Simple Things
A Tokyo Ghoul Fanfiction © 2015
Story by Titania aka 16choco25
It's dedicated to Shuben-chan, thanks for give me some spirit to continue writing fanfiction. And when I know that you are a big fans of Tokyo Ghoul, i was thinking to make this simple fic. Saya hanya mengambil beberapa hint dari animenya dan mengembangkannya menjadi cerita tersendiri. Fic ini dibuat hanya untuk kesenangan semata dan bukan mengambil keuntungan tertentu.
Cast :
Kaneki Ken
Kirishima Touka
.
.
1.
Buku itu selalu menarik perhatian Touka. Buku karangan Takatsuki Sen, dan buku-buku sejenis itu selalu dibaca oleh orang yang sama. Orang itu, lelaki berambut hitam dengan secangkir kopi di mejanya. Beberapa kali Touka sering melihat orang itu di Anteiku. Dan kali ini ia datang bersama seorang lelaki berambut kuning dengan headphone merah yang melingkar di lehernya, tidak sendirian seperti biasanya. Touka menghela napas dan menghampiri meja lelaki itu sambil membawa menu. Wajah lelaki itu agak kaget ketika melihatnya menghampiri meja itu.
"Mau pesan apa?" tanyanya dengan nada yang dibuat seramah mungkin.
Teman lelaki itu mengangkat tangannya. "Cappuccino satu," katanya penuh semangat. "Kaneki, kau pesan apa?" tanyanya sambil memandang lelaki itu antusias. Touka menatap lelaki itu. Ah, jadi namanya Kaneki. Jadi namanya Kaneki, Touka mengulang-ulang kata-kata itu. Entah mengapa, tapi Touka suka namanya. Touka mencatat pesanan lelaki berambut kuning itu sambil mengulang pesanannya. "Satu cappuccino."
"Aku belum menentukan pesanan..."
Baru kali ini Touka mendengar lelaki itu bicara. Biasanya saat datang sendirian ke Anteiku, lelaki bernama Kaneki itu lebih banyak diam dan lebih memilih untuk membaca buku-bukunya dibandingkan mengobrol dengan para pelayan atau menonton televisi yang terpasang di Anteiku. Lelaki berambut kuning di hadapannya langsung melonjak. "Jadi, jadi? Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.
Touka terperangah sejenak dan lelaki berambut hitam itu membentaknya, "Hide!"
Touka merapatkan bahunya gugup, dengan semburat merah samar di wajahnya. "Ki-kirishima Touka."
Lelaki berambut kuning di hadapannya langsung melonjak lagi. "Touka-san! Apa kau sudah punya kekasih?" teriaknya dengan wajah tidak bersalah sehingga seluruh pengunjung Anteiku menoleh semua ke meja mereka dengan wajah kaget dan wajah lelaki berambut hitam itu—Kaneki langsung memerah dan ikut berdiri dan membentak lelaki berambut kuning itu lagi—kali ini dengan intonasi lebih keras, "Hentikan, bodoh!"
"Hm, manisnya," kata Hide tidak peduli, masih memerhatikan Touka dari sudut matanya.
Dan Touka melihat lagi dari sudut meja bartender, lelaki berambut hitam itu menatap seorang gadis berambut panjang ungu dengan kacamata yang sedang berjalan menuju meja di dekat jendela dengan wajah memerah. Mereka saling melemparkan senyum. Touka kenal gadis itu. Dan kelihatannya Kaneki menyukai gadis itu, dan mereka membuat kesepakatan kencan di Anteiku, di depan matanya.
Ghoul yang dianggap pembuat onar, Rize. Semuanya berawal dari dia.
Kaneki tidak tahu bahwa gadis berambut biru keunguan itu menatapnya dengan jeri saat ia bercengkrama dengan Rize, dengan kelakar tawa dan tatapan yang bertabrakkan satu sama lain.
Touka tidak tahu apa yang ia rasakan.
2.
"Dan lagi, hanya sebelah matamu yang berwarna merah..." Mata gadis itu tiba-tiba membesar, teringat sesuatu. "Kau yang pernah bersama Rize saat itu. Kenapa kau tidak makan? Lalu... matamu..." Touka tidak tega untuk melanjutkan dan menatap lelaki itu, yang kini benar-benar terlihat lemah, tersungkur di hadapannya, dengan air mata yang menggenang. Sebenarnya apa yang terjadi? Touka tidak percaya sama sekali dengan yang dilihatnya. Ia datang kesini untuk mengambil daging mayat, namun tiba-tiba ia kembali bertemu dengan lelaki itu. Dan sebelah matanya, mata itu adalah mata ghoul.
