HIATUS? Yosh, saya masih hiatus :')
Lah, terus ngapain publish fic? Hoho, fic ini spesial buat seseorang yang berulang tahun pada tanggal 26 Maret kemarin, hehe. Maaf terlambat ya karimahbgz XD
Sekali lagi OTANJOUBI OMEDETOU Rima ^^ wish you all the best \^o^/ *tebar-tebar bunga* Semoga fic ini nggak mengecewakan XD
Ahya, berhubung ultah Rima berdekatan dengan Sakura, saya buat fic ini dengan konsep ultah Sakura, nggak papa kan Rima? *dasar* karena itu saya juga sekalian mau ngucapin selamat buat Sakura, meski telat *jleb* Otanjoubi omedetou ^o^
Enjoy~
Summary: Sakura Haruno selalu punya seribu satu akal untuk menolak setiap pemuda yang jatuh hati padanya. Namun saat pemuda bermanik gelap itu datang, Sakura tak punya satu alasan pun untuk mengelak. Karmakah, dia?
DON'T LIKE, DON'T READ
Title : Karma?
Disclamer : Masashi Kishimoto
Warnings : OOC (Sedikit ^^), AU, Typo (s) dll
Maaf kalau jelek :)
Story by: Bii Akari
.
.
.
NORMAL POV
28 Maret. Satu-satunya hari ke-dua puluh delapan di bulan Maret. Datangnya pun hanya sekali setahun. Hari penentu 'usia' seorang Haruno Sakura. Hari, yang—seharusnya—paling membahagiakan bagi gadis musim semi itu.
Lalu? Mengapa di hari yang istimewa ini, Sakura terlihat biasa-biasa saja?
"Kau kenapa sih, Sakura? Ini hari ulang tahunmu loh, kenapa memasang wajah datar seperti itu?"
Omongan spontan yang meluncur dari bibir merah muda Ino membuat Sakura menoleh, memandang intens sang gadis. "Apa maksudmu?"
Ino mendengus pendek, sementara Sakura masih setia dengan tatapan datarnya—berhenti sejenak dari kegiatan membacanya.
Ruangan yang mereka huni saat ini didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa semester akhir—selisih tiga tahun di atas mereka berdua. Udara yang terkesan 'kuno' berpadu menjadi aroma menenangkan akibat campur tangan si Air Conditioner. Suara-suara diskusi mengalun di mana-mana. Bunyi-bunyi dentuman buku pun tekadang terdengar dari berbagai macam arah.
Suara decitan kursi yang ditarik paksa, bisikan-bisikan kecil, serta irama ketukan keyboard menjadi melody tersendiri yang tersaji khusus di ruangan penuh buku tersebut. Ya, semua mahasiswa itu tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Ino menepuk pelan meja kayu di hadapannya, lalu berseru kecil. "Ha, aku lupa, kau memang selalu begini di hari ulang tahunmu."
JLEB
Yaya, Sakura tahu, sampai saat ini hanya Ino-lah yang paling mengerti akan dirinya—akan kebiasaan-kebiasaan uniknya. Dan untuk yang satu ini, Sakura setuju.
"Hn." Sakura kembali menundukkan kepalanya, memulai kegiatan membacanya lagi. Melihat itu, Ino hanya mampu bergeleng pelan. Sakura tidak pernah berubah. Selalu seperti ini...di hari ulang tahunnya.
.
"Sakura, kau yang traktir 'kan?" pinta Ino kegirangan, begitu mereka berdua sampai di tengah kantin kampus. Sakura mengangguk malas, sembari duduk di bangku panjang yang biasa mereka tepati—tepat di sisi jendela.
Ino tersenyum penuh kemenangan. Sakura dan Ino memang telah menjalin persahabatan semenjak SMA, dan sejak itu pulalah mereka saling berjanji—saling traktir di hari ulang tahun mereka. Tak ada kado, tak ada hadiah spesial apapun. Hanya ucapan selamat dan doa-doa yang manis—serta sebuah ajakan makan siang bersama. Bagi mereka, itu semua sudah lebih dari cukup.
Ino menyeruput jus sirsak yang sesaat lalu dipesannya, sembari menyisihkan piring kosongnya. "Bagaimana dengan mereka berdua? Hari ini bisa pulang?"
