A/N: didedikasikan untuk para readers yang request lanjutan buat ending fic sebelumnya. khususnya untuk madeh18, Seiyuu-hime to Aoi-kishi, mayumayumi, Letty-Chan19, Aterbury, codetreasure, Anon, dan Akashiki Kazuyuki. maafkan saya yang sudah menggantung kalian, minna...
sebagai catatan buat readers baru, mungkin feel dari fic ini akan lebih kerasa kalo baca prekuelnya dulu, haha.
Saat bibir yang dingin itu bertemu dengan permukaan kulit Akashi, yang dirasakannya adalah hangat—tidak, panas, bahkan—dan seisi ruangan terasa berputar.
Panas yang dirasakannya sangatlah tidak nyaman.
Pria yang tengah menghimpitnya dari atas itu tak henti-hentinya memberikan ciuman-ciuman kecil, mulai dari pundak sampai leher, menyusuri tiap senti kulit yang mulus dan indah (—yang bukan milikku, seharusnya kau jadi milikku, seseorang berbisik) dan pria bersurai merah itu hanya berbaring disana dan bergeming. Matanya setengah terpejam, mencoba untuk tidak mengindahkan panas yang menjalar ke sekujur tubuhnya, menghiraukan kecupan-kecupan yang sedikit basah dan penuh kasih sayang namun terasa sangat dingin secara bersamaan.
Akashi merasakan cengkraman pada masing-masing pergelangan tangannya sedikit melonggar, namun masih cukup kuat untuk menahan tubuhnya agar tetap diam di atas sofa. Ia membalas tatapan sang pelaku yang sama dinginnya dengan bibir yang tengah menciumi tulang selangkanya sekarang, dan hatinya mencelos saat sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya karena sejak kapan mata abu-abu yang tadinya sangat hidup itu terlihat begitu kosong?
—dan kesepian?
Pertanyaan-pertanyaan lain yang tak terelakkan pun berangsur-angsur datang. Kau siapa? Kau kenapa?
Kenapa kau melakukan ini?
Saat ciuman-ciuman itu mengakhiri perjalanannya di leher dan naik untuk melanjutkan aksinya—menyusuri dagu, pipi, rahang, dan seterusnya—Akashi tersentak, sedikit memberontak saat menyadari apa yang hendak dilakukan oleh pria itu dan segera memalingkan wajahnya sebelum terlambat.
Ciuman berikutnya mendarat di ujung bibir.
Pria bersurai hitam kelam itu tertegun sejenak setelah gestur penolakan yang dilakukan Akashi.
Ia menghentikan kegiatannya, namun wajah itu masih berjarak cukup dekat untuk menyapu sebagian wajah Akashi dengan nafasnya yang hangat, sangat kontras dengan matanya yang semakin dingin, tatapannya menusuk—terluka—dan pria bermanik rubi itu dapat menangkap dengan jelas pertanyaan yang diajukan dalam diam.
Kenapa kau berpaling dariku?
Sesuatu lagi-lagi membuat dadanya sesak, dan Akashi mencoba untuk menstabilkan nafasnya yang tidak karuan. Saat benar-benar yakin pria itu tidak akan menciumnya lagi, ia mengembalikan kepalanya ke posisi awal dan menatap lurus manik-manik kelabu yang entah sejak kapan terlihat asing sekali di matanya.
"Aku," suara Akashi terdengar pelan dan sangat lelah, namun ia tetap mencoba untuk menyampaikan kata-katanya dengan tegas. "Bersama Chihiro sekarang."
Pria itu menjawab dengan suara pelan yang sama, "Aku tahu."
"Dan aku bahagia bersamanya."
"Aku tahu."
Saat Nijimura mencium puncak kepalanya, Akashi tidak tahu harus membalas dengan apa.
.
.
.
.
.
sequel of One Day in Spring
One Day in Winter © 100% cocoa
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Pairing: NijiAkaMayu
Rating: T+
Warning: future setting, possible OOCness, mature themes, timeskips, angst.
.
.
.
.
.
"—Akashi?"
"Niji—Nijimura-san..?"
Manik abu-abu gelap bertemu merah terang. Mengerjap sekali. Dua kali.
"Kau—kau benar Akashi, kan?" Kemudian ujung-ujung bibir pria bersurai eboni itu tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman yang membangkitkan nostalgia. "Akashi Seijuuro? Apa kabar, kau sehat-sehat saja kan?"
Yang ditanya makin mempererat rangkulannya pada lengan milik pria tinggi di sampingnya. Tidak menjawab dan diam untuk beberapa detik—mungkin lebih dari hanya beberapa detik—karena, terus terang, Akashi harus menjawab dengan apa?
Seseorang harus memasang wajah seperti apa, saat kepingan masa lalu yang hampir sepuluh tahun menghilang tiba-tiba kembali dan muncul di hadapannya? Kepingan masa lalu yang terlalu menyakitkan untuk disimpan, namun terlalu indah untuk sekedar menguncinya dalam sebuah kotak kemudian melupakannya begitu saja?
