Kenapa Mati?
.
Naruto Shippuuden © Masashi Kishimoto
Tidak ada keuntungan yang didapat dari pembuatan fic ini selain hiburan pribadi
Cast : Sasori & Deidara
.
AU secondlife/edo tensei, misstype(s), judulnya aneh saya tau, hasil reracauan saya dan perenungan relationship diantara mereka.
Enjoy reading~
.
.
.
Kenapa harus mati duluan?
.
.
Atmosfer yang hangat berpendar di antara dua jasad yang tengah duduk di bantaran sungai itu. Selagi mereka masih berkesempatan untuk menikmati semilir angin pagi, mengapa tidak? Dua seniman Akatsuki kini bertemu kembali berkat edo tensei. Namun, tidak dari keduanya mengharapkan pertemuan dalam kondisi perang seperti saat ini. Keduanya pun tahu pertemuan ini bukanlah pertemuan yang panjang dan cukup untuk bernostalgia. Karena itu, setelah sekian lama tak berjumpa satu sama lain, Deidara benar-benar menggunakan waktunya seefisien mungkin untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menjadi mawar biru di benaknya.
"Sasori no Danna, hmm," gumamnya, nyaris tersapu angin.
"Hmm?"
"Aku ingin menanyakan sesuatu."
Sedang pemuda yang lebih tua itu menoleh ke arahnya dan menjawab dengan kesal, "Apa?"
"Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan untukmu, tapi mungkin aku hanya―"
"Katakan saja apa itu."
Deidara menghela napasnya. Sudah hapal tabiat sang master yang sedingin kutub dan kepalanya yang sekeras batu.
Sasori mungkin memang tidak sabaran, dan Deidara memang suka membuatnya jengkel. Tapi, yah, Deidara tak keberatan. Setidaknya begitulah kombinasi dari sifat masing-masing yang harus dihadapi keduanya semasa masih hidup. Dulu sekali, ketika mereka harus beradu mulut setiap sebelum menantang maut. Kini di sela-sela percakapan singkat mereka, Deidara masih sering mencuri pandang ke arah rambut merahnya yang menari tertiup angin ataupun iris mahoni yang tetap indah meskipun didominasi warna hitam pekat. Tidak seperti biasanya kalau Deidara selalu menghabiskan kesabaran Sasori dengan hal-hal yang sesungguhnya tak penting, kali ini Deidara tidak ingin berulah.
Barangkali karena inilah pertemuan yang paling terakhir dari yang terakhir. Ia ingin semua teka-teki yang mengganggunya dapat terkupas hingga tuntas, dan Sasori adalah sebongkah empuzzle /emyang paling sulit untuk ia pecahkan selama ini.
"Kenapa saat itu kau memilih mati di tangan Chiyo, hmm?" tanyanya tanpa ragu. Dari arah sampingnya terdengar decakan lidah dari sang partner.
Deidara tahu Sasori bukanlah seorang emshinobi/em yang mudah untuk iba hingga lantas membiarkan nyawa musuhnya tetap hidup, bahkan kepada perempuan renta beruban itu, neneknya. Manusia boneka yang dipanggilnya master itu adalah hewan buas dengan titel kalajengking, betul-betul nama yang tak cocok jika memang benar yang terjadi adalah ia justru mengasihani lawannya. Bahkan ia pernah mendapat nama itu, julukan Sasori si Pasir Merah yang membabat musuhnya habis tanpa pandang bulu. Sekarang siapa nyana, pembunuh berdarah dingin itu meregang nyawa di tangan neneknya sendiri?
Tragedi kematiannya adalah sebuah ironi bagi Deidara. Ia hanya tak habis pikir.
"Aku yakin kau punya lebih dari satu alasan selain faktor kerabat." Deidara menambahkan. Tebakannya tak meleset, sebab Sasori diam sejenak.
Sasori diam sejenak.
"Apa hanya pertanyaan bodoh semacam itu yang mengganggumu?" tanya Sasori, seakan-akan tahu bahwa pertanyaan itu sangat berarti bagi Deidara.
