Unrequited Love

By Onsoonisecret

Remake by adrianlee

Original pair OnKey (Onew and Key (SHINee)

Cast: Park Jimin, Min Yoongi, Kim Seokjin, Jeon Jungkook, and others

a/n: FF ini 1000% milik ka ONSOONISECRET. Aku disini cuman me-remake aja karna demi apapun suka banget sama semua karya ka Onsoo. Kalau ada yang suka OnKey juga, silahkan dibaca karya-karyanya ka Onsoo di - / 0nsoonisecret. wordpress Tapi jangan lupa bua kasih review kalau udah selesai baca ya. Jangan lupa juga kasih review disini karna aku sadar pasti masih ada kesalahan di bagian pengeditannya.

"Min Yoongi, kau akan dijodohkan."

"Ne?" Yoongi menghentikan suapan yang baru akan masuk ke dalam mulutnya. Apa tidak salah dengar huh? dia dijodohkan?

"Namanya Park Jimin, CEO Orchidée. Kau tahu kan kalau ayahmu memiliki hubungan kerja yang baik dengan keluarga Lee?" ucap namja cantik yang terlihat sudah mencapai usia paruh bayanya itu. Sedang memasukkan tablet PC-nya ke dalam tas kerja berdesain feminim.

Kibum hanya mengangguk mengiyakan. Menurut sepengetahuannya, Orchidee adalah brand tas ternama dari Prancis. Dan Park Jimin, ia hanya tahu namja itu tanpa mengetahui wajahnya. Ia juga tak pernah ikut campur dalam pekerjaan appa-nya. Jadi ia tidak kenal orang itu.

Sejenak ia ingin melupakan masalah Park Jimin. Kembali pada sarapan yang ia nikmati beberapa saat yang lalu.

"Umma ayo sara—huh?"

Ia baru akan mengajak umma-nya sarapan sebelum menyadari bahwa sang umma sudah melenggang pergi. Menyisakan dirinya yang melongo karena kelakuan orang tuanya. Bagaimana bisa perjodohan yang akan berakhir pada pernikahan hanya dibicarakan selintas begitu. Hanya seperti percakapan yang sudah sangat lumrah dilakukan seperti 'apa kau sudah makan?' dan bahkan itu pun tidak pernah ia ucapkan pada keluarganya. Ia tahu, kedua bumonim-nya sibuk bekerja. Pergi pagi pulang malam. Bertemu mungkin hanya dalam beberapa menit sekali seperti barusan. Ia anak tunggal. Tinggal sendirian di rumahnya yang cukup untuk ditinggali belasan keluarga. Sebenarnya ia memiliki pekerjaan. Tapi, ia lebih sering bekerja dirumah. Seorang designer untuk perusahaan keluarganya sendiri.

Yah sepertinya hari ini ia juga gagal mengajak salah satu dari orangtua-nya untuk sarapan bersama. Setidaknya ia sudah beruntung bisa bertemu dengan umma-nya pagi ini.

Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari ibunya tadi yang mungkin kini sedang di jalan menuju kantornya, "ah ya, aku lupa. Nanti malam kau akan bertemu dengannya di Last, pertemuannya sudah ku atur. Kau tinggal datang jam 8 malam. Lakukan dengan baik, dan jangan mengacaukan apapun um?"

Yoongi tertawa kecil. Bagaimana hal yang seperti ini bisa di lupakan. Apakah memang semuanya hanya dianggap enteng huh?

Belum sempat ia membalas pesan singkat ibunya, sekali lagi ponselnya bergetar, kali ini dari sahabatnya Juga sekaligus dokternya, Kim Seokjin. "Yoongi, kau harus meminum obatmu. Jangan sampai lewatkan vitamin-vitamin itu, ok? Kita akan bertemu malam ini!"

Bertemu? Tentu saja. Dokter inilah yang seenak-enaknya mengatakan bahwa ia tidak akan hidup lama. Seokjin bilang, sebenarnya ia tidak mengatakan yang sebenarnya karena itu hanya dugaan sementara dari gejala yang ia alami. Bisa lebih lama, atau lebih cepat. Dia akan jujur jika Yoongi meminum obatnya dengan teratur lalu menerima tawaran Seokjin untuk di rawat inap. Sayang sekali, opname sama sekali tak menarik baginya. Dengan tinggal di rumah sakit, sama saja memberi tahu bumonim-nya bahwa hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Itu hanya akan menghambat pekerjaan orang tuanya. Dan menambah kepedihan. Tidak berguna…

Alasan kenapa ia mengatakan 'iya' untuk perjodohannya. Hanya karena ingin memenuhi apa yang diinginkan orang tuanya. Dengan meng'iya'kan semua yang dikatakan orang tuanya mungkin satu-satunya yang bisa ia Iakukan untuk membahagiakan orang tuanya. Tanpa menyusahkan, tanpa menambah beban pikiran.

"Bodoh. Kau dimana? Mau mengindariku?"

Yoongi mengabaikan pesan singkat di ponselnya. Hanya mendesah lalu kembali melirik jam tangannya. Kini ia sedang menunggu namja bernama Jimin itu. Akhirnya ia mengabaikan janjinya dengan Seokjin. Ini sepenuhnya bukan karena ia ingin bertemu dengan Jimin. Tapi, karena ia tidak mau apa yang akan disampaikan Seokjin menganggu pikirannya. Sekarang ia hanya ingin menjalani hidupnya tanpa kekhawatiran akan waktu kematiannya.

Yoongi lebih memilih untuk memperhatikan tempat ini. Restoran Itali yang hanya memiliki satu pengunjung di setiap harinya. Juga hanya memilik satu meja yang terletak ditengah-tengah ruangan. Suasananya sedikit gelap karena dinding yang bercat marun, dibantu dengan cahaya dari jendela yang menghadap ke taman. Butuh usaha untuk menyewa tempat ini. Melihat ibunya memilih Last, pastilah mereka benar-benar mengharapkan perjodohan ini. Jadi dia harus berusaha…

"Ini benar-benar penting, Min Yoongi…"

Lagi-lagi Seokjin mengiriminya pesan. Dan ia masih mengabaikannya. Yakin sekali sahabatnya itu akan mengatakan apa pun yang dapat membujuk untuk menemuinya. Lalu saat tiba disana, ia akan diceramahi agar mau di rawat inap. Dan tentu saja operasi yang membuatnya harus melubangi tengkorak kepalanya. Mengerikan… ia tidak mau.

Sudah lewat dua jam dari perjanjian. Tempat yang disewa seluruhnya ini terasa makin sepi karena malam semakin kelam. Juga tak ada siapa pun kecuali dirinya disini. Para pelayan hanya datang saat ia membunyikan lonceng berwarna emas di atas meja. Memanggil mereka untuk duluan menyajikan wine. Pelayan dengan kemeja putih dan vest hitam juga dasi kupu-kupu yang melingkar di kerah baju mereka. Salah satu pelayan itu menghampiri meja lalu menuang Brunello di Montalcino berwarna pekat ke dalam gelas bertiang milik Kibum lalu pamit setelahnya.

Yoongi mengangkat gelasnya, memutar-mutar gelas itu hingga wine di dalamnya ber-aerasi. Mendekatkan mulut gelas ke dekat hidungnya. Menghirup aroma wine yang semerbak dalam nostrilnya. Meminumnya sedikit. Setelahnya ia hanya terdiam, lama ia hanya mengamati warna wine yang menurutnya sangat menyeramkan. Entah sejak kapan ia suka meminum cairan ini.

