Aku memandang ke jalanan di luar mobil, melihat dengan penasaran karena aku nggak pernah ke daerah ini sebelumnya. Mungkin daerah ini masih termasuk daerah dalam kota, tapi aku nggak pernah melihat daerah ini, yang jelas, anginnya sejuk, dan aku suka banget.

Tapi nggak lama kemudian, rasanya tambah dingin. Kemudian, rintik-rintik hujan jatuh. Gerimis kecil. Dan nggak lama, mulai hujan. Aku langsung menutup jendela mobil sambil tergesa-gesa, sebelum bajuku basah semua.

Papa masih menyetir dengan serius, dengan sabuk pengaman terikat pada badannya. Dan aku sadar, aku belum memakai sabuk pengaman, segera saja aku memakainya.

"Hinata," ucap Papa pelan, dan aku spontan menoleh begitu mendengar namaku disebut. "Nanti baik-baik disana, ya." Papa hanya melirikku sedikit sambil tersenyum tipis sebelum ia fokus menyetir lagi. Aku cuma mengangguk dan bilang "Iya Pa," sambil membalas senyum Papa, dan melihat ke luar mobil lagi.

Aku menatap jalanan lagi, menghela nafas, dan menghembuskan nafas kecil di kaca jendela mobil sampai berembun. Jariku menyentuh embun, membentuk tanda titik, dan membuat tanda titiknya lagi di sebelah kanannya, kira-kira sekitar 3 cm dari titik pertama yang kubuat. Dan lalu jariku menggoreskan garis lengkung di bawah kedua titik itu yang melengkung ke atas. :(.

Nanti, aku pasti rindu banget, Papa… Rasanya seakan-akan aku nggak akan bertemu Papa lagi nantinya kalo Papa udah pergi ke Jerman…

###

Begitu kami sampai, hujan sudah berhenti.

"Ah, kami nggak nyangka kalau kalian bakalan sampai secepat ini!" Seorang gadis muda menyambut kami begitu kami tiba di sebuah rumah besar. Rumahnya sebagian terbuat dari kayu, dan sebagian lagi terbuat dari bata tanpa cat. Kelihatan klasik, aku suka! Aku pernah meminta Papa membelikan rumah kayak gini, tapi Papa nggak suka yang kayak gini. Hal klasik kayak begitu mengingatkan Papa tentang Mama yang sudah nggak ada. Yah, mungkin rasa sukaku pada hal-hal klasik itu karena aku memang anak Mama.

Seorang laki-laki keluar dari dalam rumah, dan dia tampan banget. Kayaknya sih usianya sudah 40-an, tapi aku berani bertaruh, kalian pasti langsung terpana begitu melihatnya. Karena dia, memang. Ganteng. Bangeeet—walaupun kelihatan tua.

Tapi lalu aku sadar, kayaknya aku pernah melihat mereka entah dimana. Rasanya nggak asing. Rasanya aku pernah bertemu dengan mereka. Atau hanya déjà vu saja?

"Hinata! Udah lama Om nggak lihat kamu! Tambah cantik aja! Haha!" ujarnya menggodaku, dan wajahku memerah karenanya. Tunggu. Benar 'kan dugaanku, aku pernah bertemu dengannya? Tapi… dimana?

"Haha, iya ya, Tante kalah nih! Ahaha, baru 6 bulan nggak ketemu, langsung secantik ini." ujar gadis muda yang tadi menyambut kami ketika sampai. Hah? Tante? Nggak salah? Kelihatannya muda banget! Oke, berarti aku salah. Tante—yang kelihatannya muda banget—itu istri dari Om—yang kelihatan tua tapi tampan banget—itu. Mereka suami istri. Tapi yang masih aku herankan, apa aku pernah bertemu dengan mereka di suatu tempat? Aku tahu aku memang pelupa, tapi tolong, jangan di saat seperti ini! Pasti sakit rasanya kalau orang yang kau kenal dengan akrab bertanya padamu, "Siapa?" setelah kau berbicara dengannya dengan aura yang begitu akrab. Oh Tuhan, tolong bantu aku mengingat, siapa mereka ini…

"Hinata? Kenapa? Nggak enak badan?" tanya Tante padaku, menyadarkanku dari lamunanku yang masih bingung dengan semua ini.

