Reborn

Disclaimer : Fairy Tail © Hiro Mashima

Pairing : Gruvia

Warning : mungkin typo (tolong periksa)

inspirasi : komik shoujo yang judulnya gumi lupa, film The Vow (kyaa Tatumm)

~dibutuhkan saran, kritik yang membangun~

ENJOY :)

.

.

.

.

.

Sudah sekitar sepuluh menit mereka berdiri berhadapan ditemani desiran angin musim semi yang semakin membuat suasana di antara dua orang berbeda gender ini menjadi semakin dingin. Dengan degupan kencang yang berasal dari dadanya, gadis bersurai biru bergelombang yang menundukan kepalanya itu pada akhirnya membuka mulut.

"A-ano…" sang gadis pada akhirnya berani mendongakkan wajahnya. Menatap wajah datar nan dingin pemuda tampan di hadapannya.

"Ju-Juvia su—"

"Lupakan!"

Dirinya tersentak ketika pemuda yang dicintainya itu memotong pernyataan pentingnya. Tahu kah dia apa yang akan dirinya katakan?

"Lupakan, Juvia…lupakan rasa sukamu padaku."

Begitu dingin ucapan pemuda raven di hadapannya itu. Begitu dingin hingga dirinya membeku…bahkan air matanya ikut membeku. Menangis saja Juvia tak mampu.

"Ta-tapi Juvia sangat menyukai—tidak! Juvia mencintai Gray-sam—"

"HENTIKAN KATAKU!"

Salahkah dirinya mencintai seorang Gray? Dia ingat ketika pertama kali dirinya bertemu dengan Gray Fullbuster. Kala itu Juvia yang baru masuk ke SMP Fiore kesulitan untuk menentukan jalan menuju sekolahnya di pertigaan. Hingga seorang Gray datang dan mencolek bahunya. Menunjukkan arah yang benar untuk sampai ke sekolah barunya. Dengan momen yang sangat sederhana serta kebaikan yang amat biasa saja…entah mengapa Juvia langsung yakin bahwa dirinya jatuh hati pada Gray.

Tak disangka bahwa dirinya ternyata sekelas dengan Gray. Kelas 1-C yang dipenuhi dengan orang-orang yang ramai. Gadis berusia dua belas tahun itu menghampiri Gray dengan rasa gugup yang ditahannya mati-matian…hanya untuk mengucapkan terima kasih yang belum sempat ia katakan di pertigaan jalan yang menjadi saksi bisu perasaan cinta pertama seorang Juvia Mizukawa.

Sekarang, di sinilah ia…berdiri di hadapan Gray Fullbuster untuk menyatakan perasaannya yang makin menguat di atap sekolah. Ia tahu hanya ada dua kemungkinan. Gray mempunyai perasaan yang sama dengannya atau sebaliknya.

Ia sudah mempersiapkan diri bila dirinya ditolak. Namun….ini terlalu kejam.

"Pergi," kata Gray yang menundukkan wajahnya. Muak kah dia melihat wajah teman sekelasnya?

Hanya satu kata namun terasa ditusuk beribu panah beracun. Air mata Juvia mengalir dengan deras. Panasnya emosi yang menyelimuti dadanya mengalahkan sikap dingin Gray padanya.

"Ta-tanpa disuruh pun Juvia pasti pergi!" katanya dengan muka yang memerah marah. Dibaliknya tubuhnya dan mulai berlari dari tempat yang ia bersumpah takkan pernah ia datangi lagi.

Derap langkahnya makin kencang. Syal ungunya pun berkibar mengikuti irama langkahnya. Tak dihiraukannya teguran-teguran dari pejalan kaki yang lain yang tak sengaja ia tabrak. Dadanya benar-benar sesak, otaknya tak henti-hentinya memutar kejadian pahit yang beberapa menit lalu terjadi, dan air matanya enggan berhenti mengalir.

'Mengapa…? Mengapa…? Setidaknya Gray-sama menolak dengan halus, kan?' dirinya berharap.

