4 Season High School
Super Junior©SMEnt
4 Season High School©Nurama Nurmala
Friendship
Typo(s), OOC, abal story warning
SMU Dongducheon adalah SMU swasta yang dibangun bangsawan kaya 150 tahun yang lalu di Seoul. SMU itu menjadi salah satu sekolah tertua dan bergengsi di wilayah Seoul. Dengan sistem pendidikan yang ketat, SMU Dongducheon berhasil bersaing dengan SMU elit lainnya dan masuk ke dalam jajaran lima besar SMU paling bergengsi di Korea. Standard minimal bagi calon siswa ditentukan dalam tes masuk yang mencekik siswa kebanyakan, dan yang memiliki bakat yang dapat mendongkrak nama baik sekolah bisa masuk melenggang tanpa melewati tes masuk.
Walau tes masuk yang diadakan sekolah itu menohok para lulusan SMP yang hendak melanjutkan di Dongducheon, namun bukan bakat sembarangan pula yang diterima di SMU itu. Jika bukan bakat yang telah diasah semenjak bayi, pastilah murid berbakat yang diterima itu teramat jenius di bidangnya.
Hal lain yang menuai kekaguman baik itu dari tim audit eksternal yang selalu datang mengaudit sekolah sebulan sekali atau dari masyarakat umum adalah… sekolah ini bebas KKN. Uang, tidak berkuasa di sekolah itu. Yang berkuasa adalah otak dan bakat. Juga mungkin… kekuatan juga ikut andil dalam mewarnai kehidupan sekolah Dongducheon. Kekuatan? Maksudnya?
Ya. Hukum rimba… berlaku di sekolah ini.
"Saya dengar hari ini akan ada guru baru," seorang pria bermarga Kim itu berujar dengan alis tertekuk, nyaris seperti biasanya.
"Ya, saya dengar juga begitu. Saya harap guru baru ini penuh ide dan kesabaran agar bisa menghadapi murid-murid yang bermasalah," seorang wanita yang masih muda; berada di penghujung usia 20 tahunan menyahuti ujaran Pak Kim.
"Memangnya guru baru yang akan masuk akan mengajar apa, Bu Oh?" Pak Kim, seperti biasa berbicara dengan bibir yang menyipit. Suara keluar dari sudut bibirnya yang kering dan hitam. Ah, terlihat bahwa ia adalah perokok berat.
"Saya dengar ia akan menjadi guru BP," Oh Soojin meneruskan pekerjaannya memeriksa pekerjaan rumah anak didiknya. Ruang guru kali ini agak lengang, karena sebagian guru lain sudah mulai masuk ke dalam kelas masing-masing untuk mengajar mengingat sekarang sudah lebih dari pukul 9.00 pagi.
"Kapan ia datang?"
"Saya dengar hari ini, seharusnya ia sudah datang dari tadi," Bu Oh mengerling lalu menggendikan bahunya sebentar. Pak Kim mengangguk lalu memandang Bu Oh dengan sudut matanya diiringi raut masam.
"Berarti dia terlambat di hari pertama bekerja," ia berjalan ke arah mesin penyeduh minuman yang terletak di pojok ruangan, lalu mengambil sebuah cangkir plastik untuk kemudian menyeduhkan cappuccino ke dalamnya.
"Ya, siapa yang tahu guru baru itu ternyata kendor dalam menjaga kedisiplinan."
Sementara itu… di pintu gerbang SMU Dongducheon yang sudah tertutup….
"GAWAT! Bagaimana aku bisa terlambat di hari pertama bekerja?!" Seorang lelaki berlari tergopoh-gopoh dengan jas dan dasi berantakan sementara ransel berwarna putih dengan motif panda tersadur riang di punggungnya.
Di kejauhan ia melihat gerbang sekolah Dongducheon yang berdiri dengan kokoh. Tingginya dua meter dengan besi runcing di setiap ujungnya. Nyaris mustahil untuk dilewati ketika gerbang itu bersikukuh di tempatnya.
"MAAAFFFFFFF! AKU TERBURU-BURU!" Dengan sekali lompatan ia menerjang melompati pagar runcing tersebut, lalu melayangkan pandangan pada petugas keamanan yang berjaga di gerbang masuk dengan tatapan bersalah.