Kali ini ia coba menghubungi nomor Jimin yang ia dapat dari umma-nya. Hmm, tidak diterima. Apa ponselnya dalam mode diam. Atau namja itu melupakan di mana ponselnya? Orang-orang kaya selalu begini. Menganggap bahwa waktu hanyalah milik mereka. Saat ini ia sudah benar-benar bosan menunggu. Kepalanya juga sedikit pening. Entah pengaruh sakit atau wine yang ia minum.

Tak lama. Ponselnya bergetar, layar itu menunjukkan pemberitahuan pesan singkat, "aku tidak akan datang. Sebaiknya kau pulang karena aku takkan menemuimu. Dan jangan berharap perjodohan ini terjadi. Aku tak tertarik."

Entah kenapa matanya tiba-tiba memanas membaca pesan namja ini. Sudah bearapa lama ia menunggu di tempat ini. Sedang orang yang akan ditemuinya tidak ada niatan sedikit pun untuk datang. Begitu ketus dan sombong. Ini juga bukan yang ia inginkan. Hanya ini yang dapat ia lakukan untuk orang tuanya. Dengan tergesa-gesa ia membalas…

"Maafkan aku. Meski kau tidak tertarik. Aku akan tetap berharap dapat bertemu denganmu. Terima kasih!"

Jam sudah hampir mendekati pukul dua belas. Waktu dimana biasanya para pekerja istirahat untuk makan siang. Semestinya mencari tempat yang enak untuk menghabiskan waktu istirahat atau memesan makanan agar dapat memakannya di kantor sambil sesekali bekerja. Tapi, namja cantik ini tidak melakukan kedua hal tersebut. Jika biasanya ia makan siang di cafe. Maka hari ini ia tergesa-gesa menyetir audi A8 miliknya.

Jika saja umma-nya memberitahu lebih cepat saat menyuruhnya untuk ke kantor namjaitu. Bukan saat beberapa menit lagi jam makan siang akan tiba. Bisa saja namja itu sudah meninggalkan kantor duluan. Padahal Seokjin sudah melarangnya menyetir karena bisa saja ia mendapat serangan dan terjadi kecelakan. Tapi, ia yakin kali ini akan sampai dengan selamat. Semoga saja…

"Apa anda sudah membuat janji?"

"Tidak, ehm maksudku… coba kau lihat apa ada Min Hari di daftarnya."

"Ah, anda Min Hari General manager Y&J design?"

"Aku anaknya, aku datang mewakilinya untuk menemui CEO Park."

"Silahkan, disebelah sini."

Yoongi mengikuti sekretaris wanita itu menuju ke sebuah ruangan yang besar dengan desain yang menurut Yoongi sangat klasik. Banyak menggunakan aksen kayu pada dinding dan bebatuan untuk meja dan kursinya. Lemari kayu terpajang di belakang meja, buku-buku tebal tersusun rapi disana. Tirai putih menutupi jendela besar yang ada disisi dinding. Ia tidak tahu jika CEO brand tas ternama memiliki selera yang unik.

"Tuan Park sedang keluar, mohon tunggu sebentar."

Mengangguk, setelah melihat sekretaris itu menutup pintu ia membiarkan tubuhnya duduk di atas sofa empuk yang terdapat tepat di depan meja CEO. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Jimin. Ibunya bilang, ia sudah mengatur janji dengan Jimin. Tapi karena ibunya harus ke Ausie, jadi ia minta untuk Yoongi menggantikannya.

Tedengar suara pintu terbuka, kemudian suara tak tuk sepatu yang mendekat ke arahnya.

"Jika kedatanganmu untuk membicarakan masalah perjodohan itu, lebih baik kau pulang Min samonim." Ucap namja itu terus berjalan ke mejanya tanpa menoleh untuk melihat wajah tamunya. Meletakkan tabletnya di atas meja, "tidak usah pedulikan omong kosong abeoji,"

Mata Yoongi memperhatikan punggung Jimin yang terus membelakanginya. Terlihat kokoh, juga muscle yang menyembul dari kemejanya saat namja itu membuka jas cream lalu menggantungnya di tiang. Untuk tinggi, namja ini memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi darinya sekitar 10 cm. Dan suaranya, ia suka suara dengan intonasi jelas dan tegas. Ia bahkan tidak terlalu mendengarkan perkataan namja ini barusan karena sibuk memperhatikan namja ini—moributobalkeutkajji.

Jimin sebentar terhenti kegiatannya membuka map di atas mejanya. Merasa Min Hari yang cerewet kini sama sekali tidak membalas ucapannya. Memutuskan untuk melihat tamunya itu, dan rasa penasarannya terjawab saat melihat sosok yang duduk di sofa ruangannya. Namja mungil dan pucat yang ia ingat pernah dilihatnya pada foto yang disodorkan Min Hari. Wajah tirus itu tertegun menatap ke arahnya…

Deg deg deg…

Waktu seakan terhenti. Yoongi merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya saat matanya bertemu dengan mata itu. Mata tipis dengan bingkai bersudut tajam, tatapannya tegas melalui iris hitam yang menawan. Wajah sempurna yang dilengkapi surai hitam pekat yang menutupi sebagian keningnya. Tampan, tampan sekali…

"Kau Min Yoongi?"

"Y—ya… itu aku," Yoongi tergagap lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Mencoba mengontrol rasa yang bergejolak dalam dadanya.

"Kenapa kau ada disini?" melangkah, lalu duduk di sofa yang berlawanan diagonal dengan Yoongi.

"Aku menggantikan Min samonim untuk menemuimu. Dia ada urusan di Ausie, jadi dia tidak bisa datang." Menebar senyumnya untuk Jimin. Ia tidak mendapatkan balasan yang sama.

Jimin mendengus mendengar ucapan Yoongi. "Perihal apa? Kau tahu apa yang akan Min Hari-ssi bicarakan denganku?"

Menggeleng pelan menunjukkan wajah polosnya, "Tidak, dia tidak memberitahu apa pun,"

Namja tampan itu mendesah kesal, mata tipis itu mendelik seakan mengancam, "kalau begitu, pulanglah. Kau hanya menghambat pekerjaanku. Bukankah sudah ku katakan padamu jika aku tidak tertarik denganmu. Meski kau memberikan tubuhmu secara gratis, aku tidak akan menerimanya."

"Maaf—"

"Jadi, jika kau tidak ingin mendengar kalimat lebih kotor dari ini. Silahkan pergi. Jangan membuat kesabaranku habis. Aku bisa memutuskan kontrak secara sepihak dengan Min Hari. Lagipula aboji tidak memiliki hubungan apapun dengan Orchidee." Ucap Jimin tanpa membiarkan Yoongi untuk menyelanya. Wajah itu terus menunjukkan ekspresi tidak senangnya.

Tanpa di duga Jimin, namja cantik itu tersenyum, kemudian berdiri, "baik, kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku akan datang lagi. Terima kasih." Membungkuk kecil pada Jimin lalu meninggalkannya dalam langkah yang tergesa-gesa.

Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama.

Saat aku melihat matamu. Semua itu seakan memutarbalikkan duniaku.

Aku tidak tahu jika cinta datang semudah ini…

"Hei Min Yoongi! Sampai kapan akan mangkir? Jika hari ini kau tidak datang. Maka aku akan mengejarmu meski ke kamar mandi wanita sekali pun!"

"Aku akan menemuimu nanti malam. Tunggu aku, Umma cerewet!"

Menyimpan ponselnya dalan pouch selempang yang dibawanya. Hari ini ia memilih untuk menaiki taksi. Khawatir karena kulit pucatnya semakin pucat, juga rasa pening di kepalanya selalu datang tak terduga meski ia bisa menyamarkannya dengan menenggak dua butir painkiller. Sejauh ini ia masih bisa menyembunyikan semuanya karena jarangnya intensitas pertemuannya dengan kedua bumonim-nya. Well, itu menguntungkan sekaligus menyedihkan.

