. . .
Jaemin x Renjun
NCT DREAM
BxB! Yaoi
.
.
.
"You can't fly away from my sight!"
.
.
.
—
.
.
.
Bias lampu gantung mewah yang menaungi dengan warna keemasan temaram tidak menyurutkan suasana sukacita malam kali ini. Meski tiap kedatangannya ke mansion megah milik keluarga Na sering sekali terasa kabut kelam tak kasat mata yang menyelimuti. Tepuk tangan dari segelintiran orang yang dapat dihitung dengan jari mampu membangun setidaknya sedikit atmosfer bahagia di penambahan umurnya yang ke-21. Selepas lilin dengan angka tersebut padam, beberapa ucapan selamat dan doa terlontar hanya untuknya. Renjun merasakan lagi setitik bahagia yang sempat hilang dua tahun ke belakang.
"Wah aku tidak menyangka, sungguh!"
"Aku juga! Semua ini luar biasa, lihatlah Renjun! Dekorasi, kue, hadiah dan usahanya untuk mengundang kami ke sini... Jaemin pasti sangat mencintaimu!"
"Yeah aku rasa begitu." Renjun terkekeh kecil melihat bagaimana antusiasme Chenle dan Haechan yang terpesona akan pesta ulang tahun kecil yang disiapkan untuknya. Mungkin bagi Renjun sudah terlalu biasa diperlakukan seperti ini oleh pemuda yang bahkan tidak atau belum mengucap sepatah kata apapun.
Pesta ulang tahun yang kedua kalinya dilakukan oleh Jaemin. Renjun sangat tahu perangai pemuda tersebut yang akan menghabiskan pundi-pundi uangnya hanya untuk perayaan dirinya yang semakin menua. Tidak perlu sebenarnya. Walau begitu Renjun tetap bersyukur.
"Ada yang ingin ku tunjukkan padamu." Jaemin berbisik pelan di tengah beberapa temannya yang sedang menikmati jamuan makan malam.
Tangannya yang sudah tidak lagi memegang hadiah pemberian teman-temannya segera ditarik menuju tempat mereka biasa menghabiskan waktu dan meninggalkan pestanya begitu saja.
"Pelan-pelan Jaem~"
Jaemin selalu seperti ini. Talk less do more mungkin sangat tepat ditujukan kepadanya.
Renjun terduduk di depan layar proyeksi besar yang entah sejak kapan sudah terpasang di sana—setahunya memang tidak pernah ada. Sementara pemuda yang kini bersurai pink pudar sibuk berlarian ke belakangnya hingga terpampang cahaya yang menyorot menuju layar. Memproyeksikan gambaran-gambaran yang membuatnya ternganga untuk saat ini.
"A—Apa ini Jaemin...?"
Lagi Jaemin hanya terdiam dan memandanginya. Sedikit tarikan pada sudut bibirnya dapat Renjun lihat. Jaemin tersenyum simpul.
Manik kembar Renjun berbinar melihat setiap tayangan dirinya yang mungkin beberapa kali Jaemin rekam. Terselip perasaan yang kian menghangat kala tampilannya di buat sebegitu menarik dan indah. Ini hadiah yang berbeda. "Kau penuh kejutan! Terima kasih Jaemin!"
Renjun masih setia memandangi rekaman yang di edit apik menampilkan dirinya; entah itu sedang makan atau hanya sedang melihat-lihat—Renjun ingat beberapa hal yang di rekam Jaemin saat mereka sedang berjalan-jalan sampai tepukkan pelan menyambangi pundaknya.
"Ada lagi..."
"Masih ada lagi?"
Renjun bukannya ingin menolak tapi dia tahu alasan apa yang Jaemin punya hingga selalu mempertaruhkan banyak hal untuknya. Berlebihan ia rasa sedangkan Jaemin juga tahu Renjun bukan orang yang tidak punya. Mereka sama-sama berada dengan limpahan berlian serta kemewahan dalam hidup namun sama pula berada dalam kesepian yang suram.
Ya, hanya saja Renjun tidak ingin menjamin satu hal yang akan Jaemin tagih suatu saat nanti. Mungkin.
Jaemin berdeham pelan, tangannya meraih telapak tangan Renjun, memasangkan gelang berbalutkan emas yang tertulis NJ pada pergelangannya. Sederhana kelihatannya tapi tidak menampik ada harga yang tidak bisa dibayangkan di balik kesederhanaan itu.
Kenapa Jaemin seperti ini?
