Disclaimer © Tite kubo

(Bleach bukan punya saya)

.*.

Our Love

by

Ann

.*.

Peringatan : AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo(s), Gaje (Silakan berpendapat sendiri),

Tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'

Dan untuk kalian yang berniat meneruskan membaca ...

selamat menikmati.

.*.

Bab I

Just Want You to Say

.*.

Katakan pada dunia tentang cinta kita

Aku hidup untuk hari itu

.*.

London, Inggris, 1813

Matahari bersinar redup, dengan putus asa mencoba mengusir salju yang menumpuk di jendela kamar yang mengarah ke kebun mawar itu. Bukan salahnya jika tak mampu, sisa-sisa musim dingin masih berkeras untuk bertahan di akhir Februari. Gadis beriris violet itu menatap keluar dalam diam, mengamati tunas-tunas hijau yang sama keras kepalanya seperti salju. Ia merindukan musim panas, merindukan matahari juga lanskap indah Hampshire, kota kelahirannya. Dan yang pasti pria yang menunggunya─atau tidak─di sana. Untuk sementara ia akan berpikir positif demi mempertahankan kewarasannya, bahwa pria itu merindukannya. Ichigo akan selalu merindukannya.

Rukia selalu menganggap Ichigo indah, seperti indahnya sinar mentari di pagi hari. Pria itu tinggi dan kuat, hasil bekerja di ladang dan istal kuda. Rambutnya yang tebal dan sewarna senja di musim panas selalu dibiarkan panjang melewati telinga, tak memedulikan tren rambut pendek yang diikuti oleh pria saat ini. Alisnya kuat, meski sering terlihat berkerut, seperti memikirkan terlalu banyak hal di kepalanya. Matanya sewarna madu, yang membuat Rukia selalu mengingatnya kala menyeduh teh di sore hari. Mulutnya selalu menampakkan lekuk murung, namun ketika tersenyum terlihat memesona. Ichigo, cintanya, tetapi tak pernah jadi kekasihnya.

Mereka sudah saling mengenal hampir di seluruh kehiduoan mereka. Rukia berusia lima tahun saat kakeknya membawa pulang Ichigo yang ketika itu berusia tujuh tahun. Meskipun keluarga Kuchiki selalu memperlakukannya sebagai anggota keluarga, Ichigo berperan sebagai pelayan. Pelindung. Orang luar. Bahkan waktu yang berjalan tak jua membuat pria itu mengubah posisinya. Tak peduli seberapa besar kasih sayang yang Rukia berikan, tak ada yang berubah dari pendirian pria itu. Aku akan selalu menjadi orang luar, begitu yang dikatakannya.

Pintu kamarnya terbuka. Rukia merasakannya, juga perasaan hangat yang tak asing dalam dirinya. Itu pasti ... Ia menoleh dan menemukannya, berdiri di ambang pintu tanpa suara. Hati Rukia menjerit, meneriakkan kerinduannya. Biasanya ia akan berlari dan langsung memeluk pria itu. Namun, kali ini tidak. Rukia melangkah, namun tak mengarah ke pintu melainka ke kabinet di samping lemari pakaiannya. Ia membuka laci, mengisi tas kecil dengan beberapa barang pribadi; sisir, cermin kecil, sebaris jepit, sapu tangan. Ia bekerja dalam diam, sediam mata madu yang mengawasinya. Mereka tahu apa yang membayang di balik kesunyian ini, karena keduanya merasakan arus kerinduan yang sama. Bedanya, Rukia akan mengakuinya dengan lantang, sedang Ichigo memilih tetap bungkam.

Ichigo datang, tetapi untuk apa. Apa pria itu sudah mengubah keputusannya? Rukia rasa tidak, sebab semenjak tadi pria itu tak bergerak. Sepertinya Rukia memang harus merelakan semuanya.