"Jawab saja, hmm. Masih banyak pertanyaan yang mengantre."
"Kau masih saja naif seperti dulu. Buat apa aku menjawabnya, apa yang akan aku dapat? Aku tidak perlu mengutarakan alasanku padamu."
"Alibimu aneh, hmm. Ayolah aku hanya ingin tahu," bujuk Deidara. Matanya mengawasi setiap gerik yang dihasilkan oleh tubuh pucat Sasori. Mengamati jikalau ada perubahan ekspresi pada wajahnya yang semakin lama semakin kaku dan lamban.
"Kau bebas merangkainya sesuai imajinasimu."
"Jangan main-main, hmm. Menerka-nerka tidak ada gunanya kalau yang kubutuhkan adalah jawaban asli darimu."
"Bodoh sekali kalau begitu."
"Hei! Jangan begitu, sesekali berbuat baiklah padaku!"
"Mungkin 'berbuat baik' versimu dan versiku memnag berbeda, tapi asal kau tahu saja, bocah, berkali-berkali aku sudah berbuat baik padamu, ya."
Deidara mengamit sedikit jubah merah tua milik Sasori, kemudian menariknya pelan. Sasori melirik ke arahnya sekali lagi dan menyadari bahwa shinobi muda itu mungkin sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Raut mukanya serius, tersirat ekspresi memohon karena ia memang hanya ingin tahu, tidak ada permintaan lebih. Sasori mendesah lelah, menyerah, dan akhirnya membuka mulut untuk memulai sebuah kalimat. Ia juga tak senang dengan situasi ini.
"Baiklah…."
"Apa, hmm?"
"… tentang pertanyaanmu yang tadi itu, tentu saja karena aku benci menunggu," jawabnya dengan tenang.
"Menunggu, hmm?" Deidara berdiri dengan buru-buru, menatap lurus Sasori dengan pandangan menagih, "Hanya karena itu kau rela mengakhiri hidupmu?!"
"Apa itu mengganggumu?" balas Sasori dengan ekspresi datar seperti biasanya.
"Ya! Rupanya fobiamu konyolmu itu lebih berharga daripada nyawa sendiri!"
Sasori semakin medecak. "Tahu apa kau soal hidupku, ck."
"Tapi itu tidak logis Danna! hmm."
"Apa yang membuatmu berpikir alasan itu tidak logis, huh?"
Deidara pikir alasan Sasori ini benar-benar tidak bisa diterima akalnya. Bagaimana mungkin seseorang mau mati hanya untuk menghindari kegiatan yang disebut menunggu? Sebenci itukah Sasori pada hal tersebut? Deidara yakin kematian Sasori bisa dimaklumi sebagai bunuh diri. Tapi tidak mungkin Sasori ingin mengakhiri hidupnya hanya karena ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi supaya dirinya sendiri terbunuh dan lebih cepat meninggalkan dunia, bukan?
Sebenarnya Deidara sedikit kecewa. Ia bukan siapa-siapa bagi Sasori, tetapi, ditinggalkan oleh partner seniman satu-satunya membuat Deidara kembali berpikir. Berani-beraninya Sasori meninggalkan dirinya atas alasan yang sungguh egois! Dunia memang kejam, busuk karena hanya ada kebohongan dimana-mana. Mungkinkah itu alasan Sasori ingin meninggalkan dunia lebih cepat?
"Baiklah. Kalau 'benci menunggu' adalah alasan yang logis, lalu bagaimana caramu menjelaskannya, hmm?"
"Deidara, apa kau tidak pernah tahu apa yang membuatku benci menunggu?" tanya Sasori segera.
"Itu karena orang tuamu, un?" Deidara mengingat-ingat cerita Sasori kecil, juga kabar-kabar yang bertebaran di beberapa desa. Kata Chiyo, orang tua Sasori pergi menjalankan misi dan akan pulang sesegera mungkin. Sasori kecil saat itu selalu menunggu orang tuanya pulang, tapi apa yang dia dapatkan? Chiyo tidak mengatakan yang sebenarnya tentang kematian orang tua Sasori. Apa yang Sasori lakukan ketika itu hanyalah menunggu dan menunggu kebohongan belaka. Tidakkah lebih tepat kalau dikatakan Sasori benci kebohongan?