Ia datang untuk memenuhi janji sepihak yang dibuat kemarin. Sebenarnya sedikit merasa bodoh. Kenapa setelah perkataan kasar Jimin ia masih saja mau menemui namja itu, sangat-sangat ingin bertemu dengan Jimin. Ingin melihat mata yang membuat jantungnya berdebar. Ia menyukainya… Apa mungkin menyukai orang dalam waktu sesingkat ini? Well, ia juga tidak percaya hal ini sebelum ia mengalaminya sendiri. Alunan merdu jantungnya memberitahu segalanya.

Entah beruntung atau apa. Yoongi dipersilahkan masuk oleh sekretaris Jimin dengan alasan yang sama. Padahal ia hanya mengarang saat berkata bahwa ia lagi-lagi mewakili umma-nya untuk bertemu dengan Jimin. Seperti halnya kemarin, Jimin juga sedang tidak berada di ruangannya. Sekertarisnya bilang, Jimin sedang meeting. Mungkin akan selesai sebentar lagi.

Untuk sekedar membunuh waktu, memutuskan untuk melihat-lihat apa yang ada di atas meja kerja Jimin. Seluruh benda di meja itu tersusun dengn rapih. Terdapat sebuah gelas persegi yang tertulis nama PARK JI MIN di atasnya. Selain itu sebuah PC dan tumpukan map di sudut meja. Fountain pen tergeletak di atas lembaran kertas. Dan di sudut meja yang satunya lagi, ada bingkai foto. Gambar Jimin dengan seorang namja yang sangat cantik dan lucu. Hm, mungkin adiknya…

"Sedang apa kau?"

Suara itu mengagetkan Yoongi. Berjengit menjauhi meja Jimin saat sang pemilik mendekat ke arahnya. Mata tajam itu memperhatikan setiap sisi mejanya. Seakan takut ada barangnya yang rusak atau hilang.

"Aku tidak mencuri, kau tenang saja…" tukas Yoongi seakan mengetahui maksud dari gerak-gerik Jimin. Namja cantik itu kini telah duduk di sofa dan menyeruput teh yang tersaji di atas meja.

"Bukankah sudah jelas ku katakan padamu? aku tidak tertarik!"

"Maaf, aku tidak punya pilihan lain." Yoongi terkekeh. Membuat cheekbone-nya melayang. Entah bagaimana ia bisa tertawa di saat Jinki menatap tidak senang ke arahnya.

"Apa kau begitu menginginkanku? Apa keluargamu kurang kaya hingga kau mau dihidupi olehku."

"Jika orangtuaku tidak memilihmu, maka aku tidak akan begini. Kau pasti punya alasan untuk menolakku. Aku juga punya alasan untuk bertahan. Jadi, ayo berjuang bersama." Lagi-lagi berucap dengan senyumannya yang ringan.

Jimin tak menanggapi. Setelah melihat Yoongi, ia jadi melupakan hal yang mesti ia kerjakan setelah meeting. Memutuskan untuk mengabaikan Yoongi lalu beralih mengambil telepon di mejanya. "Aku minta desain terbaru untuk musim semi tahun ini, cepat!" Tegasnya melalui line telepon. Mungkin ia berbicara dengan sekretarisnya.

Tak lama, seseorang membuka pintu ruangannya. Sekretaris yang biasanya mengantarkan Yoongi memasuki ruangan ini.

"Maaf tuan, satu-satunya perusahaan desain yang bekerja sama dengan kita adalah Y&J dan mereka belum mengirimkan desain pada perusahaan kita." Jelas sekretaris itu yang badannya makin mengerucut karena Jimin melempar tatapan membunuhnya. Takut sekali jika jawabannya salah dan membuat Jimin mengeluarkan kata pedasnya.

"Apa katamu? Pusat di Paris menginginkan desain dari kita secepatnya! Cepat hubungi Y&J untuk mengirim desain segera!"

"Ba—baik Tuan." Dan sekretaris itu segera meninggalkan ruangan Jimin setelah membungkuk penuh hormat.

"Um, aneh sekali. Aku belum mendapatkan permintaan pembuatan desain musim semi dari umma." Yoongi bergumam, namun suaranya masih bisa sampai ke telinga Jimin yang hanya berjarak satu meter darinya.

"Apa katamu?"

"Kau selalu melihat hasil desain Y&J kan?" Jimin tidak memberikan jawaban. Hanya mengerutkan alisnya tanda ia penasaran. Tapi tak terlalu senang jika mengakuinya, "Y&J hanya memiliki satu designer tas," ia bangun dari posisi duduknya lalu melangkah ke arah bookself di ruangan Jimini. Menarik sebuah map biru langit yang terletak disana, membuka lembar halamannya. Sebenarnya map inilah yang menarik perhatian matanya pada bookself Jimin saat pertama kali memasuki tempat ini.

Yoongi berhenti di sebuah halaman. Gambar sebuah desain tas berwarna merah tua. Lalu mengangkatnya agar Jimin bisa melihat.

"Kau lihat? ?… ? Yoon Gi." Tunjuknya pada sebuah simbol hangul di sudut kertas.

Akhirnya namja itu paham jika namja pucat yang ada di ruangannya ini adalah designer Y&J yang selama ini membantu mereka dalam masalah desain. Jujur saja, selama ini ia selalu puas dengan hasil kerja Y&J. Karena itu ia agak berat memutuskan hubungan kerja sama dengan perusahaan ini.

"Tapi aku tidak pernah melihatmu di gedung Y&J atau acara-acara lain yang menyangkut perusahaan keluargamu."

Sebuah lengkungan tercipta di wajah manis Yoongi. Senang sekali saat namja yang suka mengacuhkannya itu kini penasaran tentang dirinya, "aku bekerja di rumah, aku tidak suka bekerja di tempat yang ramai dan sibuk seperti di kantor."

Namja cantik pemilik mata indah ini memang tidak suka bekerja di kantornya. Sejak lulus kuliah, ia dipekerjakan umma-nya di perusahaan keluarga. Dan selama itu ia hanya bekerja, mendesain di dalam rumah. Menyerahkan seluruh masalah kerja sama dan investasi pada ibunya. Ia jarang keluar, biasanya ia keluar hanya untuk pergi ke apartemen Seokjin lalu kembali mengurung diri disana. Sekedar untuk menjaga baby Seokjoon –bayi laki-laki Namjoon dan Seokjin— jika kedua orangtuanya sedang tidak bisa diganggu.

"Bisa kau buat desain itu sekarang?"

"Huh?"

Yah, Kibum melihatnya lagi. Jinki yang to the point sudah kembali. Tak masalah, ia juga menyukai Jinki yang seperti ini. Tapi… mengerjakan desain dengan spontan bukan hal yang mudah huh? bisa-bisa menghabiskan seluruh energinya untuk memikirkan ide-ide yang nanti akan ia tuangkan. Dia harus menggunakan kepalanya dengan baik.

"Perusahaan pusat menginginkannya, paling lambat jam 10 malam nanti."

"Disini?"

"Sekretarisku akan menyiapkan keperluanmu."

"Musim semi identik dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aku akan menambahkan emblem cherry blossom pada pangkal tali tas. Warna yang akan ku gunakan sepertinya dominan pink dan orange. Karena musim sebelumnya aku menggunakan warna gelap untuk agar kontras dengan putihnya salju. Ehm."

