Hermione pertama kali melihatnya ketika orang tuanya mengantarnya ke Hogwarts Express. Pria itu disana. Tampak mencolok dengan rambut pirang platinanya. Juga kulit pucat dan senyum sombongnya. Awalnya, Hermione pikir tidak baik menilai seseorang dari luarnya. Tapi setelah mendengar pria itu berbicara kepada si-anak-yang-bertahan-hidup dan seorang Weasley yang seangkatan dengannya, Hermione sadar jika pria itu memanglah sombong. Pria itu juga menyebalkan karena dengan sengaja melaporkannya beserta dua sahabatnya kepada kepala asrama Gryffindor―Minerva McGonagall―ketika ia dan dua sahabatnya tersebut kembali dari pondok Hagrid.

Ditahun kedua, pria itu menghinanya. Mata kelabunya menatap tepat ke mata hazelnya, lalu memanggilnya 'Mudblood'. Membuat keberanian dan kepercayaan dirinya luntur saat itu juga. Bayangkan saja, bagaimana rasanya jika kalian dihina oleh pria yang kalian sukai? Oh, Hermione tak ingin munafik. Ia memang sempat menyukai―lebih tepatnya mengaguminya. Mengagumi Draco Malfoy. Karena orang bodoh pun tahu kalau Draco Malfoy punya daya tarik tersendiri terlepas dari sikap sombong, manja, dan kekanakannya. Tapi hari itu apa yang dikatakan pemuda itu cukup untuk membuatnya sadar jika pria itu tak akan pernah melihatnya. Melihatnya sebagai seorang gadis. Sekalipun Hagrid mengatakan padanya untuk tidak memikirkannya―Hermione tetap memikirkannya hingga ia tidak bisa tidur semalaman.

Ditahun ketiga, Hermione tidak tahu bermimpi apa hingga bertemu dengan Draco Malfoy ditempat favoritnya. Padang rumput kecil di Hutan Terlarang, tak jauh dari Danau Hitam yang hanya diketahui oleh dirinya sebelumnya. Dan terjadilah perdebatan kecil diantara mereka.

"Apa yang kau lakukan disini, Mudblood?"

"Aku yang harusnya bertanya begitu, Malfoy. Ini tempatku."

Draco tersenyum mengejek, "Kurasa tak ada tempat yang cukup kotor didunia sihir ini yang bisa kau klaim, Mudblood." dan setelahnya tersenyum puas melihat perubahan ekspresi Hermione―dari keras menjadi sedih.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Hermione langsung merubah ekspresinya setelah menghela napas, lalu gadis itu dengan acuh mendudukan tubuhnya dipadang rumput favoritnya itu sambil mulai membuka buku yang dibawanya.

"Siapa yang mengijinkanmu duduk disitu, Mudblood?" geram Draco. Dan Hermione balas menatap pria itu sengit.

"Maaf sekali, Mr. Malfoy. Tapi sepertinya disini tidak ada tulisan 'Ijin terlebih dahulu jika ingin duduk' jadi kurasa aku berhak duduk dimanapun yang ku mau tanpa memerlukan ijin."

"Tapi aku tidak sudi duduk didekatmu, Mudblood!"

"Kalau begitu, sana pergi!"

"Oh, kau berani mengusirku? Mudblood tidak tahu diri!" bentaknya. Lalu mengambil tongkatnya dari balik jubahnya.

"Expelliarmus." Hermione lebih cepat. Gadis itu berhasil membuat tongkat Draco terpental kebelakang. Gadis itu menatap Draco menantang dengan tongkatnya teracung didepan wajah pria itu.

Draco mendengus, lalu mengambil tongkatnya yang terpental dan pergi dari tempat itu dengan tampang jengkelnya. Awas kau, Mudblood sialan. Batinnya.

Sedikit banyak Hermione merasa menyesal pernah mengagumi pria itu. Terpelas dari pria itu semakin tampan dengan rambutnya yang tidak klimis lagi, pria itu juga semakin kasar. Kata-katanya yang sekeras apapun tidak ingin ia pikirkan pada akhirnya tetap saja melukai hatinya.