Kenapa?
Betapa bodohnya ia. Kaneki yang di matanya terlihat sangat lemah. Tubuh lelaki itu rapuh, seakan-akan mudah jatuhnya hanya dengan sekali tiup. Lelaki itu tertunduk dan masih menutupi wajahnya yang dipenuhi dengan air mata seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Ingin rasanya ia menarik tubuh Kaneki untuk berdiri, namun ia tidak akan pernah membiarkan seorang lelaki berhenti menangis dengan suruhan seorang wanita. Jika mereka jantan, harusnya mereka berusaha bangkit sendiri. Ia menundukkan kepalanya.
"Tolong aku..."
Suara serak itu membuatnya sedikit tergerak. Suara itu, yang jelas-jelas hanya ditujukan untuknya. Kaneki yang kini terlihat sangat panik dan memerlukan pertolongan, lelaki yang biasanya begitu terlihat tenang di Anteiku dan menyibukkan diri dengan bacaan-bacaan bodohnya, kini hanya terlihat seperti lelaki lemah yang tidak berdaya. Kaneki menjambak rambut hitamnya dengan masih membutuhkan waktu untuk berpikir jernih dan ia kembali menatap Kaneki serius, mendengarkan seluruh hal yang akan dikatakan lelaki itu.
Mungkin bila ia Tuhan ia bisa mengubah seluruh takdir buruk yang menghampiri hidupnya. Namun baginya mustahil melakukan hal itu.
"Mungkin kau tidak percaya... Tapi aku ini manusia. Tapi..." Tangan kanan lelaki itu tergerak untuk meraih daging mayat yang ada di tangan Touka, sementara tangan kirinya berusaha keras menahan tangan kanannya untuk meraih daging mayat itu. "Aku ingin memakannya... Aku sangat ingin memakannya..." Ia terjengkang, kembali mengusahakan agar tangannya tidak meraih daging mayat di tangan Touka itu. Kaneki menarik napasnya, terengah-engah ia melanjutkan dengan marah, air mata masih terus berjatuhan ke wajahnya.
Tidak ada lagi tempat untuknya.
"Tapi... kalau kumakan... aku bukan lagi manusia!" teriaknya sambil menangis kuat. Dadanya merasa sakit setelah mengetahui banyak kenyataan dalam hidupnya yang tidak bersahabat dengannya, mulai dari kematian orang tuanya, ayahnya, ibunya, hingga kematian Rize dan kenyataan bahwa ia telah menjadi manusia setengah ghoul. Ia marah pada dirinya sendiri. Ia kembali menyalahkan dirinya sendiri, seakan-akan ia hanya seperti objek kambing hitam atas semua peristiwa yang terjadi.
Transplantasi organ itu telah menghancurkan hidupnya, hidupnya sebagai manusia.
Touka menyipitkan matanya, tidak peduli. "Kalau kau sampai menderita seperti itu," dia mengulurkan sepotong daging mayat yang ada di tangannya. "Makan saja," katanya, namun yang terjadi adalah Kaneki yang masih terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Touka tahu bagaimana perasaan Kaneki saat ini. Bingung, tidak tahu harus melakukan apa, khawatir, dan ketakutan yang berkumpul menjadi satu. Lelaki itu nyaris mengambil daging itu dan Touka menyipitkan matanya lagi saat melihat lelaki itu kembali menahan tangannya untuk tidak meraih daging itu. Kaneki mengertakkan giginya kuat-kuat dan meraih daging di tangannya dengan cepat disertai tangis keras.
"Tidak!" Lelaki itu menelungkupkan wajahnya ke arah tanah dan menangis sekeras-kerasnya, dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak! Tidak! Tidak! Tidak!" teriaknya keras, tangisnya meluap. Napas Kaneki terengah-engah, ia lelah. Lelah dengan seluruh permainan ini. Touka masih diam saja, mendengarkan. Ia tahu rasanya sangat sulit bagi Kaneki untuk menerima kenyataan seperti ini. "Tidak mungkin aku bisa memakannya, bukan? Apa ini? Apa gunanya menjadi ghoul? Membunuh orang lain... saling membunuh... Aku tidak seperti itu! Aku ini... manusia!" teriaknya marah.