"Jae—Jaemin ini berlebihan..." otomatis Renjun berusaha melepaskannya meski tangan Jaemin menahan—mengunci pergerakkannya.
Iris sekelam malam memberinya tatapan yang dalam seolah menyiratkan makna permohonan membuatnya merasa luluh. Renjun tidak lagi berkutik untuk melepaskan benda yang baru saja di pasangkan padanya. Selain itu Jaemin mengalihkan perhatiannya kala pemuda itu mengangkat pergelangan; menunjukkan gelang yang serupa dengan ukiran dan balutan yang berbeda.
"Ini impas. Aku juga memilikinya." Jaemin berujar dengan santai seolah barang yang ia berikan adalah hal yang biasa saja.
Impas yang berbeda yang Renjun rasakan. Impas yang mungkin berpengaruh pada sebagian fungsi hati yang sedari dulu ia matikan.
Ya meski begitu, Renjun tidak punya pilihan lain.
"Aku sangat menyukainya."
.
.
.
Kata mereka dunia luar itu kejam. Perilaku arogan serta egois sebagian dapat membawa pada taraf hidup yang lebih baik—untuk bertahan hidup dari dunia yang katanya kejam. Tapi bagaimana jika kejamnya dunia bahkan sudah dirasakan di lingkup keluarga yang katanya salah satu pelarian terbaik dari hingar bingar dunia yang memuakkan. Bagi Renjun sendiri tidak ada perbedaan antara dunia luar maupun keluarganya. Karena apapun itu mengenai keluarga, Renjun tidak pernah merasakan kehangatan di dalamnya. Begitupun dunia luarnya yang dibatasi. Ia jengah dan membutuhkan suasana baru.
Renjun tengah menyelami set baru yang disiapkan setelah beberapa menit lalu ia sudah menghabiskan waktu dengan kilatan blitz yang menyorotnya. Menunggu menjadi hal yang paling renjun benci.
"Hai!"
Renjun sedikit berjengit merasa suara berat menyapa gendang telinganya. Ia berbalik dan menemukan pemuda yang tingginya tidak jauh berbeda dengan Jaemin tapi memakai outer berwarna hitam dengan di dalamnya kemeja bermotifkan kotak kotak dan turtle neck merah membalutnya. Hampir sejenis dengan Renjun, pakaian semi-formal untuk musim dingin yang tadi diberikan coordi-noonanya.
"Siapa?"
Ingatannya berusaha mencari-cari di sela-sela tumpukkan memori nama yang pernah terucap padanya. Kerutan terlihat jelas di dahinya—Renjun tidak mengenal ataupun pernah melihat seseorang di hadapannya.
Dia membungkuk sekilas, "Ah perkenalkan aku Minhyung, mulai sekarang aku partnermu dalam pemotretan."
"Oh..."
"Engg sebenarnya... kita pernah bertemu saat kau melakukan pemotretan beberapa hari lalu, kita juga berkenalan," dia menjeda ucapannya untuk sekadar menerima pemberian seseorang yang tiba-tiba mendatangi mereka berdua, "dan i—ini untukmu... aku tahu kau kemarin berulang tahun."
'Huh?! Kelinci?'
Renjun tidak ingin memikirkan—yang seharusnya malu karena melupakan orang yang sudah berkenalan dengannya tapi ia rasa tidak pernah menggembor-gemborkan atau memberitahu perihal ulang tahunnya terutama pada orang yang baru saja dikenal.
'Darimana dia tah—'
"Maaf, kau model senior di sini dan cukup banyak yang membicarakan ulang tahunmu."
'Oke terjawab.'
Kelincinya cukup menggemaskan—tidak Renjun berbohong kelinci itu sangat menggemaskan. Well, dibanding hadiah-hadiah yang ia dapati kemarin, hadiah ini lebih unik lagi dan terlihat lucu.
"Terima kasih." Renjun menerima kelinci putih kecil dengan pita merah yang menghiasi leher si kelinci dalam gendongannya. Maniknya selalu berbinar—dihadapan orang-orang tertentu saja—melihat kelinci yang menggeliat dalam gendongannya dengan segaris senyum yang semakin lebar.
"Ya sama-sama. Aku senang jika kau menyukainya."
Jika Renjun boleh jujur mungkin berkata-kata memang sulit baginya tetapi raut wajahnya dapat mengatakan semuanya. Ia menyukainya, hadiah yang bahkan tidak berkilauan berlian dan perak. Sangat sederhana.