"Tunggu! Siapa kau?!" Tak mengindahkan pertanyaan dan teriakan salah seorang penjaga gerbang, lelaki berjas dan berdasi itu tetap berlari sekencang mungkin menuju gedung utama sekolah itu.
"Gawat! Gawat! Gawat!" Lelaki yang terhitung mungil untuk lelaki seusianya itu tetap berlari dengan kalap menuju kantor kepala sekolah. Ia tak punya waktu untuk menata rambutnya, ia tak punya waktu untuk merapikan seragam kerjanya, ia bahkan tidak punya waktu untuk mengikat tali sepatunya. Oh, God. Semoga ia tidak tersandung. Tapi hei… anehnya, ia punya waktu untuk memberi makan peliharaan di ponselnya; sebuah game simulasi peliharaan bernama Pou ketika berlari mengarali koridor-koridor yang lengang.
TAP!
TAP!
TAP!
Ia berlari dengan susah payah. Kantor kepala sekolah berada di lantai paling tinggi di ruangan itu. Kali ini ia mengutuk arsitek yang menyarankan pembangunan kantor kepala sekolah di lantai paling tinggi. Ia nyaris saja kehabisan napas karena sudah mendaki 6 lantai dan menyusuri lorong panjang sepanjang rel kereta api. Ketika ia hampir saja kehabisan tenaga dan napasnya, akhirnya ia melihat sebuah ruangan dengan papan keterangan "Ruang Kepala Sekolah" di pintunya.
BRAK!
Dengan cepat (tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu) ia membuka pintu itu ganas. Seseorang yang tengah duduk dengan segenggam kertas di tangan kirinya dan pena di tangan kanannya memandang makhluk berantakan yang tampak ngos-ngosan itu dengan tatapan heran.
"Kau terlambat," ia mengingatkan.
"Iya, saya tahu. Maafkan saya, Pak," lelaki itu buru-buru membungkuk. Itu etikanya di saat seperti ini, setidaknya itulah yang ia rasakan. Ya, ia sudah belajar sopan-santun selama ini dari sekolah dasar. Ia yakin benar bahwa itulah sikap wajar dalam kondisi seperti ini.
"Ketika aku mencari guru BP untuk sekolah ini, universitas merekomendasikan namamu. Aku tidak tahu nilai lebihmu, namun aku berani mengambil resiko untuk membawa perubahan positif ke sekolah ini. Aku harap kau tidak mengecewakanku, seperti guru BP yang lain," Kepala Sekolah itu adalah seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap dengan kumis hitam menjulang di antara bibir dan hidungnya. Matanya menyiratkan ketegasan dengan siap siaga menangkap semua kesalahan yang terlihat, sementara rambutnya yang hitam lebat cukup disisir ke samping sekenanya tanpa gel rambut seperti yang lain. Perawakannya yang tinggi besar menjadikan ia janggal berada di lingkungan intelek para pendidik, posturnya yang besar lebih mencerminkan seorang atlet pemain rugby. Namun posisi yang sudah dicapainya di usia yang sedemikian muda menjadi bukti kecemerlangannya. Ia jelas bukan orang sembarangan.
"Ya, saya mengerti."
"Aku tidak mempermasalahkan penampilan. Tapi," Kepala Sekolah melayangkan telunjuknya pada lelaki muda itu. "Jika kau mau merapikan sedikit saja penampilanmu, itu akan lebih baik," guru baru itu terkekeh dengan muka polos, lalu sekali lagi mengangguk. "Ruanganmu ada di lantai tiga. Pergilah," lelaki itu memberi hormat seraya berpamitan, lalu melangkah mundur meninggalkan ruangan sakral itu.
"Anak jaman sekarang benar-benar tidak terduga," Kepala Sekolah kembali memeriksa rincian dokumen yang bertelut dalam genggaman tangan kirinya sambil menekur dalam gumaman. "Masih 16 tahun, tapi sudah lulus dari universitas sebagai lulusan terbaik di angkatannya. Psikolog yang sekarang sedang menempuh S2 di universitas Korea dan sekaligus menjadi guru SMU ini," ia berhenti pada sebuah file CV seseorang yang baru saja ditemuinya. "Henry Lau. Kita lihat, apa yang bisa dilakukan seorang child prodigy sepertimu di SMU ini."
