notes: semi-canon. full sakura pov dan agak ooc. setting sebelum opening song shippuden episode 41, kira-kira dari menit 03.40 – 04.30, terus menit ke 13.40-13.59 (iya, saya ngitungin detiknya lol)
dedication: untuk limabelas soal matematika dasar yang saya abaikan demi ngetik ini. hell yeah.
disclaimer: naruto (c) masashi kishimoto
#1. In Between Battle Cries
(romance/drama)
.
Haruno Sakura x Akasuna Sasori
Diakah yang bernama Sasori?
Jadi, ini rasanya terhipnotis?
Saat cokelat hazelnut bertemu viridian, kedua tulang keringku mendadak seperti jeli. Sulit sekali rasanya menopang berat badan seperti ini. Ah, mungkin aku harus berterima kasih pada benang-benang chakra halus milik Nenek Chiyo yang melekat di tiap titik chakra tubuhku; mengendalikan tiap gerakan yang kubuat.
Kedua iris menawan miliknya seolah memenjarakanku dalam ilusi dan delusi tak terbatas. Mata indah itu bagai lubang hitam yang menarik semua benda disekitarnya—termasuk diriku. Apakah ini genjutsu? Ah, tidak. Dari data yang kuketahui, ia shinobi pengendali kugutsu, bukan ahli dalam genjutsu.
. . .
Sebentar. Hanya sesaat.
Waktu hanya berjalan selama satu milisekon—singkat sekali—tapi rasanya sudah sepuluh menit berlalu, dan aku masih belum merasa cukup akan cokelat mempesona itu. Rambut merah, kugutsu yang hancur berkeping-keping, antidote di saku kananku, Nenek Chiyo yang bernapas tersengal-sengal, bahkan suara aliran air diluar—segalanya memenuhi kepalaku yang berdenyut. Sungguh luar biasa bahwa dalam waktu sesingkat itu, otak manusia dapat memikirkan ribuan hal dalam waktu yang bersamaan.
Ya Tuhan, sekarang otakku mulai berpikir di luar batas rasional. Dalam hati aku mengerang frustrasi. Bahkan bagaimana caranya melepas masker Kakashi-sensei lebih penting untuk dipikirkan dibanding hal absurd ini!
Aku mengerjapkan mata sambil menggelengkan kepala. Tidak. Bagaimanapun juga dia musuh. Buronan kelas S. Pengkhianat Sunagakure. Penjahat—yang, yah, harus kuakui; cukup menarik untuk seseorang yang umurnya terpaut jauh dariku.
Hah. Haruno Sakura. Apa-apaan kau ini.
. . .
Sejenak pikiranku melayang kembali. Kali ini, memori-memori yang tidak kubutuhkan untuk keadaan genting seperti sekarang ini, membludak keluar.
Saat aku masih di akademi, Ibuku tahu akan rasa kagumku pada Sasuke. Ia hanya tertawa kecil, lalu tersenyum lembut. Aku yang tidak mengerti apa-apa mengerjapkan mata penasaran sembari bertanya apa itu cinta. Ia hanya berkata, cinta datang begitu saja, tanpa satu alasan apapun yang jelas.
Jawaban Ibu yang sama sekali tidak ada koherensinya dengan pertanyaanku membuatku bingung. Sekali lagi aku bertanya, apa maksudnya. Wajahnya berseri-seri saat menjawab bahwa suatu saat aku akan mengerti.
Ibuku menambahkan 'Suatu saat jika kau beruntung menemukan cintamu, kalian saling bertatap untuk pertama kalinya, waktu akan berhenti. Seperti air di anak-anak sungai, sejuk, menyenangkan, dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti.'
Benarkah? Maksudnya, seperti sekarang ini? Yang benar saja.
Ujung mataku melirik Si Pasir Merah sekali lagi. Dalam waktu kurang dari dua jam, salah satu dari pihak kami akan menghembuskan napas terakhir lalu tersungkur di tanah. Entah siapa yang akan bernasib malang. Mana mungkin, aku, Haruno Sakura, ninja medis murid Hokage kelima, jatuh cinta pada… seorang kriminal? Jelas-jelas hal yang tidak masuk akal.
Lebih dari itu, aku bahkan tidak mengetahui apapun kecuali beberapa fakta umum tentangnya. Lelaki itu adalah cucu dari Nenek Chiyo. Nenek Chiyo mengajarkannya teknik membuat boneka dan Ia bertahan selama beberapa tahun dengan boneka kedua orangtuanya, namun tembok yang kokoh pun suatu saat pasti akan terkikis; runtuh dimakan waktu—sama seperti kesabarannya. Setelah mengetahui bahwa orangtuanya meninggal, ia sangat terpukul. Karena didera kesedihan yang amat sangat, hatinya mulai membeku lalu kabur dari Suna. Ia dijuluki Kugutsu Master dan Akasuna no Sasori.
