a hetalia fanfiction:

tujuh puluh satu

Hetalia – Axis Powers © Hidekaaz Himaruya

saya tidak mengambil keuntungan materiil dalam penulisan fanfiksi ini

.

Untuk Indonesia

.


Bibir itu bergetar. Ada semacam sengukan di sela-sela kalimatnya. Sedangkan dirinya tetap kuat untuk berbicara, sambil sesekali terdiam; mengambil napas dan menggigit bibir bawahnya perlahan.

Netherlands bisa melihat semuanya.

Rambut hitamnya pasti belum dilepas kuncirnya dengan kebaya yang masih membalut tubuhnya. Sementara laki-laki itu bisa mendengar sayup-sayup lantunan instrumental sendu; diputar di jauh belakang tubuhnya, dan membuat perempuan itu semakin sesak napas.

Netherlands tetap sabar sambil mereka ulang kembali pikirnya.

Karena laki-laki itu tahu apa yang terjadi. Ia melihat langit perempuan itu begitu biru pagi ini. Sosok perempuan itu berdiri tegap, jauh di belakang jajaran seorang Joko Widodo, dengan mata mengawang jauh ke depan—menahan tangis ketika pasukan pengibar bendera mulai memasuki lapangan dengan membawa Merah Putih di tangan, siap untuk dikibarkan tinggi-tinggi di Istana Negara, dengan instrumental Indonesia Raya.

Terlebih ketika seorang Purwacaraka membawakan Hari Merdeka, dan perempuan itu nyaris tak bisa menahannya. Sempat tertangkap kamera ketika perempuan itu menahan napas lalu mengatup bibirnya erat-erat. Netherlands yakin ia semakin menjadi ketika Merah Putih-nya berkibar, mengikuti lirik demi lirik yang membuat hatinya pedih.

Laki-laki menggigit bibir bawahnya ketika mengingat saar Syukur dilantunkan dengan penuh khidmat. Indonesia benar-benar menangis di belakang sana; dengan figurnya tertutup sempurna oleh kolega-kolega presidennya yang tertawa dan berfoto di mana-mana, tanpa ada yang sempat mengingat perjuangannya selama ini untuk membuat tanah mereka merdeka.

Merdeka dari dirinya.

"Nesia."

Satu tarikan napas panjang di sana. Netherlands mematikan rekaman ulang Upacara Penurunan Bendera.

Laki-laki itu menggenggam erat teleponnya. Kaki-kakinya dibawa melangkah ke jendela, yang kemudian menimbulkan suara ketuk-ketuk kayu; membuat suara-suara yang makin membuatnya runtuh. Ia menatap Amsterdam masih riuh di bawah kakinya. Di mana kerlap-kerlip kota begitu menyakitkan; berkelap-kelip dengan begitu tanpa dosa tanpa peduli ada yang telah membebaskan diri dari mereka 74 tahun yang lalu.

Tanpa peduli ada yang membebaskan diri dari pelukannya 74 tahun yang lalu.

Ia mengambil napas.

"Selamat ulang tahun."

Netherlands tersenyum miring. Laki-laki itu menghirup wangi mawar yang ada di telapak. Ia lalu menjulurkan tangannya ke udara pelan:

untuk merengkuh Indonesia—Indonesia yang bukan lagi miliknya.


end


.

semoga kamu tetap jaya.