Juvia masih berlari dan kini makin kencang. Berharap untuk cepat-cepat sampai di kamarnya dan menangis sejadi-jadinya.

'Bodoh…Juvia memang bodoh. Seharusnya Juvia pendam saja! Juvia membenci Gray-sama!'batinnya kesal. Emosinya makin meluap dan membutakan telinganya. Ya, dia tak mau mendengar amukan orang-orang yang dilewatinya.

"HEY NAK!"

'Sakit…hiks.' Juvia memegang dada kirinya.

"Oi!"

'Juvia…Juvia tak tahan lagi…'

"GADIS MUDA AWAS!"

'Rasanya Juvia ingin…'

TIN! TIN!

Suara klakson mobil yang berasal dari kanan Juvia berbunyi makin membabi buta. Lampu penerang dari mobil itu berkedip-kedip hingga membuat dirinya kesilauan. Otak Juvia masih lamban memproses apa yang sedang terjadi. Dan barulah ia tersadar sepenuhnya ketika ia mendengar gesekan antara ban mobil dan aspal yang sangat memilukan telinga.

'…mati…'

Setelah ia merasakan badannya terbang melayang….pandangannya perlahan menjadi buram lalu menjadi putih pada akhirnya. Ini kah yang dibicarakan semua orang tentang "ucapan adalah doa"?

=oo=

Sebulan telah terlewati. Musim panas telah tiba. Terik panas matahari begitu menyengat, namun semua bisa terlupakan ketika suara kikikan serangga berbunyi dengan indah. Entah mengapa dirinya bisa berdiri di sini. Di tiang lampu merah yang ketika ia melihat ke bawah terpampang foto dirinya dengan beberapa kuntum bunga yang sudah melayu. Di lihatnya ke depan. Ke arah zebra cross tempat dirinya tak sengaja mengakhiri hidupnya. Tak sengaja? Heh…bahkan dirinya sendiri berharap mati saat itu.

"Kenapa bisa..?" Juvia berguman pelan.

Dirinya melihat ke sekelilingnya. Tipikal perempatan lampu merah. Begitu ramai dan beberapa gerombolan orang yang sedang berbicara satu sama lain dan sesekali mengelap keringat mereka. Ah musim panas rupanya. Pikirnya demikian.

"Hei bagaimana kalau akhir pekan kita pergi berenang?" Telinga Juvia menangkap suara yang begitu familiar. Begitu ia rindukan.

"Ayo! Musim panas tahun ini panas sekali sih." Satu lagi suara yang begitu familiar.

Dibalikannya tubuhnya dan benar dugaan Juvia. Itu Lisanna dan Levy. Sahabat nya sejak SD itu berjalan beriringan dengan senyuman terpampang jelas di wajahnya.

"L-lisanna-chan! Levy-chan!" panggil Juvia rindu. Namun sayangnya percuma…

…karena dia tembus pandang. Ya, kedua gadis itu menembus badan Juvia begitu saja.

Pupil matanya mengecil setelah menyadari semua kenyataan ini. Semua orang yang berada di dekatnya ketika dia hidup sudah kembali menjalani kehidupannya dengan normal. Dipandangnya kembali foto dirinya yang tersenyum bahagia serta beberapa bunga yang sebagian besar kelopaknya sudah berwarna coklat. Bahkan kedua sahabatnya hanya melewati pigura simbolis kematian untuknya begitu saja.

"Begitu ya…kau mati kemudian semua orang melupakanmu begitu saja," lirihnya sedih. Tak peduli dengan air mata yang menetes. Hey…dia tembus pandang, siapa yang akan melihatnya menangis?

Di sela tangisnya seseorang melewati—tidak! Hampir menyenggolnya. Gila memang, namun ia merasa seperti itu. Seseorang yang wanginya begitu membuatnya nyaman dengan surai raven acak-acakan namun halus. Seseorang yang berbeda gender dengannya. Seseorang yang…ah…dia tak mau membahasnya.