Ino bertanya dengan nada penuh penekanan, yang di saat bersamaan juga terdengar sangat berhati-hati. Tak ingin mengecewakan Ino, Sakura pun mencoba tersenyum lebar—meski yang tertangkap oleh Ino hanyalah senyum tipis penuh paksaan.
"Seperti biasa, Ino." Jawaban yang nyaris terdengar bak bisikan itu membuat hati Ino pilu. Dari penuturan sang sahabat tadi, Ino tahu betul apa yang disebut 'biasa' itu.
Ya, orang tua Sakura memang tergolong pengusaha yang sangat sibuk. Tak jarang mereka hanya bisa pulang ke rumah beberapa bulan sekali, itupun hanya sekedar untuk mengecek keadaan rumah mereka—bukan Sakura mereka. Kedatangan mereka yang terburu-buru—tanpa persiapan—selalu disambut antusias oleh Sakura, meski Sakura tahu, esok pagi kedua sosok yang sangat disayanginya itu pasti telah melenyapkan jejak mereka lagi.
"Sakura?"
Sedikit terbawa oleh suasana membuat Sakura melamun secara tak sengaja. Dan hal itu tentu tak dapat dilewatkan oleh Yamanaka Ino. Sungguh, Ino tidak punya niat menyakiti hati sahabatnya itu—dengan bertanya hal sekonyol tadi.
"Maaf, Sakura, aku—"
"Tidak Ino, kau tak perlu minta maaf. Aku mengerti."
Sekali lagi, Ino merasa senyuman Sakura kali ini sangat penuh dengan kepalsuan. Kepalsuan yang Ino tahu pasti tujuannya—agar dirinya tidak khawatir.
.
Sakura berjalan dengan derap langkah yang santai, meski perasaannya tetap gelisah seperti tahun-tahun sebelumnya. Ha, ada alasan tersendiri yang membuat gadis berhelai merah muda itu merasa terombang-ambing di hari lahirnya sendiri.
Pertama, persoalan keluarga. Sakura tahu betul sesibuk apa pekerjaan kedua orang tuanya—dan Sakura selalu berusaha untuk mengerti akan hal itu. Sejak kecil, Sakura sudah terbiasa ditinggal pergi. Hanya saja, semakin lama Sakura mulai merasa ada hal yang salah. Mungkin ada yang aneh pada dirinya, sampai-sampai kedua orang tuanya bahkan tidak bisa menyisihkan waktu mereka sejenak untuk sekedar berkunjung di hari ulang tahunnya. Meski hanya satu jam—tidak, lima menit pun tak apa. Karena Sakura hanya ingin ucapan selamat secara langsung, bukan melalui telepon genggam dan sebungkus kado istimewa.
Sakura mengeratkan genggaman tangannya pada tas jinjingnya, sedikit terbawa emosi lagi. Secara sepintas, Sakura memang terlihat bagai sesosok gadis yang tenang, gadis yang ber-emosi stabil dan dewasa. Namun coba, intiplah pribadi Sakura sedikit lebih jauh lagi, perhatikan mimik wajahnya dengan lurus-lurus. Emosi itu, selalu tampak di sana. Selalu, karena Sakura hanya bisa menguburnya, tanpa mampu melenyapkannya.
"Sakura, otanjoubi omedetou~" Seorang gadis bercepol dua menghampiri Sakura dengan senyum yang lebar, lalu dengan cekatan bergegas memeluk tubuh gadis cantik itu. "Semoga panjang umur dan sehat selalu," lanjutnya, begitu dekapan hangat mereka saling bersatu.
Seorang gadis lainnya tersenyum tipis, menunggu gilirannya tiba untuk memberi ucapan selamat pada teman se-angkatannya itu. "Otanjoubi omedetou, Sakura-san."
Gadis beriris lavender itu mengulurkan tangan kanannya, yang langsung disambut hangat oleh Sakura. Keduanya saling mengulum senyum, berbagi kebahagiaan. "Semoga Sakura-san bisa terus sukes," pinta gadis itu tulus, masih sambil berjabat tangan dengan Sakura.
"Arigatou, Tenten, Hinata."
Sakura kembali berjalan, melangkah melewati beberapa mahasiswa yang juga berjalan ke arah yang berbeda—setelah berpamitan pada kedua rekannya tadi. Sesekali gadis itu tersenyum dan bergumam 'Arigatou' kala beberapa mahasiswa menghampirinya untuk sekedar mengucapkan selamat.
