Disclaimer:
Naruto: Masashi Kishimoto
Guilty Crown: Gan Sunaaku
.
.
.
Pairing: Naruto x Inori
Genre: romance/hurt/comfort/humor
Rating: T
Setting: AU (Alternate Universe)
.
.
.
Smiling Down
By Hikasya
.
.
.
Chapter 1. Perpisahan
.
.
.
Kurva tipis melengkung ke bawah ketika melihatnya pergi bersama Shinkansen. Netra merah itu berkaca-kaca. Mengalirkan sungai deras yang telah membasahi pipi. Tidak sanggup berpisah dengan lelaki yang telah menjadi sahabat dekatnya sejak SD.
"Namikaze Naruto!" teriak Yuzuriha Inori. Ia berlari kencang. Mengejar kereta super cepat yang telah membawa lelaki berambut pirang itu. Menangis keras di tengah suara kereta yang melaju kencang di ujung rel.
Naruto yang melihat Inori lewat jendela kereta, turut menangis. Ia masih berdiri di dekat pintu kereta, tidak sanggup menghadapi perpisahan mendadak ini. Harus memenuhi permintaan Ayah yang menginginkannya tinggal di kota perantauan.
Maafkan aku, Inori. Sebenarnya, aku ingin tetap tinggal di sini dan melanjutkan kuliah bersamamu. Namun, Ayahku menyuruhku pulang untuk memimpin perusahaan yang dibangunnya sebelum aku dilahirkan. Tidak mungkin 'kan, aku membantah permintaan Ayahku itu.
Bersama syal merah yang diberikan Inori padanya beberapa menit lalu, menambah kesedihan itu semakin merebak luas dari hati dan jiwanya. Syal merah yang kini melingkari lehernya, mengundang perasaan itu semakin menggebu-gebu untuk merutuki dirinya karena tidak berani mengungkapkan isi hati. Lebih mementingkan perasaan sahabat kentalnya, Ouma Shu.
Shu tidak hadir untuk melepaskan kepergian Naruto. Ia beralasan harus menemani Ibunya berbelanja sore ini. Sehingga Inori sendiri yang mengantarkan Naruto ke stasiun Suna 12.
Shinkansen telah hilang di ujung rel. Inori menghentikan lari. Napasnya tersengal-sengal. Tangisannya semakin deras. Meringkih di hati.
"Hiks, Naruto," ucap Inori dengan nada yang terisak-isak, "Aku yakin kamu pasti datang kembali ke sini. Kamu sudah berjanji untuk itu."
Gadis berambut merah muda itu berusaha menghentikan tangisan. Orang-orang yang lewat, hanya melihatnya sekilas. Mereka tidak ingin tahu apa yang membuat Inori menangis. Tetap memfokuskan pergi ke tujuan masing-masing.
Bias senja telah terlukis di langit. Menarik Inori untuk memandangnya. Terbayang wajah Naruto di sana. Mengukir senyum di wajah gadis itu.
"Apapun yang terjadi. Tetaplah tersenyum. Kamu harus kuat menjalani hidupmu."
Perkataan terakhir Naruto tergiang-ngiang di telinga Inori. Pemuda berambut pirang itu, telah menitipkan nasehat yang akan selalu diingatnya sepanjang masa. Sampai akhirnya tiba waktu untuk pertemuan itu.
Ya, ia tidak boleh nelangsa lagi. Inori menyeka kristal-kristal bening yang masih mengalir itu. Mencoba menghentikan sukma yang terguncang.
Setelah itu, ia pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang cukup lega.
.
.
.
Naruto menginjakkan kaki di halaman depan sebuah rumah elit yang mewah. Rumah yang dikelilingi pagar besi setinggi tiga meter itu memiliki halaman yang sangat luas. Dipenuhi rerumputan dan tanaman-tanaman hias yang disusun rapi di pojokan halaman.
Beberapa menit yang lalu, ia keluar dari taksi. Atas petunjuk alamat yang dititipkan Ayah lewat e-mail, Naruto tidak kesulitan untuk menemukan rumah sang Ayah.
"Benar, ini alamatnya." Naruto mengecek alamat itu di ponsel miliknya.
Karena masih terpaku di dekat pintu gerbang yang terbuka lebar, Naruto terlihat seperti orang bingung. Beruntung ada seorang penjaga rumah tersebut, langsung mengenalinya tanpa harus membentaknya atau mengusirnya dari sana.
Pria berambut pirang yang diikat ekor kuda seperti samurai, menyambut kedatangan Naruto dengan senyuman ramah. "Selamat datang, tuan muda Naruto, un."
Naruto terkesiap. "Eh? Kamu memanggilku, tuan muda?"
"Ya. Anda adalah anak pemilik rumah ini, Namikaze Minato, bukan, un?"
"Benar. Aku anaknya."
"Syukurlah. Saya mengetahui anda dari foto ini, un."