'Gray-sama!' batinnya kaget setelah melihat orang yang sebulan lalu ia 'tembak' berjongkok di hadapan pigura miliknya. Tangan kiri Gray mengambil bunga-bunga yang layu dan kemudian mengganti dengan bunga baru yang segar nan indah dengan tangan kanannya. Lalu pemuda dingin itu menyatukan telapak tangannya dan menutup mata. Dia berdoa.

"Mengapa…?" gumannya heran dengan ada intonasi sedikit membentak. Hati Juvia masih belum sembuh sepenuhnya. Dia sangat membenci laki-laki yang sempat ia cintai itu.

Kepalanya mengkuti gerakan Gray yang dengan sigap kembali berdiri dan kemudian menghela napas entah untuk apa. Selanjutnya dirinya berbalik arah dan berjalan lurus dalam diam.

Tiba-tiba otak Juvia mengeluarkan ide yang sangat brilian. Kalau dirinya hantu dan semua orang tak bisa mendengarnya…

Dengan segera Juvia berlari menyusul Gray dengan senyum yang sangat berarti untuk mengikutinya kemana pun Gray pergi.

"GRAY-SAMA NO BAKA! BAKA BAKA BAAAKAA BWEEEKKK." Dia berteriak sekencang mungkin tepat di samping telinga Gray.

Wajah Gray sekarang berubah menjadi kesal entah mengapa. Tak mungkin kan gara-gara dia mendengar teriakan Juvia yang mengatai dirinya bodoh berulang kali. Mungkin karena tadi dihukum pak guru atau semacamnya.

"Kau tahu? Juvia dulu sangat sangat mencintaimu, namun setelah penolakan yang sangat kejam itu Juvia jadi sangat sangat membencimu! Kau dengar itu Gray-sama? Juvia membencimu! Oohh mana mungkin kau bisa mendengarnya. Juvia sekarang adalah hantu yang tak bisa dilihat dan didengar orang-orang yang masih hidup. Hehehe ternyata jadi hantu enak ju—"

"K-kau. Hanya. Ilusiku!" tiba-tiba saja muka Gray yang kesal sudah berada tepat di depan wajah Juvia yang kaget bukan main. Juvia tahu benar bahwa mata Gray benar-benar sedang menatapnya. Menatapnya! Seharusnya Gray tidak bisa melihatkan kan?

Saatnya pengujian. Juvia pun berlari menuju Gray yang juga mempercepat langkahnya. Setelah akhirnya berada di samping Gray lagi, dia bertanya, "Gray-sama bisa melihat Juvia? Mendengar Juvia?"

Tak ada respon verbal dari Gray yang makin mempercepat langkahnya dengan wajahnya yang sangat kesal.

Kali ini Juvia sedikit yakin bahwa Gray bisa melihatnya. Dirinya berlari untuk sampai di hadapan Gray.

"Berhenti di situ, Gray-sama!" katanya yang kini sudah berada di hadapan Gray dan merentangkan kedua tangannya.

Aksinya kali ini berhasil. Gray berhenti melangkah. Perasaan Gray bisa terlihat jelas di wajahnya dengan mata melotot kaget dan mulut yang sedikit terbuka. "K-kau nyata?" pada akhirnya, Gray berbicara.

Mereka kini berada di jalanan yang jarang dilalui orang. jadi aman untuk Gray yang merasa dirinya hampir gila karena bisa melihat hantu Juvia.

"Hai!," jawab Juvia yang masih tersenyum penuh arti, "Juvia bangkit kembali…..untuk menghantuimu…Gray-sama…" lanjutnya dengan seringaian penuh dendam. Rencana dadakan untuk menghantui mantan pujaan hatinya pun dimulai.

to be continue

A/N : horeee Gumi jadi author yang banyak utang fic~ hai Juvia belom kelar. Hai Gray belom bisa ditulis juga. tapi plot fic ini selalu menghantui aku setiap malam T.T *huekkkss* jadi...tolong reviewnya ya *bow*