Dan hari itu Hermione menghabiskan sisa waktunya dipadang rumput itu dengan perasaan kacau. Diam-diam setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Oh, betapa inginnya ia mencekik pria pirang itu sekarang.

Pertemuan seterusnya mereka dipadang itu semakin buruk. Tak jarang mereka saling melempar mantra hingga salah seorang dari mereka ataupun keduanya terluka. Namun pada akhirnya selalu Draco yang terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Baik ketika ia terluka atau ia yang melukai.

Saat ia terluka, ia jelas pergi dari tempat itu karena merasa tidak terima dikalahkan. Namun saat ia yang melukai, ia pergi karena rasa bersalah yang tiba-tiba hinggap dihatinya. Terlepas dari status darah Hermione, dia tetap seorang perempuan. Tak seharusnya ia menyakiti seorang perempuan. Tapi ia tak pernah meminta maaf pada Hermione. Tak Pernah dan tak akan pernah.

Seorang Malfoy tidak pernah meminta maaf. Apalagi pada Mudblood. Yeah, benar.

Hermione tidak mengerti apa yang membuat Draco Malfoy menjadi sangat brengsek. Hagrid sudah jelas-jelas mengatakan jika Hippogriff tidak suka dihina dan pria itu malah menghinanya. Lalu menyalahkan Hagrid dan Hippogriff yang Hagrid panggil Buckbead itu ketika lengannya terluka parah karena serangan Buckbeak. Pria itu benar-benar sukses mengacaukan hari pertama Hagrid mengajar. Betapa Hermione cukup menyesal karena sempat mengkhawatirkan keadaan pria itu.

Namun sebagian dari Hermione merasa lega karena pria itu kini berada di hospital wings. Membuatnya tidak perlu melihat wajah menyebalkan pria itu untuk beberapa hari ini dipadang rumput kesayangannya. Oh, betapa Hermione merindukan saat-saat tentramnya seperti ini.

Namun sialnya, saat-saat tentram itu hanya berlangsung dua hari. Dihari ketiga pria itu sudah ada disana lagi ketika Hermione datang. Pria itu disana. Tertidur pulas dengan tangannya yang diperban. Hermione menyeringai. Tak ada salahnya memberi pelajaran pada Malfoy muda yang manja itu, pikirnya.

Ia mengeluarkan tongkatnya lalu mengarahkannya ke wajah Draco. Namun sebelum satupun mantra keluar dari mulutnya, Hermione tertegun.

Wajah Draco yang tengah tertidur terlihat begitu damai. Begitu polos. Tapi―ada guratan tertekan disana.

Dan itu cukup untuk membuat Hermione sadar jika ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak tega.

Setelah menghela napas pelan ia memutuskan untuk menyimpan kembali tongkatnya dan mengambil jarak yang cukup jauh dari Draco, lalu mulai mengerjakan essainya.

Dan tanpa Hermione sadari, Draco telah terbangun sejak gadis itu mulai mengerjakan essainya. Dari tempatnya berbaring sekarang, Draco bisa melihat wajah serius Hermione yang tengah menulis diperkamennya. Dan dengan pantulan bias-bias senja diwajah gadis itu ―hanya satu kata yang bisa Draco katakan untuk menggambarkan gadis itu sekarang.

Malaikat.

Gadis itu cantik seperti malaikat.

Terpelas dari status darah gadis itu, Draco sebenernya sudah menyadari jika gadis itu adalah gadis tercantik di Hogwarts.

Jika saja gadis itu bukan muggleborn. Jika saja gadis itu bukan sahabatnya si pottyhead dan weasle-bee. Draco pasti sudah mengajaknya kencan sejak dulu. Ya jika saja.

Setelah kejadian di Hogsmeade―Harry mengerjai Malfoy dan antek-anteknya―dan kejadian Hermione meninju hidung pemuda Malfoy itu dihari eksekusi Buckbeak, Hermione tak pernah melihat Draco dipadang rumput favoritnya lagi. Mungkin pria itu kapok. Mungkin tinjuan Hermione kala itu cukup membuat pria itu jera. Pikirnya.

Namun semua kemungkinan yang ada dipikiran Hermione meleset jauh.

Draco masih datang kesana.

