Honkai Impact 3 © MiHOYO
Story © Panda Dayo
alternate universe. Bcz nothing about Honkai. I just love scene when they're met in past childhood and then separate ways. This hurting me so much.
Don't like don't read.
"Bukankah kau harusnya beristirahat, Otto?"
Otto menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Ia menangkap visual seseorang yang telah ia kenal sejak kecil ada di sana.
"Kallen? Kenapa kau ada di sini?"
Kallen hanya tersenyum sambil menepuk pundak kawannya. "Kejutan. Selamat ulang tahun, kuemu kuletakkan di kulkas."
"Kau ini ... " Otto tersenyum simpul. "Kenapa tidak kau bawakan saja padaku? Aku juga belum makan malam."
"Maunya begitu, tapi aku harus pergi sekarang." Kallen melepas tangan, mengalihkannya pada lekukan pinggang. "Selamat ulang tahun, Otto."
Yang tersisa hanyalah memori tidak menyenangkan itu. Otto terbangun dengan wajah kacau dan rambut tak beraturan pagi itu. Beberapa barang di meja ia banting ke lantai yang tak bersalah. Kepalanya pusing memikirkan sesuatu.
Kallen Kaslana.
Ia berdiri dengan wajah masam menuju kamar mandi, mencuci muka lalu menyikat gigi. Refleksi di cermin sama buruknya. Otto bahkan tidak mengira itu adalah wajahnya saat ini.
Sejak kapan?
Sejak kapan dia jadi begini?
Setelah mendengar kematian Kallen, ia terpuruk. Merasa menjadi makhluk paling tak berguna se-dunia. Pola makan tak lagi teratur. Jadwal tidur tak pernah sama. Terkadang ia bahkan lupa.
Kenapa rasanya begitu sakit? Otto memahami konsep bahwa manusia akan mati suatu saat. Namun ketika hal itu terjadi pada sahabatnya, ia merasakan hampa.
Kenapa harus Kallen? Wanita dengan penuh impian dan berjuang demi kebenaran?
Otto bahkan masih ingat ketika mereka berpisah dahulu. Kallen bahkan enggan menatap wajahnya kala itu. Otto pikir, Kallen sudah membencinya. Tetapi tak pernah sekalipun Otto berpikir sebaliknya. Ia begitu menghargai keputusan Kallen walau pemahaman mereka berbeda.
Jalan yang diambil Otto mungkin memang salah, tapi ia adalah seorang ilmuwan. Tidak akan ada inovasi tanpa pengorbanan—termasuk nyawa. Kallen menentang idealismenya, kemudian pergi tanpa mengucap sampai jumpa. Kalau diingat, senja itu adalah hari terburuk yang ia punya.
Ah. Lalu apa gunanya gelar ilmuwan yang ia punya?
Otto mengelap wajah dengan handuk, tapi pikirannya tak kunjung jernih. Sampai detik ini ia masih begitu memikirkan; seandainya, seandainya dan seandainya.
Lucu sekali.
Dia adalah seorang jenius, namun ia menolak realita dan memilih bermimpi. Konyol dan ironi.
Otto tak tahu harus bagaimana lagi. Dia hidup dengan membawa impian Kallen, dia berjuang selama ini demi Kallen.
Kallen, Kallen, Kallen. Tak jemu ia mengingat nama indah itu. Ketika mereka kecil, Kallen yang memberinya impian. Lalu apa yang sudah ia berikan pada sahabatnya?
Tidak ada. Satu pun.
Otto melangkahkan kaki, berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Hari ini dia harus kembali ke laboratorium pusat. Ia terburu berlari, melewati sebuah foto berbingkai yang terpajang di dinding.
[ Foto ketika Otto dan Kallen tersenyum lebar bersama ]