"Sakura~"
Seorang pemuda pirang tengah berlari-lari dengan semangat, hendak menghampirinya dari arah belakang. Sakura pun terdiam dengan senyum yang tertahankan, seniornya yang satu ini memang begitu ramah.
"Otanjoubi omedetou~" seru si pemuda pirang dengan riang, sembari menggenggam tangan Sakura dan menggoyang-goyangkannya ke atas-bawah dengan tempo yang sangat cepat. Sepasang iris shappire-nya terlihat berkilau, tanda bahwa sang empunya merasa sangat senang dan bersemangat.
Sakura hanya tersenyum maklum, memasrahkan tangannya yang ikut terombang-ambing arus permainan pemuda itu.
"Semoga semakin cantik, pintar, baik hati, bahagia, dan sukses. Ah, dan semoga bisa cepat-cepat jadian dengan Tem—temanmu. A-ahaha, semoga bisa cepat dapat jodoh," ujar pemuda itu, lengkap dengan cengiran khasnya.
Sakura hanya tersenyum geli, pemuda yang baru setahun lalu dikenalnya itu memang selalu berkata spontan—seenak jidatnya. Namun meski begitu, dalam hati Sakura meng-amininya juga.
"Arigatou, Naruto-senpai."
Usai mengobrol singkat dengan senior yang berada dua tahun di atasnya itu, Sakura segera kembali berjalan, melangkah menuju tujuan awalnya.
Ruang kelas yang ramai membahana itu menyambut Sakura ramah ketika ia melangkahkan kakinya dan menyusup masuk.
Teriakan penuh bahagia menyambut kedatangan Sakura. "Otanjoubi omedetou, Sakura~"
Teman-teman yang kebetulan berada di kelas yang sama dengannya hari ini segera mengerumuninya, bergantian menyalami gadis cantik itu. Beribu doa—mulai dari yang serius sampai yang ngaco—terus terlantun untuknya, menyerbunya dengan hangat.
"Sakura-chan, otanjoubi omedetou~ terus kobarkan semangat mudamu~"
Semangat muda, heh? Ya, Sakura memang masih muda—baru sembilan belas tahun. Sama saja dengan sang pelantun doa, yang juga masih menginjak usia yang sama—meski dengan semangat muda yang lebih dibanding Sakura.
"Sakura-san, otanjoubi omedetou. Aku tidak punya hadiah apa-apa, tapi kalau mau kau bisa mengambil kripik kentangku ini," tawaran ramah dari seorang pemuda bermarga Akamichi membuat Sakura tertawa kecil—tak tega rasanya mengambil cemilan favourite pemuda bertubuh sehat itu.
"Tak perlu, Chouji. Arigatou," tolak Sakura halus.
Lepas menghiraukan seluruh teman sekelasnya, Sakura pun kembali duduk di bangku yang selalu ditempatinya. Membuka tasnya, dan mulai mempersiapkan diri untuk mata pelajaran yang akan dimulai lima menit lagi.
.
Pukul 3.45. Kelas yang Sakura ambil hari ini telah usai. Menyisakan rasa pening di kepalanya—mengingat Sakura mesti pulang di rumah hampanya saat ini juga.
"Sakura~"
Tanpa disangka-sangka, Ino—sang sahabat—yang Sakura pikir telah pulang sejak tadi ternyata malah berdiri di koridor samping kelasnya, menanti kelas Sakura bubar.
Senyum lega menghiasi wajah Sakura, setidaknya dia tidak harus buru-buru pulang saat ini juga.
Ino segera mengamit lengan Sakura, dan membawa gadis itu larut dalam perbincangan renyahnya. Begitu sampai, Ino pun tersenyum lebar sambil menyeret Sakura agar masuk lebih dalam lagi di area kantin tersebut.
"Otanjoubi omedetou, Sakura~"
Gabungan-gabungan dari berbagai pita suara tersebut membuat Sakura nyaris menintihkan air matanya. Sungguh, ini pertama kalinya Sakura mendapat pesta kejutan seperti ini.
Gadis bersurai merah muda itu masih bergeming, menatap sebuah kue tart berkrim putih, lengkap dengan aksen bunga Sakura—dari coklat—yang berhamburan di atasnya. Dua buah lilin berbentuk angka satu dan sembilan berdiri manis di sana, disinari oleh api kecil yang berpendar indah. Sedetik kemudian, Sakura mengalihkan tatapannya. Iris emerald-nya menatap satu per satu wajah orang-orang istimewa yang menjadi kado ulang tahunnya kali ini.