(Kotak kecil tempatnya menyimpan kancing pemberian Nijimura ditutupnya, tidak pernah dibuka kembali, tidak pernah melihat ke belakang, dan entah sudah berapa tahun berlalu sejak saat itu.)
Akashi harus memasang wajah seperti apa, saat seorang Nijimura Shuuzo tiba-tiba kembali dan menanyakan kabarnya sambil tersenyum seperti ini?
Senang? Lega? Kecewa?
Sinis? Pura-pura tidak kenal? Memasang ekspresi netral seperti biasa?
("Iya, kau berharga bagiku, jangan kelihatan kaget seperti itu dong."
"Kalau bisa aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi... Tapi mungkin tidak bisa, ya? Yang kutahu cuma kau punya ayah yang payah."
"Aku bukannya mengatur. Aku hanya bilang jangan mengatakan hal yang tidak perlu!"
"Selain jarak Tokyo dengan LA yang menyebrang benua, aku tidak yakin kita dapat bertemu lagi untuk ke depannya nanti.")
Akashi menghembuskan nafas yang entah sejak kapan ditahannya, mencoba mengabaikan sesuatu yang seperti mencubit hatinya. Entah itu perasaan sakit, atau lega, atau rindu yang amat sangat, atau sesuatu yang membuatnya frustasi dan bingung—entahlah, mungkin perpaduan kelimanya. Kenangan akan suatu hari di musim semi sepuluh tahun lalu tiba-tiba melandanya, dan Akashi masih ingat dengan jelas tiap kata yang diucap Nijimura Shuuzo pada hari itu.
("Kalau denganmu, aku tidak tahu persis seperti apa. Yang jelas kau berharga buatku.")
Emosi yang berkecamuk naik dan turun di dada itu sudah lama sekali tidak dirasakannya—sampai Nijimura kembali, mengacaukan ritme jantungnya hanya dengan seulas senyum.
Namun yang dilakukan Akashi hanyalah membiarkan bibirnya bergerak membalas senyuman mantan seniornya itu, lalu menjawab dengan suara tenang seperti tidak baru saja mengalami pergolakan dalam dirinya. "...Benar, ini aku. Sudah lama sekali ya, Nijimura-san?"
"O-ou. Kukira kau lupa padaku, hahaha!"
Akashi tersenyum tipis. Ia perlahan-lahan melonggarkan pegangannya pada lengan Mayuzumi, tapi tidak melepaskannya. Entah Nijimura sadar akan posisi tangannya atau tidak. "Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut, tidak kusangka akan bertemu Nijimura-san di Tokyo seperti ini. Kau sendiri juga sehat?"
"Ya, aku kembali dari States belum lama ini... Dan aku juga sampai pangling, Akashi, habis kau tambah tinggi."
Senyum Akashi kali ini benar-benar tidak bisa ditahannya. "Sepertinya Nijimura-san tidak banyak berubah, ya? Selain penampilanmu yang seperti itu."
"Oi oi, aku yang sekarang sudah banyak berubah, lho?" Balas Nijimura sambil menaikkan dua alisnya, namun senyumnya juga makin lebar. Lalu sambil mengacak pelan rambut hitamnya yang sudah sepanjang tengkuk leher, pria itu melanjutkan, "Asal kau tahu, rambutku yang sekarang lumayan berguna untuk menghangatkan leher di musim seperti ini."
Keduanya lalu terdiam, senyum Akashi entah mengapa masih bertahan di bibirnya, dan manik-manik gelap yang bertemu rubi itu hanya saling menatap karena tiba-tiba keduanya kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata.
"Ehm."
Saat Mayuzumi berdehem sekali, Akashi menoleh ke arahnya dengan mata sedikit melebar seperti baru saja tersadar akan sesuatu, kemudian menarik lengan pria tersebut sekaligus menarik perhatian dua orang lainnya. "Maaf atas ketidaksopananku—ini Mayuzumi Chihiro. Chihiro, ini Nijimura Shuuzo, seniorku saat di bangku SMP dulu."
Mayuzumi mengangguk singkat dengan "Doumo," yang membuat Akashi menyikut pinggangnya tajam dan pria bersurai kelabu itu memutar bola matanya. Kemudian meralat kata-katanya dengan, "Maksudku, yoroshiku. Salam kenal."
"Salam kenal. Sekali lagi maaf untuk yang tadi, adikku memang banyak gaya... Beberapa orang hampir celaka karena skateboard bodohnya itu tapi dia tidak kapok-kapok juga," balas Nijimura sambil meringis.
"Dan, maaf karena harus mengakhiri pembicaraan disini, tapi aku benar-benar harus menyusul adikku." Lanjut pria itu lagi, membungkuk singkat kemudian bersiap untuk mengejar Nijimura Juuzo yang menghilang di belokan perempatan jalan. Baik Akashi dan Mayuzumi sama-sama mengangguk.