Namja cantik itu sebenarnya berbicara sendiri. Karena Jimin yang ia ingin ajak bicara daritadi mengabaikannya. Lelaki itu hanya sesekali mengangguk, terkadang mengucapkan apa yang menjadi ide dalam otaknya. Ide yang tak ia sangka akan mengalir selancar ini di otaknya di tempat yang bukan di rumahnya. Biasanya ia sama sekali tak bisa bekerja jika ada orang lain disekitarnya, atau suara yang mengganggunya. Kenapa dia bisa berpikir sebaik ini? Apa karena dia adalah Park Jimin?

"Bisa kau tambahkan kesan gold?"

"Gold? Tentu. Kita akan menggunakan rantai berwarna emas. Juga untuk pouch akan lebih cantik jika permukaannya dilapisi gold glitter. Cocok untuk dibawa ke pesta." Tanpa menatap Jimin. Ia sibuk mencorat-coret kertas sketsa yang ada di hadapannya. Pensil-pensil warna terhambur. Juga beberapa snack cokelat yang tertumpuk di dekatnya. Saat bekerja Yoongi selalu menguncir poninya, membentuk apple. Dan kacamata berbingkai putih yang lumayan menutupi pipi tirusnya.

Sudah hampir delapan jam namja cantik itu tanpa henti menggambar desain tas. Jimin memintanya untuk bekerja di tempat ini, dan secepatnya harus selesai mengerjakan empat belas desain. Lumayan menguras energinya, terlebih ia hanya memakan snack-snack ini.

Tapi, beberapa saat kemudian sesuatu yang dikhawatirkan Yoongi akhirnya terjadi. Tiba-tiba, Yoongi menghempas pensilnya, ia merasa sesuatu seakan menggigit-gigit kepalanya. Tubuhnya mendadak lemas, masih berusaha ditumpunya dengan kedua sikut meski kepalanya seberat batu.

"Aku hanya perlu menggambar tiga desain lagi. Tapi, aku perlu ide. Aku akan keluar sebentar. Setengah jam lagi aku kembali, ok?" Yoongi berujar, dengan senyum tipisnya. Susah payah ia membangun senyum itu.

Mata tajam itu hanya memandangnya, kemudian tanpa bicara apa pun ia kembali fokus pada PC yang ada di mejanya. Yoongi menganggap itu adalah jawaban 'iya'. Segera saja, ia meninggalkan ruangan Jimin dengan membawa pouch miliknya. Mencari toilet terdekat, lalu masuk ke salah satu kamar kecil. Menguncinya.

"Aaash…" Desisnya memegangi kepala. Tangan kecilnya terbata-bata mencari painkilleryang ada di pouch-nya. "Demi tuhan. Dimana benda itu…ssh.." Menahan rasa sakit kepalanya hingga peluh mengucur. Jika bisa, ia ingin sekali menghantam kepalanya sendiri ke daun pintu.

Akhirnya ia menemukan botol painkiller. Tangannya gemetar mengeluarkan dua butir tablet dari sana. Sulit sekali hingga butir obat itu memasuki mulutnya. Ia menelannya, setelah itu terhempas, tak sempat untuk merasa jijik dengan lantai yang didudukinya. Rasa sakit itu samar-samar menghilang, seiring dengan keringatnya yang mulai mengering.

Penglihatannya kabur, kakinya terseok-seok memasuki pintu rumah sakit. Perlahan, rasa nyeri itu menyerang kepalanya, seakan menghantamnya dengan batu. Sakit sekali, sampai-sampai ia tak mampu membawa kepalanya berjalan lebih jauh lagi. Samar-samar ia mendengar beberapa suara mendekat kearahnya. Tak bisa menyahut karena semuanya terasa berat. Gelap dan…

"Apa kepalamu pernah membentur sesuatu," namja berkacamata itu bertanya lembut pada pasiennya, atau juga bisa disebut sahabatnya. Barusan saja orang dihadapannya ini memberinya shock terapi karena pingsan dengan wajah penuh darah di koridor rumah sakit.

Namja cantik itu menutup mulutnya. Hanya terpaku memperhatikan kedua mata bulat milik Seokjin yang terlapisi kaca mata tebal. Sebenarnya pikirannya sedang melayang, sakit kepala masih dirasakannya. Kulitnya memutih, bibirnya pucat pasih. Seperti mayat hidup.

"Jawablah, jebal. Aku perlu tahu kenapa kau bisa menderita gegar otak berat seperti ini!" Kali ini dengan nada sangat memohon. Ia menyentuh jemari kurus milik Yoongi yang terasa dingin. Sungguh ia takut sekali menyampaikan keadaan sahabatnya. Bahkan ia sendiri tak kuat saat melihat hasil tesnya.

"Cepat katakan, Min Yoongi…" penuh pengharapan agar namja cantik ini dapat menceritakannya. Jujur saja, ini membuatnya ketakutan setengah mati.

Bibir tipis itu menyungging senyum pahit, memutuskan untuk bercerita atau tidak, namun akhirnya ia bersuara, "yah, seingatku aku pernah terjatuh di kamar mandi. Kepalaku terbentur wastafel. Pingsan lalu saat terbangun hari sudah berganti." Terkekeh masam, air matanya mengalir, "Ku kira, jika aku sadar berarti tidak ada yang salah. Bagian belakang kepalaku hanya sedikit benjol. Satu minggu kemudian semuanya pulih."

Entah ia harus menyalahkan dirinya sendiri atas kebodohan ini bahwa ia tidak berhati-hati atau karena ia tidak memeriksakan keadaannya. Atau karena kemalangan hidup dengan orang tua sibuk. Bahkan ia tidak ingat kapan terakhir kali bumo-nya memasukki kamarnya. Boro-boro mengetahui Yoongi tak sadarkan diri di kamar mandi. Menelponnya pun tidak. Mungkin jika mati saat itu. Ia akan ditemukan jika dirinya sudah membusuk. Semuanya terdengar miris. Kejadian ini terlalu memalukan untuk dibagikan pada Seokjin.

"Yoongi," suara yang terdengar mengasihani. Membuat namja cantik itu menghela nafasnya. Jika saja Seokjin bukan dokter spesialis otak. Ia tidak akan mau memberi tahu Seokjin perihal penyakitnya. Tak suka saat orang yang ia sayangi menjadi khawatir karena dirinya yang tak penting.

"Berikan aku painkiller lebih banyak, dan aku akan baik-baik saja."

"Tsk-kumohon, dengarkan aku…"

"Tapi, kenapa obat itu tidak mempan lagi padaku? Boleh aku menambah dosisnya satu butir lagi." Yoongi memotong ucapan Seokjin. Berpura-pura santai dengan keadaannya. Juga bertingkah seakan painkiller hanyalah sebuah vitamin yang jika kekurangan kau bisa memakannya sebanyak mungkin tanpa efek samping berbahaya.

Seokjin sedikit bergerak resah, mengusap keningnya lalu menghembuskan nafas berat, "Kondisimu sudah terlalu buruk, painkiller tak akan membantu banyak." Jelasnya tak sabaran.

Menggedikkan bahunya, "Apa boleh buat,"

"Kau ingat diagnosaku pertama kali? Saat itu aku bilang nyawamu mungkin hanya tinggal satu bulan. Itu karena gejala yang kau jelaskan sudah sangat berlebihan. Muntah. Pingsan. Mimisan lebih dari tiga kali sehari." Seokjin diam sebentar, memperhatikan dengan serius wajah pucat dalam irisnya. Sumpah, rasanya ia sendiri ingin meninju mukanya setelah menyampaikan hal mengerikan ini pada sahabatnya tersayang, "Satu minggu, ah… Ani, kau hanya punya lima hari atau kurang dari itu. Jadi tolong turuti kata-kataku, kali ini saja."