Semua yang dimakannya rasanya menjijikan. Daging itu malah menjadi terlihat lezat. Apa ada yang salah dengan indera pengecapnya?
Ia telah menjadi manusia setengah ghoul, sialan.
Touka hanya menghela napasnya. "Hh, dasar bodoh." Ia benci sudut pandang seperti itu. Baginya seseorang bebas berpendapat apa saja tentang ghoul. Namun ia benci sudut pandang dari pandangan orang seperti Kaneki yang berpendapat bahwa ghoul hanya bisa saling bunuh dan membunuh orang lain. Touka marah, ia hanya ingin mematahkan anggapan Kaneki mengenai hal itu. "Kenapa kau tidak menyerah saja?" tanyanya, sambil memunggungi Kaneki yang masih menangis.
Dan jejalan daging dengan darah segar itu memasuki mulut Kaneki dengan kasarnya, disertai wajah dingin gadis itu yang menatapnya jeri.
Kini mereka tidak memiliki perbedaan.
3.
Touka, yang datang menyelamatkannya dan Hide saat Nishiki menghajarnya. Begitu ia melihat Hide yang terbaring di kasur dengan seluruh badan dililit perban, ia tahu Touka yang melakukannya. Ia begitu khawatir akan keadaan orang lain walau tidak menunjukkan hal itu. Sekali pandang, Kaneki tahu Touka gadis yang manis namun ternyata ia memiliki banyak sikap yang cukup berlawanan dengan wajah manisnya. Keras kepala, sedikit mengerikan, dan dingin. Seperti saat ini, ketika Kaneki ingin memesan topeng untuk dirinya sendiri.
Touka yang akan menemaninya, atas perminataan manajer Anteiku. Saat itu juga, gadis itu langsung berubah menjadi sosok dengan aura mengerikan. "Hei, penutup mata. Besok, di depan stasiun kereta, jam setengah tiga. Kalau terlambat..."
Gadis itu melebarkan pupil matanya.
"...akan kubunuh kau."
Kaneki menelan ludahnya takut. "Ba-baik!"
.
Mereka memasuki sebuah distro yang terlihat agak kumuh. Di dalamnya dipenuhi mannequin dengan puluhan topeng yang ada di bagian wajahnya. Setelah bertemu dengan Uta, sang pemilik distro, Kaneki membiarkan wajahnya diukur terlebih dahulu untuk menentukan seperti apa topengnya nanti. Di sela-sela proses pengukuran lingkar kepala yang cukup menyebalkan, Uta sedikit bertanya-tanya tentang dirinya, tentang alerginya, bahkan tentang kekasihnya.
"Bagaimana dengan Touka-san?"
"A-ah. Ia agak sedikit... menakutkan," jawab Kaneki dengan jujurnya.
Uta mengangkat sebelah alisnya heran. "Menakutkan? Menurutku dia sosok pekerja keras. Bagi kita yang menyusup dalam dunia manusia, di wajah kita harus selalu terpasang topeng, dan bila ketahuan, habislah sudah. Tapi Touka berbeda. Di Anteiku, maupun di sekolahnya. Ia hidup dengan menantang seluruh bahaya itu."
Kaneki terdiam.
Bagi Kaneki, kini Touka terlihat luar biasa, sementara ia terlihat seperti bukan siapa-siapa. Ada perasaan aneh yang menyergap dadanya. Selama ini ia hidup sambil mengenakan topeng. Tidak menjadi dirinya sendiri, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ia bukanlah ghoul, dan lain-lain. Selama ini ia terombang-ambing dalam kebingungan yang terlihat monoton. Bukan secara pikiran, namun juga perasaan. Namun kini ia akan mencopot topeng lamanya itu, dan menunjukkan dirinya sendiri. Dirinya yang baru.
Dialah ghoul.
"Touka-chan."
Gadis itu menoleh. "Kaneki. Jika kau ingin diterima orang lain, kau harus bisa menerima dirimu sendiri terlebih dahulu," katanya sarkastis dan Kaneki langsung terdiam.
Gadis itu benar.
4.
