Aku rasa setiap gadis mempunyai seorang sosok pangeran sempurna yang akan dipujanya. Biasanya si gadis berharap bertemu sang pangeran di suatu skenario tak terduga—yang membuat kita semua percaya pada adanya takdir dan belahan jiwa— di suatu sore, di antara jalan setapak dengan daun-daun berguguran atau di sebuah café berinterior vintage di suatu hari yang basah dan dingin karena hujan atau di sebuah lorong sekolah, ketika sang pangeran tidak sengaja menabrak si gadis dan menjatuhkan buku-bukunya dan mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.

Hm, mungkin anak laki-laki juga seperti itu—punya seorang puteri cantik idaman untuk dipuja, dikejar, atau dipandangi dari jauh.

Walaupun, bayangan semasa remaja seperti itu membuat kita memaksakan sebuah ekspetasi dan ilusi pada orang yang mirip dengan pangeran atau puteri yang bersemayam di pikiran kita.

Aku juga punya satu.

Namanya Uchiha Sasuke. Tiga belas tahun yang lalu, jika ditanya siapa Uchiha Sasuke, aku akan menjawab dengan antusias bahwa dia belahan jiwaku—the One.

Tapi sekarang, aku akan menjawab dia adalah teman lama—bukan, bukan, setelah dipikir-pikir kita bukan teman, untuk lebih jelasnya dia hanya salah satu dari teman sekelasku. Kurasa begitu.

Dan aku sedang memegangi undangan pernikahannya—ditulis dengan huruf indah warna keemasaan—elegan. Aku membolak-balik kertas undangannya. Tebal dengan kertas dan desain kualitas tinggi. Aku mengangkat alisku ketika melihat dua nama yang tercantum di kertas warna salmon di tanganku terasa sangat familiar.

You are cordially invited to celebrate

the marriage of

Uchiha Sasuke

and

Tsuchigumo Hotaru

Aku menyesap kopi panas dari cangkir di depanku. Mengangkat kakiku ke sofa lebih tinggi. Ini adalah pojokan kesukaanku ketika memutuskan untuk bersantai di rumah. Sun nook kesukaanku. Hujan turun semakin deras. Aku mendongak dan melihat jendela sudah buram dengan aliran-aliran perak bening dan berembun di permukaannya. Aku menyesap kopiku lagi, bangkit berdiri, berjalan ke pojokan ruangan dan melempar undangan di tanganku ke keranjang sampah.

.

.

.

Summer Snow

by Alicera

2015

Two-shots story

.

.

.

Aku baru selesai membaca chapter 3 dari buku di tanganku, ketika bel pintu rumahku dibunyikan dengan berturut-turut seakan-akan ada orang dikejar hantu sedang berusaha masuk rumahku. Aku melihat jam, pukul empat sore, dan ini hari minggu, siapa yang berani menganggu waktu bersantaiku.

Ah.

"Sakura! Cepatlah buka pintunya, aku tahu kau di dalam! Jangan mencoba kabur!"

Aku menghela napas dan meletakkan bukuku di meja. Aku mengenali suara tinggi yang feminin itu. Aku memakai selop biru beludru berbentuk kelinci dan mengikat lebih erat kimono yang kupakai.

"Sakura! Demi keselamatan koleksi boneka kelincimu, buka pintunya, aku tahu sekarang kau sedang apa—meringkuk di pojokan bodohmu, membaca buku dengan kopi dan aura melankolis yang—"

Ino berhenti berteriak dengan mulut terbuka ketika pintu tiba-tiba kubuka dengan cepat. Tanpa memedulikan ekspresi gelap di mukaku, dia menerobos masuk, melepas mantel cokelatnya. "Astaga, Sakura, di luar hujannya deras sekali, dan aku hampir kesulitan mencari taksi."

Aku menutup pintu dan melipat kedua lenganku di depan dada. Ino sudah masuk ke ruang tengah dan menjatuhkan dirinya di kursi.

"Apa yang kau lakukan di sini, Ino-pig?" Aku berkata sambil menuju dapur—membuatkan teh panas untuknya. Aku kasihan juga pada nona-yang-biasanya-sangat-fashionable ini terengah-engah dengan rambut lepek dan tubuh gemetar mencariku.

Aku meletakkan teh di depannya. Dia tersenyum manis dan mengangkat alis.

"Tanpa gula," ujarku, mengetahui isyaratnya.

"Kau sangat perhatian, Sakura."

Aku duduk juga," aku adalah teman baik yang selalu membantumu menjaga asupan gula, Ino-pig," sahutku sarkastis. "Jadi ada apa kau ke sini?"

Dia memandangiku tajam, mengerucutkan bibi merah ranumnya dan tiba-tiba melempar tangannya ke atas dengan frustasi. Aku memutar bola mata melihat sikap dramatisnya. "Ada apa, ada apa kau bilang! Oh God, Sakura. Kau putus dengan Hidate tanpa memberitahuku!"

"Jadi?"

"Kalian sudah berpacaran tiga tahun, kabar yang aku harapkan adalah kalian akan segera bertunangan atau apa."

"Kurasa sudah cukup aku mendengar kabar gembira itu darimu," aku mengarahkan pandanganku ke cincin berlian di jari manis Ino.

"Oh," ekspresi Ino jatuh dan dia tidak berani menatapku. "Tadi malam, Sai melamarku."

Aku tersenyum lebar. "Kukira kau masih ingin menyeleksi ikan-ikan di laut, Ino."

Dia mendengus kemudian tertawa. "Itu motoku waktu kuliah, Sakura—"

Aku bangkit dan memeluknya. "Aku turut bahagia mendengarnya—dan jangan coba-coba kau merasa bersalah karena aku baru saja putus dengan Hidate."

Ino mengusap matanya yang berkaca-kaca dengan senyum kecil di bibirnya. Tiba-tiba ia merogoh tasnya dan mengeluarkan undangan yang identik dengan undangan yang baru kubaca beberapa saat lalu.

"Aku datang mengganggu waktu liburmu karena ini."

"Aku tidak akan datang," jawabku tanpa ditutup-tutupi.

"Apa maksudmu—kau sudah tahu?"

"Aku tidak akan datang Ino."

"Tunggu—Apa kau mendapat undangan juga?"

Aku mengangkat bahu.

"Dasar ayam emo—Uchiha Sasuke, berani sekali dia mengirimimu undangan!"

"Sudahlah, Ino. Mungkin dia hanya mengumpulkan nama-nama teman SMA yang dikenalnya dan aku termasuk di nama yang dia kenal."

"Bullshit!"

Aku tertegun juga melihat muka merah dan napas terengah-engah Ino. Ia kelihatan murka. Tangannya mengepal di samping tubuhnya yang dibalut celana jeans, boots hitam, dan blouse putih. Dia menyentakkan syal sutra warna transparannya ke sofa.

"Aku tidak mengerti," bisik Ino.

"Aku juga, kenapa kau bersikap seperti ini?"

Dia memijit keningnya keras. "Aku sudah tidak tahan lagi!"

Aku memandanginya penuh tanda tanya. "Kau membuatku khawatir, Ino."

"Kau yang membuatku khawatir, Sakura." Tiba-tiba dia memandang dengan tajam ke arahku. "Tiga belas tahun sudah berlalu, dan—dan kau masih…kau masih tidak bisa memaafkannya. Kau tidak bisa terus seperti ini."

Aku menghela napas panjang. "Aku sudah tidak mencintainya lagi, Ino." Aku mengangkat kakiku ke atas kursi—tiba-tiba merasakan hawa dingin di seluruh tubuhku. "Lagipula, aku sudah moved on."

Ino masih terdiam.

"Belum, Sakura."

Aku tertawa. "Astaga, Ino. Itu benar-benar delusional, setelah 13 tahun, aku tidak mungkin masih berharap aku dan Sasuke akan bersama—ini bukan film, kita—aku dan Sasuke tidak akan bertemu di suatu sore dan menyadari perasaan kita atau aku menghentikan pernikahan mereka sebelum mereka mengucapkan sumpah. Oh God, berhenti berharap seperti itu, itu sedikit menyakitkan untukku karena seakan kau percaya aku tidak akan pernah benar-benar bahagia jika aku tidak bersama Sasuke."

"Kau selalu sangat rasional."

Aku hanya mengangkat bahu. "Dan kau selalu sangat melodramatis."

"Kau dulu tidak seperti ini, Sakura."

"Seiring berjalannya waktu, orang bertumbuh dan berubah Ino. Kau sekarang juga lebih romantis dan lebih setia tentu saja. Lebih anggun juga, kau harus ingat bagaimana tingkahmu waktu SMA," kataku sambil tertawa kecil— kemudian mendesah lagi ketika melihat mata Ino berkaca-kaca.