"Maaf tapi tuan Park sedang menerima tamu, kau tidak bisa masuk." Jawab sekretaris yang sudah dua kali ia jumpai saat ke kantor ini. Sekretaris yang ramah, sangat baik karena mengizinkannya masuk. Apalagi setelah ia membantu Jimin mendesain. Tapi, sepertinya tidak untuk hari ini…

"Siapa?"

"Ah, itu…" Ragu-ragu menjawab. Agak menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Tak berani menatap mata Yoongi. Ada apa? Memang ia tahu jika rumor pertunangannya dengan Jimin sudah tersebar. Seluruh pegawai disini menghormatinya seperti seorang nyonya muda.

"Gaeul-ssi, kau dipanggil tuan Hwang!" Ucap seorang namja yang tiba-tiba muncul disana. Saat Yoongi menoleh, namja itu langsung membungkuk sopan, lalu permisi bersamaan dengan sekretaris Jimin.

Yoongi tadinya mau menunggu dengan duduk dibarisan sofa di depan ruangan Jimin. Namun, saat ia baru saja akan menghempaskan tubuhnya kesana. Ia mendengar suara kikikan di ruangan Jimin. Suara manis seorang namja. Bukan Jimin tentu saja. Hal ini membuatnya tak betah untuk duduk. Memutuskan untuk mendekati pintu, menempelkan telinganya disana. Suara itu makin jelas kala ia melakukannya. Suara Jimin yang menggoda pemilik suara lain. Suara lain itu terkikik lagi.

"Hyung, kau bodoh…" Ucap suara manis itu dengan penuh nada manja. Yoongi perlahan mendorong pintu besar itu. Melihat sesuatu yang membuat hatinya terasa diiris sebuah silet. Merasakan bagaimana sakit hati saat seseorang yang ia sukai memangku namjacantik dalam pelukannya. Dan namja cantik itu tertawa bahagia, bersandar dalam bahu bidang milik Jimin.

Cklek!

"Ah, maaf! Aku mengganggu? Ku kira tidak ada tamu, sekali lagi aku mohon maaf!" Berujar setelah Yoongi yang sengaja membuka pintu itu. Berpura-pura polos. Tak peduli jika aktingnya buruk. Membungkukkan tubuhnya berkali-kali tanpa pergi dari sana. Hanya berharap bahwa namja cantik itu cepat-cepat pergi dari pangkuan Jimin.

"Eh, siapa ini Jimin hyung?" Namja cantik itu melompat dari pangkuan Jimin. Ia menunjuk ke arah Yoongi yang tersenyum cantik padanya.

"Dia? Kenalkan, dia Min Yoongi, desainer Y&J yang biasa menciptakan desain untuk Orchidee." Ucap Jimin, tanpa beralih dari duduknya. Menatap Yoongi dengan pandangan tidak suka. Seakan Yoongi hama penganggu yang harus disingkirkan.

"Ah, Jinjayo? Jungkook ibnida! Wah, aku suka sekali desainmu Min Yoongi-ssi. Aku memakai tasmu sekarang," memamerkan ransel hitam dengan sentuhan kepingan logam di atasnya. Desain yang pernah Yoongi buat untuk anak-anak muda di musim ini.

"Terima kasih," lagi-lagi membungkuk sopan. Tersenyum menunjukkan rasa terima kasihnya.

"Kenapa kau bisa masuk? Bukankah sudah ku katakan pada Gaeul untuk tidak mengizinkan siapa pun masuk?" Jimin menyela.

Yoongi menggeleng-geleng cepat, tangannya juga sama. Mengibas ke arah Jimin, "Ah, ani. Ini bukan salah sekretarismu. Dia tidak ada ditempat, jadi aku langsung masuk saja. Maafkan aku."

"Hyung! Kenapa kau begitu? Tsk-" Jungkook menunjukkan wajah imutnya yang sebal. Yoongi mengakui bahwa Jungkook sangat cantik. Lebih muda darinya, dan lebih banyak memakai aegyo alami. Saat berbicara dengan Jungkook, Jimin akan menunjukkan sikap lembutnya. Jadi ini pacar Jimin? Alasan namja itu menolak dirinya.

"Gwenchanayo Jungkook-ssi, itu semua salahku."

"Aish aku panggil kau hyung saja, othe? Hilangkan embel-embel 'ssi' saat kau memanggilku hyung."

"Keurae? Baiklah kalau begitu."

"Ah, aku dan Jimin hyung mau makan siang. Mau ikut bersama kami?"

Yoongi menghela nafasnya berat. Seharusnya ia tidak ikut dalam acara makan siang ini. Ia tidak tahan melihat mata tipis itu selalu mendelik tidak suka padanya. Ia juga harus merasakan sakit saat kedua pasangan ini berinteraksi. Mau tidak mau ia mengakui bahwa ia hanyalah orang ketiga disini. Dan itu membuat kepalanya sakit.

"Pesanlah, aku akan memakan apa pun pesananmu." Jimin mengelus puncak kepala Jungkook setelah berucap. Saat selanjutnya, ia sudah sibuk dengan tablet PC yang dibawanya.

"Jimin hyung selalu begitu, dia lebih suka tablet PC daripada mengobrol. Kecuali jika itu aku." Beritahu Jungkook dengan wajah antusiasnya.

Yoongi hanya mengangguk dengan kekehannya yang menunjukkan barisan gigi rapih. Sebuah pertanyaan terbesit di benaknya, "Di mana kau mengenalnya?"

"Um? This hyung? Aku berteman dengannya sejak kecil. Dulunya, apartemen kami bersebelahan."

"Ah, begitukah?" Tanggapnya singkat. Jungkook mengiyakan, lalu kembali sibuk dengan menu yang ada ditangannya. Jawaban Jungkook membuatnya berpikir bahwa ia benar-benar tertinggal jika harus dibandingkan dengan Jungkook. Apa keduanya sudah sangat terikat?

Makan siang berjalan sangat menyenangkan berkat Jungkook. Namja cantik itu tak henti-hentinya mengajak Yoongi mengobrol dengan seluruh tema yang ada. Yang tidak berbicara hanya Jimin, kecuali jika Jungkook berkata 'benar kan hyung?' Dan Jimin akan menjawab dengan 'benar,' lalu tersenyum seraya melakukan skinship baik itu usapan di kepala atau di wajah Jungkook.

"Daya tahan tubuh Jimin hyung sangat buruk, jadi aku harus memilih makanan yang benar untuknya. Aku pernah membelikannya samgyetang di jalanan dan dia langsung demam setelah memakannya."

"Ah, dia seperti bayi." Yoongi menanggapi. Meski sebenarnya ia tak terlalu mendengarkan karena lama-kelamaan ia merasa Jimin memandang seakan mengusirnya. Mungkin namja itu tidak nyaman atas kehadirannya. Tipe orang yang tidak suka banyak bicara dengan orang yang tidak dekat dengannya.

"Um! Benar sekali. Tubuhnya yang kokoh ini sebenarnya sangat rentan penyakit."

Jimin bergerak, berhenti memakai sendoknya untuk menatap Jungkook, "Hm, Jungkookie sayang. Berhentilah membeberkan semua itu. Habiskan makan siangmu saja ne?" Menyunggingkan senyumnya.

Hati namja cantik itu miris. Pertama kali ia melihat Jimin tersenyum dan senyuman itu begitu menawan. Terlihat sangat tulus dan penuh kebahagiaan. Ia ingin sekali mendapatkan senyuman itu. Dan saat senyuman itu menghilang, merasa bahwa ada sesuatu yang direnggut darinya.