Touka sakit. Dan Kaneki merasa perlu untuk menjenguknya, namun ia merasa sangat ingin membantu Touka saat ini. Malam itu, saat gadis berambut pendek biru keunguan itu terbangun, ia melihat Kaneki yang dengan polosnya tertidur di sudut ruang tamu, dengan lap di tangannya, dan ketika Touka mengarahkan seluruh pandangannya ke beberapa sudut ruang tamunya, kini seluruhnya rapi. Majalah-majalah yang berserakkan telah tertata rapi. Sudut vas bunga yang berdebu sudah bersih.
Lelaki itu telah membersihkan seluruh isi rumahnya seharian.
Touka berjongkok, memakaikan selimut pada Kaneki dan menarik selimut itu hingga batas dadanya. Touka menatap lelaki itu serius. Baru kali ini ia menatap Kaneki dari jarak dekat dan entah mengapa rasanya jantungnya berdebar begitu cepat. Ia tersenyum kecil. "Terima kasih," bisik gadis berambut biru keunguan itu. Touka tersenyum lagi. Seluruhnya rapi, khas lelaki itu.
5.
Kelinci.
Kenapa Touka memilih kelinci sebagai penggambaran sifatnya? Kenapa Touka memilih kelinci sebagai topengnya?
Beberapa pertanyaan sederhana yang berkecamuk dalam otak Kaneki ketika melihat gadis itu. Mereka kini berada di kolam renang umum yang terlihat sangat sepi, dan Kaneki kembali melihat gadis berambut pendek itu, dengan baju renangnya dan handuk kelinci. Ah, lagi-lagi kelinci. Touka menggembungkan pipinya. "Kenapa kau mengajakku ke kolam renang pada hari liburku? Padahal kukira kau akan mengajakku ke toko buku. Kau 'kan suka membaca buku-buku aneh," sindir Touka dingin dan Kaneki menoleh heran.
"Apa masalahnya? Lagipula kau sendiri. Mengapa kau mengenakan baju renang sekolah? Apa kau tidak punya baju renang lain?"
Mereka memilih duduk di pinggir kolam renang. Touka mengeluarkan termos berisi kopi dari tasnya dan muali menyeduh kopi di dalam gelas kecil.
"Ha-habis... masalahnya..." Touka memalingkan wajahnya malu. "Bodoh! Sudahlah, kau jangan banyak tanya. Lagipula aku malas berenang. Kau saja," gadis berambut pendek itu mengarahkan dagunya ke arah kolam renang. "Lagipula berenang di kolam renang yang bahkan terlihat sepi begini... aku tidak mau." Kaneki menatap lekat Touka yang sedang memutar-mutarkan sendok yang mengaduk kopi dalam cangkir gemuk yang berada tepat di hadapannya. Kaneki mengambil beberapa kubus gula padat dari kantung plastik di dalam tasnya dan mencemplungkannya ke dalam larutan pekat kopi di hadapannya.
Gula itu sedikit demi sedikit mulai membentuk rekahan.
"Touka-chan."
"Hm?" Gadis itu menoleh.
Kaneki hanya terdiam. Setelah salah satu anggota CCG yang membunuh ibu Hinami mati, ia begitu ragu setiap kali ingin memulai percakapan dengan Touka yang nampak syok semenjak kematian ibu Hinami. Begitu melihat sorot mata gadis itu yang nampak kesepian, sorot matanya yang terlihat kuat menghadapi banyak hal, dan melihat punggungnya dengan kakuja sayap dari belakang, gadis itu terlihat tegar. Kaneki tidak akan sanggup sepertinya. Seperti dia yang kuat menghadapi ribuan masalah yang mendera otaknya setiap hari.
Yang ia inginkan hanya satu, interaksi antara dia, si bodoh, dan dia, wanita keras kepala.
Tapi akhirnya Kaneki memberanikan diri untuk bicara juga.
"Kenapa kau suka kelinci?"
Gula di gelas kopi itu perlahan hancur dengan sendirinya.
.
"Neechan! Neechan!"