Sesuatu yang rasanya seperti kecewa merambat dalam hati pria bersurai merah itu, karena banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan dan berbagai macam pertanyaan yang ingin ia ajukan. Kapan tepatnya mantan senpai-nya itu kembali dari Amerika? Bagaimana kabar ayahnya sekarang? Masih ingatkah dia akan apa yang terjadi di hari kelulusan yang sekaligus merupakan hari perpisahan mereka?
Sebuah suara yang berbisik apa perasaan Nijimura-san masih sama seperti dulu membuat Akashi mengatupkan mulutnya rapat-rapat agar tidak kelepasan bertanya—itu pertanyaan konyol, yang berbahaya, dan sama sekali tidak perlu.
Pemuda beriris merah itu hanya bisa bungkam karena Nijimura-san akan pergi lagi, kami mungkin tidak akan bertemu lagi, dia akan meninggalkanku sekali lagi.
Dan tidak ada bedanya baik sepuluh tahun lalu maupun sekarang. Akashi hanya bisa berdiri disana, tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menatap punggung Nijimura dalam diam.
Aku tidak mau—
"Dan satu hal lagi. Aku... Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu, Akashi. Sungguh."
...hangat.
Bersamaan dengan perasaan hangat yang menyapanya—hangat yang nyaman dan familiar—sesuatu yang janggal terlintas di pikiran Akashi. Ada sesuatu yang tidak beres, ada yang aneh pada senyum Nijimura, dan—apa ia hanya berlebihan?
Ia mendengar sebuah suara di kepalanya yang menegur—tidak, memerintahnya—untuk menjauhi pria yang menghilang sepuluh tahun lalu itu. Dan seperti yang sudah sering dilakukannya selama bertahun-tahun ini, Akashi mengabaikan pemilik suara yang terdengar di kepalanya—sosok yang tersenyum sinis dengan mata heterokromia yang dingin itu. Ia memutuskan untuk membalas pernyataan tulus kakak kelasnya dulu itu dengan senyuman.
"...Aku juga sama. Senang bertemu lagi denganmu, Nijimura-san."
.
.
.
"Yang barusan itu sebenarnya siapa?" Selidik Mayuzumi setelah yakin sosok Nijimura Shuuzo benar-benar sudah pergi jauh, dan menatap Akashi dengan datar.
Bagi Akashi, tatapan itu sama sekali tidak datar. "Dia kapten tim basket Teikou sebelum aku."
"Rasanya lebih dari sekedar mantan kapten, deh." Balas Mayuzumi dengan nada bicaranya yang biasa—netral, tidak tertarik, tidak peduli.
Namun sekali lagi, bukan itu yang terdengar di telinga Akashi. Sambil mengulum senyum, pria yang lebih pendek itu membalas dengan, "Mungkin perasaanmu saja." Yang kemudian disusul dengan, "Chihiro kalau sedang cemburu manis sekali."
Mayuzumi mendengus sebal, merangkul bahu pria bersurai merah itu dengan satu tangan—tangan yang satunya masih menenteng kantung belanjaannya dari toko buku—dan tidak menyangkal kata-kata Akashi sama sekali.
Akashi punya firasat kalau musim dingin kali ini mungkin akan terasa lebih panjang.
Pada reuni super singkatnya dengan Nijimura Shuuzo, Akashi tidak bertukar alamat email ataupun meminta nomor telepon baru milik pria itu untuk mempertahankan kontak yang baru saja kembali.
Ia hanya tahu Nijimura tinggal di Tokyo, entah dimana persisnya, namun Akashi tidak mencari tahu lebih lanjut lagi mengenai keberadaan mantan kapten klub basketnya itu. Menurutnya, Nijimura pasti memiliki hal-hal yang jauh lebih penting daripada meladeni mantan adik kelas yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu untuk hal sepele macam reuni.
Lagipula, sepuluh tahun bukanlah waktu yang lama: Nijimura yang sekarang pasti sama saja dengan orang asing. Perasaan canggung yang menyelimuti keduanya jika bertemu lagi juga pasti tak dapat dihindari.
Seminggu lewat beberapa hari sejak pertemuan singkat itu, Akashi melewati toko buku yang sama dan mendapati dirinya berhenti melangkah saat kembali bertatap muka dengan Nijimura Shuuzo.
Mayuzumi tidak bersamanya sekarang, tapi ia merasa lebih canggung dari pertemuan minggu lalu.
"...Selamat siang."
Ujung bibir Nijimura berkedut-kedut seperti sedang berusaha menahan senyum. "Aku baru saja ingin bilang kalau ini takdir, tapi kau sepertinya sangat tidak senang bertemu denganku."