"Aku ingin kau bahagia, Sakura,"

"Astaga, aku bahagia, Ino. Sekarang aku sudah menjadi seorang psikolog terkenal, punya rumah sendiri, mandiri, aku menikmati hidup dengan teman-temanku, jalan-jalan keliling dunia menghadiri banyak konferensi, punya organisasi kemanusiaan untuk anak-anak korban kekerasan rumah tangga, aku cukup beruntung dalam segi romansa—walaupun aku baru saja diputuskan orang," aku terdiam. "Dan aku punya sahabat baik yang selalu ada untukku," aku memandang Ino dengan senyum kecil.

"Aah, Sakura," Ino menubrukku dalam pelukan.

"Ino, berhentilah menjadi sangat emosional, kita tidak sedang berpisah atau apa." Aku kesusahan melepaskan pelukannya.

"Sakura, aku tahu kau adalah yang terpintar di antara kita berdua—dan aku tahu aku yang paling emosional dan gegabah. Tapi kumohon, aku ingin kau mendengarkanku."

"Aku mendengarkan."

"Tidak, maksudku benar-benar mendengarkan dan lihat ke dalam hatimu."

"Oke." Aku memaksakan wajah serius.

Ino duduk lagi di sofa dengan tangan terlipat di pangkuan, ia meremas tangannya dengan gugup. "Baiklah, kita mulai dari mana ya? Oke, kehidupan percintaanmu selama 13 tahun ini, tidakkah kau menemukan sebuah pola?"

Aku terdiam—menunggu Ino melanjutkan.

"Dari semua pacarmu—jika kau yang memutuskan mereka alasannya adalah mereka terlalu manja dan posesif. Kalau mereka memutuskanmu—seperti Hidate misalnya, alasannya adalah kau terlalu dingin."

Aku tertawa lagi. "Ino, dari mana kau dapat teori seperti itu?"

"Mereka terkadang bertanya padaku, Sakura. Apakah kau memiliki seseorang yang belum bisa kau lupakan."

"Itu benar-benar menggelikan."

"Tapi tidakkah kau sadar, Sakura, kau tidak benar-benar membuka dirimu pada mereka, itu membuat sebagian dari mereka menjadi kurang tenang maka mereka menjadi manja dan posesif, sikapmu yang dingin membuat sebagian yang lainnya menyerah."

"Aku tidak dingin pada Hidate, Ino, kita punya kebiasaan romantis seperti pasangan yang lain."

"Ya, tapi kau selalu terpaksa melakukannya—semua kejutan makan malam, kue dan makan siang untuknya. Terkadang aku merasa kau tidak benar-benar mencintai mereka."

Suara hujan terdengar menghantam atap, langit seperti menjatuhkan bola-bola baja ke bumi. Entah kenapa suara hujan kali ini tidak ramah. Biasanya aku suka hujan.

"Aku merasa sejak Sasuke, kau tidak pernah berusaha—berusaha untuk benar-benar suka pada orang lain."

Aku terdiam. Ino menggeser kaki jenjangnya dengan gelisah.

Ketika aku sama sekali tidak menjawab, dia melanjutkan lagi. "Aku tahu, seberapa pun aku menginginkan ini tidak terjadi, aku tahu kalian mungkin tidak pernah ditakdirkan bersama, tapi aku ingin kau kembali ke Konoha, Sakura, walaupun hanya sebentar. Aku ingin kau menyelesaikan masalahmu dengan—dengan semua hal di sana." Ino memandang mataku lekat-lekat. "Karena terakhir kali kau lari, Sakura, kau melarikan diri dan tidak pernah kembali."

"Ino."

"Ya?"

"Kukira yang seharusnya suka berpuisi itu aku, tapi kata-katamu benar-benar dramatis, benar-benar tidak masuk akal."

Kurasakan wajahnya berubah kecewa—dingin.

"Kau sangat keras kepala, Sakura."

"Biar kujelaskan beberapa hal." Aku berdiri menuju dapur dan mengisi ulang kopi panasku dan kembali duduk. Tidak ada di antara kami yang bersuara. Semuanya hening.

"Mungkin yang kau katakan benar, aku tidak pernah lagi bersikap seperti dulu ketika suka pada orang lain, aku tidak merubah penampilan sesuai dengan selera mereka, atau menguntit dan mencari profil lengkap, latar belakang, dan kesukaan mereka. Atau menjadi gadis dengan muka merah, mencari-cari perhatian, dan berisik seperti dulu."

Aku bangkit berdiri, berjalan sedikit, membiarkan kehangatan menjalari kakiku. "Atau mencari-cari kesempatan untuk bersama mereka, menggoda. Atau menyatakan perasaan dengan begitu jelasnya."

"Bukan itu yang ku—"

"Ino, aku rasa kau selalu tidak terima dengan sikapku yang sekarang. Kalian—Kau, Temari, Shion, Ayame, sejak dulu kalian selalu seperti itu. Kalian selalu bersikeras agar aku mengejar Sasuke, untuk tidak menyerah, memberikan harapan dengan penjelasan kalian bahwa Sasuke juga menyukaiku, bahwa terkadang dia memandangku, atau walaupun sikapnya dingin dia selalu menolongku dan tidak pada gadis lain. Kalian tahu, sikap kalian yang seperti itu adalah salah satu alasan aku bersikap gila di masa lalu. Membuatku berhalusinasi."

Ino bangkit. "Sakura, apakah kau menyalahkan kami?"

"Tidak, tidak, Ino. Kita sudah dewasa. Itu hal yang normal terjadi pada kisah percintaan masa remaja, walaupun hanya sepihak."

"Jadi apa maksudmu?"

"Maksudku adalah aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali."

Ino berekspresi seakan aku baru menamparnya.

"Aku bukan simbol puteri atau tokoh utama roman picisan dalam khayalan kalian. Aku hanya seorang gadis biasa yang telah melanjutkan hidup. Dan aku pernah jatuh cinta lagi setelah Sasuke. Jadi—jadi berhenti merusak hidupku dengan ide gilamu!" Suaraku meninggi tanpa kendaliku.

"Kau menyalahkan kami, Sakura. Oke, baiklah mungkin di matamu, aku dan yang lain hanyalah gadis-gadis bodoh yang suka tertawa terkikik-kikik, yang kerjaannya hanya mengejar pacar, dan kau wanita sukses independen yang luar biasa, tapi Sakura, kau tidak pernah mau mengakui permasalahanmu sendiri, kalau tidak kabur kau menyalahkan orang lain. Aku mungkin tidak sepintar dirimu, tapi aku tahu, kau terluka dan kau hanya berpura-pura luka itu tidak ada, tapi suatu saat nanti—suatu saat nanti, entah kapan, kau harus menghadapinya, dan sudah terlalu terlambat bagimu untuk sembuh, kau hanya akan menjadi wanita tua yang kesepian, kaku dan arogan!"

Aku dulu pernah sekali menampar Ino waktu SMP, dan ini kedua kalinya.

Mulutnya ternganga, namun dengan cepat tangannya juga menampar pipi kananku.

Kemudian hening.

Aku tertawa, tapi kurasakan mataku sembab. "Kapan terakhir kita bersikap seperti ini, Ino? Waktu SMP kalau tidak salah. Astaga, aku kira kita sudah dewasa tapi ternyata kita masih sama bodohnya."

Air mata Ino mengalir. Ah, aku benci jika dia sudah memakai senjata yang itu.

Aku mendesah, menggaruk sikuku yang tidak gatal.

"Maafkan aku," kataku kaku, suara rendah. "Aku tahu kau hanya ingin membantu, tapi Ino, biarkan aku menghadapi ini dengan caraku. Dan aku tahu, alasan kenapa kau ingin aku kembali ke Konoha bukan hanya karena Sasuke, kau hanya memakai pernikahannya sebagai alasan."

"Sakura," Ino tersenyum di antara air matanya.

"Ayolah, sampai kapan kau mau menangis?" Aku berjalan ke arahnya dan memeluknya erat. Tanganku terasa dingin ketika menyentuh punggungnya yang hangat. Aku berbisik, "Hidate—dia berselingkuh. Katanya aku terlalu kaku dan serius dan dia bosan. Dasar sialan." Aku tertawa lagi—tapi kali ini suaraku pecah.

Ino berdiri terpaku. Suara petir menyambar, tapi masih terperangkap di arakan awan kelabu di langit. "Sakura—" dia berusaha melepaskan pelukanku dan memandang wajahku—tapi aku memeluknya semakin erat.

