Ini adalah sebuah cerita, tentang sebuah keluarga mafia dan bos-nya yang sederhana. Tentang sang langit yang polos, dari setiap sudut pandang anggota keluarganya... Tentang bagaimana bos mereka digambarkan, menurut sudut pandang mereka.

Mitoia Cavallone proudly presents...

L'Storia di Cielo

Story of the Sky
Katekyo Hitman Reborn! Fanfiction © Mitoia Cavallone.

Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira.

Di pintu kaca itu, menempel butiran-butiran air yang bergerak; ia siap mengalir ke bawah kapan saja. Menunggu di kursi kulit yang berjejer panjang memang sangat menjemukan. Menunggu keroyokan air hujan akan berhenti menyerang bumi. Dan menunggu hujan berhenti, sama saja dengan menunggu makanan di restoran super ramai yang pelayannya selalu gelagapan kesana kemari, lama sekali.

Ditambah lagi, hujan di musim gugur tidak hanya selesai dengan berhenti menderu deras. Karena kabut siap turun ke bumi; awan dingin itu siap turun menyapa tanah basah. dan tentu saja, siap mengelus-elus dedaunan kering yang bertumpuk dan basah; karena hujan. Ia akan menari-nari kecil; sisa-sisa angin liar saat hujan tadi masih tersisa dan menarikan daun-daun ringkih itu.

"Aku harus segera pulang."

Seseorang menunggunya. Bukan. Lebih tepatnya, seseorang dinantikannya untuk segera bertemu. Dan orang itu pasti menunggunya dengan perasaan was-was, sambil menggengam ponsel di tangannya yang menyala, menunggu kabar. Menunggu pesan yang berbunyi kira-kira: "Aku baik-baik saja." atau "Aku sudah kembali.". Dan ingin sekali ia mengelus dada setelahnya, melihat orang yang diharapkannya datang terrefleksi di iris matanya yang bening, dan tersenyum dengan apa adanya.

Dan itulah hal yang diharapkan pemuda itu. Yang tangannya bersender pada bangku tunggu bandara, sementara matanya menatap bulir-bulir air yang menempel di kaca jendela dengan lemah. Yang duduk menyilangkan kaki sambil menghisap rokok Italia yang baru dibelinya saat berangkat. Menunggu deru mobil yang berlalu-lalang di depannya berteriak memanggil namanya. Badannya lembab, dan ia begitu risih. Ia ingin segera melepas jas abu-abu kelamnya, melonggarkan kemeja putih yang dipakainya, dan melepas sabuk yang melingkar di celana berwarna senada dengan jasnya.

Gokudera Hayato, sedang menunggu mobil yang menjemputnya di bandara Narita, untuk pulang ke Namimori.

Chapter 1: Storia di Venerazione

Peluh di dahinya mengucur deras, walaupun ia tahu kalau ini musim gugur. Semua orang juga tahu itu. Jarang ada orang berkeringat pada musim gugur yang dingin begini. Hari ini kan jelas sekali udaranya dingin. Sejuk, jika tidak bisa dibilang dingin karena memang udaranya tidak cukup dingin untuk membuat butiran salju. Lagipula, apa kau bercanda, melihat salju di musim gugur?

Dari badannya tercium aroma bahan ledakan yang cukup menyengat. Tangannya saja memegang tiga dinamit begitu. Terang saja, bau ledak-ledakan menyebar dari seluruh badannya. Wajahnya menunjukkan banyak kerut-kerutan tidak jelas, tapi yang jelas kerutan-kerutan itu menunjukkan dia sedang sangat marah. Atau excited? Ah, tidak jelas. Lihat saja, wajahnya sudah terlihat seperti orang yang sangat marah kalau dilukiskan di komik-komik. Rambut silvernya yang seperti tentakel gurita saja berkilap-kilap begitu. Eh, tunggu, ini bukan pameran logam mulia. Ah, silakan lanjutkan.

Mulutnya juga tidak jauh dari orang yang sedang marah. Terus saja meneriakkan kata-kata yang menjatuhkan lawan, seperti "mati kau!" atau kata-kata kotor yang seharusnya disensor. Habis cukup kotor bila diperdengarkan. Dan karena ratingnya tidak mengizinkan, jadi lebih baik nggak usah ditulis saja deh.