"Ah," Akashi mengalihkan pandangannya agar tidak bertemu mata dengan pria yang satunya. "Maaf, aku... Tidak bermaksud untuk terlihat tidak ramah. Sama sekali. Hanya saja," ujung bibir Nijimura berkedut lagi, kali ini terlihat lebih jelas seperti sebuah senyuman. "Jujur, aku bingung harus bagaimana jika berhadapan denganmu."
"Aku tetaplah aku," balas Nijimura sambil terkekeh, tangan kanannya naik untuk meraih puncak kepala Akashi dan mengacak surai merah tersebut. Gestur yang sangat familiar dan terasa sangat akrab.
"Jadi jangan perlakukan aku seperti orang asing. Ayo cari tempat mengobrol, aku akan mentraktirmu makan atau minum. Setidaknya kita reuni dengan benar kali ini, oke?"
Akashi menerima ajakan tersebut tanpa berpikir panjang, tidak mengindahkan perintah Dia yang menyuruhnya untuk menolak ajakan Nijimura dan segera pulang.
.
.
.
Heater yang menghangatkan seisi kafe tempatnya dan Nijimura berbincang-bincang sekarang bekerja sangat baik.
Atau mungkin kehangatan yang terus dirasakannya bukan berasal dari pemanas ruangan tersebut sama sekali, melainkan karena Nijimura yang duduk di seberang meja—sedekat ini dengan dirinya—sambil meneguk segelas cokelat hangat di sela-sela ceritanya mengenai street basketball Los Angeles. Suara bariton pemuda bersurai eboni itu terdengar sangat indah di telinga, dan wajah tampannya sama sekali tidak membosankan untuk dipandang.
Akashi tidak tahu ini hal yang baik atau malah sebaliknya, tapi setidaknya perasaan canggung yang dirasakannya tadi sudah hilang total.
"—Tapi aku masih harus membiasakan diri lagi dengan Jepang. Aku pernah tidak sengaja mengumpat dalam Bahasa Inggris di kereta, dan orang-orang menatapku dengan tatapan aneh," Nijimura menggeleng sebal. "Aku yakin seratus persen mereka tidak tahu apa yang kukatakan, tapi pandangan mereka sok tahu sekali."
"Mengumpat itu tidak baik, tapi aku harus bilang aku ingin mendengar Nijimura-san berbicara Bahasa Inggris," balas Akashi dengan senyum kecil dan Nijimura membuang wajahnya karena salah tingkah.
"Tidak, kau tidak akan mendengarnya. Aksenku menggelikan." Kemudian untuk mengalihkan pembicaraan, ia mengangkat satu alis. "Kau sendiri pasti mahir berbahasa Inggris kan? CEO termuda dalam sejarah Akashi Conglomerate, Akashi Seijuuro-sama?"
Akashi mengangkat dagunya sedikit, membalas, "Tentu saja. Akashi Conglomerate memiliki puluhan aliansi dengan perusahaan asing, dan aku sebagai Direktur Utama harus bisa berkomunikasi dengan mereka, bukan?" Kemudian dengan suara yang lebih pelan, ia melanjutkan, "Tolong jangan bicara keras-keras. Cepat atau lambat orang-orang pasti akan mengenali wajahku, dan mereka akan mulai berbisik-bisik dan aku ingin menghindari keributan sebisa mungkin."
"Jangan bertingkah seperti artis, bocah. Kau menyebalkan." Untuk yang ini Akashi mengangkat cangkir miliknya untuk menyembunyikan senyum.
"Ngomong-ngomong, kau sudah pindah kesini sejak dua bulan yang lalu, benar?" Tanya Akashi setelah meneguk teh hangat pesanannya. "Kita berada di kota yang sama, tapi aku heran kenapa kita belum pernah bertemu sebelumnya."
"Tokyo tempat yang luas," balas Nijimura sambil mengedikkan bahu. "Dan bulan-bulan awal aku jarang pergi keluar, karena sibuk memindahkan barang-barang dan menata ulang rumah. Dan juga membantu mencarikan adik-adikku sekolah—mereka berdua sama-sama di bangku SMA sekarang."
Akashi tersenyum, entah mengapa mendengar cerita-cerita dari Nijimura membuatnya senang. Tatapannya kemudian melunak dan suaranya terdengar sangat hati-hati saat bertanya, "Bagaimana kabar Ayah Nijimura-san? Beliau sehat-sehat saja?"
Ada jeda sebentar sebelum Nijimura menjawab dengan seulas senyum di bibirnya. "...Iya. Penyakit ayah sudah bukan masalah lagi—jadi menurut ibu, kita kembali ke Jepang saja. Lagipula ayah juga... Lebih suka tinggal di tanah air sendiri."
Perasaan aneh yang dirasakannya seminggu yang lalu itu kembali lagi.
Ada sesuatu yang janggal pada senyum Nijimura, tapi Akashi tidak tahu dimana letak kejanggalannya. Akhirnya ia hanya menjawab dengan, "Syukurlah kalau begitu," dan hening melanda mereka.