"Jeon Jungkook!" Suara yang membuat senyum Jiminpudar itu sungguh menggelegar. Seluruh pengunjung cafe bahkan mengentikan makan mereka hanya untuk menyaksikan namja tampan yang baru saja datang. Meneriakkan nama Jungkook.

"Tae... Taehyung hyung?!" Tergagap mengucap nama namja bermata besar itu. Jungkook sontak berdiri, menahan lengan namja jangkung itu untuk lebih mendekat lagi.

"Apa yang kau lakukan!"

"Jimin-ssi! Apa kau tidak pernah sadar hah! Lepaskan Jungkook! Biarkan dia memilih seseorang yang ia inginkan!"

Jimin mendengus, tak mau kalah dengan Taehyung, ia membalas, "Orang yang ia pilih adalah aku!"

"Cih! Harusnya kau tahu, Jungkook hanya menganggapmu seorang kakak yang ia hormati. 20 tahun bersama, wajar jika ia dekat denganmu. Tapi yang dia suka adalah aku!"

"Hei, maaf…" Yoongi berusaha menyela, tapi… Suara Jimin menghentikan niatnya.

"Apa katamu? Hah-DIA KEKASIHKU!"

"Kau tidak juga mengerti huh? Dia sudah dijodohkan denganku! Kajja Jungkook, kita pergi."

"Ta… Tapi…" Jungkook masih tergagap. Tak ada pilihan lain saat Taehyung sudah mengerat pergelangan tangannya. Segera menariknya pergi. Tapi, Jimin takkan semudah itu menyerah. Balas menarik tangan Jungkook yang satunya lagi.

"Appo-" mendengar keluhan Jungkook. Jimin langsung melepas pergelangan tangan Jungkook yang ditariknya, "hyung, biarkan aku bicara pada Taehyung hyung, um? Jangan khawatir." Setelah berucap, dengan mudah Taehyung mengajaknya meninggalkan cafe yang mendadak sunyi itu. Beberapa pelanggan sibuk berbisik sesekali melirik pada Jimin.

"Jim…"

Braaaaaak! Namja tampan itu menendang kaki meja. Mengerang marah, meninggalkan Yoongi begitu saja tanpa berbicara sepatah kata pun.

Yoongi kembali mendudukkan dirinya di atas kursi setelah beberapa saat berdiri. Keadaan sudah kembali tenang. Tak ada bisik-bisik orang yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Hanya musik yang menjadi backsound cafe. Mata tipisnya melirik ke arah hidangan yang belum habis. Sayang sekali nafsu makannya sudah habis. Di tambah lidahnya yang sekarang sulit membedakan rasa. Seokjin bilang saraf otaknya mulai terganggu. Jadi sedikit banyak mempengaruhi inderanya.

Sesuatu menarik perhatian matanya. Tablet PC dan sebuah iPhone. Barang Jimin tertinggal disini. Mungkin namja itu belum menyadarinya.

Yoongi sudah menghubungi Orchidee, ia berhasil disambungkan dengan sekretaris Jimin. Yeoja itu bilang, setelah makan siang, Jimin tidak kembali ke kantornya. Yang ia dapatkan hanyalah alamat officetel milik Jimin yang berada di Cheongdam-dong. Ia tak bisa mengantarkan benda ini secepatnya jika harus ke wilayah itu. Hari ini umma-nya pulang dari Ausie, dan ia sudah berjanji menjemputnya lalu mendiskusikan desain dadakan yang kemarin ia buat.

Malam harinya, ia sudah berada di depan pintu officetel Jimin. Berkali-kali ia menekan bel, namun, tak ada jawaban sama sekali. Ia pikir Jimin mungkin singgah di suatu tempat untuk minum. Suatu hal yang wajar jika namja itu ingin mabuk saat menghadapi masalah seperti ini kan?

Namja cantik itu memilih berjongkok di depan officetel yang beralaskan karpet halus. Ia tak bisa menunda besok untuk memberikan benda ini karena sama seperti dirinya, ia tahu bahwa ponsel dan tablet PC ini sangat penting bagi Jimin. Iphone dalam genggamannya itu bahkan berdering puluhan kali. Notifikasi e-mail terus berdenting. Ia khawatir jika Jimin melewatkan hal penting lebih lama lagi.

Merogoh tas miliknya, mengeluarkan botol painkiller lalu menenggak tiga butir dari mereka dengan bantuan air. Entah Seokjin akan mengumpat apa padanya, ia tidak peduli. Dua butir painkiller sudah tak bermanfaat baginya.

"Sedang apa kau?"

"Aku sedang… eh?" Yoongi mendongak, langsung berdiri melihat wajah kusut yang ada di hadapannya, "Jimin-ssi, kau pulang?" Sapanya dengan senyuman. Tangannya mati-matian menyembunyikan botol obat miliknya. Meski jika Jimin melihatnya pun, mungkin namja itu tidak akan peduli.

Tidak menyahut, malah membuka pad penutup tombol di depan pintu lalu memasukkan kodenya. Terdengar suara konfirmasi, membuka pintu itu sebelum Yoongi bersuara…

"Kau tidak merasa kehilangan barang? Aku membawakannya untukmu," menunjukkan dua benda yang ada di tangannya. Jimin mengambilnya, lalu kembali berbalik membuka pintunya.

"Masuklah…"

"Ah, ya…"

Yoongi mengikuti namja itu dari belakangnya. Matanya menerawang ke dalam officetel milik Jimin. Sangat rapih dan wangi. Berbeda dengan kantornya yang klasik. Rumahnya terkesan elegan dengan warna putih dan perabot kaca. Juga terdapat akuarium pipih dan panjang yang menjadi dinding pembatas antara ruang tamu dan kamarnya hingga Yoongi dapat melihatnya kontras.

"Kau mau minum apa?" Jimin menawarkan seraya mengisyaratkan Yoongi untuk duduk disofa bermotif zebra miliknya. Namja itu melepaskan jasnya, menyampir benda berwarna dongker itu di salah satu sofanya.

Yoongi menggeleng, "A..aniyo! Kau tidak perlu melakukannya, aku kesini hanya untuk mengantarkan barangmu. Juga, aku sudah mengirimkan beberapa desain tambahan ke e-mail mu, Jimin-ssi."

Jimin mengerutkan keningnya, meraih tablet yang tadi ia letakkan begitu saja di meja. Memainkan benda itu dalam tangannya. Sesaat kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kalau begitu, aku pamit pulang." Berdiri lalu membungkukkan tubuhnya sopan. Lalu berbalik untuk meninggalkan ruang tamu ini.

"Kau menyukaiku sampai-sampai kau mau mengantarkan semua ini?" Kalimat itu cukup untuk menghentikan gerakan Yoongi, namja cantik itu menoleh pada Jimin. Tak mengangguk, atau mengatakan 'ya'. Ia hanya memperhatikan mimik Jimin yang berubah menjadi agak mengerikan menurutnya, "alasan klise untuk sengaja menemuiku. Tsk-Jika kau menyukaiku, kau tidak akan menolak jika aku menidurimu kan?"

Jantung namja cantik itu seakan berhenti berdetak. Darahnya berdesir-desir mendengar ucapan Jimin. Ia takut, juga gugup. Tak tahu harus menjawab apa."Jimin-ssi, apa kau…"

"Aku tidak mabuk," Jimin menunjukkan smirk-nya. Ia bangkit dari duduknya, mendekati Yoongi yang sedikit memundurkan tubuhnya saat Jimin berjalan ke arahnya.

Tangan besar itu terulur untuk melepas tas Yoongi. Melemparkannya ke atas sofa. Sesaat kemudian, menarik tubuh ramping Yoongi merapat hingga tubuh bagian bawah mereka menempel.