Foto bergaya jadul ala tahun 90-an, ditunjukkan Deidara pada Naruto. Di foto itu, ada pria berambut pirang yang merangkul pundak wanita berambut merah. Bayi mungil berambut pirang yang dibungkus dengan kain bedung, digendong erat oleh wanita berambut merah. Latar belakang putih menghiasi kebahagiaan keluarga kecil itu.
Terenyuh melihat foto itu, Naruto menjadi sedih. Sebab kebahagiaan di foto itu telah menghilang, tergantikan kepedihan yang dirasakan si wanita berambut merah. Namikaze Kushina yang kini telah pergi ke alam lain.
Ya, Naruto dan Kushina sudah lama ditinggalkan Minato. Minato pergi ke luar kota untuk mencari pekerjaan layak demi membiayai kehidupan keluarganya yang cukup memprihatinkan. Namun, ternyata Minato tidak pulang bertahun-tahun sehingga meremukkan hati Kushina.
Kushina meninggal dunia karena ditabrak mobil. Ketika itu, Naruto berusia 12 tahun. Ia harus menghadapi kenyataan hidup bahwa harus menjadi piatu.
Di tengah keterpurukan, ada Inori dan Shu yang menghiburnya. Naruto tidak merasa kesepian karena keluarga Inori turut mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit lagi dari lautan kesedihan.
Kesedihan terusir dari hati Naruto. Kebahagiaan perlahan datang menyelimuti hatinya. Semua orang memperlakukannya dengan baik. Tiada yang membuatnya sedih lagi.
Sampai sebuah surat tiba di kotak pos rumah keluarga Inori. Inori yang menemukan surat itu lalu memberitahukannya kepada Naruto. Surat dari Namikaze Minato, yang membuat Naruto girang.
Antara senang, kecewa, dan benci, semua rasa bercampur aduk menjadi satu di jiwa Naruto. Ia menyambar pelan foto itu dari tangan Deidara.
"Foto yang sudah lama sekali. Ternyata Ayah masih menyimpannya sampai sekarang," ucap Naruto.
"Ya. Tuan besar selalu membawa foto itu di dompetnya, un. Jika sedih, beliau selalu menatap foto itu, un," sahut Deidara.
"Tapi, kenapa? Baru sekarang Ayah mencariku? Dia telah sukses di balik kesengsaraan keluarganya sendiri. Karena Ayah meninggalkan aku dan Ibu tanpa kabar, membuat kami terusir dari rumah sewa dan terpaksa pindah ke tempat lain. Hidup kami saat itu sangat sulit, Paman."
"Begitukah, un?" Mata Deidara berkaca-kaca, "Aku tidak tahu soal itu. Karena aku adalah security baru di sini, un. Mungkin aku bisa mengetahui cerita yang sebenarnya dari Komandan Jiraiya, un."
"Komandan Jiraiya? Siapa dia?"
"Kepala security di sini, un. Itu dia, un."
Deidara menunjuk ke pos jaga security. Tampak pria berambut putih panjang yang berpakaian security, tertidur pulas seraya duduk di kursi. Wajahnya tertutupi dengan majalah dewasa. Di sekitarnya, ada beberapa security yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Naruto ternganga. Deidara tersenyum.
"Baiklah, karena anda, Tuan Muda, baru tiba di sini, un. Mari, saya perkenalkan anda kepada anggota-anggota rumah ini, un."
Tanpa menunggu jawaban Naruto, Deidara menarik tangannya. Mereka pergi masuk ke rumah besar tersebut.
Setiba di ruang tamu yang sangat luas, mereka menemukan beberapa gadis muda berpakaian pelayan yang sedang bekerja. Ada yang menyapu, ada yang mengelap kaca, ada yang mengepel, dan berbagai kegiatan lain yang menarik hati untuk memperhatikannya.
Karena menyadari kedatangan Naruto dan Deidara, gadis-gadis itu berhenti bekerja. Mereka memandang lama ke arah Naruto.
"Siapa dia, Deidara?" tanya gadis berambut biru. Konan, si kepala pelayan.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
A/N:
Akhirnya saya bisa muncul lagi di sini setelah sekian lama hiatus.
Fic yang tiba-tiba didapatkan setelah mendengar lagu One Ok Rock yang berjudul Smiling Down. Dengan judul yang sama, saya akan berusaha menghadirkan kisah drama yang diselipi romance dan humor.
Inilah fic pengganti fic yang saya hapus dari fandom Naruto + Guilty Crown. Karena fic sebelumnya yang berjudul My Daughter From The Future telah saya adaptasi menjadi novel bergenre romance-fantasy dengan karakter baru dan alur yang sedikit diperbarui. Lalu sebentar lagi novel itu akan diterbitkan dalam bentuk versi buku cetak.
Jika ada di antara kalian yang ingin membeli novel My Daughter From The Future itu, kalian bisa langsung pesan dan pm saya langsung ya.
Saya akan melanjutkan fic ini jika ada waktu lagi.
Terima kasih.
