i see an ocean through your eyes
naruto © masashi kishimoto
.
karena kehidupan amat rapuh; dan waktu tidak menyediakan cukup tempat untuk kata bahagia
.
.
.
(you've waited too long
to finally see
the sunshine in the rain
is as deep as the sea)
the sea—ed sheeran
.
.
.
Sasuke panik.
Dia tidak menunjukkannya secara ekspresif. Dia bukannya tidak mau, tapi tidak bisa. Begitu mendapat berita bahwa Hinata melahirkan, secepat mungkin ia segera menuju Konoha. Dia bukan tipe suami idaman kecuali secara fisik. Sasuke bukan Naruto yang ikut mendampingi, membisikkan kata-kata semangat, kata-kata manis untuk menenangkan Sakura. Bukan juga Shikamaru yang terus mengomel dan memilih untuk menenangkan diri di kantin dan ketika ia naik, bayinya sudah ada dalam pelukan Temari.
Sasuke terpekur di ujung bangku tunggu, memijat batang hidungnya di luar ruang rumah sakit. Ayah mertuanya mondar-mandir entah berapa putaran sudah ia selesaikan. Mungkin dia punya beberapa kesamaan dengan Hiashi; salah satunya kesulitan mengungkapkan apa yang terjadi sesungguhnya dalam benak mereka. Sasuke memanggil-manggil kewarasannya, tenang… tenang, tenang dan pikiran buruk malah membuatnya terpojok. Ketika pintu terbuka, salah satu suster berpakaian putih keluar. Sasuke menahan napas tanpa sadar.
"Tuan Uchiha, Tuan Hyuuga, Nyonya Hyuuga telah melahirkan putranya dengan selamat."
Hiashi segera masuk duluan meninggalkan Sasuke yang nyaris lupa untuk mengisi paru-parunya.
.
.
.
"Aku tidak bisa berjanji memberimu kehidupan yang kamu inginkan."
Suatu hari, Sasuke berkata, setelah beberapa hari mereka menikah. Musim panas membawa angin yang sejuk, Sasuke merasa dunianya terlalu damai hingga ia bisa kembali duduk di teras rumahnya, memandang langit biru. Pedangnya tetap terselip di pinggang, kehilangan bau darah yang menyengat. Hinata, ikut duduk di sampingnya, menawarkan potongan semangka yang segar. Sebelumnya ia membayangkan akan menutup mata dengan tewas di salah satu pertarungan. Sesederhana itu untuk berpikir meninggal seperti Ayahnya, Ibunya, dan Itachi demi melindungi apa yang mereka percayai.
"Aku tahu hal itu. Jangan khawatir, Sasuke." Hinata menjawab dengan tenang. Ia jauh lebih mengetahui segala konsekuensinya dibandingkan siapapun. Dengan menyerahkan statusnya sebagai pewaris, Hinata melepas seluruhnya kepada Hanabi. Untuk merubah satu hal yang telah berlangsung selama berabad-abad, Hinata kadang berpikir apa yang ia lakukan terlalu mudah. Ia menerima semua caci maki, semua amarah, tapi Hiashi tidak pernah mencoret namanya dari daftar keluarga Hyuuga. Sebelum pipinya dipoles oleh bedak, Hinata memandangi cermin di kamar. Pantulan ruam ungu menyebar di tengah putih pucat. Apa yang perlu membuatnya membuang airmata? Bahkan tidak ada tumpah darah seperti yang terjadi pada seluruh klan Uchiha—ia hanya perlu bersabar dengan Ayahnya. Bagaimana pun juga, Hinata tidak menyesal. Lagipula, Hanabi memenuhi seluruh kriteria untuk menjadi pewaris yang hebat. Tidak ada masalah. Dan Hinata tidak akan berbalik untuk mengganti marganya menjadi Uchiha. Darah Hyuuga tetaplah darah yang mengalir dalam tubuhnya.
"Sebagai gantinya," Sasuke terus memandang jauh nun di sana. "Aku akan melindungimu."
Ya. Begitu saja. Satu kalimat itu cukup untuk Hinata dan perempuan itu tersenyum lega.
.
.