"Sakura..." Dia kemudian terdiam. Masih memelukku dengan erat. Kurasakan aliran air mataku yang panas di pipi. Aku menangis tak bersuara di balik bahunya.

Petir menyambar lagi. Kali ini suaranya memekakkan telinga, membelah cakrawala. Membentuk perak bercabang-cabang menyentuh bumi.

Aku bahkan lupa kapan terakhir aku menangis seperti ini.

.

.

.

.

Hati yang beku memang dingin tapi juga kuat. Saat musim semi datang akan meleleh cepat—cacat.

.

.

.

Aku berangkat naik kereta menuju Konoha pukul 7.05 pagi keesokan harinya. Aku memakai kaos v-neck warna putih lengan pendek dan rok denim mini dan boots hitam berhak. Aku duduk di dekat jendela, menyilangkan kaki dan meneruskan membaca bukuku yang sempat tertunda kemarin. Di depanku, duduk seorang wanita yang mungkin sudah berumur enam puluh tahunan. Dia memandangku dari atas lalu ke bawah dan mengernyitkan hidung tanda tidak suka.

Sebenarnya, aku tidak ingin berdandan seperti ini. Akan tetapi, aku mengambil cuti untuk berlibur dan aku tidak datang ke Konoha untuk menarik perhatian siapa pun, jadi aku memutuskan untuk bereksperimen sedikit. Rambutku yang biasanya sepundak, aku potong pendek sekali, pixie style. Poniku dihiasi dengan penjepit rambut kecil warna ungu. Warna lipstik merah berani dan aku bisa melihat mata wanita di depanku memelototi bagian bawah leherku. Kausku pasti menunjukkan separuh tato burung camar yang ada di sana. Biasanya tato ini tertupi semua pakaianku. Pekerjaanku cukup resmi dengan pakaian-pakaian sopan dan rapi. Kali ini jaket dan rok denim yang kupilih cukup pendek untuk membuat wanita itu mengernyitkan hidung lagi.

Akan tetapi kali ini, aku senang dapat berpakaian seperti ini. Aku merasa bebas. Ino pasti akan menjerit kesenangan kalau saja dia tahu. Tentu saja, aku kabur sebelum dia datang ke rumahku lagi.

Aku mengangkat wajahku dari bukuku dan mata kami bertemu. Aku memberikan senyuman dan dibalas dengan mata menyipit, akhirnya dia membuang muka. Dasar gadis zaman sekarang, tak tahu aturan, mungkin begitu pikirnya. Walapun saat ini aku sedang membaca sebuah buku politik yang cukup berkualitas. Agaknya, pakaianku lah satu-satunya penentu seperti apa kepribadianku. Aku tersenyum lagi, kali ini pada diriku sendiri. Ini seperti eksperimen psikologi.

Tanganku berhenti membalik kertas. Aku melayangkan pandanganku ke luar. Tidak, bukan sesimpel itu. Aku memutuskan berdandan seperti ini untuk menghapus—tidak, menutupi Sakura yang dulu sebanyak mungkin. Dengan begini, aku memberi jarak pada kemungkinan diriku yang dulu akan muncul, lemah, bodoh, dan emosional. Aku ingin mereka semua ketika melihatku mengerti bahwa aku sudah berubah, mereka tidak bisa menyakitiku lagi atau mempermalukanku lagi. Karena mereka tidak tahu siapa diriku yang sekarang.

Keterangan tentang perang dingin antarnegara menarik perhatianku lagi. Kereta melaju cepat melewati perkotaan, pemukiman kumuh, lembah, sawah, dan akhirnya hutan-hutan dengan pohon-pohon kokoh dan hijau.

Saat itu aku tahu, setelah delapan jam kereta ini melaju, aku sampai di Konoha. Aku sudah menyelesaikan bukuku dan memilih untuk memandang keluar. Sesekali aku gatal ingin mengecek ponselku untuk mengurusi pekerjaanku—tapi aku menahan diri, aku sedang liburan. Kereta berderit melambat. Petugas memberikan pengumuman bahwa kita sudah sampai di Konoha Central Railway. Tubuh dan kakiku pegal-pegal. Wanita di depanku bergegas pergi dari kompartemen ini, tanpa mengacuhkanku. Aku mengambil koperku dan menuju peron.

Bau udara Konoha mendesak paru-paruku, membuatku sesak oleh serangan memori beruntun yang menerjangku. Aku limbung sedikit dan hampir jatuh. Aku meringis getir. Kau benar Ino, aku hanya berpura-pura bahwa luka ini tidak pernah ada. Sekarang menganga lebar mengejekku.

Sebuah tangan menarik lenganku, membantuku berdiri. Aku menarik napas dalam dan berbalik ingin mengucapkan terimakasih. Seorang laki-laki berumur tiga puluhan dengan mantel coklat, rambut kemerahan, mata cokelat tenang. Dia tidak tersenyum. Tapi matanya menunjukkan bahwa dia khawatir.

"Kau baik-baik saja?" suaranya dalam.

"Ah, iya, terimakasih." Aku berdiri tegak dan dia melepaskan tangannya.

"Lebih baik kita mencari tempat duduk?"

Aku mengangguk dan kita mencari bangku terdekat. Dia membantuku duduk.

"Apakah kau mau minuman panas?" tanyanya lagi.

Langit gelap. Agaknya akan turun hujan.

"Tidak, terimakasih, aku—"

"Kurasa kau butuh segelas kopi, tubuhmu dingin sekali."

Sebelum aku sempat membalas, dia berjalan menuju cafe di ujung lorong. Peron ini mulai sepi. Aku memandang tubuhnya memasuki pintu cafe. Mungkin, aku sudah terlalu sinis pada kehidupan, tapi tidak ada orang asing yang begitu baiknya pada seorang wanita yang hanya pusing sedikit. Pasti ada motif. Atau setidaknya, rasa ketertarikan yang membuatnya jadi begitu baik.

Dia kembali dengan segelas kopi. Aku tersenyum dan menerima kopi dari tangannya. Menyesapnya sedikit. Aku tertegun.

"Bagaimana kau bisa—"

"Americano. Kau suka kopi itu kan?"

"Maaf, siapa—"

"Sasori, Sakura." Dia duduk di sebelahku, mata cokelat tenangnya masih memandangku lekat-lekat. "Tidak kusangka—kau, um, benar-benar tidak ingat."

Aku terhenyak. Bagaimana aku bisa lupa.

"Sa-Sasori, tentu saja. Aku hanya tidak menyangka akan bertemu kau di sini."

Dia mengangguk, kali ini tersenyum kecil. "Kurasa kita datang untuk alasan yang sama."

Aku tertawa canggung. "Ah ya, pernikahan Sasuke. Kurasa aku akan bertemu lebih banyak teman-teman masa sekolahku. Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Aku kaget ketika menerima undangan itu. Kukira akhirnya Sasuke akan—" dia menghentikan kalimatnya.

—berakhir dengan menikah denganmu. Aku meneruskan kalimatnya. Aku benci ketika mereka berpikiran begitu.

"Yah, kau sampai menolakku dan menunggunya bertahun-tahun." Aku tahu dia tidak bermaksud menyakiti—tapi kurasa aku bahkan tidak bisa menilai kapasitas emosiku sendiri. Kurasakan perutku jatuh dan berputar di ruang kosong. Kopi kesukaanku tiba-tiba terasa memualkan.

"Ah, semua orang tahu, betapa bodohnya kita waktu masih muda." Aku berusaha menjawab santai—menutupi ekspresiku.

Dia masih mengamatiku dengan seksama. "Kau yang sekarang," dia berusaha menemukan kata-kata yang pas, jeda lama, akhirnya menyerah, "berbeda, Sakura."

"Kau juga," jawabku sambil tersenyum. Aku tidak bohong. Dia semakin tampan dan tenang. "Kita semua pasti sudah berubah, Sasori."

Lantai bergetar dan dari kejauhan terdengar bunyi kereta mendekat. Aku memandang jam besar di peron. Sudah hampir pukul empat sore.

"Kalau begitu kita bisa ke tempat Sasuke bersama-sama."

Aku menggigit bibir bawahku dan tersenyum. "Aku belum mengabari mereka kalau aku akan datang. Jadi aku akan mencari hotel di kota saja."

Sasori mengangguk mengerti. "Sayang sekali, padahal kata orang Uchiha Manor benar-benar luar biasa, di pinggiran kota dengan hutan dan padang rumput."

Senyumku melebar. "Aku tahu, kudengar mereka kaya sekali. Apakah calon—" aku menghentikan mulutku sebelum keadaan menjadi semakin canggung.

"Calon isterinya? Dia juga kaya, bagiku ini lebih seperti pernikahan bisnis."