Hening tersebut tidak berlangsung lama, keduanya kembali terlibat pembicaraan seru yang topiknya melompat-lompat kesana kemari, namun Akashi tidak keberatan sama sekali.
Mereka berbincang sampai minuman pada cangkir masing-masing mendingin, dan bohong jika Akashi berkata ia tidak merindukan momen berdua seperti ini dengan Nijimura.
.
.
.
"Na, Akashi..."
"Ada apa, Nijimura-san?"
"Aku benar-benar lega bisa bertemu lagi denganmu."
"...Ya. Aku juga sama."
Mayuzumi tidak mengalihkan pandangannya dari light novel yang tengah dibacanya saat berkata, "Akhir-akhir ini kau sering keluar."
Akashi yang tengah membuka kancing kemeja putihnya berhenti sejenak sebelum melanjutkan kegiatan berganti pakaiannya. "Apa kau mengikutiku secara diam-diam saat aku jalan-jalan di kota, atau mengutus penguntit lain selagi kau bekerja di kantor."
Mayuzumi menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, tidak mau repot untuk mengoreksi nada bicara Akashi yang sama sekali bukan nada bertanya. "Sekretarismu bilang padaku bahwa kau sering pergi ke luar saat jam makan siang, dan begitu kembali—tiga puluh menit setelah jam istirahat berakhir—kau terlihat 'lebih cerah' dan... Apa katanya? 'Lebih bersemangat' untuk mengerjakan paperwork."
Akashi menggeleng, "Kau tahu Hanabusa itu suka berlebihan. Dan orang macam apa yang bersemangat untuk mengerjakan paperwork."
"Entahlah, yang jelas bukan aku." Mayuzumi mengalihkan pandangannya pada CEO muda itu tepat pada waktunya untuk melihat punggung mulus Akashi sebelum pemandangan indah tersebut terhalang oleh kaus hitam yang baru saja dikenakannya.
Hampir setiap malam seperti ini; Akashi pulang ke apartemen penthouse miliknya yang berjarak tidak terlalu jauh dari kantor, mendapati Mayuzumi Chihiro sudah merajai sofa di depan televisi atau tidur-tiduran di ranjang miliknya sambil membaca LN. Akashi sudah terbiasa dengan rutinitas seperti ini—terlalu terbiasa malah—terutama setelah mereka resmi menjadi sepasang kekasih, Mayuzumi hampir setiap hari menginap dan segera menuju ke penthouse sepulangnya dari kantor.
Bahkan sebelum keduanya menjadi kekasih pun, Mayuzumi pernah beberapa kali menginap di apartemen adik kelasnya dulu itu. Pernah sewaktu-waktu Mayuzumi pulang ke apartemen miliknya sendiri sepulang kerja karena terlalu lelah untuk menyetir ke tempat Akashi, dan pria bersurai merah itu merasa lantai paling atas tempatnya tinggal—hanya ia seorang yang tinggal di lantai tersebut—terasa sangat hampa dan kosong dan terlalu luas untuk dirinya seorang. Esok harinya ia memberikan kunci untuk akses masuk penthouse miliknya pada Mayuzumi, dan pria bersurai kelabu itu menerimanya sambil menaikkan satu alis.
Setelah Akashi selesai berganti piyama—kaus hitam polos dan celana panjang abu-abu—ia naik ke ranjang dan menyandarkan tubuhnya ke bahu Mayuzumi. "Jadi kau dan Hanabusa sering bertukar cerita di belakangku, hmm? Mungkin aku perlu mengingatkanmu lagi kalau wanita itu sudah menikah."
"Aku ingin bilang kalau kau manis sekali saat sedang mencoba bercanda, tapi wajah seriusmu itu sama sekali tidak cocok untuk melucu," balas Mayuzumi datar. "Dan Hanabusa cerita padaku karena ia mengira aku yang mengajakmu kencan tiap makan siang. Lalu saat kubilang aku terlalu malas untuk makan siang di luar kantor dan yang mengajakmu adalah pria asing bernama Nijimaru, ia memaksaku untuk curhat jika 'ada masalah di antara kita'."
Akashi terkekeh dan mencium bahu kekasihnya. "Menurutku bagus kalau kau bisa akrab dengan sekretarisku. Dan pria asing yang mengajakku makan siang itu bernama Nijimura-san."
Mayuzumi tidak menjawab, matanya masih tertuju pada barisan-barisan kata pada light novel miliknya. Akashi melirik pria yang surai kelabunya sudah sedikit acak-acakan, tersenyum sedikit karena setelah bertahun-tahun lamanya, kebiasaan Mayuzumi membaca novel sama sekali tidak berubah. Ia pikir setelah menginjak usia dua puluh enam tahun, bacaan kekasihnya akan lebih berat dari sekedar light novel yang plotnya seringkali... Unik, dan ringan.