Memikirkan akan meninggalkan Ichigo membuat hatinya remuk. Meskipun begitu, tidak ada pilihan. Ia sudah melewati season pertamanya di London. Bersosialisasi dalam kalangan atas dan berusaha mendapatkan suami. Seperti apa yang diinginkan oleh kakaknya, walaupun apa yang diinginkannya adalah kebalikan dari itu. Rukia ingin menikah, sungguh. Namun, bukan dengan salah satu pria aristokrat angkuh karena darah bangsawan yang dimilikinya. Ia hanya menginginkan satu orang. Pria yang berdiri di pintu kamarnya saat ini.

"Apa kau tidak ingin melihatku?" ujar pria itu, begitu lirih hingga Rukia nyaris tak mendengarnya.

Rukia berupaya keras tampak tetap tenang, meskipun panas-dingin merayap turun di tulang belakangnya.

"Pergilah," Rukia berhasil berkata.

Ichigo tidak bergerak. Tampak wajahnya mengeras, dan matanya berkilat menampakkan keganasan yang sama sekali tidak mirip dengan dirinya yang biasa.

"Aku harus berkemas." Satu kalimat pendek lagi dari Rukia, padahal dengan Ichigo biasanya ia sanggup berbicara sepanjang malam.

Semua berbeda. Ya, amat sangat berbeda. Tak ada lagi udara sejuk Hampshire yang menemani, tak ada kebun apel yang harus mereka panen, kuda-kuda yang akan membawa mereka melintasi padang di pagi atau sore hari, maupun langit bertabur bintang yang mereka nikmati bersama. Ichigo sudah merenggut semua itu sejak pria itu mendorongnya ke London tahun lalu. Memaksanya mencari orang lain untuk menjaganya, sebab pria itu merasa tak layak untuknya.

Ichigo berbicara tentang kelayakan, status sosial, kekayaan, bahkan gelar, yang mungkin bisa pria lain berikan pada Rukia. Tetapi tak pernah memikirkan kasih sayang, rasa aman, ketenangan, dan cinta yang bisa pria itu berikan. Rukia hanya menginginkannya, sampai detik ini masih menginginkannya.

"Jangan pergi." Sekali lagi suara lirih itu Rukia dengar.

"Jika ingin mengatakan sesuatu, katakan dengan lantang. Jika tak bisa diamlah." Rukia tak ingin terdengar begitu dingin, namun kini itulah yang ia rasakan. Dingin menusuk tulangnya ketika menyadari Ichigo tak akan bisa memberikan apa yang ia inginkan.

"Jangan pergi." Kata itu diulang dengan lebih nyaring.

Sedikit semangat menyelinap di hati Rukia. Sedikit harapan. "Tolong tutup pintunya," ujarnya. Mereka membutuhkan privasi untuk percakapan ini.

Ichigo tidak bergerak. Hingga akhirnya Rukia sendiri yang menutup pintu, sementara Ichigo menjauh darinya seolah-olah kontak apa pun di antara mereka akan berakibat fatal.

"Kenapa kau tak ingin aku pergi, Ichigo?" tanya Rukia lembut. Sedikit harapan membuatnya melunak.

"Kau tidak akan aman di sana."

Hanya itu? Aku berharap kau mengatakan lebih, Ichigo.

"Aku akan aman," ujar Rukia.

"Tidak ada yang menjagamu."

"Ada Renji, dia bisa menjagaku." Dengan sengaja Rukia menyebutkan nama itu, ingin melihat bagaimana Ichigo bereaksi.

Ichigo mendengus. Pria itu memang tak senang dengan kedekatannya dengan Renji, atau pria mana pun. Hanya saja Ichigo tak pernah menyuarakannya. "Aku tak percaya padanya."

"Tentu saja," sahut Rukia, "karena bagimu tidak ada yang sanggup menjagaku sebaik dirimu. Namun sayangnya kau tak mau menjagaku lagi."

"Aku tak pernah berkata seperti itu," sergah Ichigo.

Rukia hanya mengangkat bahu. "Kau tak mengatakannya, hanya melakukannya. Kau menjauh dariku selama musim gugur dan dingin. Menetap di Hampshire, sementara aku ada di sini."

"Aku banyak pekerjaan."

"Selama musim dingin? Tentu saja."