Aku bingung harus menyahut apa, jadi aku mengangguk lagi. Sasori menarik kopernya dan mengecek jam tangannya. "Kurasa aku harus bergegas, jaga dirimu Sakura. Jika ada apa-apa telepon nomerku. Aku meletakkan kartu namaku di bawah tisu kopimu. Sampai jumpa besok." Dengan begitu dia berjalan menjauh, ketika dia sudah hampir keluar, dia berbalik dan mengucapkan sesuatu. Tapi kereta api memasuki peron, dan aku tidak bisa mendengar suaranya, yang kudengar hanya suara gemuruh kereta.

Aku mengamati kartu nama di tangannya. Ternyata sekarang dia seorang pengacara. Aku berdiri dan menarik koperku. Aku harus segera mencari taksi.

Aku menemukan hotel di pusat Konoha. Aku kelelahan. Bahkan untuk makan malam, aku memesan dalam hotel. Aku ingin cepat tidur, menghimpun tenaga, yang pasti akan kuperlukan besok.

Malam itu aku bermimpi tentang tiga anak kecil yang berlari-lari di padang rumput. Matahari bersinar cerah. Lalu hujan badai dan bayangan mobil tergelincir dan meluncur ke jurang. Lalu gelap.

.

.

.

.

.

Pagi ini aku bangun dengan badan lebih segar. Setelah aku mandi. Aku memikirkan rencanaku hari ini. Kata Ino, sebelum pesta pernikahan besok pagi. Hari ini akan ada acara makan pagi bersama, reuni teman sekolah, begitu kata Ino. Jam 9 pagi, dan ini baru jam setengah tujuh. Aku sebenarnya tidak ingin ikut makan bersama itu. Akan tetapi, mungkin itu bisa berguna untuk latihan mental esok harinya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Setelah makan sandwich serta minum segelas sari buah di restaurant hotel, aku naik lagi ke kamar. Aku memang tidak ingin menarik perhatian, tapi bukan berarti aku pergi kelihatan seperti orang sengsara dan tidak terurus. Pagi tadi aku sudah merawat rambutku dan tadi malam aku memberi moisturizer pada kulitku. Aku tidak seperti wanita kaku yang gila kerja lagi. Aku tampak seperti wanita di awal dua puluhan yang sedang jalan-jalan sendirian. Menikmati hidup.

Aku memakai make up sambil sesekali berhenti memandang diriku di kaca—cukup lama. Aku merasa tersesat. Hatiku rasanya kosong tapi paru-paruku sesak seakan tenggelam. Aku mengambil lipstick merah tuaku, mengoleskannya di bibir pelan.

.

Flashback.

.

"Astaga Sakura, kau masih SMP, kenapa kau memakai make up? Dan itu milik Ibu, Sakura." Ibuku berkacak pinggang di pintu kamarku. Aku berhenti mengoleskan lipstick merah di bibirku. Memanyunkan bibir.

"Aah, apa-apa tidak boleh, aku sudah dewasa."

"Lagipula untuk apa kau memakai make up?"

"Hari ini pesta ulang tahun temanku."

Ibuku masih melotot.

"Pesta ulang tahun Sasuke."

"Kau kelihatan lebih cantik tanpa memakai make up, Sakura. Sasuke juga pasti akan sependapat."

"Rumor mengatakan Sasuke suka gadis dewasa berambut panjang."

"Bukan berarti memakai make up kan?"

"Ah, ayolah, Ibu. Aku hanya ingin bereksperimen."

"Tidak, kulitmu masih bagus, nanti rusak terkena kosmetik."

"Kali ini saja. Kumohon."

Ibuku mendengus putus asa. "Kau ini keras kepala sekali, Sakura. Persis ayahmu."

Aku nyengir. "Tapi kau mencintaiku," sahutku sambil merangkul ibuku dan mencium pipinya.

"Akh, hentikan, kau memakai lipstick kebanyakan sekarang semua menempel di pipiku."

Aku hanya terkikik riang.

.

End Flashback.

.

Aku mengedipkan mataku dan memandangi air mata mengalir jatuh di pipiku. Membuat make up ku luntur. Aku mengusap pipiku dengan tisu dan menarik napas panjang. Ah sekarang aku harus membersihkannya dan mulai dari awal.

Aku duduk terdiam sebentar, membiarkan pikiranku menggelegak liar menampilkan memori-memori yang ingin kulupakan. Aku masih ingat ketika aku masuk ke pesta ulang tahun Sasuke, semua anak menertawakanku. Itu hanya rumor yang dikarang-karang Karin untuk mengerjaiku. Aku belum pernah semalu itu.

Aku berlari ke rumah sambil menangis. Ibuku berlari ke kamarku dengan khawatir. Usapan lembut tangannya di rambutku. Aku ingat suaraku yang meleking menyalahkannya kenapa dia membiarkanku memakai make up. Ibuku terdiam, dan dia kembali membawa semangkuk es krim cokelat kesukaanku.

Kali ini aku tidak menangis.

Setelah selesai memakai make up. Aku memilik dress yang panjangnya hanya setengah paha warna hijau. Dengan bordiran di bagian depan dan ujung bawahnya. Ada sabuk kecil cokelat melingkar di pinggangnya. Aku memilih boots warna cokelat hampir selutut. Bagian pundaknya rendah dan lebar sehingga hampir menunjukkan tato burung camarku sepenuhnya.

Aku menggeleng dan tertawa kecil, kapan terakhir kali aku merasa semuda ini. Sekarang kuharap Ino berada di sini.

Aku keluar hotel dan mencari taksi. Mereka berniat untuk mengadakan makan pagi di sebuah taman di belakang hotel termahal di Grand Uchiha Hotel. Taksi warna kuning berhenti di depanku. Aku masuk dan menyebutkan tujuanku.

Jalanan Konoha masih ramai dengan gedung-gedung tinggi dan bangunan artistik. Tapi kali ini aku merasa seperti pendatang asing yang hanya singgah saja. Aku memandangi orang lalu-lalang, berjalan di trotoar. Berharap tapi juga merasa takut untuk mengenali wajah yang familier bagiku.

Taksi berhenti. Aku harus menarik napas kagum. Sasuke benar-benar memiliki jiwa pembisnis. Grand Uchiha Hotel tidak memiliki arsitektur pencakar langit seperti hotel-hotel di sekitarnya. Hotelnya berupa bangunan megah yang luas ke belakang dengan gaya klasik dan didominasi warna krem, merah dan keemasan.

Aku sengaja tidak menghubungi siapa pun agar namaku tidak tertulis di buku tamu, aku akan diusir dan aku akan memakai alasan itu untuk tidak datang ke pernikahannya. Tapi seharusnya aku tahu, ada orang yang benar-benar ingin aku datang bahkan tanpa RSVP, namaku tertera di sana. Penjaga pintu ke taman tersenyum dan mempersilahkan aku masuk.

Ah, sial.

Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Terdengar suara samar-samar orang berbicara, suara tawa, dan dentingan alat-alat makan, rupanya hidangan pembuka sudah ada.

Tiba-tiba semuanya hening. Seakan aku baru saja memencet tombol mute pada lingkungan sekitarku. Aku bisa mendengar suara jantungku berdegup dengan sangat kencang.

Aku berhenti berjalan dan memandang ke sekeliling. Orang-orang berpakaian rapi dan elegan duduk mengitari meja panjang besar dengan alas meja putih bersih. Di atasnya terlihat kaca-kaca dan alat makan perak berkilau terkena matahari pagi.

Dulu waktu masih SMP atau mungkin SMA, terkadang aku menginginkan keadaan begini, diriku memasuki sebuah ruangan, dan orang-orang terdiam karena tertegun. Seperti Cinderella yang memasuki pesta dansa. Tapi sekarang, aku merasa kesunyian di sekitarku seperti menguliti, mengawasi, dan menghakimi diriku.

Tiba-tiba dari ujung meja, sesosok tubuh menubrukku. Warna oranye cerah, secerah dan sehangat mentari pagi ini. Sosok ini memelukku sangat erat sampai aku kesulitan bernapas.

"Sakura, Sakura-chan. Aku kira kau tidak akan datang."

Naruto. Pelukannya masih kokoh dan hangat. Aku bisa mencium bau padang rumput cerah pagi hari. Aku masih tertegun tidak membalas pelukannya.

Dia meraih dua pundakku dan aku bertatapan dengan mata biru laut dangkalnya. Perutku tertohok keras. Aku mengepalkan tangan sekuat mungkin untuk menghentikanku menangis.

"Hai, Naruto."

Senyum lembut dan lebar merekah di bibirnya. "Sakura-chan," bisiknya. Tangannya dengan enggan melepaskanku.