"A… Aku…" Tergagap. Tubuhnya mengkaku saat posisinya begitu dekat dengan Jimin. Gelisah, gemetar. Ia bisa melihat seringaian itu makin menjadi. Benar, namja ini tidak mabuk. Bukan berbau alkohol tapi aroma keringat dicampur wangi parfum.

"Ah, kau begitu menyukaiku hingga kau mau memberikan tubuhmu? Buktikan jika kau benar-benar tulus menerima perjodohan ini. Aku akan mencicip tubuhmu, sekali." Ucapnya bengis dengan tatapan super mengerikan. Yoongi bisa merasakan aura jahat dari tubuh Jimin menguar.

Jimin memulai, mencium telinga Yoongi. Membasahi bagian itu dengan liurnya. Kemudian, menjalankan lidahnya di rahang, hingga sampai ke leher putih itu. Mengecap beberapa tanda merah disana dengan sedotannya yang membuat Yoongi mendesis sakit.

"Aah, keumanhaeyo Jimin…ss. Mmh.,"

"Bicara non-formal saja, hm?" Jimin berucap dengan nada yang sangat rendah. Sedetik kemudian namja itu membawa Yoongi dalam gendongannya. Menghempaskan tubuh itu ke atas ranjang miliknya. Menimpakan tubuhnya pada tubuh kecil Yoongi dengan sedikit menumpunya di sikut.

"Mmmh," Jimin mencium bibirnya. Ciuman pertama yang langsung diiringi dengan sentuhan lidah. Menyesap bibir itu rakus tanpa memberi kesempatan Yoongi untuk membalasnya. Sebelah tangannya sibuk membuka kancing pakaian satu persatu, menanggalkan pakaian namja cantik itu.

Ingin rasanya Yoongi menjerit saat namja tampan itu semakin menjadi-jadi menjajah kulit mulusnya. Ia merasakan hangat mulut Jimin, juga perihnya saat namja itu menghisap permukaan kulitnya terlalu keras, atau bahkan menggigitnya. Hanya dapat memeluk pundak namja itu. Membekap mulutnya dengan pundak Jimin.

Ia hanya berharap tubuhnya kuat menerima Jimin.

"Appo… A—ppo Jim—in…"

Air matanya sudah luruh dengan keringat yang membasahi wajahnya. Matanya terpejam erat. Merasakan bagaimana lembab dan hangat suhu tubuh Jimin di kulitnya. Tubuhnya berguncang hebat, membuat kepalanya sakit setengah mati. Berkali-kali ia mengeluh sakit, namun mustahil ia bisa mendengar. Hanya suara lenguhan namja tampan itu yang menikmati kenikmatan tubuhnya. Juga, suaranya rintihan tak tertahan dari bibir tipisnya.

Benar, aku menyukaimu. Kau boleh melakukan apa pun padaku. Karena aku menyukaimu. Sangat menyukaimu…

Pagi menjelang. Sinaran mentari menyelip di antara gorden putih, mencapai wajah tampan itu. Merasa terusik, menggeliat pelan. Ia belum ingin bangun. Malah berbalik arah melawan jendelanya, menarik selimut menutupi tubuh naked-nya. Pemilik mata tipis itu baru saja akan terlelap sebelum mendengar suara berisik seperti suara minyak panas terkena air diiringi wangi yang sedap. Hal itu memaksanya membuka mata, memperthatikan sesuatu yang samar dibalik akuarium miliknya.

Setelah memasang celana pendek dan kaos putih tipis, namja tampan itu beranjak dari tempat tidurnya. Memperhatikan sosok ramping yang kini menguasai dapurnya. Namja cantik itu bersenandung seraya mondar-mandir, kadang ke depan kulkas, kadang ke bak cuci lalu kembali ke depan penggorengannya.

Min Yoongi. Namja itu belum sadar jika Jimin memperhatikannya seandainya ia tidak berbalik untuk menaruh telur yang baru digorengnya. Jimin bersandar di sisi akuariumnya dengan tangan terlipat. Melihat itu, ia sedikit terhenyak, namun tersenyum setelahnya.

"Maaf, aku meminjam dapurmu." Melanjutkan untuk meletakkan piring telur di tengah meja. Peralatan makan lain sudah disiapkannya. Juga lauk lain yang tadi sudah ia tata sebelum Jimin bangun, "apa kau tidak pernah memakai dapurmu? Aku harus mencuci alat masak sebelum menggunakannya. Semuanya berdebu." Berucap sembari menepuk-nepuk kedua tangannya di atas apron biru, menarik kursi lalu duduk disana.

"Ayo sarapan?" Ajaknya karena beberapa saat Jimin tidak juga duduk di kursinya. Akhirnya, namja tampan itu melangkah ke arahnya. Duduk di kursi yang berhadapan dengan dirinya. Mata tajam itu memperhatikan apa yang tersaji di atas meja makan. Dua piring nasi goreng dan dua butir telur yang terletak di tengah meja.

"Aku tidak pintar masak. Hanya ini yang bisa aku lakukan." Suara dengan nada yang sedikit kecewa. Biasanya ia hanya memasak sesuatu yang instan seperti makanan kaleng atau roti tawar dengan olesan selai. Selebihnya ia biasa memesan makanan jika ia malas keluar untuk makan malam.

Tak ada suara yang menyahut kalimatnya. Jimin mulai mengangkat sendoknya. Menyuap nasi goreng itu ke dalam mulutnya, menguyahnya beberapa saat sebelum menelannya. Yoongi memperhatikan semua itu dalam tatapan feline eyes-nya. Lama kelamaan ia tertawa kecil, membuat Jimin menghentikan suapannya untuk melempar tatapan tajamnya.

Yoongi berhenti tertawa, "Aku senang sekali. Terima kasih."

Jawaban itu belum cukup bagi Jimin. Namja itu masih saja menyerangnya dengan iris hitam yang menusuk miliknya. Ia ingat bahwa semalam berkali-kali ia menghindari mata itu karena jarak mereka yang sangat dekat. Jika semalam ia menangis saat Jimin memperlakukannya kasar, dan takut dengan tatapan mata itu. Kini, ia menangkisnya dengan tersenyum lebar. Sudut mata rubahnya menyempit karena tertekan pipinya.

"Aku selalu gagal mengajak orang lain sarapan denganku, tapi kali ini aku berhasil mengajakmu. Sepertinya ini hari keberuntunganku." Jawabnya ringan, walau nada itu sedikit bergetar karena menyangkut kemalangan yang ia alami dan sangat ia sesalkan. Namun, ia sudah mencapai salah satu wish sebelum ia mati. Bukankah itu baik?

Yoongi memeriksa jam di pergelangan tangannya. Berdecak sebal saat yang ia tunggu benar-benar terlambat. Sedari tadi ia memperhatikan lalu-lalang manusia yang memasuki cafe. Namun, tak satu pun dari mereka adalah orang yang tepat. Lagi pula tak mungkin ia melupakan wajah namja jangkung itu, meski ia baru sekali bertemu dan hanya sebentar menatap mukanya.

Setelah lima belas menit, akhirnya ia melihatnya. Seseorang dengan memakai sunglasses mendekat ke arahnya, duduk tepat di sofa hadapannya, "Kau Min Yoongi?" Menyilangkan kakinya seraya bersender pada sofa coklat yang di dudukinya.

"Yeah, itu aku." Yoongi berujar malas melihat namja dihadapannya. Mungkin karena ia sudah mendapat kesan buruk dari namja ini saat pertama kali bertemu.

"Apa tujuanmu bertemu denganku?" Taehyung melepas kacamatanya, memperlihatkan matanya pada Yoongi, "ah, kita berada di kapal yang sama, iya kan? Seolma… Kau mau aku merebut Jungkook dan kau bisa mendapatkan Jimin?"

