Bandaged Melody
Chapter 1 – Black Background
Language : Bahasa Indonesia, a little bit English & Japanese
Rate : M – Contains boy x boy relationship (I'VE WARNED YOU FOR THIS ONE), angst, strong words, violences)
Character includes :
- Meiko Sakine
- Hairaito Shion
- Kaito, Taito, Akaito Shion
- Hiyama Kiyoteru
Etc.
Suara batuk anak-anak terdengar dari salah satu kamar di dalam rumah bergaya tudor itu. Makin lama makin keras dan dibarengi tarikan nafas berat dan sesak.
Pukul 2 dini hari.
Kedua tangan kecil si pemilik suara batuk mulai meremas piyama yang dipakainya tepat di bagian dada karena terasa nyeri. Nafasnya pun makin sesak.
"Taito?"
Mendengar pintu kamar diketuk dan namanya dipanggil, anak itu merasa terselamatkan dari pinggir kematian. Pandangannya kabur. Susah payah ia berjalan menuju pintu kamar untuk membukanya.
"Ibu.."
Pintu kamar terbuka, namun tubuh kecilnya lemas. Ia ambruk, dengan sigap tangan sang ibu menangkapnya. Wanita berambut merah kecokelatan itu menjerit panik mendengar erangan nafas si anak – Taito – yang sekarang kesulitan bicara.
"Astaga! Sayang, sayang, hei…"
"Sa…kit…"
Bertambah panik, ia segera menggendong Taito, mengambil kunci mobil dan dua buah jaket, lalu menginjak gas dalam-dalam menuju rumah sakit.
"Bagaimana Taito?"
Pria itu, yang tak lain adalah suami dari wanita tadi dan ayah dari Taito tak kalah cemas. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi untuk menuju rumah sakit setelah terbangun akibat mendengar suara keras gas mobil dan telepon panik dari istrinya.
"Meiko.. Jangan gigiti kukumu!" ia mencegah istrinya menggigiti kuku, kebiasaan jika sedang cemas. "Ayolah.."
Meiko menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Raito.. kumohon jangan bicara lagi..."
Si pria – Hairaito – mendekap istrinya yang terisak.
"Dia akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat, sama seperti Kaito dan Akaito."
"Kalau ucapan dokter yang memeriksanya waktu itu benar, aku…."
"Hei. Kau sudah berjanji padaku untuk berhenti berpikir yang tidak-tidak."
"But he's still a child, Raito. Our son. Melihat wajahnya tadi saja sudah membuatku ingin membunuh diriku sendiri. Andai aku berhenti minum saat mengandungnya-"
"Meiko, Meiko, please. Tak ada hubungannya dengan minuman beralkohol. Dulu dokter juga sudah mengatakan itu." Ia menambah erat pelukannya pada Meiko. "Kau sudah minum aspirin-mu?"
"Belum. Aku membawanya di tas."
Hairaito menghela nafas panjang. "Now it makes sense. Get your aspirin."
Meiko menuruti suaminya. Ia bergegas menuju toilet sementara Hairaito menggantikan posisinya berjaga di depan ruang ICU, dan voila.. seorang dokter keluar dari sana sesaat kemudian.
"Hmm.. Tuan Shion..?"
"Ah, ya, dokter…" Hairaito berusaha mengintip dari kaca pintu ICU. Terlihat Taito terbaring di sana. Sang dokter tersenyum mengerti.
"Anak anda baik-baik saja, namun ada beberapa hal yang harus saya sampaikan. Mari."
Hairaito membuntuti sang dokter sambil membuat pesan pada Meiko.
[Di ruang dokter. Taito's fine, btw. Kau tunggu di luar.]
Meiko berkali-kali melirik ke dalam ruang ICU, ingin melihat kondisi anaknya tapi rasa bersalah masih menghantui. Ia kembali menggigiti kukunya, seakan pil yang baru saja diminum tak memberi efek penenang apapun. Ia masih tetap seorang pencemas akut.
Wine..
Those pills..
"Masuklah."
Suara Hairaito tidak membuatnya bergerak. Tatapannya kosong.
"Dia sudah cukup banyak menderita."
"Meiko-"
"Kanker mata, masalah jantung.., Tuhan.."
"Sudah kubilang dia akan baik-baik saja. Ayo masuk."
"Aku akan pulang, Kaito dan Akaito sendirian."
Hairaito tak punya pilihan. Baginya, berbicara dengan Meiko saat kondisi perasaannya sedang terguncang seperti ini hanya seperti berbicara dengan sebuah makhluk hollow.
"…..baiklah. Take care. Jangan berkendara lebih dari 80."
Hairaito memandang punggung Meiko yang semakin menjauh. Ia mengerti, sangat mengerti kondisi istrinya bahkan sebelum mereka menikah. Meiko dulunya adalah pemabuk berat diakibatkan perasaannya yang selalu cemas terhadap masalah paling kecil sekalipun. Botol wine dan berbagai macam pil penenang tak pernah lepas darinya.