Hinata memandang lama pigura keluarga Uchiha. Ibu dengan sepasang mata yang teduh. Ayah yang punya bahu berwibawa. Sasuke kecil tersenyum. Itachi—dia pewaris klan, posisi kita sama. Aku ingin tahu seperti apa dia saat mengoordinir seribu isi kepala untuk mencapai satu tujuan.
Apakah aku menyesal?
.
Pintu rumahnya didorong.
Sendalnya langsung kotor begitu bertemu permukaan lantai kayu rumahnya. Korden jendela tersingkap oleh angin. Kordennya seperti kain blacu, Sasuke mencoba menggeser jendela untuk membiarkan angin masuk lebih bebas, namun sulit. Ia menengok dari celah yang ada, tanaman menjalar ternyata tumbuh lebat, masuk ke dalam rumah, akar-akarnya merambat di seluruh permukaan jendela. Kontradiksi. Ada yang terus hidup di dalam rumah mati ini. Halaman belakang yang rapi, berubah menjadi kebun bunga liar dan rumput yang tinggi-tinggi.
"Takut?" tanya Sasuke, pada Hinata yang sedari tadi menutup mulutnya, mulai mengetes fungsi keran di wastafel. Kompleks Uchiha seolah menyimpan bahaya radiasi sejak pita kuning melintang dan menjelaskan disini pernah menjadi lokasi pembunuhan massal. Tentu, kesan angker, masih ada pembunuh yang sembunyi, akan menakuti putri Hyuuga yang hidupnya enak dan mewah, bukan?
Apa tikus juga takut kehilangan nyawa? Sasuke agak heran belum melihat hewan pengerat berkeliaran sedari tadi. Ia hanya menemukan Hinata mulai merapikan konter dapur, mencuci piring keramiknya yang berlapis debu. Pemuda itu memutuskan untuk membantu Hinata mengeluarkan semua perabot dapur dari laci, dan membersihkannya. Di lemari, hanya ada beberapa serangga yang sebentar lagi mati oleh desinfektan di tangan.
Hinata menggeleng ringan. "Tidak." Sasuke baru mendengar kembali seseorang berbicara dengannya sesederhana itu. Telinganya terbiasa menerima lengkingan, nada yang penuh oleh seduktif, atau teriakan seakan ia tuli. Sekali itu, Sasuke merasa dia menjadi dirinya yang ia inginkan.
"Rumahmu… menyenangkan?"
Rasanya aneh mendengar seorang seperti Sasuke bertanya hal seperti ini. Hinata ingin tertawa tapi tahu itu tidak sopan. Tujuan mereka sekarang ingin membersihkan mansion Sasuke—dan rumah-rumah lain akan dibantu oleh para Hyuuga lagipula Sasuke tidak keberatan mengeluarkan uang untuk meminta bantuan para chuunin Konoha yang butuh misi tingkat D. Mansion Utama seperti dinding yang tinggi dan tak bisa dijangkau. Ayahnya memasang ekspektasi tinggi terhadap Hinata. Sekali, dua, tiga… Hinata mencoba meraih, tapi gagal. Sasuke tidak perlu tahu apa yang dia hadapi tidak indah penuh oleh dunia glamour seperti yang dibayangkan banyak orang. Ia makan, tidur, latihan seperti kebanyakan orang.
"Sulit dijelaskan." tukas Hinata pelan. Sasuke mencatat dalam kepalanya, Hinata memang mudah tersenyum. Perempuan ini terlalu ramah untuk menjadi shinobi dan terjun ke dalam dunia ninja yang mengerikan. "Sejak Ibuku meninggal, Ayahku seperti menjauh dan mencari tempatnya sendiri. Adikku juga. Dan Kak Neji…"
"Emm, yang tadi lupakan saja." Hinata mengutuk dirinya sendiri. Tangannya mengibas-ngibas berharap Sasuke tidak menganggap atau mendengarkan kalimatnya barusan. Sayangnya, Sasuke menyimak dalam datarnya.
"Ibuku orang yang baik. Dari dia, aku tahu Ayahku punya caranya sendiri untuk memperhatikan anak-anaknya. Setiap aku pulang dari akademi, dia membuatkanku bekal. Untuk Itachi juga." timpal Sasuke tiba-tiba. Ia seperti menemukan orang yang tepat dan tidak akan menanyakan hal yang tidak ingin ia jawab.
