Naruto © Kishimoto Masashi
Genre: Romance - Angst
Warning: AU, OOC
(1)
The Day We Met
Hinata masih betah menatap bulan yang menggantung tenang di antara gelapnya langit malam. Bulan tampak sendiri, awan mendung menghalangi bintang-bintang untuk menemaninya. Dalam kesunyian malam yang merajam, gadis itu membiarkan jendela kamarnya terbuka, sepenuh hati menerima cahaya keperakan dari sang dewi malam. Bulan tak perlu merasa kesepian karena Hinata menemaninya. Menemani benda langit dengan sinar temaram tersebut hingga pagi menjelang.
Gadis yang sedang termenung itu memeluk tubuhnya, berharap bisa lebih baik dengan sedikit kehangatan yang tercipta. Lebih baik? Bahkan keadaannya semakin lama makin memburuk. Hatinya yang tidak tenang membuat perasaannya gundah. Dia hanya mau tak ada lagi yang lebih buruk dari ini.
Sudah sekitar dua puluh menit yang lalu Hinata berhenti menangis. Hanya dengan cara itulah dirinya bisa melepas sesak, menghilangkan rasa sakit yang selama beberapa hari belakangan menghimpit dadanya. Mungkin air matanya telah habis hingga sekarang tidak bisa keluar lagi. Sejak tadi bibirnya terus menggumamkan sesuatu tentang harapannya yang sangat jauh dari kenyataan. Berharap dengan sepenuh hati bahwa mantra ini akan membuat permohonannya terkabul.
Hinata benar-benar tidak siap menghadapi apa yang akan terjadi. Keteguhan hatinya seakan menguap begitu saja. Seandainya orang itu adalah dirinya.
.
.
o::~**:oOo:**~::o
.
.
Seekor tanuki milik kerajaan lepas dari kandangnya. Kaisar sangat menyayangi hewan itu, makhluk yang telah beranak pinak hingga menghasilkan keturunan entah ke-berapa untuk generasi ini. Mitos menyebutkan bahwa hewan berbulu tersebut menyimpan aura mistis. Kerajaan mungkin saja akan mengalami kemerosotan jika tanuki itu hilang atau mati tanpa sebab.
Alasan itulah yang membuat pemuda ini berkeliaran di tengah hutan. Mencari hewan yang menurutnya sangat merepotkan atau jika tidak maka dirinya sendiri yang akan menerima akibatnya. Di jantung hutan yang lebat dia tidak menemukan apapun, maka diubahlah tempat pencarian ke daerah tepi di mana masyarakat bisa menjangkaunya.
Di antara semak belukar tampak sesosok anjing rakun berbulu coklat terang dengan belang berwarna hitam pada bagian ekor. Perlahan tapi pasti, Gaara mendekatinya. Sial, makhluk menggemaskan itu merasakan kehadirannya. Sebagai hewan yang memiliki insting bahwa nyawanya terancam, tanuki tersebut bergegas pergi. Larinya yang gesit membuat Gaara kewalahan.
Pemuda berambut merah itu memutuskan untuk memasang jebakan saat tiba di tepi sebuah telaga kecil. Menunggu beberapa saat dan akhirnya tanuki yang sedang diincarnya melintas tak seberapa jauh dari jarak pandangnya. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada, Gaara berlari secepat mungkin hingga rakun kecil itu berhasil tertangkap. Sayup-sayup terdengar suara derap langkah beberapa orang, tapi Gaara memutuskan untuk mengikat kaki-kaki hewan tersebut sebelum melesat kabur untuk kesekian kalinya.
Dari balik rerimbunan pohon terlihat tiga orang wanita yang bergerak perlahan menuju tepi telaga. Salah satunya berjalan di depan dengan langkah menuju semak yang sebelumnya telah dipasang perangkap. Gaara sadar akan bahaya yang mengincar salah satu gadis di sana dan dengan sigap berlari untuk menghindari hal buruk yang mungkin saja terjadi. Dia berteriak. Namun sepertinya terlambat karena seseorang di sana telah menginjak sensor di mana jebakan itu bekerja.