"Semuanya, Sakura-chan di sini!" dia berteriak riang tidak peduli sebenarnya dia tidak perlu berteriak karena semua orang memandangku dengan berbagai ekspresi.

Aku berjalan menuju meja dan untuk beberapa detik mataku bertemu mata Sasuke. Dia kelihatan kaget dan pucat, namun satu detik kemudian itu hilang digantikan wajah tanpa ekspresi dan tatapan mata tajam, marah, kali ini ditujukan pada Naruto.

Agaknya Naruto sama sekali tidak sadar—atau tidak peduli karena dia sudah menyiapkan kursi untukku dan duduk di sebelahku.

Tiba-tiba layaknya tombol play dipencet. Semua orang bergerak dan bersuara hampir bersamaan.

"Sakura!"

"Sakura-chan."

"Sakura-san."

"Kau tampak berbeda sekali. Aku hampir tidak mengenalimu."

"Aku tidak menyangka kau datang."

"Lama sekali tidak bertemu, Sakura."

Aku memandang ke sekeliling. Hampir semuanya ada di sini. Teman-teman SMP dan SMA yang wajahnya sudah mulai kulupakan.

Akhirnya aku mengarahkan pandanganku pada Sasuke lagi dan pandanganku tiba pada wanita cantik dan anggun di sebelahnya. Dia memliki rambut cokelat panjang yang digulung ke atas. Gaunnya warna putih dan kelihatan mahal. Matanya teduh. Jari-jarinya panjang lentik dengan kuku terawat. Cincin berlian berkilau di jari manisnya.

"Sakura-san, selamat datang." Suaranya lembut dan senyumannya tenang dan manis. Dia masih memandangku dengan ramah. Kebahagiaan kelihatan bersinar dari wajahnya.

"Ah, Tsuchigumo-san," aku mengendalikan suaraku agar tetap tenang dan ramah. Aku membalas tersenyum juga.

"Hotaru—panggil saja Hotaru."

"Hotaru, terimakasih telah mengundangku. Selamat atas pertunangan kalian."

Dia tersenyum manis lagi. Dia benar-benar tipe Sasuke. Setelah bertahun-tahun kemudian aku jadi tahu apa sebenarnya tipe Sasuke, gadis dengan kecantikan alami yang lembut dan keibuan. Seorang wanita yang mirip ibunya.

Tiba-tiba Sasuke membuka suara, "tidak ada yang memberitahuku kalian akan mengundangnya, dan aku juga belum memberikan izin." Suaranya rendah, dingin dan lebih dalam dari kali terakhir aku bertemu dengannya.

Suhu taman ini tiba-tiba menurun drastis. Sinar matahari sama sekali tidak terasa hangat.

"Aku yang mengundangnya, Sasuke." Suara Naruto tidak kalah dingin.

"Untuk apa? Kau tidak punya hak."

"Aku memberinya izin, Sasuke-kun." Hotaru berkata dengan heran.

Sasuke-kun. Hah.

Sasuke mengarahkan pandangan tajamnya ke calon isterinya. "Seharusnya kau meminta izin dulu kepadaku."

"Kenapa? Sakura adalah sahabat masa kecilmu dengan Naruto."

"Jangan membantah, Hotaru," suara Sasuke semakin dingin, tangannya mengepal di atas meja. Hotaru tampak kaget dengan amarah Sasuke.

Aku bangkit. "Kelihatannya aku tidak diundang secara resmi. Daripada aku menghancurkan makan pagi indah ini. Sebaiknya aku pergi. Terimakasih semuanya—Naruto, Hotaru-san."

Aku ingin tersenyum getir. Jadi ini yang terburuk—diusir. Aku kaget dengan ketenanganku sendiri.

"Itu brengsek, Sasuke," sebuah suara menengahi. Kiba. Dia seorang pelukis terkenal sekarang. "Sakura sudah jauh-jauh datang kemari."

Sasuke memberikan pandangan terdinginnya pada Kiba.

"Sakura, duduk lah. Kita semua merindukanmu." Dia mengerdipkan mata padaku.

Aku tersenyum tipis padanya.

"Untuk apa kau datang, Sakura, apa tujuanmu?" suara Sasuke terdengar lagi. "Kau tahu bukan, tidak ada sesuatu atau seorang pun yang bisa menghentikan pernikahan ini."

Darahku mendidih dengan cepat. Sasuke masih sama arogannya seperti dulu. Seakan semua tindakanku harus ada hubungannya dengannya.

"Apa maksudmu, Sasuke? Tentu saja aku datang untuk merayakan akan berlangsungnya pernikahan kalian." Satu-satunya alasanku kenapa masih menjaga sikap dan bukan menyiramkan jus jeruk di depan Sasuke ke mukanya adalah Hotaru. Dia tampak kebingungan.

"Kau berharap aku mempercayai itu—seharusnya kau tahu aku tidak mungkin meng—"

Belum sempat Sasuke menyelesaikan kalimatnya. Naruto melesat dari kursinya, mengangkat kerah kemeja Sasuke dan meninju dengan keras. Sasuke jatuh ke tanah. Hotaru memekik. Semua orang membeku.

Sekarang, walaupun aku pergi, tidak ada sesuatu pun yang bisa menyelamatkan makan pagi ini. Keberadaanku benar-benar menghancurkannya.

"Kau selalu seperti ini, aku mengundangnya, Sasuke. Dan Sakura-chan adalah teman-tidak, dia sahabat kita sejak kecil, bagaimana bisa kau bicara seperti itu padanya!" Naruto menggeram di balik giginya yang gemeletuk menahan marah.

Sasuke mengusap bibirnya yang berdarah dan bangkit. "Terserah, kau mau bagaimana, Naruto." Dia bangkit dan berjalan ke dalam hotel. Hotaru mengejar Sasuke ke dalam.

Aku merasa aneh ketika aku menyadari bahwa aku sudah memandang orang-orang di sekitarku dengan cara berbeda jauh dibandingkan dulu. Sekarang aku bisa melihat hal-hal yang dulu tidak bisa aku lihat. Sasuke misalnya, sikap dinginnya itu terlihat menyakitkan bahkan untuk dirinya sendiri. Seakan dia sedang memasang tameng. Aku sadar aku tidak akan cocok dengan Sasuke walaupun kita berakhir bersama. Sifat kami terlalu berbeda. Aku tidak akan bahagia bersamanya. Dulu, hal-hal seperti ini tidak akan pernah berada di pikiranku. Yang kulihat hanya seberapa keren dan tampannya Sasuke.

"Maafkan aku semuanya," kataku kepada semua orang di meja lagi.

"Tidak apa-apa, Sakura, aku bosan, dan itu tadi drama yang cukup menarik." Shikamaru berkata, tersenyum kecil memandangku.

"Aaah, aku mau anggur merah." Temari berkata sambil mengangkat tangan memanggil pelayan.

"Kau jangan minum, ini masih pagi, dan baru saja ada konflik di depanmu," Shikamaru berkata lagi, memandang Temari.

"Justru karena itu, aku butuh minum. Semua setuju?"

Hampir seluruh tamu di meja bersorak.

"Aku mau anggur yang paling mahal."

Kalimatnya disambut tawa setuju dari seluruh peserta makan pagi.

"Kau tahu, anggur di sini sangat mahal," celetuk Ayame sambil tertawa riang.

Temari mengibaskan tangannya. "Alah, kan bukan kita yang akan membayar, Tuan-Emo-Lidah-Es itu yang akan membayar," jawabnya riang.

Semua orang tergelak. Pelayan datang dengan beberapa botol anggur. Kemudian semua orang minum dan mengobrol. Tampaknya semua orang jadi tertarik padaku. Ini yang berbeda dari zaman sekolah dulu. Dulu Sasuke seperti pangeran sekolah, sekarang mereka merasa agak sebal pada Sasuke.

"Nah, Sakura, kau terlihat sangat cantik dan menggoda, sedang single?" tanya Temari memainkan gelas anggurnya.

Aku sudah menghabiskan satu gelas milikku.

"Umm, ya."

Kiba bersiul dan datang mendekat. "Kita sama," katanya.

Aku tertawa. Lalu Kiba bercerita tentang galerinya di Suna yang megah. Aku bertanya, lukisan apa yang dia gambar. Anjing dan pudel aku bertanya. Wanita cantik Kiba menjawab dan memandangku lama. Aku tergelak lagi.

"Kau masih seorang playboy seperti dulu, Kiba." Temari menukas kesal.

"Dan kau masih sama bawelnya," jawab Kiba enteng.

"Kau menikah dengan Shikamaru?" tanyaku. "Kalian dulu kan cakar-cakaran?"