Hanya saja pria itu mengambil spot lain. Diatas sebuah pohon besar yang mengelilingi padang rumput itu.

Draco duduk disana sambil memakan apel hijau yang ia bawa dengan suara pelan―nyaris tanpa suara. Dan mata pria itu tak pernah lepas dari Hermione yang tengah berkutat dengan bukunya.

Draco tidak takut pada gadis itu tentu saja. Draco hanya merasa bingung dan tidak paham pada dirinya sendiri.

Harusnya ia marah besar pada gadis itu karena telah meninjunya.

Harusnya ia sekarang memikirkan rencana apa yang bisa membuat gadis itu menyesal karena pernah meninjunya.

Tapi―ia justru merasakan hal lain. Perpaduan antara rasa bersalah dan kagum. Dan ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk balas dendam dengan gadis itu.

Rasa bersalah itu muncul karena Draco merasa ia sedikit kelewatan hingga gadis itu begitu marah. Dan kekagumannya muncul karena keberanian gadis itu. Draco tahu jika pemberani memang sifat dasar gadis itu mengingat asrama yang ditempatinya. Tapi―ia tak menyangka jika gadis itu bisa sangat berani hingga meninjunya. Padahal tak ada satupun gadis di Hogwarts yang berani membentaknya apalagi meninjunya. Tapi gadis itu pengecualin.

Dan seperti hari-hari sebelumnya, Draco hanya diam dan menatapi gadis itu dari atas pohon. Menikmati pemandangan indah―wajah serius Hermione yang semakin cantik―itu hingga petang lalu kembali ke sekolahnya dengan mengendap-endap.

Mereka akhirnya bertemu lagi di Piala Dunia Quidditch beberapa hari sebelum tahun keempat Hogwarts dimulai. Draco dan ayahnya menyombong pada klan Weasley. Lalu sebelum mereka pergi, Lucius menahan Harry untuk mengucapkan sesuatu yang ambigu menurut Hermione.

Hermione sempat tak sengaja melalukan kontak mata dengan Draco untuk beberapa saat ketika ayah Malfoy muda itu berbicara dengan sahabatnya, Harry. Namun tak sampai sedetik keduanya langsung memutus kontak mata itu. Dan untuk beberapa saat Hermione memperhatikan wajah Malfoy muda yang masih tersenyum merendahkan pada keluarga Weasley.

Dibalik senyum mengejek itu, Hermione kembali menemukan gurat tertekan. Selain itu―pria itu tampak agak kelelahan. Sedikit membuat Hermione bertanya-tanya apa saja yang dilakukan pria itu selama liburan ini hingga tampak seperti itu.

Anggaplah Hermione gila karena memperhatikan pria yang sudah jelas-jelas tak memiliki hati itu. Karena Hermione pun menyetujui jika dirinya sudah gila sejak sadar pernah mengagumi Draco Malfoy.

"Sedang membaca apa, Granger?" tanya Draco yang sudah duduk tak jauh dari Hermione dipadang rumput itu. Bukannya menjawab, Hermione malah menatap aneh pria pucat itu.

Oh, apa pria itu salah minum obat?

"Kau memanggilku apa?" tanya Hermione memastikan.

Draco mendengus, "Granger. Itu namamu kan? Oh atau kau lebih suka kupanggil Mudblood?"

"Aneh," Hermione bergumam pelan―lebih untuk dirinya sendiri. Namun Draco masih dapat mendengarnya.

"Apanya yang aneh?"

"Kau tidak mengusirku. Kau tidak melempar mantra padaku terlebih dahulu. Kau tiba-tiba memanggil margaku. Kau tiba-tiba peduli dengan buku yang kubaca. Kau duduk tidak jauh dariku. Dan kau masih bertanya apa yang aneh." Hermione menjawab dalam satu tarikan napas, pandangan matanya kini terhadap bukunya. Ia tidak mau terlalu lama menatap pria disampingnya itu―Hermione terlalu takut jika pada akhirnya pemuda itu berhasil merebut perhatiannya lagi. Perhatian dan―hatinya.