"Nijimura-san mengajakku makan siang bersama beberapa kali untuk mengejar ketinggalan setelah sekian lama tidak bertemu. Dan aku... Aku sangat merindukannya," aku Akashi pelan. "Dia adalah teman yang sangat berharga bagiku, Chihiro."
Mayuzumi membenahi posisi duduknya, sebelah tangan meraih bahu Akashi untuk merangkul tubuh yang lebih mungil itu. Setelah menatap iris rubi milik kekasihnya selama beberapa saat, ia membalas, "Aku tahu orang-orang yang kau kategorikan sebagai 'teman' itu bisa dihitung dengan jari, jadi kurasa 'teman berharga'mu ini bukan orang yang buruk."
Akashi mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar, "Aku tidak mau dengar itu dari orang yang jumlah temannya lebih sedikit dariku."
Mayuzumi mengikuti aksinya, menaikkan satu alis dengan wajah datar yang sama kemudian mengecup pelipis Akashi di balik surai merahnya. Membuat si rambut merah memecah raut wajah datarnya, tertawa kecil dan menyandarkan kepalanya di dada Mayuzumi.
Setelah nyaman dengan posisinya sekarang, Akashi memejamkan kedua matanya dan berbisik, "Ayo letakkan itu di meja dan segera tidur."
"Hn..." Gumam Mayuzumi pelan, mempererat dekapannya. "Satu halaman lagi, Sei."
"Kenapa memanjangkan rambut seperti itu?" Tanya Akashi suatu hari pada pertemuannya dengan Nijimura Shuuzo yang kelima pada musim dingin itu.
"...Sepertinya rambutku yang sekarang salah sekali di matamu," adalah balasan yang ia terima. Nijimura mengerucutkan bibirnya, membuat Akashi menahan senyum karena ia benar-benar merindukan ekspresi tersebut di wajah mantan senpai-nya.
"Nijimura-san sendiri yang terlalu banyak berpikiran negatif tentangku," balas Akashi santai, mengelap bibirnya dengan serbet dari remah-remah kudapan yang menemani sesi mengobrol mereka. "Lagipula, aku hanya penasaran."
Nijimura mendengus, menggigit sepotong kue kering dan mengunyahnya dengan cepat kemudian menjawab, "Bukannya aku sengaja memanjangkannya atau apa. Tapi banyak sekali yang terjadi pada setahun terakhir, dan aku tidak punya waktu untuk mengurus hal sepele semacam ini."
Saat Akashi mengangkat gelasnya yang berisikan air putih—gestur yang Nijimura mulai hafal jika mantan kouhai-nya itu sedang menyembunyikan senyum—ia melanjutkan dengan, "Menggelikan, ya? Temanku Tatsuya bilang aku makin terlihat seperti preman."
"Kalau kau memasang wajah galak seperti itu, mungkin saja temanmu Tatsuya ini benar," balas Akashi sambil terkekeh. "Tapi menurutku rambutmu cocok seperti ini. Nijimura-san terlihat lebih dewasa, dan kalau kau mencoba untuk lebih kalem, kau pasti akan terlihat lebih tampan."
Nijimura rasanya seperti tersedak udara—ia sedang tidak minum apa-apa tapi tenggorokannya terasa aneh sekali—dan menatap tajam ke arah Akashi. "Kulihat kau masih pintar ngomong seperti dulu, ya... Dasar penjilat."
"Tidak sopan," balas Akashi, mencoba untuk mempertahankan wajah datarnya. "Yang kubicarakan adalah murni fakta. Jangan panggil aku penjilat."
"Oh yeah?" Balas Nijimura gemas. "Sudah cukup tentang rambutku—kau sendiri memotong pendek rambut depanmu, kan."
"Ah," Akashi reflek menyentuh helaian rambut pendek di atas dahinya, tidak sengaja menyunggingkan senyum. "Ini... Sebenarnya, asal mula rambut pendekku ini lumayan lucu. Aku memotongnya sendiri—karena terbawa suasana, saat itu." Ia mengingat-ingat kejadian Winter Cup di tahun pertama SMA-nya, dan wajah seorang Kagami Taiga terbayang sekilas. "Lalu lama kelamaan aku terbiasa seperti ini. Poni yang panjang dapat mengganggu pandanganku, dan terkadang malah jadi terlihat berantakan. Ayah selalu mengingatkan bagaimana kerapihan dan penampilan merupakan hal yang patut diperhatikan sebagai Direktur Utama."
"Untuk yang ini aku setuju dengan ayahmu," timpal Nijimura. Sambil meraih gelasnya yang juga berisi air putih, ia melanjutkan, "Kalau ponimu masih panjang dan ditambah dengan wajah seperti itu... Kau terlihat seperti anak-anak. Tidak ada hawa-hawa Direktur Utama sama sekali."
Mata Akashi mengerjap dua kali. "Apa kau baru saja menyebut wajahku imut?"