Dan mirip dengannya.
Manik kembar bening bagai lautan jernih di maladewa itu menunjukkan kilauan yang hanya tampak sesekali jika pemiliknya benar-benar bahagia. Renjun dan pemuda yang menyebut dirinya Minhyung sama-sama tersenyum ringan tidak mengajak satu kehidupan lagi yang memandangi mereka dari kejauhan seperti sedang menelaah mangsanya.
Harus ada yang berhati-hati.
.
.
.
.
.
Renjun bilang dunia luar sama saja bukan?
Tapi dibalik kejenuhan rutinitas serta kegiatan-kegiatan penuh kekakuan yang selalu dilakukan para kaum borjuis setidaknya terselip satu hiburan yang tak biasa dijalaninya. Renjun tidak akan mengelak jikalau orang-orang mengibaratkannya kelinci putih bersih yang jauh dari kotor dan debu juga selalu aman dalam pelukan yang mengasihinya. Ya setidaknya Renjun bukan kelinci yang sepolos itu sekarang.
"Kau mau lagi?"
"Uhh, iya." Renjun membalas dengan suara yang mulai serak. Ia menatap gelas tingginya yang mulai terisi lagi cairan merah yang membakar tenggorokkannya. Garis pembatas kehidupannya sudah ia runtuhkan dengan ajakan partner barunya di lantai penuh kebisingan serta kerlap-kerlipnya lampu.
Club.
Mungkin kalian bisa katakan Jaemin adalah pribadi yang kaku. Tapi meski kekakuan yang mengundang canggung bagi setiap yang berbicara dengannya. Jaemin tetaplah pemuda baik yang mengingatkannya untuk menjauhi hal-hal seperti ini.
Ya pemuda itu selalu melindunginya dari rokok, alkohol, dan club malam.
Tapi untuk kali ini, semoga Jaemin dapat memakluminya. Malam tadi atau tepatnya beberapa jam lalu pertengkaran dengan ibunya tidak terhindarkan. Renjun sudah terlalu muak, ia tidak hanya butuh pelarian namun sesuatu yang dapat membantu melupakan kesalnya.
"Renjun hentikan! Kau sudah mabuk...," jari-jemari Minhyung mencegahnya menuang lagi, "akan ku hubungi Jaemin jika kau minum lagi!" Minhyung mengancamnya—juga mengambil gelasnya.
Renjun mendengus, "dan Jaemin akan membunuhmu nantinya."
"Kalau begitu hentikan! Aku menyesal mengajakmu ke sini."
"Tinggalkan aku."
"Tung—apa? Tidak mungkin!" Minhyung memberikan tatapan nyalang padanya. Apa Renjun mulai kehilangan kesadarannya saat ini.
"Jaemin selalu tahu, dia tahu dan cepat tinggalkan aku sebelum kau benar-benar dibunuhnya." Tenaga Renjun memang tidak kuat belum lagi ia hampir memasuki alam bawah sadarnya tapi lengan-lengan sekurus ranting berusaha kuat mendorong bahu Minhyung.
"Jaemin menjemputmu?" tanya Minhyung dengan memegang pergelangan kanannya di saat itu pula Renjun menyadari bahwa dirinya yang akan dibunuh Jaemin nanti.
"Ya." Renjun menjawab cepat membuat pemuda yang baru dikenalnya mengalah dan benar-benar meninggalkannya. Setidaknya Renjun sempat merasakan dunia dan kupu-kupu yang menggelitiknya kala Minhyung meninggalkan satu kecupan sebelum pergi.
"Selamat tinggal"
.
.
.
.
.
Tubuh Renjun merasakan banyak hal—dalam hal ini indra perabanya sedang bekerja keras. Sentuhan di tengkuk leher dan perpotongan antara paha dan betisnya terisi dengan lengan panas; membuat punggung bawahnya dilewati angin malam yang berseliweran menembus raga yang nekad keluar di jam rawan seperti ini.
Renjun tidak berbohong saat mengatakan Jaemin tahu segalanya. Diambang kesadarannya—meski Renjun berpura-pura untuk terlihat pingsan—ia dapat mendengar desisan Jaemin. Pemuda itu memukul kemudinya dan sebelum alam bawah sadar menariknya, pendengaran Renjun menangkap umpatan Jaemin yang membuatnya merasa bersalah.
'Maafkan aku Minhyung'
.
.
.
.
.