"Kita sudah hampir menghabiskan tahun kemarin untuk bertengkar dan saling melempar mantra, Granger. Aku sudah muak, itu hanya membuang waktu saja menurutku. Dan itu hakku untuk bertanya atau memanggil margamu ataupun duduk dimanapun yang aku mau." balas Draco sambil memutar matanya.

Oh, Draco tidak mungkin mengatakan dengan jelas kan pada gadis itu jika ia sudah lelah dituntut oleh perasaannya sendiri untuk mengajak gadis itu bicara dan bukan hanya memandanginya saja dari atas pohon? Oh, itu akan langsung menjatuhkan harga dirinya. Seorang Malfoy menjatuhkan harga dirinya didepan Mudblood? Yang benar saja!

Hermione hanya mengangkat bahunya acuh lalu memilih kembali fokus pada bukunya. Sementara Draco mulai membaringkan tubuhnya. Kedua lengannya ia jadikan tumpuan untuk kepalanya. Matanya memandangi langit sambil sesekali melirik gadis yang ada disampingnya.

Tiba-tiba rasa kantuk menyergapnya. Angin sejuk yang menerpa wajahnya membuat matanya semakin terasa berat. Kelopak matanya semakin terasa sulit dibuka. Namun Draco berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. Ia ingin melihat dari dekat pemandangan favoritnya. Pemandangan wajah serius Hermione dengan bias-bias senja diwajahnya―Draco juga tidak tahu sejak kapan itu jadi pemandangan favoritnya.

"Tidur saja kalau kau memang lelah, Malfoy."

"Huh?" Draco yang setengah kesadarannya hampir hilang membalas. Ia tidak yakin dengan yang didengarnya. Lagipula dari mana gadis itu tahu jika ia kelelahan?

Hermione menurunkan bukunya, lalu beralih menghadap Draco, "Kau terlihat begitu lelah. Itu terlihat jelas diwajahmu, Malfoy. Tidur saja karena kurasa memang itu yang kau butuhkan. Akan kubangunkan saat sudah petang nanti." lalu, Hermione tersenyum lembut.

Draco tercengang. Tiba-tiba jantungnya berdebar tak karuan untuk pertama kalinya. Kantuknya hilang begitu saja melihat senyuman itu. Perutnya tiba-tiba terasa melilit. Dan tahu-tahu, ia kesulitan menelan salivanya.

"Ah―oh, yeah. Aku akan tidur." kata Draco, dan langsung memposisikan tubuhnya membelakangi Hermione.

Jantung sialan. Perut sialan. Kantuk sialan.

Kau terlihat begitu lelah. Itu terlihat jelas diwajahmu, Malfoy. Tidur saja karena kurasa memang itu yang kau butuhkan. Akan kubangunkan saat sudah petang nanti.

Oh, benarkah terlihat jelas jika ia sedang lelah? Crabbe, Goyle, Theo, Blaise bahkan Pansy yang mendeklarasikan diri sebagai gadis yang sangat mencintanya tidak menyadari dan mengerti jika ia kelelahan. Justru Hermione yang mengerti. Gadis yang ia pikir membencinya justru yang mengerti yang ia rasakan bahkan ketika ia tak mengatakannya. Dan hanya gadis itu yang mengatakan itu terlihat jelas.

Jika itu memang terlihat jelas sahabat-sahabatnya pasti akan tahu. Tapi―

Oh―ia paham sekarang.

Draco tersenyum tipis―sangat tipis―begitu mengambil suatu kesimpulan atas kata-kata Hermione.

Gadis itu memperhatikannya. Sama seperti Draco memperhatikan gadis itu. Dan itu cukup untuk membuat Draco merasa hari itu adalah hari yang sempurna.

Hubungan keduanya berjalan lebih baik dari apa yang mereka perkirakan sejak hari itu.

Tak ada lagi perang mantra.

Tak ada lagi hinaan Mudblood.

Walaupun perdebatan masih tidak bisa dihindari, tapi keduanya tahu hubungan mereka lebih dari sekedar baik sekarang. Kemajuannya termasuk pesat.

Namun semuanya hanya berlaku dipadang rumput ini. Di Hogwarts, tanpa dikomando mereka kembali bertingkah seperti Draco Malfoy dan Hermione Granger yang biasa. Hanya saja― tatapan keduanya berubah. Draco menatap gadis itu lebih lembut dan Hermione tak lagi menampakkan tatapan penuh kebenciannya. Dan untung saja tak ada menyadari hal itu.