Nijimura nyaris menyemburkan air yang baru saja diteguknya. "Tentu saja tidak, kenapa kau beranggapan seperti itu!?"
"Tapi Nijimura-san menyatakannya secara tidak langsung."
"Kau ini benar-benar—"
Wajah 'seperti anak-anak' yang Nijimura maksud sama sekali berbeda dengan yang mantan adik kelasnya itu anggap, tapi saat ia melihat Akashi tersenyum kecil dengan mata terpejam, dan manik-manik kelabunya menangkap semburat merah yang samar-samar muncul di kedua pipi porselen itu, protes yang hendak ia suarakan hilang begitu saja.
—sejak kapan Akashi jadi semanis ini?
Hanabusa Seki memasuki ruang kerja atasannya diiringi dengan ketukan sepatu hak tinggi yang entah kenapa terdengar sedikit tergesa-gesa, namun raut wajah wanita usia kepala tiga itu netral dan profesional seperti biasa. CEO Akashi Conglomerate yang tengah menandatangani berkas kedua puluh tiganya hari ini mengangkat kepala sambil menyuarakan pertanyaan dalam diam.
"Mayuzumi-kun sedang menunggu di luar."
Itu membuat Akashi meletakkan pena hitam mengkilatnya dan menegakkan punggung. "Kau bisa bilang itu lewat intercom."
"Mungkin ia sudah menunggu selama beberapa menit di depan elevator, aku telat menyadari kedatangannya. Dan sepertinya ia hendak mengajakmu makan siang di luar," lanjut wanita itu, tidak mengindahkan teguran dari bosnya sama sekali. Bibir wanita berparas cantik itu melengkung membentuk sebuah senyuman lebar saat melanjutkan, "Dan ia terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku senang sekali hubungan kalian sudah membaik."
Yang benar saja... Sekretarisnya itu benar-benar mengira ada masalah di antara dirinya dan Mayuzumi. Akashi menghela nafas panjang, beranjak dari kursi putar miliknya dan melangkah keluar ruangan sambil membenahi dasinya yang sedikit kusut.
"Aku kembali satu jam lagi. Kau juga istirahatlah."
"Tentu saja, Akashi-sama."
Wajah malas Mayuzumi menyapanya di luar ruangan, dan keduanya melangkah menuju elevator tanpa bertegur sapa terlebih dahulu.
"Kau tidak perlu jauh-jauh kesini hanya untuk makan siang berdua," kata Akashi seraya menekan tombol dan memasuki elevator yang terbuka.
"Kurasa makan siang berdua sekali-sekali saja tidak apa-apa. Dan aku tidak mau diam saja sedangkan Nijimura menculikmu setiap hari saat aku sedang berkutat dengan dokumen-dokumen tidak penting di kantor."
Akashi berjinjit untuk mencium kekasihnya di bibir setelah pintu elevator tertutup.
"Dua atau tiga hari yang lalu kurasa adikku melihatmu di kedai kopi dekat stasiun," ucap Nijimura pada pertemuan mereka berikutnya.
Ah, kedai kopi yang mempertemukanku dan Chihiro lagi dua tahun lalu. "Itu benar. Adikmu..?"
"Juuzo. Yang hampir menabrak temanmu waktu itu, lho," Nijimura mengingatkannya dengan muka masam. "Saat ia bercerita kupikir ia menabrak kalian lagi, tapi kata bocah tengik itu ia hanya sedang kebetulan lewat saja. Katanya rambut merah menyalamu itu tidak sulit untuk diingat."
Akashi mengangguk, "Sampaikan salamku untuk Nijimura Juuzo-kun. Aku memang ke sana beberapa hari yang lalu, Chihiro punya kebiasaan minum kopi bahkan di siang bolong seperti ini."
Nijimura sempat diam beberapa detik, tidak bertemu mata dengan Akashi saat membalas, "Chi.. Mayuzumi Chihiro, kan? Pria yang waktu itu,"
"Dia asistenmu, rekan kerja, atau siapa?"
Pertanyaan bagus.
Akashi tersenyum, sedikit ragu, tapi tetap menjawab dengan suara mantap. "Chihiro adalah senpai-ku sewaktu SMA. Dulu kami juga rekan satu tim basket."
"Hee.. Kau pasti di posisi kapten, iya kan?" Balas Nijimura, mengaduk cangkir teh miliknya dan masih tidak menatap mata Akashi.
Namun pria bersurai merah itu belum selesai bicara, melanjutkan dengan suara pelan, "Tapi Chihiro bukan... Sekedar teman."
Saat Nijimura mengangkat kepalanya untuk mempertemukan mata mereka, keputusan Akashi untuk memberitahunya sudah bulat—lagipula cepat atau lambat topik ini pasti akan dibahas juga.
"Kami... bersama. Maksudku, orang-orang mengatakan kami adalah sepasang kekasih, tapi tetap saja rasanya aneh kalau menyebutnya seperti itu." Ia menatap mata pria bersurai hitam itu lekat-lekat, "Tapi Chihiro adalah orang yang sangat berharga untukku."