"Ibumu membuatkanmu bekal apa, Sasuke?"
"Onigiri. Ikan tuna." Sementara Hinata tidak keberatan tangannya terkena sabun yang keras. Sasuke pikir, jari-jari lentik tuan putri pasti diperlakukan khusus. Ternyata tidak? "Untukku, Ibu selalu menambahkan tomat yang banyak."
Hinata mengangguk-angguk. Setelah selesai mencuci piring, meja makan di tengah menjadi sasaran lap selanjutnya. Sedikit dalam hatinya bersyukur, Sasuke mau bertukar cerita dengannya. Ia sempat mengira Sasuke akan terus diam seperti halnya dia di rumah sakit, Hinata sering mengintip dari kaca kecil di pintu.
Sasuke menebas tanaman rambat dan memperbaiki paku jendela yang berkarat. Ia juga mengganti pintu geser dan lubang kunci baru. Para petugas Konoha datang untuk mengatur kembali aliran listrik di kompleks Uchiha dan membantu beberapa pekerjaan biar Sasuke merogoh kocek lebih. Hinata berhasil menyulap lantai rumah seperti kayu yang selesai dipernis.
Malamnya, mansion Uchiha layak untuk ditinggali meski beberapa minggu lagi Sasuke dan Hinata tetap tinggal di kediaman Hyuuga sebelum kompleks ini pulih sepenuhnya. Sasuke menutup jendela dan pintu, meresapi setiap kenangan yang tersedia di sela-sela jengkalnya. Pigura keluarganya ia gantung di salah satu paku di dinding. Hinata menaruh apron sembari melepas gelungan rambutnya.
Mereka duduk berhadap-hadapan di meja pendek ruang makan. Tiga lampu di langit-langit memberi cahaya yang cukup untuk menerangi gambaran jelas sosok Hinata dengan rambut panjangnya yang disampirkan ke depan, mengisi cangkir masing-masing dengan teh. Kapan terakhir ia makan seperti ini? Ada pasta tomat, potongan ayam, onigiri dan salad. Selamat makan, kata Hinata. Sasuke mengangguk, mencoba memberi kesempatan pada onigiri tuna buatan Hinata. Ia menikmatinya pelan dan mengingat dengan jelas, onigiri yang ia makan sekarang rasanya sama seperti buatan tangan ibunya.
.
.
.
.
.
Pernikahan mereka tidak dilaksanakan secara meriah. Tidak juga dilakukan secara tertutup. Meminjam istilah dari Sai, pernikahan mereka cocok dengan kata mewah, khidmat dan privat. Mansion Hyuuga terlihat lebih bernyawa. Kompleks utama mereka dihias dengan berbagai macam rangkaian bunga, bendera Uchiha dipasang bersandingan dengan bendera Hyuuga.
Hiashi mengamati potret Hinata—kopian tanpa cacat mendiang istrinya; kimono putih (shiromuku milik ibunya) memajang figur mungil Hinata dengan sempurna. Hiashi menyembunyikan kesedihan dalam jubah cokelatnya. Mereka cocok dengan warna-warna tenang dan dalam; Hiashi tidak kecewa ketika ia melihat Sasuke dengan mudah mengenal lapisan kimono yang akan dia gunakan. Aroma sake yang Hinata tuangkan ke dalam cawan kecilnya ia hirup dan nikmati. Ayah, aku akan menikah.
Satu lagi pesta digelar tak jauh selang hari dari pernikahan Hinata. Hanabi diangkat menjadi pemimpin baru dan para Hyuuga menilai ini tak lebih dari pesta pora. Hiburan yang Hiashi ciptakan untuk menipu dirinya sendiri berkali-kali. Ia tersenyum bangga ketika Hanabi mendapat kehormatan sedemikian rupa. Namun bayangan si bocah Uchiha menggamit tangan Hinata ketika janji sehidup semati itu tercatat oleh langit melekat setiap kali ia menutup mata.
Ia baru tahu senyum Hinata yang tulus di umurnya yang kelima puluh.