Puas meneliti wajah mereka satu per satu, Sakura pun kembali menerjang iris aquamarine milik Ino. "K-kalian?" ucapnya tak percaya.
Di meja kayu itu, telah berjejer beberapa nakama-nakama Sakura. Dan hal itulah yang membuat Sakura terbelalak tak percaya.
Sakura, Ino, Tenten, dan Hinata memang telah berteman dekat sejak awal masuk kuliah. Naruto—yang merupakan kekasih Hinata—juga terlihat duduk manis di sana, berdampingan dengan sang kekasih. Neji—kekasih Tenten—juga terlihat hadir, meski pemuda itu tak terlalu akrab dengan Sakura. Sai—yang notabene merupakan pacar Ino—tentu tidak akan melewatkan acara ini, secara Sakura adalah sahabat terbaik kekasihnya. Temari—senior kesayangan Sakura—juga menjadi pelengkap acara kecil-kecilan ini. Membuat keseluruhan hari Sakura menjadi sempurna.
"A-a-a—" Sakura ingin bicara, mengungkapkan rasa terimakasihnya yang sebesar-besarnya, namun yang keluar justru gumaman putus-putus yang tak bermakna—bersamaan dengan merembesnya pertahanan Sakura. Liquid bening itu berhasil menerobos keluar, membuat Ino dengan gesit memeluk sahabatnya itu.
"Sssshh, Sakura. Ayolah jangan menangis, ini hari ulang tahunmu loh," ledeknya, sembari membelai lembut helaian merah muda milik Sakura.
"A-aku-hiks-tidak menangis, a-aku hanya terlalu senang."
Desahan haru Sakura itu mengundang riuh tawa maklum dari pemuda-pemudi yang ada di sana. Sakura pun tersenyum—bahagia—dalam tangisnya.
"Sakura, make a wish dan tiup lilinnya," perintah Ino riang, Sakura pun segera menurutinya.
Gadis cantik itu menutup emerald-nya, melantunkan doa sederhana—yang selalu berbunyi sama di setiap tahunnya—dengan tulus. Senyum lembut—yang tak dibuat-buat lagi—kini bersarang di wajah Sakura, terlihat begitu bahagia.
FUUUH
Sakura meniup nyala api sepasang lilin yang berpendar itu dengan satu hembusan napas. Bibirnya terus melengkung, tersenyum lebar pada detik-detik selanjutnya.
.
Hari beranjak sore. Sinar mentari yang menakjubkan itu kini membias di sekeliling jendela kantin. Sakura menyambar tasnya dan ikut berjalan di samping senior kebanggaannya itu.
Usai merayakan pesta kecil-kecilan di kantin tadi, teman-temannya—yang memang masing-masing membawa pasangan—akhirnya berpamitan untuk pulang. Menyisakan dua gadis yang sama-sama tidak memiliki pasangan saat itu—pacar Temari berhalangan hadir karena punya jadwal kuliah sore ini.
Sesekali Sakura mencuri-curi pandang pada gadis yang sangat diseganinya itu, gadis yang sangat dewasa—dengan usia yang hanya terpaut dua tahun lebih tua darinya. Temari berjalan dengan langkah gemulai, lengkap dengan senandung kecil yang mengalun dari mulutnya.
"Benar kau tak keberatan menemaniku menunggu Shikamaru?" tanya gadis pirang itu sekali lagi, masih ragu pada jawaban Sakura sesaat yang lalu.
Sakura tahu, Temari merasa tidak enak jika harus mengulur-ulur waktu pulangnya. Namun sayang, Sakura masih terlalu egois untuk menghiraukan hal itu. Karena Sakura, tidak ingin buru-buru pulang.
"Tak apa, Temari-nee. Aku malah senang bisa menemani Temari-nee di sini," ucapan manis itu membuat Temari tersenyum lembut.
Detik terus berlalu, hingga mereka hanya terdiam di kursi taman kampus. Burung-burung terlihat bersemangat, tebang kesana-kemari tanpa kenal lelah. Angin lembut menerpa sosok kedua gadis itu, bermain-main dengan helaian indah mereka sejenak.
"Sakura, maaf karena tadi Shikamaru tidak bisa hadir. Si pemalas itu memang payah."
