"Namjoon."

"Hm?" Namjoon menggumam setelah mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Sepuluh tahun lagi, kau akan jadi apa?"

Namjoon terkekeh, menyamankan posisi kepalanya di bantal tanpa menggerakkan lengan yang tengah menopang kepala kekasihnya. "Tidur sajalah, Seokjin." ujarnya. Suaranya melemah di akhir karena setengah jiwanya dikuasai kantuk.

"Aku benar-benar bertanya."

Namjoon terdiam selama delapan detik sebelum menjawab dengan ragu, "produser?"

"Itu yang kau mau. Aku bertanya tentang yang akan kau lakukan." Seokjin melirik Namjoon.

"Aku cuma bisa mengarang lagu, Sayang." Namjoon mengusak rambut Seokjin gemas dengan tangannya yang bebas, kemudian kembali memejamkan mata.

"Ah, aku bisa satu hal lagi." Namjoon berkata mantap, matanya masih terpejam.

"Apa? Merusak barang orang?" Seokjin ikut memejamkan mata.

"Mencintaimu."

"Berisik." sahut Seokjin, terdengar muak. Namun diam-diam pipinya merona samar.

"Kau tersipu." Namjoon menebak.

"Diam." Seokjin menutup wajahnya dengan bantal. Namjoon ini cenayang atau apa?

Ada jeda di antara mereka.

"Sepuluh tahun lagi, aku akan tinggal bersamamu." tiba-tiba Namjoon bersuara.

Seokjin menyimak. Matanya kembali terbuka. Ia memandang langit-langit di atas kepalanya yang memantulkan cahaya lampu redup di atas nakas.

"Kita akan hidup bersama. Kau akan membangunkanku tiap pagi—dengan kecupan dan semacamnya, membuatkan roti isi dan kopi, lalu kita berbincang sebelum aku pergi kerja. Di akhir pekan, kita akan menonton film, aku akan merangkulmu dan kau akan bersandar di dadaku. Kau akan tertidur di dalam dekapanku. Kita akan menjalani hidup dengan bahagia."

Seokjin tersenyum tipis. "Perayu." bisiknya. Tapi ia merasa hangat.

"Dan kau akan marah-marah tiap aku merusak furnitur. Kau akan merapikan dasiku tiap pagi. Kita akan berjalan-jalan ke taman tiap minggu, dan aku akan mengambil cuti lalu kita akan pergi ke tempat-tempat yang kau inginkan. Aku akan memotretmu, lalu mencetaknya dan menaruhnya di dompet." Namjoon melanjutkan, tertawa kecil.

Seokjin ingin memotong, namun Namjoon kembali berbicara. "Kita akan memelihara anjing. Tinggal di tempat bagus, yang dapurnya juga bagus untukmu. Kita akan minum teh di beranda, atau mungkin berbincang tengah malam sambil menghitung bintang."—Namjoon menarik napas—"Kita akan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Kita akan hidup sebagai pasangan, menikmati tiap momen dalam hidup sampai kita tua. Aku akan tertawa bersamamu, dan aku akan menangis bersamamu. Kita akan berbagi cerita; berbagi napas; berbagi jiwa. Kita akan hidup seperti itu."

"Namjoon, aku bilang hal yang akan kau lakukan, bukan yang ingin kau lakukan." Seokjin memangkas ucapan Namjoon, tenggorokannya tercekat. Airmatanya hampir meleleh dari pelupuk.

"Aku ingin melakukannya, dan aku akan melakukannya." Namjoon tersenyum, memberi penekanan pada kata 'ingin' dan 'akan'. Ditariknya Seokjin ke dalam dekapan. Seokjin mencengkram punggung Namjoon.

"Aku menggunakan kata 'akan' karena aku tahu kita akan melakukannya. Kita akan seperti itu."

Seokjin menenggelamkan kepala ke dada Namjoon.

"Jadi, mari kita hidup berdampingan. Kau mendampingiku dan aku mendampingimu. Mari kita hidup dengan bahagia, Kim Seokjin."

Hening menjelma menjadi sosok yang membungkam kedua mulut mereka.

Namjoon kehilangan kantuknya, pun Seokjin yang tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk berbicara.

Malam tenggelam. Seokjin masih dalam dekapan Namjoon. Mata mereka sama-sama terpejam. Mereka menikmati momen ini; menikmati momen yang sudah lalu; menikmati momen yang akan datang.

"Aku mencintaimu." Namjoon berbicara dalam hatinya, dan Seokjin dapat mendengarnya seolah Namjoon benar-benar mengatakannya.

Tanpa membuka mata Seokjin mengangkat kepala lalu menghampiri bibir Namjoon dengan bibirnya dengan kecupan singkat.

Kemudian ia terlelap.

—halcyon: end—