Ketika ia mendengar pintu mansionnya digeser tak biasa, dan para Hyuuga membisikkan satu nama, Hiashi mana percaya seorang pengkhianat desa akan datang kembali menginjakkan kaki di rumahnya. Ia datang bersama lambang Uchiha yang telah redup. Hiashi melihat sendiri si pemilik sharingan terakhir yang entah gila atau bagaimana—berani mengutarakan keinginannya. Ingin menikahi anak sulungnya. Putrinya yang menurutnya lemah, tidak punya kemampuan. Nama klan bisa diselamatkan dari bentuk aib yang nyata: ini cara terhalus untuk menyelamatkan muka Hyuuga dari cemooh Konoha karena Hinata. Dan ia salah.
Ayah, aku akan menolong Sasuke. Aku menerimanya. Ayah tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri.
Amarah menyetir akal sehatnya dengan kendali penuh. Tangannya melayang, melukai si sulung baik secara fisik dan psikis. Ia pernah berjanji pada istrinya untuk melindungi anak mereka namun tangan Hiashi berakhir merenggut cahaya pada sepasang mata yang lembut. Ego meneriaki nuraninya. Terombang-ambing dalam berbagai keinginan dari banyak pihak dan Hiashi tidak menyangka kata 'iya' akan keluar dengan berani dari bibir mungil Hinata. Ruang dojo ditutup dan Hiashi memijat pelipis di dalam kesepian yang mengisi ruangan pribadinya.
.
Hiashi akhirnya mengaku pada sunyi bahwa setengah nyawanya hilang karena kesalahannya sendiri. Pigura keluarga itu menerima noktah-noktah basah meluncur dari mata yang telah menua oleh ambisi dan beban hidup sebagai pemimpin. Ia terlambat menyadari kelapangan hati yang dimiliki putrinya dan kini, di punggung Hinata tidak ada lagi lambang api kebesaran Hyuuga.
.
.
.
Hiashi, kami tahu kau mengambil keputusan yang terbaik.
.
.
.
.
Bayi yang ada dalam pelukannya begitu mungil dan rapuh.
Rambutnya hitam pekat, dan ketika kelopak matanya yang basah mengerjap, Sasuke tahu, ini anaknya. Anaknya dengan Hinata. Bola matanya mencuri keindahan nama Uchiha, bulu matanya panjang seperti Hinata. Belum lagi, anaknya laki-laki. Sasuke bisa merasakan ada kehidupan dalam dekapannya. Ia bisa mendengar suara-suara kecil yang membuatnya kaku. Tangannya membelai pelan kulit harum anaknya, tangannya yang pernah menciptakan hujan merah. Bayinya begitu lucu, dengan pipi mirip mochi. Anaknya menangis pelan, dan ia memberikannya pada pelukan Hinata yang lebih lembut. Kehangatan dari Uchiha yang baru membekas pada lengannya. Hinata terlihat begitu lelah, kehabisan tenaga namun masih kuat untuk tersenyum.
"Kau memberi namanya siapa?" tanya Hiashi, memperhatikan cucunya. Tidak ada ciri fisik Hyuuga dalam diri anak mereka. Tak perlu memungkiri, jauh di lubuk hatinya, ia berharap Hinata melahirkan calon Hyuuga yang kuat. Byakuugan seperti Neji. Seperti Hizashi. Hiashi, bagaimana pun pernah mengalami ini semua. Namun, istrinya pergi sementara Sasuke beruntung, Hinata masih ada disini.
"Kami sepakat jika anak kami lahir di musim semi, Sasuke yang akan memberinya nama."
"Suzaku." Hiashi ingat dengan empat dewa penjaga mata angin. Lelaki yang tua itu pernah berpikir mungkin cucunya akan dinamai Chihaya, Daichi atau Taichi. Tapi, Hiashi tidak pernah mengira cucu pertamanya akan dinamai nama setelah makhluk mitologi yang agung; burung api.
"Uchiha Suzaku." ulang Sasuke. Tampaknya Hinata senang dengan kejutan suaminya. Kalau anaknya lahir di musim dingin, Hinata pasti akan memberikan nama yang manis dan feminin. Tapi ini Sasuke. Hinata menggumam pelan, menyapa anaknya. "Selamat datang, Suzaku. Selamat datang…"
.
.
.
Apa Ayah benar-benar yakin Kakak aman?
.