Sakura terkekeh geli. Jelas-jelas Shikamaru tidak hadir dikarenakan jadwal kuliahnya yang padat. Namun sang pacar malah mengatakan Shikamaru payah. Ha, hubungan seperti inilah yang membuat Sakura selalu mengidolakan pasangan kekasih—yang telah bertahan lima tahun—itu sejak dulu. Mereka saling bertengkar, namun di saat yang sama juga terlihat akrab—mesra. Mereka saling meledek, meski bibir mereka tak dapat menahan lengkungan tipis itu. Mereka saling bertolak balakang, namun ikatan cinta mereka semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu. Merekalah, ShikaTema. Pasangan unik yang selalu membuat Sakura berdebar-debar—menantikan pasangan hidup miliknya, yang semoga dapat melengkapi sisi kosong yang ada pada dirinya juga.
"Temari-nee tak perlu minta maaf. Shikamaru-senpai pasti sangat sibuk."
"Kau dengar 'kan? Sakura saja tidak merasa keberatan. Huh, kau sungguh berlebihan, Temari."
BUK
Sebuah jitakan mesra mendarat dengan sempurna di kepala nanas milik sang pemuda—yang mendadak muncul dari arah belakangan. Sakura tersenyum kecil, sementara Temari menggeram halus. "Dan kau selalu bersikap tidak peka."
Pertengkaran—a la suami-isteri—pun dimulai.
Shikamaru berjalan santai—malas—ke arah Sakura. "Otanjoubi omedetou, Sakura."
Tanpa basa basi lagi, Sakura segera menyambut uluran tangan pemuda itu. "Arigatou," balasnya lembut, masih dengan senyum manisnya itu.
"Huh, mendokusai," keluh si pemuda bersurai gelap, sambil menyandarkan diri pada bangku taman yang sama—tepat di sisi Temari.
"Kelasmu akhirnya bubar juga. Memang apa yang dibicarakan dosen killer itu sampai jam segini?"
Gerutuan Temari—yang sudah menjadi makanan sehari-hari Shikamaru—membuat pemuda itu tak segan-segan untuk mengacuhkannya. Dengan seenaknya, pemuda berotak encer—jenius—itu menyandarkan kepalanya di bahu Temari, sembari mencuri oksigen sebanyak-banyaknya. "Mendokusai," keluhnya halus.
Temari juga ikut mendengus pelan, menyandarkan kepalanya balik, dan mengelus perlahan rambut Shikamaru dengan gemas. "Kau pasti lelah."
Benar 'kan? Hal seperti inilah yang selalu membuat Sakura—ehm-iri-ehm. Coba lihat kedua sejoli yang asyik bermesraan itu, apa ada gadis single di luar sana yang tidak merasa sama dengan Sakura? Tidak.
"Ehm," Sakura berdahem pelan, sembari bangkit dari duduknya—merasa sedikit bersalah karena mengusik moment romantis sepasang kekasih itu.
"Aku pulang dulu ya, Temari-nee, Shikamaru-senpai. Jaa nee~"
Temari melambai singkat, lengkap dengan senyum lembutnya, "Hati-hati di jalan, Sakura~"
Sementara Shikamaru hanya bergumam pelan sepintas lalu.
.
Sakura melangkah dengan santai, hendak menuju area parkir—dimana mobil bercat putihnya masih terlihat sabar menunggu.
"Sakura."
Suara bariton yang khas itu menyapa indera pendengaran Sakura, tak terdengar riang—tetap datar layaknya ekspresi sang pemanggil. Sakura pun berbalik, tahu persis siapa gerangan pemuda yang menyebut namanya sesaat tadi.
"Ada apa, Sasuke-senpai?"
Pertanyaan Sakura yang to the point membuat Sasuke sedikit tercekat. Pemuda itu lalu berjalan sedikit lebih dekat lagi ke arah Sakura, masih sambil menatap emerald di hadapannya dengan lekat-lekat. "Ikut aku sebentar."
Katakanlah Sakura bodoh atau apa, namun gadis itu sungguh malas—tidak mampu—menolak perintah senpai yang digilai oleh ratusan (?) gadis itu.
.
Senja nyaris tertelan malam. Ujung mentari masih terlihat mengintip dari celah-celah awan di ufuk barat. Membuat efek dramatis saat kedua manusia beda gender tersebut berdiri berhadapan, di bawah guguran kelopak bunga Sakura.