Saat ia hamil Kaito, anak mereka yang pertama, Meiko begitu bahagia. Dan sesuai janjinya pada diri sendiri, ia sudah melepas keterikatannya dari wine dan pil. Ia berencana menjalani hidup dengan normal seperti wanita lain.
Kaito pun lahir sehat. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika Kaito terserang demam tinggi pada usia 1 tahun. Meiko mulai kembali cemas, apalagi saat itu ia sedang mengandung anak keduanya – yang tak lain adalah Taito.
Ia mengkhawatirkan Kaito setiap hari dan menangis sendirian di kamarnya. Hairaito sampai harus membawa Meiko pada seorang psikiater. Setelah sang psikiater meyakinkan kalau demam adalah hal yang umum terjadi pada anak-anak, Meiko sedikit tenang.
Ya, sedikit.
Hingga Kaito menjelang sembuh dan kandungan Meiko berusia 7 bulan, Meiko kembali minum-minum tanpa sepengetahuan suaminya. Sampai suatu saat ia ketahuan membuang seluruh isi botol wine yang masih utuh, Hairaito marah besar. Sambil menahan emosi, Hairaito berjuang mati-matian meyakinkannya kalau Kaito akan segera sembuh.
Semuanya berjalan lebih baik, Kaito sembuh total. Ia menjadi anak yang periang, namun sedikit pemalu. Ia tumbuh normal seperti anak lain tanpa masalah kesehatan atau kepribadian sedikitpun. Dan begitu tiba saatnya Taito lahir, Meiko bahagia sekali. Taito tampak sehat seperti kakaknya.
Ternyata tidak.
Saat konsultasi kesehatan pada usia hampir 5 tahun, dokter mendiagnosa Taito menyimpan kanker di mata kanannya, dan hampir menyebar ke otak.
Mata kanannya harus diangkat.
Bisa ditebak apa yang terjadi pada Meiko, perasaannya berantakan. Ia kerap menyalahkan dirinya karena kembali bersentuhan dengan wine saat mengandung Taito. Ia pun berinisiatif rutin pergi ke psikiater pribadinya seminggu sekali.
Ketika operasi pengangkatan mata selesai dilakukan, pihak rumah sakit berjanji akan segera menghubungi keluarga Shion jika mereka sudah mendapat donor mata. Tapi ucapan itu sama sekali tidak membuat Meiko senang, ia hancur ketika melihat anaknya harus memakai eyepatch seumur hidup. Entah mengapa batinnya pesimis bahwa akan ada orang yang mau menyumbangkan sebelah matanya, bahkan orang sekarat sekalipun.
Dan akibat fisiknya yang menjadi kurang sempurna sekaligus sakit-sakitan, Taito otomatis menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Ia hanya dekat dengan beberapa orang teman di sekolah.
Tiga tahun kemudian, Meiko kembali hamil. Ia benar-benar berjuang untuk hidup sehat, sehingga kali inipun bayinya lahir sehat. Akaito.
Adik dari Kaito dan Taito tersebut tumbuh menjadi anak yang hiperaktif, sehingga Meiko dan Hairaito harus memberi pengawasan ekstra pada Akaito. Mereka menempatkan seluruh benda tajam – termasuk gunting kuku – di sebuah kotak tertutup dan menaruhnya di atas lemari pakaian mereka.
Sebuah keluarga yang bahagia, harusnya. Hairaito merupakan sosok suami yang amat sabar dan pengertian. Bisa dibilang sempurna. Kalau saja Meiko bisa lebih mengontrol kecemasannya dan menerima apapun dengan tegar, mereka adalah keluarga bahagia.
Hairaito lagi-lagi menghela nafas mengingat semua itu. Sosok istrinya makin lama makin menjauh dari pandangannya.
Pria berkacamata itu menarik handel pintu, bersiap menemui anaknya yang sedang terbaring lemah…
a/n:
Okeh, semoga gak ngebosenin, hehehee. Anggep aja appetizer. And well, nice readers, sekarang udah tau kan kenapa aku milih Meiko buat jadi emaknya Shion Brothers? ;)
Oh, dan soal ayah mereka, don't ask me. :-(
Alright, gini, awalnya aku pusing. Hairaito kan harusnya termasuk Shion Brothers juga ya, tapi karena pake megane trus rambutnya abu-abu, jadi… yah. Stereotip bapak-bapak gitu kan. Tadinya sebenernya aku mau pake Gakupo buat jadi ayah, tapi aku masih gak bisa menyingkirkan imej "Rambut Panjang"-nya Gaku. Kalo Gakupo beneran jadi ayah dengan imej yang apa adanya..,
…nggak tau ya, aku kok nggak sreg. XD
Yossh! Waiting for RnR~ and feel free to ask anything ^^
==Rin==