4 Season High School
1st Chapter
Henry; si guru baru yang bahkan lebih muda dari murid-murid di sekitarnya mulai berjalan dengan riang di sepanjang koridor. Koridor kelas masih tampak sepi mengingat KBM tengah berjalan saat ini. Namun sesekali ia berpapasan dengan satu atau dua orang siswa yang hendak ke ruang guru atau sekedar untuk melaksanakan panggilan alamnya di toilet.
"Apa? Sedang apa orang-orang itu di sini?" Seorang murid perempuan yang hendak ke toilet bertanya dengan tatapan ngeri kepada teman perempuannya.
"Aku juga tidak tahu. Tapi yang kudengar mereka mencari Taemin."
"A-apa?"
"Aku dengar Taemin tidak sengaja menabrak motor salah satu anggota geng berandalan itu pada malam kemarin. Tapi sepertinya ia kabur setelah melihat siapa yang telah ia tabrak."
DEG!
Degup jantung Henry seketika bertalu kencang. Ia mencium adanya kasus.
"Hiiii… mengerikan ya!"
"Iya!"
"Pe-permisi!" Henry yang mendengar pembicaraan itu seketika bersemangat dan hendak mencari tahu. Ini merupakan salah satu tugasnya, yaitu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan murid.
"Y-ya?" Murid wanita yang baru saja melihat Henry (dan garis ketampanan atau keimutannya) terbius dalam sekejap. Wajah mereka memerah dan memanas dalam waktu bersamaan.
"Maaf barusan aku tak sengaja mendengar obrolan kalian, tapi… siapa yang datang?"
"E-eh?" Gadis yang satu terdiam tak berkutik, sementara yang satu masih dalam batas rasionya dan menjawab walau dengan kepanikan.
"Ada preman kota dari kota sebelah yang datang ke sekolah ini. E-eh… mereka datang mencari siswa kelas satu bernama Taemin. Mereka… berada di depan pintu gerbang belakang sekolah."
"Baik, terima kasih!" Dengan terburu-buru Henry berlari menuruni tangga sekolah. Dasi yang terjulur melambai-lambai menyahuti panggilan angin, sementara ransel putihnya melompat-lompat riang di punggungnya.
Henry on fire!
4 Season High School
1st Chapter
"Heee? Kenapa… banyak anak yang malah menonton?" Henry terpesona dengan pemandangan di depannya. Ketika ia sampai di halaman belakang sekolah, banyak anak yang menyengajakan diri melihat biang keributan ini. Sebagian bersembunyi di balik dinding-dinding, dan sebagian kecil lainnya menyengajakan diri berdiri di depan para berandalan yang datang. Kalau bukan para petugas dan penanggung jawab kelas, salah satu dari mereka pastilah seseorang bernama Taemin, ia menduga.
"Hei... ada masalah apa ini?" Henry tahu situasinya, ia menepuk bahu salah seorang murid lelaki sambil bertanya dalam bisikan.
"Mereka mencari Taemin, tapi para pengurus kelas yang tidak menginginkan adanya perkelahian berusaha menyuruh mereka pulang dan jangan membuat keributan di sekolah."
"Ya, tapi dari tadi mereka tidak mau pergi sebelum mendapatkan Taemin," salah satu siswa di sampingnya menambahkan.
"Gampang saja 'kan… tinggal lapor pada guru, lalu laporkan ke polisi. Mereka pasti akan pergi," Henry memberi solusi seperti orang dewasa lainnya.
"Dongducheon adalah SMU yang menjunjung tinggi nama baik. Tidak ada keributan dan tidak pernah ada perkelahian yang terjadi di dalam sekolah. Bagaimana jika masyarakat sampai tahu, nilai sekolah kami akan turun di mata masyarakat," jelas siswa lelaki itu. "Eh," ia menatap Henry aneh. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, apa kau murid baru?"
"Hehehe…" Henry hanya tertawa salah tingkah, lalu dengan niat untuk mengalihkan pembicaraan, ia tiba-tiba menunjuk sebuah arah. "Eh, lihat itu!"
"Kyyyyaaaa!" Tepat setelah Henry menujuk beberapa murid yang berdiri berseberangan dengan para berandal itu, seorang murid lelaki dipukul hingga terjatuh oleh salah seorang berandal itu.
"Eh?" Henry yang tak mengira segera menutup mulutnya karena terkejut.