.
.
Ujung payung gelap itu melindungi Sasuke dari hujan.
Air berhenti menelusuri wajahnya. Setidaknya, Sasuke menikmati saat-saat seperti ini, seakan air membasuh turun pergi segala kepenatan dan masuk ke dalam bumi tanpa pernah kembali. Saat ia membuka mata, nama Itachi terukir pada batu nisan. Rintik hujan menciptakan jejak-jejak gelap pada kimononya. Ia mendapati seikat lily seakan menghiburnya di dalam kungkungan kesenyapan. Sasuke masih tertunduk, menyadari Hinata ikut mengatupkan tangan, merangkai kata-kata pada langit. Nisan Itachi, Sasuke yang buat. Kakaknya punya tempat setelah nisan Ibu dan Ayah. Tidak ada yang merawat pemakaman Uchiha selama bertahun-tahun, siapa yang mau?
Sasuke ikut mengantar Hinata, berziarah ke makam Neji. Rivalnya menjemput kematian dengan cara yang mengambil kagum Sasuke; melindungi Hinata. Sama seperti Itachi yang mati demi kehormatan Uchiha dan desa di tangannya. Bunga-bunga matahari begitu kontras dengan hutan bambu hijau di kompleks pemakaman Hyuuga yang penuh oleh kuil-kuil kecil. Sasuke terdiam melihat Hinata begitu lama berbicara dengan Neji dalam doa. Sekali pernah, Sasuke membayangkan; apakah nanti ketika ia ditanam dalam tanah, ada orang yang mendoakannya seperti Hinata kepada Neji? Sasuke tidak tahu. Jalan menuju pemakaman Uchiha lebih jauh, tersudut di dalam hutan Konoha. Sasuke sempat bertanya, apa Hinata mau ikut. Tentu saja Sasuke mendapatkan anggukan setuju tanpa banyak bicara.
Puas memandangi batu yang berdiri tegak dengan ukiran nama sang Kakak, Sasuke berdiri dan menepuk-nepuk hakamanya. Ibu dan Ayah tentu sudah merasa bebas dari semua kekangan rantai yang Konoha ciptakan tak kasat mata. Itachi juga tidak pernah gagal menyelesaikan semua misinya dengan sempurna.
"Ayo pulang, Sasuke." Hinata berdiri, memanggilnya pelan, tersenyum dengan payungnya yang menunjukkan keindahan bunga plum putih.
.
.
.
Kegelapan menyelimutinya. Sasuke kehilangan arah. Ada sepasang tangan menutupi kedua matanya. Ia tersesat.
Siapa?
Kita bisa membangun rumah yang nyaman, Sasuke. Kau tertidur dan aku akan menjagamu.
Hinata?
Kau bermimpi buruk lagi…
.
.
.
Misi kali ini memakan dua minggu kurang lebih. Hinata melihat stempel kategori S dalam gulungan tersebut. Perempuan itu menata perbekalan suaminya, membantu Sasuke mengisi tas dengan kunai dan beberapa obat merah yang praktis. Seperti biasa, Kakashi tidak pernah memberi keringanan dalam soal istirahat dan menguras chakra sampai habis.
"Ada yang ketinggalan, Sasuke?" tanya Hinata. Ia bersiap-siap mengenakan sendalnya, Hiashi setuju dengan Hinata bekerja di bagian farmasi rumah sakit. Obat-obatan menjadi keahlian yang bisa Hinata banggakan kepada Ayahnya, lagipula ia bisa mencoba keahliannya pada Hanabi dan keluarganya. Ketika Sasuke sampai di rumah nanti, ia ingin Hinata memasak onigiri yang enak lagi.
"Aku pergi dulu."
Matahari senja membuat bayangan yang jelas pada langkah-langkah yang panjang. "Hati-hati. Aku menunggu."
.
.
Hinata tidak tahu isi pikiran Sasuke. Ia tahu pemuda ini bisa merenggut nyawa dalam hitungan detik. Tapi nyata-nyatanya dia hanya seorang yang kesepian; tertidur bahkan masih memeluk pedangnya.
.
.
.
