bulan kemudian lahirlah Putri Anna yang menjadi putri mahkota kerajaan, bisik-bisik itu mereda. Keberadaan Ratu mulai diterima. Ketiadaan darah bangsawannya menjadikannya idola baru di kalangan awam. Dan karena kepeduliannya akan keadilan yang begitu tinggi, barisan-barisan pendukung Ratu mulai terbentuk di masyarakat.
Secara garis besar, Ratu Hati adalah sosok yang dicintai sekaligus diragui oleh warganya. Mendapatkan sanjungan sekaligus sindiran dengan cara yang sama. Pemujaan terhadapnya tidak murni oleh rasa kekaguman, namun juga atas rasa takut pada kemarahan Raja Hati. Namun, sosok anggunnya juga merupakan penyelamat bagi mereka yang terpinggir—sosok harapan yang membuktikan jika keajaiban memang ada.
Namun jelas, penyerangan yang terjadi padanya menimbulkan kegemparan besar di Wonderland. Karena, meski tak ada satu orang pun yang benar-benar mencintainya dengan murni (kecuali mungkin Raja Hati), tak pernah ada orang yang cukup membenci—dan cukup gila—untuk mencoba membunuhnya.
Dan fakta jika istana dengan pengamanan penuh prajurit hati berhasil diterobos dengan mudah, membuat kengerian di masyarakat tumpah.
Saat para wartawan koran memutari gedung pengadilan untuk yang ketiga kalinya demi mendapatkan wawancara khusus dengan Si Pembuat Topi Gila, Munakata Reishi tengah duduk di sebuah kereta kuda berlambang kerajaan sambil melepaskan satu per satu kancing kemeja yang dikenakannya. Tersendat karena hanya mengenakan satu tangan. Saat kain sutra itu menuruni pundaknya, perban tebal berwarna putih terlihat membebas sepanjang lengan kanannya.
"Kalian membuat luka ini terdengar begitu parah," Reishi berkata sembali melepaskan celana hitam dan sepatu berkancingnya. "Seolah-olah tanganku akan putus atau apa."
Pria di hadapannya yang wajahnya tertutup bayang-bayang kelambu menimpali, "Masih bagus tak ada yang menyadari jika Reishi Munakata hanya menggunakan tangan kirinya selama persidangan." Sorot mata emas terlihat lebih tajam dibandingkan sinar purnama yang menembus jendela kereta. "Aku masih merasa tidak seharusnya kau datang hari ini."
"Sepertinya aku merepotkan Awashima. Aku membuatnya mengingkari janjinya sebagai seorang prajurit untuk tidak berbohong—meski kini dia bukan lagi seorang prajurit."
"Ini adalah hari yang berat bagi siapapun. Terutama untukmu. Istirahatlah begitu kita sampai di istana."
"Aku bukan seorang wanita lemah yang harus berbaring sepanjang hari di ranjang hanya karena tangannya tergores—aku bahkan bukan wanita sama sekali." Korset dipasang melingkari pinggang, pita-pitanya terpasang longgar.
"Meremehkan bisa menjadi kematian." Jubah merah dengan simbol hati hitam yang digunakan pria itu bergemerisik saat pemiliknya menegakkan tubuh. "Dan tidak seharusnya kau mengejar. Dia orang yang berbahaya. Dan keselamatanmu adalah yang utama."
"Apakah itu perintah?" Reishi bertanya. Rok dalam berwarna merah hati dimasukkan melalui atas kepala, melenguh saat lengan terlukanya tersenggol. Begitu kepalanya keluar, Reishi menyunggingkan senyum tipis menantang sembari menaikkan kacamatanya. Meraih gaun putih panjang dengan kerah renda kaku dan lengan yang menutupi hingga ujung jari. Dalam kereta yang lenteranya dipadamkan, kilau perak pada matanya terlihat bagaikan mutiara dalam gelapnya lautan. "Dan kau tahu, aku tak akan pernah mengikuti perintahmu."
Tawa sinis terdengar saat kereta yang ditarik kuda-kuda hitam besar itu berbelok di tikungan, mulai mendaki sebuah bukit tempat istana batu dengan panji-panji empat simbol berkibar di menara-menara tinggi. "Itulah alasan utama mengapa aku memilih orang gila sepertimu sebagai ratuku, Munakata Reishi."
Reishi memandang pria di hadapannya sembari memasang kancing-kancing rubi di gaun mengembang yang dikenakannya. Topi lebar berhiaskan mawar merah darah tergeletak di sisinya sementara jubah biru dan topi tinggi jatuh di lantai. "Sedikit mengejutkan mendapati tak ada satu orang pun yang menyadari waktu hilangnya Mad Hatter dan kemunculan Ratu Hati ada dalam rentang yang sama."
"Kau tahu," Mikoto Suoh mengangkat tangannya yang berhias batu-batu mulia, mengusap pipi pucat Reishi yang memejamkan keduanya matanya dengan dramatis, berbisik pelan, "kau melanggar janjimu untuk tak menunjukkan wajahmu di tempat umum."
Reishi tertawa pelan. "Untuk itu, aku siap menerima seluruh hukuman darimu, Yang Mulia Raja."
.
...TBC...
.
A/N:
Terima kasih sudah membaca kisah ini ^^
Aku belum terlalu berpengalaman menulis fantasi. Dan bisa dibilang ini mungkin kali pertama aku menciptakan dunia sendiri, masih sedikit terpengaruh dengan karya-karya lain, tentu saja. Tapi aku harap kalian bisa menikmatinya .
Alice in Wonderland adalah salah satu karya yang sangat memengaruhi pola ceritaku sejak kecil. Sudah lama aku ingin mencoba mengolahnya menjadi kisah yang lain. Dan poster resmi K Project seperti menyiram minyak pada bara.
Mungkin itu saja yang bisa kusampaikan. Mohon kritik dan sarannya ya ^^