"Youngmin, kau tidak apa-apa?" Murid perempuan yang berteriak tadi langsung menghampiri murid lelaki yang masih terpuruk di atas tanah. "Dasar biang masalah! Kenapa kalian tidak pergi saja dari sini?" Kalap membuat mereka menjauh dari sisi tenang, malah membuat masalah ini jadi semakin berkobar.
"Bawa lelaki bernama Taemin itu ke sini atau kami obrak-abrik sekolah kalian!" Salah satu dari berandalan itu mengancam sambil mengepalkan tinju ke udara. Beberapa murid yang menampakan diri di depan berandalan itu mundur beberapa langkah dengan kaki gemetar.
Andai saja mereka tidak dengan sok berani berhunjuk di depan para berandalan itu, mungkin mereka tidak akan menjadi sasaran tinju selanjutnya. Andai mereka tidak menjadi petugas kelas, mungkin mereka akan terhindar dari kejadian hari ini. Andaikan dan andai saja. Mereka sibuk berandai-andai dalam situasi genting yang dapat mencoreng masa depan mereka. Andai saja mereka tidak sekolah di Dongducheon….
"CEPAT PANGGIL DIA! KALAU TIDAK AKAN KUHAJAR KALIAN SEMUAAAA!" Dengan sekali teriakan yang dikeluarkan oleh pemimpin berandalan yang bernama Jong Ju, semua murid yang mendengar, baik yang sedang bersembunyi atau tidak seketika menjadi gentar.
"Aku… di sini," seorang murid lelaki dengan rambut cokelat muda keluar dari balik dinding. Mukanya kusut dan terus menatap ke bawah. Perawakannya kecil, hampir sekecil Henry dengan wajah manis bak anak perempuan.
"HAHAHAHA! Apa dia yang menabrakmu tempo hari, Milk?" Jong Ju menoleh kepada salah satu temannya; meminta kepastian. Lelaki yang dipanggil Milk itu pun mengangguk dengan tatapan penuh dendam.
"Ya. Dia orangnya!" Milk kembali menegaskan.
"Baik, kemari kau br*ngs*k!" Jong Ju menyentak dengan menyalangkan tatapan kebencian. "Siapapun yang berani mencari masalah dengan anak buahku, maka dia harus berurusan denganku!" Mau tak mau, Taemin berjalan dengan gentar. Kedua kakinya gemetar sementara bibirnya kaku tak kuasa berucap apapun.
Ia tahu siapa mereka. Mereka adalah preman dari kota sebelah. Taemin tetap maju perlahan walaupun ia sebenarnya takut. Ia yang menyebabkan masalah ini, maka harus ia yang menyelesaikannya. Ia tak mau orang-orang di sekolah—temannya, ikut terlibat dalam masalah ini. Walau ia akan mati malam ini, ia harus tetap maju.
"Aku mohon, jangan buat keributan di sini," ia meminta dengan suara yang teramat pelan tapi cukup untuk didengar Jong Ju.
CUIH!
DEEGGG!
Dengan sengaja, Jong Ju membuang ludah ke muka Taemin. Sontak perbuatan Jong Ju barusan menuai berbagai macam ekspresi orang-orang di sekitar. Antara marah, sampai simpati kepada Taemin.
"Kau mau kami pergi dari sekolah ini? Itu maumu S*alan?!"
BUAK!
Dengan cepat Jong Ju melayangkan sebuah tendangan telak ke perut Taemin yang membuat Taemin meringis dan segera berlutut.
"Baiklah, kami semua akan menuruti kemauanmu," Jong Ju tak berniat berkelakar namun ia terus menyunggingkan senyum terlebarnya.
"Tapi Hyung!" Milk yang tidak terima berteriak protes, namun Jong Ju segera mengangkat tangan kanannya ke hadapan muka Taemin.
"Tapi dengan satu syarat," ia tidak tahan lagi, ia terkikik geli sendirian sementara lawannya; Taemin tengah meradang karena menahan sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. "Kami akan pergi, jika kau bisa menerima 1000 pukulan dari kami."
"APAAAA?" Semua orang yang mendengarkan dengan seksama terkejut bagai disambar petir. Bagaimana bisa Taemin yang begitu kecil dan rapuh menerima 1000 pukulan hanya karena menabrak sebuah sepeda motor? Lagipula itu adalah kecelakaan, dan lagi mereka yakin bahwa kecelakaan itu tidaklah parah melihat Taemin dan Milk yang begitu segar bugar tanpa luka.