Touka membuka mata, dan melihat sosok adik kecilnya itu melambai-lambaikan tangannya, sosok kecil Ayato yang nampak gembira seperti baru saja mendapatkan mainan baru. Dan Touka bisa melihat adiknya itu kini memegang seekor kelinci butih yang ukurannya sedikit kecil. Mata Touka membesar dengan sendirinya. "Lucu sekali! Ayato, darimana kau mendapatkan kelinci ini?" Tangan mungilnya mengelus-elus bulu lembut kelinci itu. Ayato melepaskan kelinci itu dari tangannya dan mereka berdua tertawa saat melihat kelinci itu melompat-lompat masuk ke dalam rumah.
Ayato tersenyum. "Aku menemukannya di bawah ayunan taman. Bagaimana kalau kita pelihara?"
Touka mengangguk-angguk lucu, dan matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. "Boleh! Boleh!" Ia merangkul pundak Ayato riang. "Siapa ya, namanya? Hei, Ayato, kelinci itu laki-laki atau perempuan?" tanyanya polos. Mulut Ayato menganga. Ia juga bingung, dan mengamati kelinci putih yang sedang melompat-lompat itu dengan teliti. Ia tidak tahu, tapi untuk memuaskan kakaknya, ia berusaha menjawab sebisanya.
"Hm, mungkin perempuan. Karena ia terlihat cantik seperti Neechan!" katanya bersemangat. "Ah, aku tahu! Kenapa kelinci ini tidak kita namakan Touka saja? Bagaimana, Neechan? Kau setuju?" tanyanya, dan begitu melihat anggukan kecil dari kepala Touka, Ayato tersenyum dan Touka mengelus-elus kepala adiknya itu. Kelinci itu masih melompat-lompat, dan Touka menatap kelinci itu serius, dan tiba-tiba matanya membesar, tanda ia mendapatkan sebuah ide. Ia menoleh ke arah Ayato.
"Hei, Ayato, ayo kita berlomba! Siapa yang bisa mengejar kelinci itu, dia mendapat jatah makan malam dua kali lipat lebih banyak dari biasanya! Ayo, Ayato!"
"Oneechan! Tunggu aku!"
.
"Untuk detik itulah, aku mulai mengerti apa artinya keluarga."
Kaneki menatap Touka sambil tersenyum kecil. Ia tahu persis apa yang dirasakan oleh Touka selama ini. Touka sama sepertinya, yang begitu mensyukuri kehadiran keluarga, sejarang apapun kemunculan mereka di dalam kehidupan mereka, namun Kaneki tetap merasa bersyukur ia telah merasakan kasih sayang salah seorang bagian keluarganya sebelum dia meninggal. Ya, kadang merasakan sedikit kasih sayang sebelum orang yang ia sayang itu meninggal dunia merupakan kenangan berharga baginya.
Ibunya.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan, Touka-chan."
Gadis itu melebarkan manik matanya mendengar Kaneki menyelanya. "Eh?"
"Aku sama sepertimu."
6.
Monokrom Pelangi.
Buku karangan Takatsuki Sen itu selalu mengingatkan Kaneki pada Hinami. Hinami kecil, yang juga sudah kehilangan ibunya di usia belia, yang sama sepertinya. Menanyakan arti huruf kanji pada orang yang lebih dewasa darinya, tersenyum dan mengucapkan terima kasih, dan mencatat huruf kanji itu beserta artinya di sebuah buku. Semua itu mengingatkan Kaneki tentang kenangannya, kenangannya dahulu sekali, saat ia masih melihat wanita berkacamata dengan rambut yang terikat ke samping tersenyum padanya, memanggil namanya, dan memanjakannya.
.
"Ibu, huruf ini dibaca apa?"
"Ah, ini dibaca..."
Sosok kecil itu, Kaneki Ken kecil, yang begitu lugu, semenjak kematian ayahnya, yang meninggalkan ruang baca berisi puluhan buku yang tersusun rapi di rak-rak buku, dan rasa penasaran Kaneki yang begitu luar biasa saat mengacak-acak dan membaca koleksi buku ayahnya dengan antusias, mendorong ibunya untuk menjelaskan beberapa arti dari huruf kanji yang ditanyakan Kaneki. Kaneki dengan cepat menyerap ilmu-ilmu baru yang didapatkannya. Ia menuliskan huruf kanji itu dalam buku kosong beserta artinya dengan tekun.
Ibunya, yang memandanginya sambil menumpangkan dagu di telapak tangannya, tersenyum.
"Kau memang pandai, Ken. Ibu bangga padamu."