Gaara mengeluarkan sejenis benda tajam dari dalam pakaiannya untuk memutus tali penghubung yang nantinya bisa menjatuhkan jaring dari atas. Satu-satunya yang bisa dilakukan Gaara adalah menarik lengan gadis itu, secara refleks mendekapnya untuk menjauhkannya dari bahaya. Seonggok kayu muncul dari bawah, memungkinkan siapa saja terpelanting jika benda itu terinjak. Namun semua yang berada di sana bisa bernapas lega karena tak ada satu pun yang terluka.
Gadis berambut panjang yang hampir celaka itu butuh jeda sejenak untuk mencerna semua yang terjadi secara tiba-tiba. Dia menarik diri, melihat seseorang yang telah menolongnya. Keturunan Hyuuga tersebut terasa familiar dengan pakaian yang dipakai oleh pemuda di hadapannya. Dengan cepat dia membungkuk sebagai rasa hormat sekaligus ucapan terima kasih. Tanpa kata.
"Terima kasih telah menolong Hinata-sama," dua orang wanita lain maju dan mengikuti gerakan Tuannya, membungkuk lalu menegakkan badan kembali. Masing-masing dari mereka berdiri di samping sang Souke Hyuuga. Dengan begitu, paling tidak Gaara tahu bahwa seseorang yang telah ditolongnya bukan dari kalangan biasa.
"Hari sudah mulai gelap. Lebih baik kalian meninggalkan hutan ini."
Ketiga wanita tadi sedikit membungkuk sebagai salam perpisahan sebelum beranjak pergi. Meskipun berjalan menunduk, Hinata bisa melihat sekilas wajah pemuda tersebut dan hal itu sudah cukup untuk membuatnya tersimpan dalam memori otak. Satu hal yang pasti, keinginannya untuk melepas penat dengan melihat panorama alam tidak berjalan mulus karena suatu insiden yang tak terduga.
.:oOo:.
Kediaman Hyuuga yang lapang terlihat lebih ramai daripada biasanya. Mansion yang berisi beberapa komplek rumah milik keluarga Hyuuga tersebut kedatangan sekelompok tamu dari anggota kesatuan khusus pasukan kerajaan. Hyuuga telah dikenal sebagai penghasil kain terbaik di ibukota, untuk itulah mereka mengundang pasukan tersebut karena kepercayaan yang mereka peroleh dalam membuat seragam resmi selama bertahun-tahun.
Ruang tamu di rumah utama itu memang sangat luas. Pintu-pintu geser di empat penjuru berbeda dibiarkan terbuka begitu saja, mengizinkan angin sejuk di sore hari untuk masuk. Di salah satu sudut ruangan terdapat rouka berlantai kayu yang menghubungkan dengan halaman luar ataupun ruangan lain. Hiashi duduk sebagai tuan rumah di salah satu sisi, sedangkan yang lain duduk dengan pola hampir melingkar mengikuti struktur dinding bangunan yang berbentuk heksagon.
Setelah beberapa menit bercengkerama, seseorang datang dengan membawa nampan berisi teko. Orang itu berhenti, meletakkan nampannya di lantai, dan dengan hati-hati berjalan menggunakan kedua lututnya. Dia membawa teko dan memasuki pusat ruangan secara perlahan-lahan, mengisi cangkir para tamu dengan teh herbal yang baru diseduh.
"Ini putri pertamaku, Hinata." Hiashi kembali memulai pembicaraan dengan memperkenalkan salah satu anak gadisnya. Beberapa yang lain menanggapinya seraya tersenyum penuh hormat pada sang tuan rumah. Hinata yang mengenakan kimono formal merasa malu akan tatapan beberapa orang ke arahnya.