"A-aku… eugh, terima," lirih Taemin dalam sakit.
"TAEMIN! JANGAN BODOH!" Salah seorang dari temannya berteriak, namun Taemin dengan rikuh langsung melerai.
"Aku tak apa-apa, kalian tidak perlu khawatir. Kembalilah ke kelas," dengan tubuh yang sengaja ia kuat-kuatkan, ia berdiri mengaral di depan Jong Ju. Jong Ju yang mendengar jawaban Taemin yang bersedia menerima tawarannya tertawa lepas dengan gembira.
"Hahahaha… bagus! Bagus!" Ia berkacak pinggang, lalu mengangguk-angguk puas. "Milk! Pukuli dia!"
Dengan sigap dan dengan senyum lebar yang mengembang di wajahnya Milk maju melenggang dengan menggenggam sebuah tinju. "Bersiaplah, anak bodoh!"
BUAAAKKHHH!
Tanpa aba-aba Milk melayangkan sebuah tinju ke muka Taemin dengan keras. Kali ini tinjuan Milk berhasil membuat pipi Taemin tergores hingga sebuah cairan merah lindap dan mencumbui pipi tirus Taemin.
"Satu!" Bagai wasit, Jang Ju mengangkat satu jarinya ke udara lalu berjalan mondar-mandir di sekitar Milk dan Taemin.
BUUUAAKKKKHHH!
"AAaaaa!"
Kali ini erangan datang ketika Milk melayangkan sebuah kepalan yang langsung bertemu dengan rahang Taemin. Pukulan kedua Milk kali ini membuat Taemin tersungkur ke belakang.
"Dua!"
Srrraaakkk!
Tak ingin lawannya beristirahat, Milk dengan kasar menarik kerah kemeja Taemin dan membuat jarak di antara mereka tak lebih dari 50 cm. Tak membuang waktu, Milk langsung melayangkan pukulan lain yang menghantam hidung Taemin hingga mengucurkan beberapa anyir darah.
"Tiga!"
Milk dengan puas memandang Taemin yang tengah menunduk memegangi hidungnya yang cedera. Ia berdecih lalu berjerumat sesukanya, "Bangun bodoh! Masih tersisa 997 pukulan lagi yang harus kau terima!" Milk berlari kecil kea rah Taemin, lalu kembali melayangkan sebuah tinju yang sekarang berlabuh di perut Taemin.
"Uooogghhh!"
"Empat!"
Tanpa menunggu waktu, Milk kembali menyarangkan berbagai tendangan, pukulan dan sikutan ke arah Taemin, hingga membuat tulang iganya patah dan memar-memar di wajahnya.
"Sepuluh!"
"KYYYAAAA!"
Tak satu pun dari teman-temannya yang menolong, dan tak satu pun yang berlari untuk melaporkan kepada guru. Henry menelan ludahnya, tapi tetap diam; tak bergeming. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan untuk menolong Taemin?
BRUUKKKK!
Taemin ambruk di pukulan ke sepuluh. Kesadarannya telah hilang, dan ia telah berada di ambang batas kematian. Memar dimana-mana, kepalanya terantuk beberapa kali mencicipi rasa tinju, dan tulang-tulang di perutnya patah atau bergeser tak terhitung.
"Bangunkan dia!" Jong Ju memberi titah. Beberapa teman Milk mengangguk lalu mengawal Taemin yang sudah tidak sadarkan diri di kiri dan kanan. Milk yang sudah memasang kuda-kuda kembali bersiap melayangkan pukulan lain, kali ini ia mengincar daerah matanya.
Saat Milk hendak melayangkan pukulan, saat jarak muka Taemin dan kepalan Milk hanya tinggal beberapa cm, sebuah teriakan menginterupsi kesenangan mereka.
"BERHENTI!"
Milk yang terkaget-kaget menghentikan pukulannya. Semua pasang mata memandang dan bermuara ke sebuah arah, termasuk Henry.
Seorang lelaki berwajah manis dengan tinggi kurang lebih 175 cm berdiri di sana. Memandang Jong Ju dengan tatapan benci.
"Tidakkah kalian puas? Dia sudah pingsan!" Lelaki itu berujar, manik matanya menatap tubuh Taemin yang menghembuskan napas dengan kepayahan; tersengal.