Dinamit terus memancurkan apinya, dan suara ledakan terus terdengar. Wajah ketakutan seperti Shaggy melihat hantu yang tampak di depannya itu sudah berubah kalap, dan yang lebih gila lagi, pemilik wajah itu membuka bajunya! Di tengah sejuknya musim gugur yang seharusnya membuat orang yang membuka bajunya terang-terangan terkena flu. Tapi apa boleh buat... namanya saja sedang kalap. Lihat saja matanya, garang sekali. Dan ada api di jidatnya... ngomong-ngomong itu api asli ya? Tapi kalau betulan asli seharusnya rambut karamel yang mirip sarang burung lancip itu sudah terbakar hebat, dong?

"Matikan! Matikan! Matikan! Matikan!" Entah berapa kali sang pemuda kalap itu mengucapkannya, ralat, meneriakkannya. Suaranya keras sekali, seharusnya bayi bersetelan jas itu menutupi telinganya, dengan tangan atau dengan topi hitam yang bertengger menutupi kepalanya itu.

Sumpah, pertarungan ini sangat mendekati chaos, kalau bukan arealnya yang hanya sebagian kecil dari lapangan SMP Namimori. Kalau chaos betulan, mereka berdua sudah habis digigit sampai mati oleh penguasa sekolah itu.

Tapi sang bayi bertopi itu cukup menikmati pertarungan yang amat ribut tersebut. Sejak tadi dia hanya tersenyum-senyum saja, entah menikmati battle tersebut atau memikirkan hal lain... cewek, misalnya. Tapi sejak kapan bayi itu jadi begitu pervert?

Tapi cukup mengejutkan juga, si kepala gurita itu mau bunuh diri, ya? Saking semangatnya (atau lebih tepat disebut saking kepepetnya), ia meledakkan semua dinamitnya, dan sekarang ia terjebak di antara dinamit-dinamit itu. Dan si kalap ekshibisionis (sebut saja begitu, habis orang seperti apa lagi yang membuka baju di musim gugur selain orang gila?) itu semakin mendekatinya.

"Matikan! Matikan! Matikan! Matikan!" Pemuda kalem yang sedang kalap itu terus-terusan mengkomat-kamitkan teriakan itu. Kau kira ini sedang kampanye?

Kepala gurita itu terperangah. Ia sudah mengira-ngira bahkan memastikan, bahwa dalam hitungan menit nyawanya akan melayang bersamaan dengan suara ledakan lusinan dinamit itu. Tapi yang terjadi kemudian, langit sepi.

Pause.

Eh? Aku masih hidup?

Weits, ledakan itu tidak sampai terdengar! Itu artinya tidak jadi meledak. Dan itu berarti, dia selamat. Nah kepala gurita, sekarang apa yang bakalan kau lakukan?

"Terima kasih banyak! Jyuudaime, mulai sekarang aku akan mengikutimu, melakukan apa yang kau perintahkan!" Buset, dia malah bersujud di depan pemuda yang baru sadar dari kalapnya tadi.

"Eng, Gokudera-kun?" pemuda yang baru tersadar dari mode kalapnya tadi menumbuhkan banyak tanda tanya di sekitar kepalanya. Masih belum pakai baju juga? Walah, ini sih masih semi kalap.

Pemuda yang dipanggil Gokudera itu tersenyum. "Aku berhutang budi padamu, Jyuudaime."

Hegh. Dia menghargai lawannya. Dia mau menyelamatkan nyawa orang lain, walaupun itu musuhnya. Sungguh orang berhati mulia. Ia, Jyuudaime.

Jyuudaime, ya, pemuda habis kalap itu, ia bersin. Terus terang saja, musim gugur itu dingin.

Di belakangnya, daun-daun kering berputar-putar di udara.

Mungkin tidak ada satu orangpun yang tahu, ia selalu mengingat kejadian itu.

Tentang si kepala gurita yang menantang calon bos-nya.

Menantang calon bos-nya, yang sangat menghargai nyawa manusia.

Dan ia juga menghargai nyawa manusia, sama seperti bos-nya.

Ia juga mulai belajar menghargai nyawa sendiri, seperti yang diajarkan bos-nya. Saat ia selalu dalam posisi genting dan selalu mempertaruhkan nyawa, ia selalu mengingat bos-nya, yang memberinya wejangan supaya menghargai nyawanya sendri. Seperti sebuah sugesti, kata-kata itu selalu diingatnya baik-baik di otaknya. Mungkin ada tempat khusus untuk menyimpan kata-kata itu.

"Apa artinya kemenanganmu jika kita tidak bisa berkumpul bersama lagi?"

Kepala gurita itu tidak pernah lupa.