"Uhm, benar." Aku harus tertawa lagi melihat pipi Temari merona merah senada dengan bajunya. Shikamaru kabur ketika aku berusaha menggodanya.

Suasana entah bagaimana kembali riang. Saat itu Naruto, masih berdiri di pojokan, menenggak anggur merah, dengan botol pribadinya sendiri yang mungkin sekarang sudah setengahnya habis.

Aku mendekat. "Naruto."

Dia mengangkat mukanya dan memandangku lama. Senyumnya terlihat sedih.

Satu hal yang kusadari yang dulu tidak bisa aku lihat. Naruto selalu memaksakan tersenyum dalam semua keadaan. Bagiku, Naruto seperti pilar kuat dan kokoh yang selalu menopangku. Ketika aku sedih, dia selalu ada, tersenyum lebar. Terkadang aku merasa, aku tidak harus tersenyum, karena satu senyumnya sudah cukup untuk kita berdua.

Aku menggenggam tangannya. "Kau baik-baik saja? Maafkan aku, gara-gara aku kau jadi bertengkar dengan Sasuke."

Naruto menggeleng lemah. "Dasar Teme, ayam bodoh. Dia tidak benar-benar ingin bicara begitu padamu, Sakura. Dia hanya keras kepala dan takut makanya dia berubah jadi medusa begitu."

"Takut?"

Naruto menggeleng lemah lagi. "Aku hanya ingin kita bertiga bertemu lagi. Terimakasih, Sakura telah datang ke sini." Sinar matahari menyinari mata birunya. Tangannya hangat. Terkadang aku iri dengan persahabatan Naruto dan Sasuke. Naruto seakan mengerti Sasuke luar dalam. Begitu pula Sasuke, dia hanya mau mendengarkan Naruto. Mereka seperti memiliki hubungan kuat yang tidak bisa kumengerti. Dulu, hal ini selalu membuatku seperti orang ketiga, orang asing. Aku dulu iri setengah mati pada mereka.

"Aku percaya padamu." Aku tersenyum dan memeluknya. Aku benar-benar merindukannya. Bahu kokohnya, tangannya yang kuat yang selalu ada saat aku membutuhkannya. Baunya yang seperti padang rumput dan matahari pagi, terkadang embun segar. Tanganku menyentuh rambut kekuningannya, yang selalu kukira kaku tapi ternyata sangat halus. Jemariku menyusup tanpa kendaliku.

Aku menyentak melepaskan diri. Aku tidak bisa. Berhenti Sakura.

"Kita sudah lama tidak bertemu, apa kau mau jalan-jalan denganku?" Naruto bertanya memandangku dengan mata biru beningnya, penuh harap.

Tidak, Sakura.

"Baiklah."

Naruto tersenyum lebih lebar. Bagaimana kau bisa tetap tersenyum seperti itu? Aku ingin bertanya.

Setelah berpamitan dengan yang lain, Naruto mengambil mobilnya. Dia memakai kemeja biru dan celana panjang cokelat. Aku duduk di depan, di sebelah kursi pengemudi. Memandanginya beberapa saat. Mengamati—sudah berapa banyak perubahan yang terjadi. Merasakan aku sedang memandangnya cukup lama, Naruto menoleh.

"Sakura-chan?"

"Kau sudah sukses sekarang, lebih dewasa, dan lebih tampan," kataku, bukan dengan nada menggoda atau apa hanya menyuarakan hasil observasiku.

Mata birunya kabur ke arah lain. Pipinya merona, merambat sampai ke lehernya. Dia menggaruk belakang kepalanya malu. Perutku bergolak. Ternyata aku masih bisa membuatnya berekspresi seperti itu.

"Yep, aku tahu, padahal dulu aku adalah anak sekolah dengan nilai jelek, nakal, dan sembrono."

"Ya, itu benar."

Dia memanyunkan bibirnya. Kemudian tertawa ringan.

"Tapi kau juga sangat baik hati, pemberani, peduli pada orang lain, dan pintar sekali berpidato. Kudengar kau sedang mencalonkan diri menjadi walikota?"

Agaknya pujianku ini membuatnya gelagapan, wajahnya memerah semakin parah.

"Aku—kau terlalu melebih-lebihkan."

Aku terkikik sendiri. Satu hal lagi yang berubah. Sekarang aku lebih terang-terangan dalam memuji Naruto, lebih terbuka. Dulu, aku lebih suka memarahi kebodohannya atau memukul kepalanya. Agaknya, sikap baruku ini membuat Naruto kaget.

"Kau—kau juga kelihatan lebih cantik dan lebih tenang. Kau dulu galak dan suka memukul orang."

Aku tertawa sambil memukul lengannya cukup keras. "Enak saja." Naruto mengaduh kesakitan.

Naruto melirik, nyengir. "Tuh kan, belum sepenuhnya hilang."

Aku tertawa lagi. Naruto mengerem dan mobil ini berhenti di lampu merah.

Hening. Akan tetapi, aku tidak merasa canggung. Aku memperhatikan lengan kokoh Naruto di kemudi. Aku selalu merasa aman di dekatnya. Dan itu berbahaya. Aku tidak bisa menjadi terbiasa lagi dengan perlindungannya. Lusa kami akan kembali ke kehidupan kami masing-masing.

"Jadi, siapa gadis beruntung yang menunggumu di Ame?" Ah, topik yang membuat canggung, tapi apa boleh buat.

Ada jeda sebentar. "Tidak ada."

Aku menoleh kaget. "Kau bohong."

"Tidak, Sakura-chan."

"Wah, wah. Tidak kukira kau sekarang jadi seperti ini," kataku melemparkan senyum jahil. Naruto mengangkat alis.

"Sejak kapan kau jadi womanizer begini?"

"Bukan begitu, aku mempunyai beberapa hubungan di masa lalu, tapi untuk saat ini, aku sedang tidak ingin berkomitmen apa-apa."

"Kenapa? Dengan posisimu sekarang, kau bisa mendapat wanita berkualitas tinggi. Lagipula itu bagus untuk karirmu. Masyarakat selalu lebih suka calon walikota sebagai sosok suami yang setia dan peduli pada isu-isu sosial."

"Alasanmu benar-benar dingin, Sakura-chan."

"Bukan dingin, hanya realistis."

"Kau berubah."

Ah, kata itu lagi.

Aku mengangguk dan melipat tanganku di depan dada. "Kita semua berubah, aku hanya berhenti melihat kisah romansa hanya sebagai luapan emosi. Ketika kau bisa mendapatkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang membuat hidupmu lebih baik, kenapa tidak, Naruto?"

"Aku tidak begitu," gumamnya, matanya tertuju pada jalan. "Aku akan menikah jika aku menemukan orang yang tepat, yang membuatku bahagia. Jika orang tersebut juga mencintaiku."

"Kau selalu sangat idealis, hmm, mungkin karena itu kau cocok jadi pemimpin," aku menggerutu.

Naruto tertawa kecil. "Aku tidak ingin mengubah sifatku yang satu itu."

Oleh karena itu, kau masih bisa tampak begitu hidup dan penuh harapan, Naruto.

"Ngomong-ngomong, kau membawaku ke mana?" kataku penasaran, melihat kami berbelok meninggalkan jalan besar. Ada toko-toko kecil dan jalan trotoar bersih dengan pohon-pohon tertata rapi. Sesekali ada petak-petak rumpun bunga di tengah-tengah trotoar itu. Ada tiang-tiang lampu-lampu antik memagari jalan ini. Naruto menghentikan mobilnya di depan sebuah cafe. Ada tanaman-tanaman rambat di sebelah dinding ruang cafe. Interiornya vintage dengan tanaman gantung dan lampu-lampu cerah. Jendelanya besar-besar dengan tempat duduk di berandanya. Ada tumbuhan berbunga ungu menaungi jalan masuk ke cafe.

"Cantik sekali," kataku sambil memandang kagum.

"Kita memilih duduk di luar saja. Kita belum makan siang kan?"

Setelah memesan menu, kami menunggu sambil duduk di meja di luar cafe. Menikmati angin siang yang tidak terlalu panas. Bunga-bunga ungu di atas kepalaku, terkantuk-kantuk terkena angin. Tidak lama kemudian menu datang, dan kami makan dalam diam.

"Jadi, bagaimana dengan dirimu?" kata Naruto setelah kami selesai makan.

"Bagaimana apanya, Naruto?"

"Kehidupanmu, Sakura-chan, kita sudah," jeda sebentar seakan kata-kata selanjutnya menyakitinya," sudah tiga belas tahun tidak bertemu.'

"Sudah lama sekali. Hm, aku sekarang seorang psikolog anak yang bekerja pada organisasi internasional."