"Kami hanya menunaikan janjinya. Ia bilang akan menerima 1000 pukulan kami, maka kami akan meninggalkan sekolah ini dan kalian," Jong Ju kembali mengingatkan apa yang disepakati Taemin dan dirinya. "Ini bahkan belum mencapai pukulan yang ke-100."
"Tapi kalau kalian meneruskannya, dia bisa mati," lelaki itu membantah, iris hitamnya menatap langsung ke mata Jong Ju yang garang.
Jong Ju hendak marah pada awalnya, namun ia kembali tenang seketika, dan dengan licik kembali menguarkan senyum menjijikan. "Karena dia tak mampu melunasi 1000 pukulan dari kami, kau mau menggantikan sisanya? 990 pukulan lagi?"
HEG!
Mengenal seorang bernama Taemin saja sepertinya lelaki itu tidak, bagaimana bisa ia rela menerima 990 pukulan demi orang yang tak dikenal.
"He-hei… siapa—dia?" Henry yang masih mengikuti kejadian ini dari awal hingga sekarang begitu terkejut dengan sosok yang menentang berandalan itu seorang diri dengan penuh berani. Ia ingin mengenal siswa itu lebih jauh.
"Yah… tak masalah sih, toh dia pun sama-sama berandalan," siswa yang ditanya menjawab dengan ringan.
"Eh?"
"Ya, lelaki itu murid kelas 2. Dia juga berandalan, tidak ada yang mau dekat-dekat dengan dia kecuali anak buahnya. Jarang masuk sekolah dan kerjanya hanya tertawa saja dengan anak buahnya di atap gedung sekolah. Guru BP sebelumnya sering memergokinya berada di game center tengah malam. Kalau tidak sedang berada di pub, dia pasti sedang terlibat perkelahian. Dia satu-satunya akar berandal di sekolah ini. Jadi, menghadapi cecunguk-cecunguk itu… tidak masalah," siswa lelaki yang memberi penjelasan itu terlihat sedikit aneh. Iris hitamnya bergerak-gerak penuh semangat, sementara kata-katanya seolah menyimpan keyakinan.
"Nah, bagaimana?" Jong Ju bertanya sekali lagi, senyum menjijikan itu masih tak urung lepas dari wajah bejatnya.
Srraakkkk….
Lelaki yang dipanggil akar berandal di Dongducheon itu terlihat melepaskan jas dan dasinya.
"Di… dia mau apa?" Separuh murid yang melihat berbisik-bisik tidak jelas. "Ti-tidak mungkin dia mau…."
"Baiklah," lelaki itu berujar singkat. "Kita selesaikan ini secepat mungkin sebelum bel istirahat berbunyi."
"Huahahahaha!" Jong Ju yang bersemangat menitahkan kepada anak buahnya untuk segera mengeksekusi lelaki sok berani yang sudah berlagak di depannya. "PUKULI DIA ANAK-ANAKKKKK!"
"UWWWOOOOHHHH!"
"Lima belas!"
"Dua puluh!"
"Empat puluh lima!"
"Sembilan puluh delapan!"
Lelaki itu menerima pukulan tidak hanya dari Milk, tapi dari anak buah Jong Ju yang lain secara bergantian. Walau sudah menerima 100 pukulan yang dilayangkan dengan sekuat tenaga, tapi dia belum juga ambruk seperti Taemin.
"Seratus dua puluh satu!"
Pukulan dan tendangan melayang bergantian ke tubuh yang terhitung mungil untuk pria di usianya. Ia tak mengaduh dan tidak pula menjerit, hanya menerima pukulan yang datang dan menahan rasa sakitnya untuk nanti.
"Tiga ratus tujuh puluh tiga!"
"Haahhh… hhaaahh…" anak buah Jong Ju sudah mulai kehabisan tenaga, namun lelaki itu masih berdiri tak terhalaukan.
"Empat ratus tiga puluh delapan!"
BUAKHHH!
"Lima ratus lima belas!"
BUUAAKKHHH!
"Tujuh ratus Sembilan puluh delapan!"
Lelaki itu… masih berdiri layaknya jenderal di medan perang.
"He… hebatttt…" Henry yang terkagum-kagum mengepalkan kedua tangannya. Ia… sangat bersemangat!