Sakura menatap penuh selidik pemuda di hadapannya. Sebenarnya Sakura tidak begitu akrab dengan Sasuke, jadi wajar saja jika Sakura tidak menyadari ketidakhadiran Sasuke di acara kejutannya siang tadi. Hubungan mereka bahkan mungkin hanya sebatas senior-junior, mengingat Sasuke hanyalah sahabat dari pacar sahabat Sakura—begitupun sebaliknya. Singkatnya, mereka hanya saling kenal nama saja.
Sakura tidak ingin berpikir macam-macam—mengenai alasan Sasuke membawanya ke sana. Karena itulah Sakura tetap menunggu, hingga pemuda tampan di hadapannya akhirnya buka mulut.
"Aku ingin kau jadi pacarku."
Bukan sepenggal kalimat manis, bukan pula frasa singkat bermakna cinta. Hanya sebuah kalimat, baku, fasih, dan bersifat memaksa. Keegoisan dari ambisi seorang Uchiha Sasuke tampak jelas di sana. Membuat Sakura mengerling tidak suka.
"Berikan aku alasan untuk setuju."
.
.
.
FLASHBACK
Sore hari di Konoha High School, dua gadis sebaya berjalan beriringan bersama. Yang satu bersurai merah muda, sementara yang satunya lagi bersurai pirang. Mereka berdua terlibat suatu pembicaraan serius, yang membuat si pirang menggerutu gemas.
"Kau menolaknya lagi?"
Kalimat penuh interogasi—bahkan terdengar bagaikan tuduhan—itu menusuk perasaan si merah muda. Pandangan gadis yang masih duduk di kelas satu SMA itu pun menajam. "Memangnya kenapa?" ucapnya kesal, risih karena gadis di sampingnya bertanya dengan nada yang tajam.
Gadis pirang itu mendesah berat, lelah menghadapi sahabat tempramental-nya.
Helaan napas berat—yang sama—pun terdengar dari si merah muda. "Aku tidak punya alasan untuk menerimanya," alihnya. Si pirang spontan mendecak lirih.
"Huh, kau ini aneh, Sakura."
"Kalau aku aneh, mengapa kau masih betah berteman denganku?"
Si merah muda mulai merajuk, kesal karena si pirang mengecapnya sebagai gadis yang aneh. Melihat wajah si merah muda yang tertekuk sebal, si pirang pun tertawa cekikikan. Niat menggodanya semakin menjadi-jadi.
"Apa jangan-jangan kau ini lesby ya—aaaww!"
Cubitan gemas mendarat di lengan kanan si pirang, membuatnya mendesah kesakitan. "Sakit, Sakura," rintihnya kesal, sambil mengelus-elus lengan kanannya yang menjadi korban cubitan maut Sakura.
"Berani katakan sekali lagi, hmm?"
Si merah muda menatap tajam si pirang, dengan senyum lebarnya yang lebih mirip dengan seringai. Si pirang pun menggeleng kaku, ngeri melihat perubahan ekspresi di wajah sang sahabat.
Detik akhirnya berlalu dalam keheningan. Semilir angin di sore hari itu berhembus perlahan, menyadarkan si pirang dari lamunannya.
"Tapi suatu hari nanti kau akan dituntut untuk berkeluarga, loh. Siapa yang akan mengurusmu jika tua nanti, kalau bukan anak-anakmu sendiri, heh?"
Si merah muda menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat si pirang juga ikut berhenti sembari menoleh ke arahnya dengan penuh tanya.
"Itu 'kan masih lama."
JDER
Si merah muda kembali meneruskan langkahnya yang sempat tertunda tadi, membuat si pirang buru-buru mengejarnya dan menyejajarkan dirinya kembali seperti sedia kala.
"Tapi setidaknya kau harus mempertimbangkan mereka. Nanti kau kena karma loh, Sakura," ujar si pirang, bersama dengan juluran lidahnya sengaja mengejek.
Sakura tentu saja tahu, apa karma yang dimaksud oleh gadis pirang itu. Karena keegoisannya—yang selalu menolak setiap cinta yang datang padanya—yang berlebihan, tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti ia akan benar-benar menerima karma dari Tuhan. Si merah muda bergedik ngeri memikirkannya—mungkin dia akan menjadi perawan tua, atau lebih buruk lagi.