Naruto datang mengetuk pintunya tidak sabar, kelihatan jelas ia membawa kabar tak enak. Air wajahnya keruh, bahkan ketika mereka bertiga ada di ruang makan, Naruto tampaknya larut dalam lamunannya sebelum Sasuke mengingatkan tujuan orang nomor satu Konoha ada disini. Teman baiknya tidak bertingkah seperti ini kecuali jika berita yang ia bawa benar-benar suatu masalah besar. Terlebih kedatangan Naruto di malam hari, seperti menyembunyikan diri dari perhatian masyarakat.
"Apa Naruto. Cepatlah." Dari ujung matanya, Sasuke melirik Hinata. Memastikan perempuan itu tidak salah tingkah. Hinata menikmati setiap kunyahan dangonya tanpa ada intensi untuk mencuri pandang dengan Naruto. Tidak ada wajah yang merona dan kalimat terbata-bata. Bagus.
"Ini mengenai rapat tentang status keberadaanmu di desa, Sasuke." Naruto membuka obrolan penting. Gelas kecil yang disiapkan Hinata cukup membantu mengurangi tegang di bahunya.
"Mereka menginginkan apa dariku? Aku sudah masuk ANBU 'kan?"
Desa membuat perjanjian dengan si Uchiha terakhir. Sasuke menorehkan merah di atas putih tanpa ragu. Ia diperkenankan untuk memulai masa depan dengan menyerahkan seluruh hidupnya pada Konoha sebagai ANBU. Belum cukup sampai di situ, Sasuke dipasangi segel kontrol chakra milik Hyuuga oleh Hinata. Dua tahun sebagai waktu percobaan apakah dia akan bertingkah baik atau tidak—semua tergantung Sasuke bila pemuda itu ingin punya kendali kekuatan penuh atas chakranya. Setahun setengah sudah terlewat. Skenario yang disiapkan Konoha: Menjinakkan Uchiha. Sasuke tahu betul, namun ia juga punya rencana lain untuk mengangkat martabat klan yang kini nyaris menjadi sekedar legenda belaka.
"Ini serius, Sasuke." Ugh, Naruto benci situasi seperti ini. "Konoha keparat. Aku—aku sudah melawan mereka dan aku tidak berhenti, tidak akan pernah."
"Tentang apa?"
Naruto menarik napas dalam.
"Konoha berniat mengambil anak kalian. Mereka mengincar rinnegan, entah byakuugan, sharingan untuk menjadi anjing penjaga mereka. Aku memang bodoh, tapi aku tidak sepengecut itu untuk mengerti jika mereka benar-benar menginginkan anak kalian sebagai jaminan Uchiha tidak akan berkhianat lagi!"
Yang pertama bereaksi adalah Hinata. Sumpitnya ia letakkan di ujung piring putih. "Benarkah?"
"Leluconmu sangat tidak lucu, Naruto."
"Sasuke, apa aku terlihat sedang bercanda?"
"Selera humormu buruk."
"Sasuke!"
"Karena sekarang Uchiha dengan Hyuuga?" Hinata menginterupsi.
"Lebih tepatnya seperti itu. Mereka menanti kekuatan baru dari Hyuuga dan Uchiha. Mereka bisa menjadikan keamanan desa, perdamaian, bahkan mereka akan mendesak seluruh klan di desa untuk mendapatkan apa yang mereka mau!"
"Yang aku tahu, Ayahmu penentang paling keras, Hinata. Hyuuga memang salah satu klan paling berpengaruh saat ini, namun setelah perang dunia, jumlah anggotanya tidak banyak untuk melakukan perlawanan yang kuat."
"Aku lebih dari sekedar tahu jika rinnegan menjadi hal yang diinginkan semua orang. Ninja Kumo berkali-kali menculik inang byakuugan. Dan orang-orang tidak segan mengambil sharingan dan mentranplastasi. Dan tikus got itu akan mengambil anak kami? Tidak, Naruto." Api kemarahan mulai terbit dan membakar emosi Sasuke. Mereka yang menyulut permasalahan duluan, demi Tuhan!
Singkatnya, otak para petinggi itu mencari senjata baru paling mutakhir untuk menjelaskan posisi kekuasaan di antara negara besar ninja. Sejarah akan mencatat kisah baru tentang hasil penyatuan kekkei genkai dari dua darah murni. Bukannya hal itu amat menjanjikan dengan segala kemungkinan akan hadirnya kekkei genkai yang lebih kuat? Kumogakure bahkan selangkah lebih paham dari Konoha sendiri.