Bagi Draco, padang rumput itu seperti pelarian dari dunianya. Pelarian dari masalahnya.

Disana tempat yang paling nyaman baginya untuk melupakan masalahnya sejenak. Melupakan bebannya. Beban yang tak akan bisa ia bagi dengan siapapun. Karena tak ada yang menyadarinya. Kecuali, Hermione.

Hermione menyadarinya selama ini diam-diam. Melihat sorot mata kelabu pemuda itu saja, Hermione bisa langsung tahu jika pemuda itu punya banyak masalah. Namun seakan mengerti jika Draco kesana untuk melupakan masalahnya, Hermione tidak pernah menanyakan perihal masalahnya. Sifat ingin-tahu-segala-nya hilang begitu saja dihadapan Draco.

"Granger?"

"Huh?" Draco mendengus saat panggilannya direspon seperti itu. Gadis itu terlihat begitu enggan mengalihkan pandangannya dari bukunya yang Draco yakin tak lebih menarik daripada dirinya.

"Kau pernah bertemu orang jahat?" kini, Hermione mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya. Matanya beralih pada pria berambut pirang platina yang duduk tak jauh darinya. Memandang pria itu aneh karena pertanyaannya.

Draco yang menyedari tatapan aneh Hermione tersenyum kecut, "Oh," lalu tertawa sinis, "Tentu saja kau sudah. Orang jahatnya sendiri yang bertanya padamu saat ini."

Hermione terbelalak mendengar jawaban Draco atas pertanyaannya sendiri.

"Tidak!" bantahnya, "Aku tak pernah menganggapmu orang jahat, Malfoy."

"Ck. Kupikir Slytherin yang pandai berbohong, bukan Gryffindor."

"Aku tidak berbohong!" Hermione mengerucutkan bibirnya kesal, "Kau bukan orang jahat menurutku. Kau hanya―menyebalkan."

Draco mencibir, "Kau lupa yang kau katakan padaku ditahun ketiga saat eksekusi ayam brengsek itu, Granger? Kau bilang aku kecoak kecil jahat yang menjijikan kan?"

"Aku tak serius dengan kata-kataku waktu itu. Aku hanya kesal! Dan namanya hippogriff, Malfoy."

"Cih, terserah. Kau benar-benar payah dalam berbohong, Granger." kata Draco. Lalu, mengalihkan pandangannya kearah lainnya. Ia tak bisa memandangi mata hazel itu terlalu lama. Mata itu seakan mempunyai sihir tersendiri. Sihir yang membuat Draco lupa akan statusnya.

"Dan untuk apa aku berbohong, Tn. Malfoy yang terhormat?" balas Hermione sengit. Ia tak mengerti untuk alasan apa pria itu menganggapnya berbohong.

"Entah," Draco mengendikkan bahunya acuh, "Menjaga perasaanku, mungkin?" jawabnya asal.

"Memangnya kau punya perasaan?' balas Hermione ketus.

"..."

Hening. Pemuda Malfoy itu tak lagi menyahuti perkataannya.

Hermione menghela napas, lalu berkata dengan lembut, "Aku serius, Malfoy. Aku tak pernah menganggapmu orang jahat. Aku hanya menganggapmu sangat menyebalkan. Menurutku kau tidak pernah benar-benar melakukan hal yang jahat. Soal hippogriff itu―kupikir itu hanya bentuk salah satu kenakalan remajamu."

Draco tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tubuhnya mematung. Ia tak pernah menyangka jawaban seperti itu akan keluar dari gadis itu. Gadis yang jelas-jelas sering ia hina. Gadis yang jelas-jelas sering ia buat menderita. Dan gadis itu hanya menyebutnya menyebalkan bukan jahat?

Tiba-tiba ia merasa sedikit kehangatan pada hatinya yang dingin. Senyum tipis yang tulus terpatri diwajah pucatnya.

TBC

Ff Dramione pertama saya/? Gatau kenapa lagi cinta mati sama pair ini. Review please~