Bahwa sekarang, dan untuk seterusnya, ia punya sebuah keluarga yang menunggunya pulang. Keluarga yang hangat, yang terus membuatnya ingin pulang. Setidaknya ia punya tempat untuk pulang. Ke tempat keluarganya.

Ia sangat menghargai keluarganya. Terlebih lagi, itu semua karena bos-nya sang sangat ia hormati.

Ya, betapa ia menghormati orang itu. Yang tak pernah berharap lebih, kecuali senyuman dari semuanya. Kecuali keutuhan keluarganya. Yang tidak pernah mengharapkan kekuasaan, penghargaan, materi, atau apapun yang gemerlapan. Yang hanya berpikir sederhana, membuat semuanya bahagia.

Ia tidak menonjol. Ia tidak mempunyai ambisi yang kuat. Ia hanya melihat apa yang ada di depannya, menghadapinya dengan suka rela, walaupun terkadang atau sering membuatnya sakit hati. Kekuatan datang begitu saja menghampirinya. Orang-orang begitu saja menghargainya. Kehidupannya sederhana. Pikirannya sederhana. Perangainya saja sederhana begitu. Tapi itulah, harapan dunia mafia.

Orang yang mau melindungi semuanya dengan sederhana, sepolos langit biru yang kekal. Memahami dan mengerti semuanya dengan senyuman. Menghangatkan dengan kepolosannya. Ia hangat, ringan, dan nyaman. Langit itu, amat luas dan bisa membuat nyaman semuanya.

Betapa ia mengagumi sosok itu. Sosok langit yang polos dan sederhana, tapi itu sudah cukup membuatnya punya tempat untuk pulang. Langit biru polos yang membuatnya punya sesuatu yang dirindukan. Langit yang mengubah kehidupannya, dari seorang serigala kesepian menjadi badai pelindung keluarga.

Betapa ia menghormati langit itu. Dan ia akan setia kepada langit itu untuk selamanya.

Kepada Jyuudaime, rasa hormatku padamu tak akan terkikis oleh apapun. Tidak akan oleh penyelamat nyawaku. Tidak akan kepada orang yang mengenalkan arti teman padaku. Tidak kepada orang yang membawaku kepada sebuah keluarga.

Aku menghormatimu, Jyuudaime.

"Hei, Hayato!"

Orang yang dipanggil membetulkan duduknya, sejenak karena tersentak. Lalu ia berdiri dan merapikan pakaiannya. Ia berlari, menenggerkan koper coklat yang tadinya berdiam di samping kakinya di atas kepalanya, melindungi dirinya dari serbuan air hujan yang tidak juga berhenti.

Pemuda di mobil itu, yang memanggil namanya, tersenyum dari balik jendela mobil yang ia buka kacanya, supaya bisa melihat kawannya lebih jelas. Senang rasanya bisa bertemu dengan kawannya lagi. Pria berambut hitam cepak itu pun menutup kaca jendela mobil itu, karena yang ia jemput sudah masuk ke dalam mobilnya.

Tururulululut!

Hayato melihat layar ponselnya. Lalu memencet tombol hijau bergambar telepon di ponselnya itu. "Jyuudaime?"

"Kau sudah dalam perjalanan pulang?" Terdengar suara dari balik speakerphone-nya.

"Hmmm... sebentar lagi. Sebentar lagi akan sampai."

Pemuda berambut cokelat di seberang sana menatap hujan lagi. Dia sampai dengan selamat. Syukurlah.

-Fin-

Music: Listen To The Stereo – Going Under Ground

Semuanya, apa kabar?

Saya baru selesai UKK nih. Maaf, sempat membiarkan celeng-celeng terbengkalai untuk sejenak. Tapi yang penting sudah jadi kan? Kufufufu~

Ya, ini chapter pertama. Tentang Hayato dan rasa hormatnya terhadap Tsuna. Kena nggak? Kalau nggak, berabe nih, nggak masuk prompt...

Semoga kena lah.

Ah tambahan, waktu Hayato-kun ketemu Tsuna yang di cerita atas itu, settingnya musim gugur loh. Karena tak jauh setelahnya Tsuna ulang tahun. Nah, ultah Tsuna itu 14 Oktober—musim gugur (dan Reborn sehari sebelumnya). Atas dasar pemikiran itu, jadilah chapter ini.

Chapter depan tentang Kyouya dan kerja keras Tsuna. Secepatnya saya update!

Grazie,

Mitoia Cavallone.

Don't forget to review this story!

v

v