"Karena itu!" erangan putus asa sangat tidak cocok dengan seorang Uzumaki Naruto. "Karena itu Sasuke. Jangan pergi lagi. Jangan karena alasan itu." Suaranya terdengar parau. Pahit.
"Kapan diadakan rapat kembali?"
"Dua minggu lagi. Temui aku langsung di gedung Hokage."
Sasuke mengerti karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk membeberkan kronologi permasalahan. Ada Hinata disini. Naruto akan menjelaskan semuanya sebagai pemimpin desa, di tempat yang lebih menuntut mengurai permasalah sejelas-jelasnya. Bukan di rumah ini.
Ruang makan Uchiha dipenuhi oleh ketegangan yang meresahkan. Naruto mengambil jubah yang ia perjuangkan sampai mati, mempertanyakan fungsi dari jabatan yang ada dalam genggaman kalau tidak bisa melindungi sahabatnya untuk ke sekian kali? Ia mengamati Hinata, teman baiknya. Dan Naruto paham bagaimana kerangka otak Sasuke bekerja. Lelaki pirang itu segera pamit dan keluar. Di pintu rumah, Sasuke berbicara beberapa hal sebelum wajah Naruto tertutup oleh topinya caping, ditelan oleh gelap malam.
.
"Tenanglah, Hinata."
Istrinya membisu di meja. Makan malam yang seharusnya tenang, pegal yang belum hilang dari tubuh, dan berita yang tidak menyenangkan punya alasan yang cukup memancing keluar dendam Sasuke yang sempat terkubur dalam. Konoha tidak menyediakan tempat bagi Uchiha untuk hidup dengan damai. Apa perang selesai bisa dijadikan alasan untuk mencari mainan baru? Persetan, umpat Sasuke dalam diam. Persetan.
"Bagaimana bisa aku tenang, Sasuke? Menurut Nona Shizune dan Sakura, anak ini akan lahir sebentar lagi! Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dihadapi anak kita setelah ini!"
Hinata menatap Sasuke dengan mata yang basah. Ia baru menangis lagi sejak kematian Neji. Hinata semakin takut. Apa kebahagiaan harus dibayar dengan setara? Apa ini tidak berlebihan? Hinata tidak mau anaknya menjadi robot tanpa emosi yang menghabiskan kesempatan berjalan di muka bumi sebagai mesin pembunuh. Ia tidak mau anaknya kehilangan esensi menjadi manusia. Justru, ia mengharapkan kehidupan yang biasa-biasa saja. Tanpa ada perang. Tanpa ada kata shinobi. Seribu tahun lagi untuk bisa melakukan itu semua pada anakku!
"Aku akan melindungi kalian."
Kalimat Sasuke melesap jauh ke dalam alam bawah sadar Hinata. Ketakutan yang ia rasakan berganti cepat demi mendengar dingin dalam keseriusan nada suaminya. Salah satu sannin pernah tewas di tangannya. Ribuan orang pernah menjadi korban pedangnya. Bahkan Kakaknya sendiri mati di tangannya. Ia bertekad, dengan pedang dan tangannya yang kotor, ia akan melindungi apa yang tersisa dan berharga bagi dirinya. Tidak ada seorang pun yang akan merebut sesuatu, sekecil apapun dari Sasuke. Tidak lagi.
"Tapi Sasuke, bagaimana—?"
Sasuke menggamit kedua tangan Hinata yang gemetar, menggeleng. Ia berusaha menguatkan hati istrinya dan menatap Hinata tajam.
"Tidak, Hinata. Aku tidak akan membiarkan desa menjadikan anak kita sebagai boneka. Tidak akan pernah." Sharingan itu hidup; merah yang amat pekat, demi memamerkan keagungan akan darah klan terkutuk. "Jika itu sampai terjadi, aku pasti membakar desa ini. Amaterasu tidak akan padam oleh apapun, untuk mengingatkanmu kalau aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, Hinata."
.
.
.
(revised; 22/08/2016) ehe maafin kesalahannya fatal sekali, wkwkwk