"Ah," aku langsung tersenyum, "nggak, Tante." ujarku pelan sambil menyalami Tante dan Om—dan aku sedang berusaha mengingat tentang mereka sekeras mungkin sampai-sampai aku merasa otakku akan pecah karenanya.

"Kiba emang nggak salah pilih cewek," ujar Om sambil tersenyum lebar. Apa? Kiba? Akhirnya aku ingat, senyum lebar Om memang mirip dengan senyum lebar Kiba. Dan… oh Tuhan, mereka adalah pasangan suami-istri Inuzuka! Aku sama sekali nggak menyadarinya tadi, karena terakhir kali kami bertemu itu sekitar 6 bulan yang lalu, pembagian raport kelas VIII. Dari kata-katanya, kayaknya Om tau tentang kami. Aw, nggak banget.

"Enak aja!" Sesosok anak cowok mengalihkan pandanganku. Dialah Kiba, Kiba Inuzuka. "Dad sembarangan!"

Om hanya menyeringai lebar, "Dad nggak salah, 'kan?"

"Hei, hei, apa maksudnya ini?" ujar Papa yang—pasti—kebingungan.

"Begini, anak kita—"

"Dad, jangan ngomong sembarangan!" teriak Kiba, memotong pembicaraan ayah kami.

"Ahaha! Menggoda anak-anak memang asik!" ujar Om, disusul dengan tawa Tante dan Papa. Entah sudah semerah apa wajahku sekarang mendengar ocehan mereka semua.

Aku memandang Kiba, wajahnya merah. Dia pasti malu—dan aku lebih malu darinya. Dia kayaknya sadar kalau aku memerhatikannya. Dia langsung berkata "Apa?" dan membuatku kaget. "Ng-nggak." jawabku pelan. Dan kami berdua langsung memalingkan muka kami masing-masing.

"Hinata," ujar Tante melambaikan tangannya, "sini, ikut Tante." Aku hanya menurut, mengikuti langkah Tante, memasuki rumah kediaman Inuzuka. Ya Tuhan, aku benar-benar sangat menyukai rumah ini. Ruang tamu, dengan interior klasik yang sangat membuatku nyaman. Setelah melewati ruang tamu, kami berdua melewati koridor yang sangat luas dan panjang dengan pot-pot antik yang menghiasi sekitar koridor dengan tanaman-tanaman ataupun bunga-bunga dalam pot yang sangat mewarnai koridor.

Tante membuka sebuah pintu, "Ini kamar Hinata," di dalamnya ada dua buah kasur yang ditata rapi, sebuah lemari buku yang tinggi banget, terisi penuh dengan buku-buku dan pigura-pigura dengan foto-foto di dalamnya. Setelah kuamati, itu semua foto-foto Kiba. Dan sebuah lemari pakaian yang besar banget menyendiri di pojok ruangan. Ah ya, ada juga setumpukan kaset-kaset games, beserta "Dan juga kamar Kiba." ujar Tante, meneruskan pembicaraannya yang kayaknya tadi sempat terhenti. Otomatis, aku tersedak air ludahku sendiri, terbatuk-batuk, berusaha mencerna kata-kata Tante.

"APA??!" teriak Kiba sebelum aku sempat berteriak, yang membuat batuk-batukku tambah parah karena aku terkejut.

"Aku sekamar sama dia??!" ujar Kiba sambil menunjukku, dan itulah yang tadinya ingin kulakukan. Yah, dia mendahuluiku melakukannya.

"Aku. Nggak. Mau!!!" Memangnya siapa yang mau? Asal dia tahu, aku. Juga. Nggak. Mau!

"Aku nggak sudi!!!" Hei, memangnya aku sudi sekamar dengan cowok yang terkenal dengan otak-mesum-nya?