"Yaya, aku akan mempertimbangkannya lain kali," putus si merah muda. Si pirang pun terlonjak kaget, berbarengan dengan senyumnya yang semakin mengembang. "Jika ada yang melakukannya di hari ulang tahunku."
DOR
Si pirang sedikit kecewa, padahal niat baiknya—yang ingin membuat si merah muda membuka hatinya—sedikit lagi berhasil terpenuhi.
Hingga sedetik kemudian, gadis itu tersenyum lebar. "Janji loh, Sakura?"
"Iyaiya, Ino."
FLASHBACK END
.
.
.
Semilir angin kembali bergulir, bergelut bersama helaian merah muda Sakura. Kelopak-kelopak bunga Sakura yang bermekaran pun perlahan turun membasuh mereka. Perasaan yang tak dapat diungkapkan.
"Aku kalah taruhan, dan mereka ingin aku melakukan ini."
Guguran kelopak bunga Sakura semakin terbang jauh, ikut terbawa dalam alunan musik hampa yang mengerubungi mereka semenjak tadi. Kicauan burung, hembusan angin, dan suara gesekan dedaunan, menjadi pelengkap keheningan itu.
Onyx dan emerald tetap saling bersikukuh, saling membaca—meski tak ada satu pun yang berhasil menangkap perasaan masing-masing. Tak ada yang tahu, tak ada yang yakin akan apa yang selanjutnya mungkin terjadi.
"Baiklah, aku setuju."
Sakura tahu, ini adalah keputusannya sepenuhnya. Daripada harus tahan berkompromi dengan sang senior, Sakura lebih memilih mengambil jalan pintas—meski artinya ia harus rela melepas mahkota single kebanggaannya.
Menjalani hubungan dengan latar belakang 'terpaksa' memanglah sungguh menyakitkan. Namun jika kedua insan itu telah terjebak oleh janji konyol yang sama-sama mendesak mereka—tak ada kata tidak. Ucapanmu, adalah senjata paling mematikan untukmu. Dan kini, mereka berdua memahami hal itu.
Sedalam-dalamnya Sakura menyusup ke dalam kekelaman onyx itu, tak ada yang dapat ditangkapnya. Iris itu tetap kelam, gelap tak berpenghujung.
Jika biasanya Sakura akan dihadapkan pada pemuda-pemuda yang menatapnya dengan kilauan penuh harap dan kecemasan yang mendalam, kali ini Sakura harus puas dengan pandangan yang dilemparkan oleh pemuda di hadapannya. Tatapan tenang, tajam, dan tak terbaca. Berbanding terbalik dengan tatapan malu dan gugup yang menjadi makanan sehari-harinya. Ya, kini ia menghadapi sosok pemuda yang berbeda, Uchiha Sasuke.
.
.
.
.
.
Seorang pemuda berpenampilan menarik, dengan wajah yang jauh di atas rata-rata tampak berjalan dengan santai. Sebelah tangannya diselipkan ke dalam saku, sementara tangan yang lainnya terlihat gusar mengusap bagian tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali—sedikit salah tingkah. Pemuda itu lalu memperbaiki letak tali tas ranselnya yang hanya terpaut pada bahu kanannya saja, dan kemudian membuka pintu mobil miliknya.
Di dalam sana, empat pasang mata menyambutnya dengan penuh antusias.
"Bagaimana?"
Pemuda itu melirik gadis pirang di jok belakang dari kaca spionnya, lalu mengedikkan bahunya sekilas. "Hn, tepat seperti yang kau katakan."
.
.
.
.
.
TBC
Gimana? Gaje ya? Gomeeen ToT
Saya berusaha buat mereka se-IC mungkin, uhuk, tapi kayaknya kelihatan OOC banget ya? *jleb* Untuk Sakura memang sengaja kubuat agak*jleb*OOC, karena latar belakang keluarganya yang nggak mendukung #uhuk
Yosh, fic ini hanya 4-shot kok *jleb*
Masih adakah yang sudi menantinya? Saran, kritik, tanggapan, dan pujian (?) sangat kunantikan, jadi jangan ragu mengetik sesuatu (?) di kotak REVIEW di bawah ini, jika kalian merasa fic ini cukup berkenan :)
Satu review dari kalian sangat berharga bagiku, jadi mohon tinggalkan jejak XD
REVIEW yaaa ^^
Arigatou :)