Hanya itu saja yang kutahu tentangnya. Dari sekian banyak hal yang kusebutkan tadi, nyaris tidak ada hal yang mencerminkan tersisanya sifat manusia pada dirinya. Maksudku, orang ini tidak ada sisi baiknya sama sekali—kecuali dua puluh tahun lalu, saat ia masih kecil.
Aku sering mendengar perkataan bahwa 'Cinta tidak pernah adil.' Namun bukankah keadilan di dunia saat ini artinya sangat luas dan relatif? Bisa saja suatu hal terlihat adil di satu pihak, namun pihak lain mengaggapnya tidak adil. Mungkin saja cinta itu adil bila dilihat dari kacamata Sang Pencipta, tapi yang dicipta merasa bahwa tidak ada keadilan baginya.
Perasaan adalah perasaan; iya, aku tahu dan sadar akan hal itu. Perasaan tidak sederhana, tidak seperti satu tambah satu sama dengan dua, atau mentraktir Naruto di Ichiraku sama dengan penghabisan gajimu selama sebulan. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas, tertulis dengan huruf besar-besar di kertas putih dan ditempel di setiap tempat, tetap saja cinta bukan rumus matematika. Cinta tidak bisa ditentukan hanya dengan menggunakan rumus-rumus ilmu pasti. Perasaan adalah perasaan; tidak bisa dilihat dan dihitung.
Ah. Jika ada satu hal yang kupelajari hari ini, adalah bahwa terkadang cinta tumbuh di tempat yang keliru, dengan orang yang jauh dari harapan, dan dengan cara yang amat ganjil. Ibuku mungkin salah dalam persepsinya akan hal tersebut. Entahlah, aku juga tidak tahu.
. . .
Sebentar. Hanya sesaat.
Waktu hanya berjalan selama satu milisekon—singkat sekali—tetapi aku menerima pengakuan hati kecilku sendiri. Walau cinta ini hanya bertahan selama beberapa detik (atau, sudahkah lima menit berlalu?) tetapi aku akan menerimanya; menghembusnya dalam-dalam hingga perasaan itu merasuki hatiku, terpatri di sudutnya dan menjadi ingatan yang pahit-manis.
Meskipun begitu, aku tidak akan menyerahkan nyawa semudah itu hanya demi cinta. Aku tetap harus hidup demi cinta. Tidak peduli seberapa menyakitkan atau membahagiakan, biar waktu saja yang menjadi obat. Aku yakin, dalam tiga atau maksimal lima tahun, aku sudah dapat menerima kenyataan ini dan mengingatnya dengan hati lapang. Toh jika aku dan Nenek Chiyo menang, aku masih dapat merajut masa depan. Hidupku tidak akan berhenti di sini saja.
"Mau kuperlihatkan apa yang kupunya di lengan bajuku?"
Cih. Sasori mulai mengoceh lagi. Suara menyebalkan yang sarat dengan nada sombong itu bergema di langit-langit gua persembunyian ini. Ia mulai mengeluarkan gulungan dari balik lengan jubahnya. Alisku terangkat dalam bingung.
Perkamen, ya? Dari awal, bahkan sebelum aku menghancurkan Hiruko, Nenek Chiyo sudah mewanti-wanti untuk menghindari apapun yang dikeluarkan Sasori. Perkamen itu terlihat mencurigakan dan berbahaya. Apapun yang akan di-summon-nya pasti sesuatu yang mengancam nyawa.
Ujung-ujung bibirku terangkat sedikit, membentuk senyum miris kecil yang hilang dalam sedetik saja. Kali ini pertarungan yang sesungguhnya akan dimulai.
Halo dan selamat tinggal, Akasuna no Sasori.
fin.
a/n: efek kalap rewatch kazekage rescue arc. saya bahkan gak ngerti apa yang saya tulis. maap yak, shipper delusional emang begini. dareka tasuketeeee ;-; uhm. oneshot pertama di antalogi ini emang menye-menye, tapi chapter depan saya janji fluff family lagi, sekalipun godaan buat nyiksa sasori gede banget.
oiya sekalian, ikutan ALM yuk, para author sasosaku a.k.a istri-istri simpanan sasori! /digaplok/ detailnya bisa dicek di penname A Lifetime of Memories :3
edited; 150201—minor typos