Terkadang ibunya berangkat bekerja dan meninggalkannya sendiri di rumah. Kaneki terpaksa harus kembali bermain dengan kesendirian yang meluap dalam dirinya, bersama puluhan buku-buku tanpa mainan sedikitpun karena ibunya tidak mampu membelikannya mainan. Uang yang berasal dari jerih payah ibunya seluruhnya habis untuk kebutuhan sehari-hari, disertai kakak ibunya yang terkadang meminjam uang pada ibunya. Dan bahkan uang yang dipinjam kakak ibunya itu banyak, tidak sedikit. Ibunya memberikan uang tanpa berpikir uang itu akan diganti atau tidak.
Terkadang ada rasa marah dalam diri Kaneki ketika melihat ibunya kelelahan bekerja demi kakak ibunya itu. Ia ingin melakukan sesuatu, namun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Melihat ibunya pingsan saat menyapu ruangan. Melihat ibunya tertidur di sofa. Melihat ibunya terkadang memijit-mijit keningnya. Melihat ibunya berkali-kali mengonsumsi obat secara rutin. Melihat ibunya berkali-kali mengeluh pusing. Ia muak dan ingin rasanya memarahi kakak ibunya itu.
Begitu ibunya menggeliat saat ia menyelimuti ibunya yang tertidur di sofa itu dengan jaket, Kaneki terkesiap. "I-ibu... kau tidak apa-apa?" tanyanya serius. Wajah itu pucat. Bibir itu tidak berwarna merah, melainkan putih. Ibunya menatapnya dan tersenyum seakan berkata 'aku baik-baik saja'. Dan tatapan itu seakan menenangkan Kaneki yang baru saja dilanda rasa khawatir yang berlebihan. Sorot mata itu menenangkannya.
"Ibu tidak apa-apa," jawabnya singkat. "Hanya sedikit lelah."
"Sudah minum obat?"
Ibunya mengangguk. Kaneki menghela napas lega.
"Ken," panggil ibunya pelan.
Ia langsung menoleh. "Ibu perlu sesuatu? Akan kuambilkan."
Kaneki segera berbalik dan tangan mungil ibunya memegang bajunya. Ia menoleh dan melihat gelengan kecil dari kepala ibunya. Ibunya menarik napas panjang dan menggenggam tangan Kaneki erat-erat, seakan mereka akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Kaneki terdiam. Langkahnya terhenti dan menatap ibunya yang terbaring lemah dengan air mata yang menggenang. Ia tidak menangis. Ia hanya kesal. Marah.
"Dengar, Ken. Manusia akan layu jika mereka terus sendirian." Ibunya tersenyum, dan giliran Kaneki yang terdiam. Ia menundukkan kepalanya. "Obat yang dapat menyembuhkannya adalah mencari orang lain. Ibu harap kau menemukan orang yang tepat... suatu saat nanti. Orang yang akan ada selalu di sisimu, orang yang bisa... menghilangkan rasa sakit... dan membuatmu merasa cukup akan rasa sakit..."
"Tapi... tapi..." Kaneki meremas tangannya kuat-kuat, hingga semburat merah terlihat jelas di tangannya. "Orang itu hanya Ibu. Hanya Ibu. Oleh karena itu..." Kata-katanya terputus, "Ibu hanya harus berjanji akan selalu ada di sampingku!" teriaknya marah dengan napas terengah-engah. Ibunya hanya tersenyum dengan lemah.
"Ibu berjanji."
.
Orang yang tepat, suatu saat nanti. Orang yang akan ada selalu di sisimu, orang yang bisa menghilangkan dan membuatmu merasa cukup akan rasa sakit. Kaneki tersenyum, dan menatap gadis berambut biru keunguan di hadapannya yang menyimak ceritanya penuh perhatian. Apa dia orangnya?
7.
Ada perasaan aneh yang membuat Kaneki sedikit menyesal telah melawan Ayato—mengingat kemarahannya karena Touka, Touka yang terluka karena serangan adiknya sendiri. Tapi Touka ada di pihak yang dilindunginya. Biar bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan Ayato terus menerus menyerang Touka. Menggigit kagune-nya, membuat gadis itu semakin terdesak dalam keadaan lemah. Namun Kaneki tahu hingga kapanpun ia tidak bisa membunuh Ayato, semarah-marahnya dia. Karena ia adalah adik dari gadis yang sangat disayanginya.