"Sembilan ratus Sembilan puluh sembilan…" Jong Ju yang juga ikut memukuli lelaki itu kini hampir ke habisan tenaga. Di sepuluh pukulan terakhirnya, ia lakukan nyaris tanpa tenaga.
"Satu pukulan lagi!"
"Satu pukulan lagi!"
Murid-murid yang berkumpul berseru memberi semangat pada lelaki yang masih bertahan dalam posisinya. Darah menetes di mana-mana. Kemeja seragam yang tadinya berwarna putih kini bercampur dengan warna darah. Warna darahnya sendiri, dan darah lawan yang terluka karena memukilinya.
BUAAAKKHHH!
Akhirnya Jong Ju melabuhkan pukulan terakhir ke muka lelaki itu, sebelum akhirnya ia jatuh berdebum ke tanah, lalu kehilangan kesadaran.
"UUUWWWWOOOOOO!"
Semua murid yang melihat perjuangan lelaki itu berteriak kegirangan dengan air mata yang lindap di sudut mata mereka.
"Hei, benarkah dia… berandal?" Henry yang tak percaya bertanya sekali lagi. Siswa yang ditanya hanya mengangguk mengiyakan.
"Dia itu suka berisik di kelas, mengganggu belajar. Kalau sedang berjalan dengan teman-temannya pun dia berisik. Suka tertawa dan berteriak yang tak jelas. Hobinya menghebohkan hal yang tak penting. Dia gemar bermain game, entah itu game ponsel, PS, PSP, game PC atau game di game center. Senang membaca komik dan senang mencampuri urusan orang," nada suara siswa lelaki yang sedang memberikan penjelasan kepada Henry itu… bergetar.
TAP!
TAP!
TAP!
Lelaki yang sudah menerima 990 pukulan itu berjalan limbung. Selangkah, demi selangkah ia berjalan mendekat ke arah Taemin.
"Dia… satu-satunya berandalan di sekolah ini," Henry semakin intens memandang lelaki itu. "Dia selalu menertawakan orang lain, dia juga suka jahil."
"Entahlah…" Henry yang mulai meragukan kata-kata lelaki itu memandang sosok yang terseok mendekati Taemin dengan pandangan kagum.
"Tentu, karena dia adalah berandalan, makanya dia kuat. Dia… sosok yang menyilaukan 'kan?"
DEG!
Degup jantung Henry berdetak cepat ketika lelaki itu dengan susah payah menggendong Taemin di punggungnya.
"Ya, dia… menyilaukan," Henry kali ini setuju.
"Tentu saja," kali ini murid yang sedari tadi memberi penjelasan kepada Henry berbalik memandang Henry.
DEG!
Wajah murid lelaki itu… penuh dengan tangisan dan… tawa?
"Tentu saja dia menyilaukan, karena dia…" perlahan ia membalikan kembali wajahnya, menatap lelaki yang membopong Taemin dengan langkah terseok, lalu berlari secepat kilat menghampiri lelaki itu sambil berteriak ke arah Henry. "KARENA DIA ADALAH MUSIM PANAS DI SEKOLAH KAMI! LEE SUNGMIIIINNNNNN!"
DEG!
Seketika, semua murid yang sedari tadi bersembunyi di balik dinding-dinding… bersembunyi di balik pohon-pohon, serentak berlari keluar; menghambur ke arah lelaki yang dipanggil musim panas itu. "SUNGMIN-AH!"
"SUNGMIN-AH, KAU TIDAK APA-APA?"
"SUNGMIN-AH!"
Perlahan, Henry menggurat sebuah senyum sarat akan maksud. Ia mengangkat kedua tangannya, lalu ia lipatkan di belakang kepalanya.
Sambil berlalu dari keramaian itu, ia berujar pelan, lebih untuk dirinya sendiri.
"Musim panas di Dongducheon… sangat menyilaukan. Aku memerlukan kacamataku, hehehe…."
To be continued….
Bagaimana teman-teman? . gaje? Saya mendapatkan ide ini ketika saya sedang membaca komik Sinchan! Hehehe… ketika Sinchan menjadi guru di sekolah SMA dan menjadi wali kelas kelas 3D yang notabene kumpulan anak bermasalah saya jadi mendapatkan ide ini :D
Silahkan testimoninya~ ^^