Naruto tersenyum lembut. "Itu aku tahu, aku melihat fotomu ketika kau mengunjungi Oto yang sedang perang sipil. Kau membuat gerakan perubahan pada panti asuhan di sana."

Sekarang giliranku yang menunduk dengan pipi merona. "Kau tahu itu?"

"Tentu saja, aku selalu berusaha mencari informasi tentangmu, Sakura. Kau tidak membiarkan Ino memberitahuku alamatmu—selama tiga belas tahun." Nada suaranya terdengar sedih sekaligus marah.

Aku tidak bisa menjawab. Naruto menarik napas panjang.

"Kau juga belum menikah."

Aku mengangguk. "Aku sering berpergian, terakhir kemarin aku diselingkuhi."

Naruto terlihat kaget dengan pernyataan lugasku. Lalu dia kelihatan marah lagi. "Siapa yang berani-beraninya melakukan itu, Sakura?"

Aku tersenyum melihat sifat protektifnya belum hilang. "Tidak penting, aku sudah memutuskan untuk melupakannya."

"Dasar brengsek," gumam Naruto.

"Ya, bajingan tengik," kataku menyahut.

Naruto tertawa keras. "Kau kuat sekali, Sakura." Warna biru matanya menyaingi cerahnya langit siang ini.

Aku mengangkat bahu. "Tentu saja."

Tapi aku tidak bilang bahwa aku takut alasan Hidate berselingkuh adalah aku sendiri dan aku lah penyebab semua hubungan gagal sebelumnya. Aku terlalu sibuk, terlalu serius dan ambisius. Menikah menjadi hal paling akhir yang kupikirkan.

Ah, hentikan, Sakura.

"Ah, aku tahu cara untuk menghiburmu." Naruto beranjak dan berjalan dan sesekali berlari untuk menyeberang jalan. Aku ingin memanggilnya kembali ketika Naruto menghampiri penjual bunga di trotoar. Beberapa saat kemudian dia sudah berlari kembali membawa seikat bunga mawar merah segar.

"Kau tidak perlu repot-repot. Kau tinggal mentraktirku saja." Tapi aku mencium mawar itu dengan senang. Naruto selalu saja punya cara untuk membantu orang lain.

"Tidak repot—dan setidak-romantisnya kamu yang sekarang, Sakura, pasti kau masih suka bunga."

Aku tersenyum lebar dan meletakkan buket mawar itu di meja.

"Nah, itu lebih baik, mukamu lebih—"

Tiba-tiba Naruto terdiam, memandang ke belakangku. Aku menengok. Dan di sana lah, Sasuke berdiri di bawah pohon. Tubuhnya jangkung dan tegap. Rambut hitamnya bergoyang terkena angin. Ia memakai jaket panjang walaupun udara tidak dingin. Matanya pekat—menerobos pikiranku. Dia masih berdiri dengan kedua tangan bersembunyi di saku jaketnya.

Kemudian dia berjalan pelan menghampiri kami, matanya tidak terlepas dari pandanganku. Kurasakan jantungku berdegup kencang.

Tidak seperti di masa lalu. Aku tidak segera mengartikan perubahan detak jantungku sebagai rasa suka. Kali ini, aku merasa takut. Aku merasakan akan ada badai yang datang seiring kedatangan Sasuke.

Dengan tenang dia mendekat dan tiba-tiba mencengkeram lenganku, ekspresinya gelap.

Naruto bangkit, marah.

Aku memandang Sasuke lurus—tajam, tidak berkedip.

"Apa yang kau rencanakan, Sakura?"

Aku menjawab tenang. "Aku tidak mengerti, Sasuke. Kau yang kelihatannya punya pemikiran aneh. Lepaskan tanganku."

Mata Sasuke menyipit marah.

"Sudah kubilang, kenapa kau masih di sini? Dan sekarang kau bersama Naruto, apa yang kau rencanakan menggodanya seperti itu?"

Aku menyambar vas berisi air dan bunga tulip di depanku dan menyiramkannya ke Sasuke. Ia terlihat kaget tapi kemudian melepaskan pegangannya pada lenganku.

"Kau sudah gila ya? Kita hanya makan siang sebagai seorang teman."

Sasuke menyeringai dengan kejam. "Teman, makan siang dengan teman tidak disertai dengan buket bunga mawar dan pandangan menjijikkan seperti itu."

"Apa yang kau—" aku menghentikan perkataanku.

Ah. Kenapa aku tidak menyadarinya? Siapa yang berusaha aku bohongi, ini bukan makan siang antarteman.

"Sasuke, apa yang aku lakukan dengan Sakura bukan urusanmu." Naruto memandang Sasuke dengan marah. Tangannya mengepal erat. Mata birunya sekeras batu safir.

"Kau berhasil lagi, kau hanya akan mempermainkan Naruto." Suara Sasuke yang terdengar menghakimi membuatku tertawa.

"Hahaha, astaga ini terjadi lagi, ya kan? Kau sudah gila Sasuke."

Beberapa pengunjung memperhatikan kami dengan kesal.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu, Sasuke?" Naruto berkata frustasi, malu karena membuat keributan di siang bolong.

"Cukup. Maafkan aku, Naruto tapi aku tidak bisa tinggal lagi, aku tidak bisa." Aku menyambar tasku untuk beranjak pergi.

"Kau akan kabur lagi, seperti dulu, Sakura."

Sebagian diriku yang kukubur jauh-jauh bangun, gadis kecil yang hilang arah. Ia menjadi sangat marah. Tubuhku bergetar menahan amarah.

Aku melangkah maju, memandang matanya lurus-lurus. "Jadi kau ingin bicara, Sasuke, baiklah, ayo kita bicara," desisku di depan mukanya.

Naruto membayar bill dan kembali masih menemukan aku dan Sasuke bertukar pandangan mematikan.

"Di sana," kataku menunjuk sebuah bar beberapa puluh meter.

"Sekarang kau kecanduan alkohol? Tadi pagi kau baru saja minum." Suara tajam Sasuke menyahut.

Aku tersenyum. "Aku tidak bisa bicara denganmu tanpa minum."

Kami bertiga masuk dan melihat hanya ada kami di sana. Bar ini agak remang-remang dengan meja dan kursi mahoni.

Naruto memesan sebotol vodka dan tiga gelas dan es di dalamnya. Tubuhnya kaku dan awas seakan dia juga merasakan badai yang akan datang menerpa kami.

Aku menenggak habis satu gelas. Menghantamkan gelasnya lagi ke atas meja. Mataku panas.

"Jadi apa masalahmu, Sasuke?" kataku—suaraku parau.

Sasuke diam.

"Sialan," kataku, mengisi gelasku lagi bersiap minum ketika tangan Naruto dengan lembut mengambilnya dari tanganku.

"Jangan terlalu banyak minum, Sakura."

Ah sial, mataku panas. Dadaku terasa sakit—melihat kami bertiga duduk bersama—sudah berapa lama. Memori-memori itu seperti mimpi yang jauh.

"Ah, tidak ada di antara kalian yang akan bicara, bahkan kau Naruto," nadaku berubah menuduh—yang sebenarnya tidak ingin aku lakukan. Tapi pusaran gelap di dadaku bertambah besar dan bertambah besar. "Kau selalu saja memihak Sasuke." Sesuatu remuk di kolong dadaku, entah apa itu. "Selalu saja."

"Aku tidak pernah seperti itu, Sakura." Suara Naruto rendah, tidak percaya. "Kalian berdua adalah kedua sabahat terpenting dalam hidupku."

Aku mendengus dan menyambar minuman di tangannya, menenggaknya sampai habis. Rasa terbakar menjalar dari mulut sampai perutku.

"Aku ingin kau menjauhi Naruto." Suara baritone Sasuke terdengar lagi.

Aku tertawa sinis. "Lihat Naruto, hanya kau di sini yang menganggap kita berdua adalah sahabat sejati, Sasuke tidak pernah berpikir seperti itu padaku."

"Ada apa denganmu, Sasuke?" Naruto berkata pelan, terluka. "Kenapa kau memperlakukan Sakura seperti itu?"

"Iya, kenapa Sasuke?" sahutku dengan nada mengejek. Aku berpaling pada Naruto,"kau sudah bertanya itu sejak dulu Naruto, padahal itu sudah jelas. Sasuke membenciku karena aku berada di tengah-tengah kalian. Kau, sahabatnya yang paling berharga. Dan juga karena dulu aku fans-nya yang menganggu."

"Tidak, Sakura, Sasuke tidak pernah membencimu." Naruto memandang sedih padaku dan Sasuke. Tiba-tiba dia terdiam. "Sasuke, kau cemburu."