"Aku rasa begitu…," jawab Sasori.
"Lalu?"
"Kolot juga, ya, kau itu."
Deidara mengernyitkan alisnya tanda tak setuju, "Apa maskudmu, hmm!"
"Kenapa kau masih bertanya?" Sasori menghela napasnya, kemudian menegakkan lehernya untuk menatap langit. Biru yang cerah dan putih awan seperti kapas menggumpal.
"Menunggu adalah suatu ketidakpastian. Aku menunggu orang tuaku pulang setiap hari, menunggu mereka sambil memandangi anak-anak lain yang bermain bersama orang tuanya hingga membuatku iri, menunggu sesuatu yang tidak pasti. Pada kenyataannya mereka tidak akan pernah kembali padaku. Sesuatu yang tidak pasti itu akhirnya hanya akan berujung pada kabar buruk dan membuat rasa sakit di hati," jelasnya. Rasanya sedikit berat, namun biar bagaimanapun, Sasori sudah memutuskan untuk menceritakan semuanya.
Kabar buruk. Sakit hati.
Sedalam itukah luka yang tertorehkan pada hati Sasori? Terdengar nyaris mustahil ketika semasa hidup ia hanya melihat Sasori yang dingin, dengan hati yang tak lagi sempurna. Akan tetapi, Deidara sekarang mengerti.
"Jadi, waktu itu, kita hanya punya dua pilihan?" Sasori menoleh, mendapati helaian rambut pirang Deidara melayang bersama angin sepoi.
"Ya … dua pilihan itu adalah menunggu."
"Aku yang menunggumu kembali dari pertarunganmu dengan Chiyo, atau Sasori no Danna yang menungguku kembali dari pertarunganku dengan Jinchuuriki itu, hmm?"
Sasori mengangguk. Rupanya Deidara cepat menangkap. "Dan aku tidak akan memilih untuk menunggumu kembali."
Deidara terhenyak, mencerna perkataan Sasori barusan. Melawan Jinchuuriki Kyuubi yang didampingi oleh seorang emcopy-ninja/em bukan perkara mudah, tentu saja. Besar kemungkinannya Deidara kalah dalam pertarungannya dan mati di tangan monster rubah tersebut. Ya, tidak ada yang tahu seperti apa nasibnya di akhir kala itu jika bantuan tak datang. Kalau memang demikian yang dipikirkannya, apakah Sasori berpikir dengan kematiannya sendiri maka ia tidak akan―
"Sepertinya aku tidak akan mau menunggu kabar buruk apapun darimu," ujar Sasori pelan dan menggantung.
Deidara hanya tertegun saat mendengar jawaban itu.
Seperti daun yang tidak pernah membenci pohon yang telah menggugurkan sekaligus membesarkannya, Deidara tidak akan bisa membenci Sasori yang telah menutupi alasan kematiannya selama ini. Sebab di balik alasannya yang amat beresiko itu, entah dengan cara yang bagaimana, Sasori akan selalu mencemaskannya, prihatin, bahkan pada hal-hal sekecil rambut yang terlampau panjang. Diam-diam hubungan yang terjalin di antara mereka memang lebih kaya makna dari sekadar partner in crime.
.
Rasanya semua ini seperti mimpi buruk yang telah berlalu
.
.
.
Fin
A/N :
Saya baper. Pembaca boleh baper juga, ya. Fic ini adalah imajinasi liar saya tentang kenapa Sasori mau-maunya nyerah lawan ChiyoSaku waktu itu …. Plus kenapa sebegitu muaknya Sasori tapi hobi sama kata-kata 'menunggu' /lol. Sebenernya draft udah sejak lama kesimpen di laptop, dan ini baru publish untuk nyumbang arsip SasoDei yang mulai langka.
Punya saran dan kritik, atau opini? Silahkan tulis di kotak review ^^
Terima kasih sudah membaca~