Yoongi memutar bola matanya, ia akui Taehyung sangatlah tampan. Tapi, kalimat namja ini selalu membuatnya gusar. Bahkan cara pengucapannya yang seakan membuatnya menjadi namja yang sangat jahat. Ani, dia tidak seperti itu.

"Aniyo, kita tidak berada di kapal yang sama. Sebaliknya, aku minta kau melepaskan Jungkook untuk Jimin."

"Mwo?" Ucap Taehyung penuh penekanan, saking syok ia berhenti menyandar sekedar untuk melihat wajah Yoongi lebih dekat. Memastikan apakah namja mungil itu bercanda atau tidak. Sayangnya ia tidak menemukan clue penipuan di wajah pucat Yoongi.

Yoongi memasang tampang memelasnya, sedikit putus asa dengan reaksi Taehyung yang buruk, "Aku mohon… Kita memang baru mengenal, dan permintaanku sedikit keterlaluan. Tapi…"

"Kau gila? Bukankah kau menyukai Park Jimin?" Taehyung memotong, menjawab berapi-api meski ia sedikit menekan suaranya agar tidak menarik perhatian orang lain.

"Karena yang dia sukai bukan aku."

Karena jawaban Yoongi yang begitu polos, Taehyung tak mampu menjawab apa pun. Memang bagi orang kebanyakan, mungkin akan berusaha merebut meski ia bukan orang yang dicintai. Tapi, Taehyung melihat bahwa namja ini sedikit aneh atau mungkin bodoh. Merelakan orang yang ia sukai untuk orang lain. Tsk-

Taehyung menggeleng-gelengkan kepalanya saat ia merasa otaknya sudah terkontaminasi perkataan Yoongi, ia menggebrak meja di depannya keras, "Aish, kau sudah tidak waras? Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu yang tidak masuk akal. Waktu ku tidak cukup untuk hal-hal yang tak berguna begini. Aku pergi…" Beranjak meninggalkan Yoongi.

"Chakaman Taehyung-ssi! Keurae, kita berada di perahu yang sama…" Langkah Taehyung terhenti, belum sempat ia berbalik, Yoongi telah melanjutkan kalimatnya, "Kita sama-sama orang ketiga."

"Kau kemana saja kemarin? Bukankah sudah ku bilang, kau harus menemuiku satu kali dalam sehari jika kau tida mau di opname?"

Yoongi langsung dihujani celotehan saat ia baru saja dibukakan pintu oleh Seokjin. "Untuk apa? Kau tenang saja Seokjin-ah, aku tidak melakukan hal aneh," melangkahkan kakinya masuk, kemudian melepas syal yang melingkar di lehernya.

Seokjin melanjutkan lagi, "Berapa butir painkiller yang kau minum hari ini? Kau tidak memaksa untuk bekerja berlebihan? Kau tidak membenturkan kepalamu kan?" Kali ini ia melemparkan beberapa pertanyaan yang ia tahu bahwa Yoongi takkan menjawabnya serius. Kini ia mengikuti Yoongi yang berjalan duluan dari pada dirinya. Seakan bahwa Seokjin-lah tamu, dan Yoongi adalah tuan rumahnya.

Namja cantik itu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Menghela nafasnya dalam saat bola matanya menatap langit-langit apartemen Seokjin, "mana Namjoon dan baby-mu?"

"Mereka menginap di rumah orang tua… Hei! Kenapa lehermu…" Ucapan Seokjin terhenti ketika melihat leher jenjang Yoongi menggambarkan tanda kemerahan di beberapa tempat, "did you making love, Min Yoongi?!"

Cepat-cepat Yoongi kembali ke posisi duduk yang normal untuk menutupi hickey yang mencolok di lehernya. Ia berdehem untuk menghilangkan sikap salah tingkahnya pada Seokjin.

"Jangan pura-pura bodoh! Otakmu sangat sensitif sekarang, kau tahu kalau melakukan 'itu' tubuhmu akan tergun… Errr! Hei, kau akan mengerti tanpa aku menjelaskan!"

Wajah pucat itu seketika memerah karena ucapan Seokjin. Mengingat bagaimana Jimin memberikan tanda-tanda itu tanpa henti diseluruh bagian tubuhnya. Yang sulit ia tutupi adalah dibagian leher, dan ia melupakan jika lehernya sudah tak putih bersih.

"Dengan siapa kau melakukannya?"

"Dengan seseorang yang tampan."

"Itu bukan jawaban, Yoongi."

"Kau––" Belum sempat ia membalas Seokjin. Rasa mual mengocok perutnya. Seakan ada yang menekan-nekan perutnya, memaksa untuk mengeluarkan sesuatu. Rasa nyeri membahana di kepalanya.

"Wae? WAE?!" Teriak Seokjin khawatir melihat wajah Yoongi yang tiba-tiba berubah. Uring-uringan saat namja cantik itu memegang mulutnya.

"Aku perlu kamar mandimu?" Berlari secepatnya ke kamar mandi Seokjin yang ia ketahui letaknya. Membanting bantu itu keras, buru-buru membuka kloset. Menghadapkan wajahnya kesana…

"Hoek… Ukh!" Tak ada apa pun yang ia muntahkan. Tapi, rasa mual itu malah makin menjadi. Mendorong-dorong lambungnya untuk melontarkan semua yang ada di sana. Terus saja muntah dan muntah sampai-sampai tenggorokkannya terasa terbakar. Kepalanya pening karena terlalu kuat menggunakan tenaganya untuk mengeluarkan kekosongan.

Lima belas menit ia habiskan hanya untuk bergelut dengan rasa mualnya. Peluhnya tak henti menetes. Tenaganya terkuras habis hingga ia hanya bisa duduk bersandar di bathup. Melipat kedua kakinya untuk mengistirahatkan kepala yang benar-benar merepotkan.

"Yoongi, kau tidak apa-apa?" Akhirnya suara Seokjin terdengar. Ia tahu jika Seokjin sangat memaklumi bahwa keadaan seperti ini sangat memalukan baginya. Jadi, sahabatnya itu sama sekali tak mengganggu hingga suara yang ia timbulkan menghilang.

"Berikan ponselku," entah itu suara atau bukan. Hanya melirih dengan tenaga terakhir.

Pintu kamar mandi terbuka, menunjukkan wajah Seokjin yang juga memucat. Menggambarkan betapa khawatirnya ia dengan keadaan Yoongi. Melangkah mendekat, lalu mensejajarkan dirinya. Dengan handuk dibawanya, mengeringkan wajah Yoongi yang basah. Kemudian menyelimutkannya ke pundak namja cantik itu.

Yoongi merebut ponsel yang ada di tangan Seokjin. Menghubungi sebuah nomor.

"Jimin-ssi…"

"Bicaralah,"

"Bisa kau tolong aku? Jika umma-ku menelponmu. Katakan bahwa aku menginap di tempatmu. Gomawo."

"Kenapa aku harus melakukannya?"

"Karena aku meminta bantuanmu… Keutno…"

"Jimin? Siapa dia? Apa orang itu yang…" Telunjuknya mengarah pada ponsel yang kini jatuh bersama tangan Yoongi.

"Kepalaku sakit Seokjin-ah, izinkan aku menginap di sini. Aku tidak mau umma dan appa mengetahui keadaanku. Saat weekend, mereka sedikit memberi perhatian padaku. Itu menakutkan."

Seokjin menahan seluruh rasa penasarannya setelah melihat keadaan Yoongi yang sangat buruk, "Keurae? Tentu saja, sekarang ayo istirahat um?"

To Be Continued...