Bukan karena Hyuuga tak memiliki cukup pelayan untuk melayani para tamu, tapi Hiashi punya alasan tersendiri dengan tindakannya ini. Pemimpin klan itu cukup sadar bahwa tamu-tamu yang datang kali ini adalah anggota inti pasukan kerajaan yang secara keseluruhan adalah pria lajang. Dia hanya ingin putrinya yang sudah dewasa membuka mata tentang beberapa pemuda berkualitas di Konoha.
Hinata menghampiri setiap meja dan menuangkan minuman panas itu ke cangkir para tamu. Sebisa mungkin gadis itu menjaga gerakannya dan bersikap sopan. Tak seorang pun di sana tahu bahwa dirinya merasa sangat takut jika tugas ini gagal. Yang harus dia lakukan hanyalah mengisi tempat minum mereka dan Hiashi akan tersenyum penuh bangga kepadanya.
Keterkejutan menyerang Hinata saat dirinya menuju salah satu meja. Dalam hati terus berharap bahwa ini hanyalah ilusi. Namun Hinata sadar jika penglihatannya tidak salah saat sampai di meja tersebut. Entah mengapa dia merasa gugup ketika melihat orang itu, pemuda yang tanpa sengaja dia temui tiga hari yang lalu. Hinata kembali menunduk, berusaha fokus pada teko yang dibawanya. Ayolah, hanya menuangkan isinya. Ini bukanlah hal yang sulit.
Dengan hati-hati Hinata melakukan tugasnya. Namun hal-hal yang tak jelas dari mana terus menganggu pikirannya hingga keseimbangannya goyah. Teko itu menumpahkan ocha panas pada seseorang yang duduk di dekat cawan keramik incarannya.
"Ma-maaf…" Hinata sangat panik. Salah satu pelayan wanita yang duduk di tiap sudut ruangan memberikannya lap bersih.
Tangan Hinata menyingkirkan sisa cairan yang menempel di seragam pemuda itu dengan lap berwarna putih. Lengannya bergetar, sekali lagi dia menunduk untuk meminta maaf. Hiashi yang mengutamakan kesempurnaan tentu tak suka dengan hal ini.
"Ah, maaf atas ketidaknyamanan ini Sabaku-san."
"Justru saya yang seharusnya berterima kasih karena telah Anda undang dalam perjamuan ini." Gaara masih bersikap tenang. Selain latihan fisik, tentu dia dididik tata krama dan bagaimana cara bersikap pada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki itu tak begitu mempermasalahkannya.
Hinata melanjutkan tugasnya. Setelah selesai, dia duduk di salah satu sisi ruangan dekat jalan masuk, tepat di belakang ayahnya. Sesaat kemudian, beberapa pelayan datang membawa hidangan untuk para tamu. Hinata hanya bisa memerhatikan bagaimana mereka berlalu-lalang menyajikan makanan di atas tiap meja berkaki pendek yang ada di sana.
Ketika para pelayan telah pergi, Hinata kembali memusatkan perhatiannya pada Gaara. Namun semuanya berakhir saat mereka tak sengaja bertemu pandang. Gadis itu dengan cepat menunduk. Rasanya malu sekali mengingat keributan kecil yang dibuatnya tadi. Hinata merenungi nasibnya yang menyedihkan karena gagal melaksanakan tugas. Kemudian, konsentrasinya beralih untuk menikmati hidangan di hadapannya seperti halnya tamu-tamu yang lain.
~o~
The Day We Met, a song by Anthony Hamilton
~o~
T B C
Sebelumnya saya ingin pakai setting Jepang tahun 1600an-1800an dalam fic ini. Tapi karena pengetahuan yg sangat minim tentang zaman Edo, akhirnya saya buat dunia sendiri dengan nama Konoha.
Scene setelah kamar Hinata adalah flashback hingga beberapa chap ke depan.