Mata hitam Sasuke menyipit. "Kau sudah gila."

Mata birunya terlihat sedih. "Sampai kapan kau mau menyangkalnya? Kau cemburu ketika melihatku dengan Sakura."

"Naruto, kau delusional," ujarku memandang Naruto seakan dia memiliki kepala sepuluh.

"Tidak, Sakura, aku lah orang ketiga di antara kalian berdua."

"Omong kosong, apa yang kau bicarakan? Sasuke membenciku karena kehadiranku menghancurkan persahabatan kalian! Kalian yang meninggalkanku sendiri!"

Aku bangkit. Mataku panas sekali.

"Kau yang pergi meniggalkan kami, Sakura, aku tidak mengerti, bagaimana kau bisa melakukan itu, tiga belas tahun tanpa kabar!" Naruto menyahut dengan suara parau. "Kukira setelah—setelah aku memutuskan untuk mengalah—aku bisa menyelamatkan persahabatan kita."

"Kau tidak punya hak bicara begitu setelah apa yang kau dan Sasuke lakukan padaku!" Aku mengatur napas sebentar.

"Apa yang kau bicarakan Sakura? Aku mengalah dan membiarkan kau dan Sasuke untuk bersama. Aku selalu berusaha untuk menyatukan kalian berdua sejak SMP, waktu SMA juga. Kukira dengan begitu kita bertiga masih dapat bersama-sama."

"Kau lupa, Sasuke menolakku waktu SMP, Naruto."

"Itu karena Sasuke keras kepala, dan kau masih menyukainya, aku tahu kau masih menunggunya oleh karena itu, kenapa kemudian kau berbohong kalau kau menyukaiku waktu kita SMA, Sakura. Untuk membuat Sasuke cemburu? Aku bahkan tidak keberatan jika memang itu yang kau inginkan, tapi kemudian kau pergi begitu saja, aku tidak mengerti." Lapisan gelas tipis menutupi mata biru Naruto.

"Itu lah alasan kenapa aku tidak ingin kau dekat-dekat dengan Naruto, Sakura," suara dingin Sasuke terdengar lagi. "Kau hanya akan menggunakannya untuk menyakitiku."

Dunia seakan berdenging. Suara-suara berlompat-lompatan dalam pikiranku lalu sunyi. "Ah, aku mengerti sekarang." Aku tertawa parau. "Kau berbohong, Sasuke, waktu pesta prom itu. Kau bilang, Naruto mengajakku, padahal tidak, kau mempermalukanku di depan umum. Bagaimana mungkin kau tega melakukan itu? Dan selama ini aku pikir Naruto menolakku. Kukira kalian bersekongkol untuk mempermalukanku."

"Apa maksudmu Sasuke?" suara Naruto retak.

"Aku hanya melindungimu, Naruto."

"Melindungi? Melindungi dari apa, Sasuke?" aku berkata—mataku panas.

"Kau ingin menggunakan Naruto—aku tidak bisa membiarkannya. Naruto terlalu baik padamu, walaupun tahu kenyataan itu, dia masih saja memaafkanmu!" kata Sasuke padaku—pandangan sedingin salju musim dingin.

"Menggunakan Naruto, apa maksudmu? Naruto," aku memandang mata birunya, terluka, gemetar, " aku tidak pernah seperti itu."

"Sakura—aku tahu. Kau tidak perlu bohong. Kau mengatakan kau menyukaiku untuk mendapatkan Sasuke. Walaupun begitu aku tidak keberatan."

Rasanya hatiku beku.

Aku kesusahan menarik napas. Perasaan panas di mataku kini meleleh turun ke pipiku.
"Tapi, Naruto, aku tidak bohong, aku benar-benar menyukaimu waktu itu."

Pandangan mata Naruto dan Sasuke seakan beku.

"Ap—apa, Sakura?"

Hening.

Mungkin benar kata orang, cinta dan persahabatan tidak akan bisa berjalan berdampingan. Yang satu akan selalu membunuh yang lain. Dengan adanya diriku, aku hanya akan menghancurkan persahabatan mereka.

Aku masih ingat bagaimana aku berdandan secantik mungkin. Memikirkan akhir bahagia untukku—tanpa mempertimbangkan aku merusak persahabatan mereka. Aku begitu terobsesi oleh konsep cinta. Aku terburu-buru. Tapi, aku masih muda dan naif. Itu bukan sepenuhnya salah diriku yang waktu itu masih gadis remaja yang belum tahu apa-apa.

Tapi bukan karena itu aku tidak bisa memaafkan mereka. Malam itu, aku bertengkar lagi dengan orang tuaku untuk pergi ke prom itu, padahal waktu itu mereka akan pergi ke tempat nenek yang sakit. Aku marah karena mereka mengambil satu-satunya kesempatanku untuk akhir bahagia.

Tapi aku tidak pernah diajak Naruto, itu hanya kebohongan Sasuke. Aku memilih kebohongan itu dibandingkan orang tuaku. Malam itu, mobil mereka mengalami kecelakaan dan aku kehilangan kesempatan untuk bertemu mereka.

Astaga, kisah hidupku seperti drama-drama telenovela saja.

Aku marah pada mereka, menyalahkan mereka karena mereka membuatku kehilangan kesempatan untuk bertemu orang tuaku untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa memaafkan mereka. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tidak bisa. Aku membenci diriku sendiri.

Luka menganga ini tidak akan pernah bisa sembuh, aku tidak akan punya kesempatan untuk bertemu mereka lagi. Aku akan membawa penyesalan ini sampai mati. Aku tidak ingin menyukai seseorang lagi, itu seperti mengkhianati mereka lagi dan lagi.

Seharusnya aku tidak kembali.

Air mata panas meleleh lagi.

Suaraku berubah penuh kebencian. Monster yang selama ini aku simpan jauh-jauh, muncul dan meraung. "Malam itu, kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil, sedangkan aku sibuk sendiri memilih gaun untuk ke pesta prom yang bahkan aku tidak diundang." Perasaan marah, terluka, dan menyesal ini berputar-putar di antara kami.

Sasuke dan Naruto terdiam.

Aku tertawa getir. "Aku tidak bisa memaafkan kalian. Maafkan aku, tapi aku tidak bisa."

Ini lah alasan kenapa aku tidak bisa benar-benar menyukai seseorang lagi. Cinta itu membutakan— apalagi ketika kau seorang gadis bodoh bahkan itu membuatmu kehilangan keluargamu.

"Kumohon, Naruto, Sasuke, menyingkir dari hadapanku. Sekarang semuanya sudah jelas. Kuharap di masa depan, tidak ada seorang pun dari kalian berusaha menghubungiku, begitu pula sebaliknya. Lebih baik kita meneruskan hidup masing-masing tanpa gangguan."

"Sakura," suara Sasuke terdengar sedih dan goyah. "Maafkan a—"

Aku menggeleng lemah, memandang gelas di depanku. Menunggu mereka pergi.

Suara Naruto retak dan kosong. "Sakura—aku tidak tahu bagaimana harus—"

"Kumohon pergi, Naruto." Aku masih tidak memandang mereka.

Kudengar mereka melangkah pergi, lalu berhenti.

Lubang hitam di dadaku sekarang sudah benar-benar menelanku.

"Sakura, katakan kalau ada yang bisa kami lakukan untuk meminta maaf—apa pun, aku dan Naruto akan melakukannya."

"Tidak ada, Sasuke. Tidak ada."

Langkah kaki mereka semakin menjauh ke luar dari bar ini. Sunyi. Aku mengisi gelasku dan minum lagi entah sudah berapa gelas setelah itu.

Kita hanya anak remaja bodoh yang kasmaran, yang arogan dan egois. Andaikan saja waktu bisa diputar, aku tidak ingin bertemu kalian berdua.

Bersambung

Halo, gaes. Jadi ini fic terbaruku. Padahal ENIGMA belum di-update. Hehe. Jadi ini bagian satunya, bagian duanya/chapter duanya akan menjadi chapter terakhir. Di chapter setelahnya akan diangkat persahabatan tiga sejoli itu dan usaha si ayam dan si nanas untuk memperbaiki kesalahan mereka. Usaha Sakura untuk memperbaiki kesalahannya sendiri juga. Jadi tetap ikuti ya. Jangan lupa review. P.s: Oh ya jangan tanya, pair-pair-an ya, seperti entar Sakura sama siapa? Harus happy ending sama ini sama itu dll. Karena di sini bukan itu fokusnya. Saya pengen nulis untuk mereka bertiga, endingnya entar masih dalam proses. Jadi tolong dinikmati saja. Kalau tidak suka boleh klik exit. Terimakasih.

Much love

Alicera