Nijimura tidak membalas.
Ia bergeming, cukup lama hingga membuat Akashi memanggil namanya beberapa kali.
Dan saat mata abu-abunya kembali mengerjap, sebuah senyum perlahan-lahan berkembang di bibirnya dan pria itu bertanya pelan, "Benarkah?"
Akashi tidak membiarkan dirinya tertegun lama-lama, membalas dengan suara tegas, "Ya. Dan aku bahagia bersamanya."
"...Baiklah."
Apa maksudnya dengan 'baiklah'?
Nijimura meneguk teh hangatnya yang terasa sedikit pahit, dan ia berpikir, rasa pahit di lidahnya sama sekali bukan karena tehnya perlu tambahan gula atau semacamnya. "Jadi... Kau sibuk apa belakangan ini? Akhir-akhir ini aku makin sering melihat berita mengenai Akashi Conglomerate di televisi, tentang kemajuan dan meluasnya kekuatan mereka di dunia bisnis atau apalah semacamnya..."
Akashi yakin senyumnya terlihat sangat awkward sekarang, karena Nijimura jelas-jelas baru saja mengalihkan topik. Tidak menggubris sejuta pertanyaan yang mulai membanjiri kepalanya.
Mengenai hubungan mereka, misalnya.
Karena mau sampai kapan keduanya berpura-pura seperti ini, menganggap bahwa perpisahan mereka di hari kelulusan Nijimura dulu itu tidak pernah terjadi?
Mau sampai kapan mereka berpura-pura bahwa tidak ada kancing yang diberikan, tidak ada air mata yang mengalir, tidak ada pernyataan cinta yang nyaris diucap—
("Nijimura-san, sebenarnya sejak dulu, aku—"
"Kali ini aku yang minta tolong, Akashi. Jangan.. Jangan katakan hal itu."
"Tapi—")
Tapi senyum Nijimura terlihat tulus, membuat dadanya terasa hangat oleh sesuatu yang hanya pria itu saja yang dapat menyebabkannya. Akashi berpikir, mungkin Nijimura sudah lupa, mungkin tidak terlalu sulit bagi mantan senpai-nya untuk melepas masa lalu, mungkin hanya Akashi sendiri yang berpikir terlalu panjang akan hal ini.
Mungkin dirinya yang kesulitan untuk melepas masa lalu—meski seorang Mayuzumi Chihiro telah mengisi hari-harinya sekarang.
Akashi menggeleng dan membatin, aku benar-benar bodoh, setelah Nijimura memanggil namanya dan mencegahnya melamun terlalu lama. Dan cukup begitu saja, keduanya kembali sibuk oleh berbagai macam pembicaraan, dan nama Mayuzumi tidak pernah dibahas lagi.
Setelahnya saat mereka berpamitan, Nijimura tersenyum dan sangat mudah bagi Akashi untuk membalas senyumnya. Namun lengkungan di bibirnya perlahan-lahan luntur saat ia melihat punggung Nijimura yang pergi menjauh—entah mengapa ia merasa seperti empat belas tahun lagi, hanya bisa diam melihat langkah demi langkah yang Nijimura ambil menjauhinya—dan sebuah perasaan buruk merambat di hatinya, membuat dahinya sedikit berkerut.
Akashi berharap senyum tulus Nijimura barusan bukanlah semacam tenang yang mampir sejenak sebelum badai mengamuk.
.
.
.
Surai hitam milik pria itu membaur dengan surai hitam khas Asia pejalan kaki lainnya, kedua tangan bersarang di kantung jaket berwarna hijau tua yang tidak terlalu tebal, namun cukup untuk bertahan melawan udara dingin bulan Desember. Wajahnya terlihat kosong, tidak seperti biasanya, dan sorot mata yang terpancar dari manik-manik kelabu itu sama sekali tidak ramah.
Di tengah kerumunan kota besar sesibuk Tokyo, tidak ada orang yang mendengarnya saat Nijimura Shuuzo menggumamkan sesuatu berulang-ulang, seperti sedang menanamkan hal tersebut secara paksa di kepalanya.
—Chihiro. Mayuzumi Chihiro.
.
.
.
.
.
tbc
A/N: sekuel ini ga terlalu panjang, mungkin sekitar lima atau empat chapter? plot ini menghantui saya terus2an karena ending kampret fic kemaren LOL maapkan ya. dan saya berniat untuk menyelesaikan ini bulan maret karena UN kurang dari 60 hari lagi bro? ? ? /dihajar.
sebenernya chapter satu dan dua itu satu kesatuan, tapi saya pisah biar ga panjang2. semoga feel-nya pada dapet yah manteman! chapter dua kira2 saya publish minggu depan.
saya cinta nijiakamayu, tapi saya cinta review juga. /blow kisses/