"Jaemin!" Renjun tersentak alih-alih terbangun dengan berteriak. Netranya langsung menelusuri seisi ruangan yang disinyalir adalah kamarnya. Ya kamar mewahnya yang terasa dingin tak tersentuh kasih yang menghangatkan. Renjun masih melihat sekeliling dan ketika matanya menangkap siluet yang sudah sangat dikenalnya juga orang satu-satunya yang mungkin membawanya kembali ke tempat menyeramkan bagi Renjun.
"Jae—Jaemin...?"
Jaemin berbalik pelan dari kegiatannya memandangi dunia luar dari balik tirai. Kaki jenjangnya melangkah pelan dengan kedua tangan yang disembunyikan di belakang badannya, ia berjalan ke sisi kiri ranjang.
"Jaemin a—aku... ak—"
"Kenapa?" langkah Jaemin berhenti seiring nada suaranya yang keluar begitu datar. Pemuda itu menempatkan dirinya sendiri duduk di pinggiran ranjang.
"A—Aku bi—sa jelaskan..." setiap kata terucap seolah ingin kembali ke tenggorokkannya—terbata-bata dengan gugup yang sangat kentara. Sudah Renjun katakan ia yang akan dibunuh.
"Ada banyak kata kenapa dan kau tahu harusnya karena apa." Jaemin berujar rendah. Datar dan dingin terasa di setiap kata yang menghunus otaknya untuk segera bekerja menyusun kalimat penyangkalan.
"A—Aku ingin... meluapkan kesal." Lirih Renjun. Jari-jemarinya meremat selimut tebal merah burgundynya.
"Kau tahu,"
Di kala Renjun mendongak iris matanya yang bening bertukar pandang dengan netra Jaemin yang sehitam jelaga. Dan Renjun pun tidak menyadari seberapa cepat pergerakkan seorang Na Jaemin yang sudah mencengkeram rahangnya.
"Renjunku tahu... untuk tidak bermain dengan siapapun itu..."
Renjun menelan ludahnya gugup. Ia tahu bahkan sangat tahu. Tapi kesalnya sudah diujung tanduk membuatnya menerima pilihan yang membahayakan tidak hanya dirinya tetapi Minhyung juga.
Manik Renjun menatapi kandang kelinci yang tersimpan di kamarnya. Tubuh Renjun sedikit merosot mengetahui kelinci tersebut sudah menghilang dari tempatnya. Dalam hati Renjun benar-benar mengutuk keras kebodohannya.
"Jaem..." Renjun memohon, entah memohon untuk melepaskan atau menghentikan—atau mungkin melepaskannya dari jeratan rencana yang pemuda itu buat dan berhenti mengejarnya.
"Gelangmu."
Mata Renjun terpejam erat saat Jaemin mengangkat pergelangannya. Renjun benar-benar akan mati.
"Kau milikku, kau tahu itu."
"Ti—tidak Jaem—hmmpp"
Dengan rahang yang masih tercengkeram, Renjun merasakan hembusan napas hangat menerpa kulit di saat itu pula matanya membeliak—terbuka lebar akibat benda kenyal basah yang menyumpal bibirnya. Renjun merasakan satu persatu benda yang menumpu badannya menghilang. Kehampaan semakin terasa kala pergerakkan Jaemin yang semakin agresif menekannya.
"Jangan mengelak," Jaemin mendorongnya sampai benar-benar kembali terbaring. Memberi cumbuan stimulus yang membuyarkan atmosfer dingin yang sedari tadi menyelimuti percakapan mereka. "Kau harus mengerti posisimu."
Renjun sangat mengerti bahkan terlampau mengerti jika pertengkarannya dengan ibunya akan membawa Jaemin pula. menyelesaikan—atau membungkam masalahnya dengan satu kegiatan malam.
.
.
.
Sequel?
.
.
.
Kayaknya didi suka sama titik-titik wkwk ngga juga deng 😅
Harusnya ini judulnya enigma karena gak jelas banget tapi ga sreg juga yaudah titik-titik aja (kalo bahasa koreanya dibaca jeom jeom jeom jeom/?)
Karena titik atau elipsis ini juga ada maknanya
Apa maknanya? Coba temuin aja sendiri deh wkwk
Crosspost dari Wattpad
Sekali editing jadi kalo ada typo(s) dan lain-lainnya yg bikin kurang sreg maafkan
Bisa diingatkan di komentar ya hehe
Oke no more cuap-cuap
Kritik dan saran selalu terbuka
Sekian dan Terima Kasih