Kini ialah yang harus melindungi Touka.
.
"Aku tidak akan kembali ke Anteiku."
"Eh?" Mata Touka membesar.
"Aku... akan ke Aogiri."
Touka tahu ia tidak akan sanggup meraih punggung tegap itu. Percuma saja meminta Kaneki kembali, nyatanya tekad lelaki itu sekuat baja yang bahkan bisa mematahkan tubuh ghoul. Lelaki itu keras kepala, sama seperti dirinya. Percuma, orang keras kepala yang berhadapan dengan orang dingin tanpa perasaan tidak akan bisa bersama.
Lelaki itu telah berubah. Dulu, dulu sekali, Kaneki masih sangat cengeng.
Kini, ia berubah menjadi sosok yang bisa berdiri tegak sendiri dengan kedua kakinya.
Kaneki telah meninggalkan Anteiku—juga dirinya.
.
Keputusan itu memang sangat berat. Namun Kaneki memilih melakukannya untuk menyelamatkan banyak orang. Touka, Nishiki, dan orang-orang lain yang ia sayangi. Kaneki tidak mau hal yang sama terulang kembali. Ketika ia kembali kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Ketika ia merasa kesakitan ketika melihat orang yang ia sayangi meninggalkannya. Cukup, persetan dengan rasa sakit.
Ia yang akan menjadi kuat, ia yang akan membiarkan dirinya terluka karena melindungi Touka. Sudah cukup Touka melindunginya dulu, saat penyerangan Tsukiyama dan Nishiki, dan banyak hal yang Touka lakukan hanya untuk menyelamatkannya. Mau dikemanakan harga dirinya sebagai laki-laki jika ia masih membiarkan seorang wanita melindunginya?
"Kini, biarkan aku yang melindungimu dengan kekuatanku."
Touka menatapnya marah.
"Kau tidak berhak melindungi kami. Kami juga tidak membutuhkan perlindunganmu," katanya tegas. "Kau berpura-pura memikirkan tentang orang lain, padahal yang kau pikirkan hanya dirimu sendiri."
Kaneki meremas tangannya. "Selama kau tidak sendirian, aku tidak mempermasalahkannya," ujarnya, tanpa menatap Touka sedikitpun. Gadis itu menggertakkan giginya kesal. Ia tidak tahan lagi. Kaneki berubah. Benar-benar berubah. Derap kakinya menghampiri lelaki itu dengan kesal. Dan kepalan tinju itu berhasil ditahan. Touka marah. Ia marah karena Kaneki baginya kini seperti orang lain.
"Kau kira kau bisa menjadi hebat, seperti pahlawan yang menyedihkan?!" bentaknya sambil terus-menerus menyerang Kaneki dengan tendangan. Kaneki dengan cepat menghindari tendangan-tendangan itu. "Tidak mungkin orang yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri... bisa melindungi orang lain, 'kan?! Jangan pernah kembali ke Anteiku!" teriak Touka marah, dan tinjuan terakhirnya berhasil membuat Kaneki tersungkur.
Ia bukan pahlawan dalam novel. Sampai kapanpun ia akan menekankan dirinya sendiri tentang hal itu.
Dia berubah, dan Touka menyadarinya.
.
Tinju kecil itu mengarah ke arah dagunya yang terbaring, dan gadis berambut biru keunguan itu menatapnya. Putus asa. Tinjunya tertahan tepat di depan wajah lelaki berambut putih di hadapannya. Tangannya gemetar luar biasa. Ia tidak bisa menyerang Kaneki lagi. Tidak akan pernah bisa. Ia tidak pernah mau membiarkan Kaneki terluka lagi.
"Kenapa?!" teriaknya marah.
Hening.
Badan itu bergetar dengan hebat. "Kenapa..."
Kaneki diam, tidak menjawab. Touka menatapnya, dengan pandangan lelah. "Kenapa kau jadi seperti ini?"
Gadis itu bangkit, meninggalkannya, dan Kaneki memegang lebam hasil tinjuan Touka yang masih membekas di dagunya. Pertanyaan Touka tadi, sampai kapanpun ia tidak akan menjawabnya sebelum tepat waktunya. Ia harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan hal ini. Dan ia sedikit tersenyum. "Kenapa... ya?"
.
.
To be continued.