"Kalau gitu, Kiba tidur di teras luar saja. Iya 'kan, Hinata?" Ya! Hatiku berteriak kegirangan, tapi tidak bagi mulutku, yang hanya terdiam.

"Aku? Dia saja!" Enak saja.

"Mau nggak mau, kalian berdua cuma punya tempat di kamar ini. Nggak ada kamar kosong. Kiba, Mom yakin kamu nggak akan apa-apain Hinata, 'kan?"

"Ya jelas nggak, lah!" teriak Kiba.

"Jadi, kalian setuju 'kan?"

Kami hanya terdiam. Cewek dan cowok yang sedang menginjak masa remaja dalam satu kamar?

"Iya, iya!" ujar Kiba pasrah. Aku terkejut dengan reaksi Kiba, dan menarik nafas panjang untuk mempersiapkan kata-kata yang ingin aku ucapkan pada Tante. Tapi kemudian, Kiba menahanku dan berbisik pelan, "Sst." Secara nggak sadar, aku membatalkan niatku membicarakan tentang ini sekali lagi kepada Tante.

"Kalau begitu, Hinata, Kiba, kita semua antar ayah Hinata pergi." Tante tersenyum lembut. Ah, iya…

###

"Kalau begitu, aku pergi. Hinata, baik-baik ya." ujar Papa mengelus rambutku pelan, dan segera memasuki mobil. Pesawat yang akan membawa Papa ke Jerman akan berangkat 1 jam lagi. Dan selama Papa berada di Jerman, aku dititipkan di keluarga Inuzuka ini.

"Hati-hati! Jaga diri baik-baik!" ujar keluarga Inuzuka dengan nyaring, Papa hanya membalas dengan senyum. Dan kemudian, mobil Papa dan Papa sudah menjauh, tak terlihat lagi. Papa pergi, ke Jerman. Aku tahu, Papa akan kembali, tapi itu memakan waktu yang lama banget. Dan aku merasa kalau aku nggak akan bertemu Papa lagi. Dan semoga, itu hanya perasaanku saja.

###

"Kiba," panggilku pelan sambil membalik halaman novel yang sedang kubaca.

"Hah?" sahut Kiba, dengan mulut yang sedang mengunyah keripik kentang, sambil memainkan video game.

"Kenapa tadi kamu nurut aja ke Tante? Kita sekamar? Kalau temen-temen sekelas tahu, pasti—"

"Kamu mau tidur di teras luar?" tanya Kiba, memotong ucapanku.

"Ya nggak lah!" sahutku, memalingkan perhatianku dari novel I'd Tell You I Love You, But Then I'd Have To Kill You karangan Ally Carter. Novel ini sangat-sangat menarik, coba saja baca.

"Makanya," Kiba mengambil keripik kentang dan memasukkan ke mulutnya, "aku juga nggak mau."

"Tapi—"

"Udahlah, ini demi kita juga." Kiba memotong ucapanku, lagi. "Tenang aja, aku nggak akan macem-macem sama kamu." Dia memang baik. "Aku nggak ada minat sama kamu." Dan juga brengsek.

"Siapa juga yang minat sama kamu!" teriakku kesal, melanjutkan membaca novel.


Catatan Pengarang.

Hahaha, akhirnya saya benerin juga fic ini. Saya coba yang 'beda' dari The Nightmare yang dulu. Dan semoga readers seneng yaaah. :)
Chapter 2-nya kayaknya bakalan agak lama. Tapi saya usahain secepet mungkin yang saya bisa, selama sekarang masih liburan, ehehe. Kalo udah masuk sekolah, jangan tanya soal update-nya, saya nggak yakin. Terima kasih.

Hadiah spesial, khusus buat seseorang yang jadi Kiba dalam fic ini. Demi kenangan-kenangan yang nggak ingin saya lupain, selamanya. Terima kasih buat semua yang kamu kasih buat saya selama ini, saya sayang banget sama kamu.