"Kita sudah pernah membicarakan ini." Ichigo menyisir rambut jingganya dengan jari, membuatnya tampak semakin acak-acakan.

"Ya, dan aku sudah menjalani satu musim tanpa menemukan pria seperti yang kaukatakan akan kutemukan di London."

"Kalau begitu kau harus mengikuti musim kedua."

Rukia tersenyum menatap si keras kepala. "Tentu. Karena itu aku harus pergi, aku harus bersosialisasi dalam pesta rumah yang diadakan Lady Crane. Aku yakin Lady Crane juga mengundang banyak pria muda yang mungkin bisa kuseret ke pelaminan, jika aku berhasil melakukannya. Karena sebelum ini aku sudah melakukan usaha yang sayangnya gagal berulang kali untuk menyeret seseorang ke depan pendeta."

Ichigo mengabaikan pernyataannya yang berani dan blak-blakan. Usaha apa pun yang dilakukan Rukia untuk memperjelas perasaan mereka selalu dihadapkan pada pertahanan sekuat batu. Ichigo tak pernah mau mengaku mencintainya, atau memperlakukan Rukia selain dari nona muda keluarga yang telah menyelamatkannya.

Melihat wajah Ichigo yang tanpa ekspresi, Rukia berpikir, Baiklah, Ichigo. Jika ini yang kauinginkan. Aku akan mewujudkannya. Aku akan menemukan seorang suami untuk diriku, dan membiarkanmu merana.

"Yah," ujar Rukia pendek, "aku akan segera berangkat. Tidak perlu khawatir, Ichigo. Renji akan menjagaku selama perjalanan, dan selama kami ada di sana. Aku akan menebar pesona dan membawa pulang seorang suami untuk─"

"Dia tidak akan bisa menjagamu," potong Ichigo kasar. "Kau tidak akan pergi. Kau akan tetap tinggal di sini, di mana aku bisa─"

Pria itu menghentikan kalimatnya.

Namun Rukia sudah mendengar nada bicaranya yang mirip kegusaran, atau amarah, terkubur dalam suara Ichigo.

Ini berubah menarik.

Jantungnya mulai berdentam. Rukia menarik napas dalam sebelum berkata, "Hanya satu hal yang bisa menghentikan kepergianku."

Ichigo melontarkan pandangan waspada. "Apa itu?"

Butuh waktu bermenit-menit bagi Rukia untuk mengumpulkan keberanian berbicara. "Katakan kau mencintaiku. Katakan, maka aku akan tinggal. Bahkan aku akan kembali bersamamu ke Hampshire"

Mata madu itu membelalak. Pria itu diam, membeku.

Gabungan rasa terhibur dan putus asa menyeruak dalam diri Rukia saat menunggu jawaban Ichigo.

"Aku ... peduli padamu, karena itu─"

"Bukan itu yang kuinginkan. Kau tahu itu," bentak Rukia. "Satu pernyataan dan semuanya akan kembali seperti semula."

Ichigo menggeleng dengan keras kepala. Berderap ke pintu.

"Jika kau pergi tanpa mengatakannya, maka aku akan pergi," ujar Rukia putus asa. Harapan menggantung di dalam dirinya bagaikan seutas benang tipis.

Pintu terbuka dan tertutup tanpa kata-kata yang mengalir dari bibir Ichigo.

Harapan itu putus. Air mata pun jatuh.

"Jika itu yang kauinginkan," kata Rukia. Ia pun tertawa gemetar hingga harus menghapus lebih banyak air mata.

.*.

Barang-barang sudah dikemas. Dimasukkan ke dalam dua peti besar dan satu tas. Semuanya sudah diangkut ke kereta yang ditarik dua ekor kuda. Rukia mengawasi kegiatan itu dalam gelisah tak berkesudahan, tak sabar untuk segera pergi sehingga lebih memilih menunggu di dekat kereta daripada ruang duduk rumah kakaknya yang nyaman. Andai kakaknya, Byakuya ada di sini, ia akan memohon padanya, dan kakaknya─karena kasih sayang yang begitu besar pada Rukia─akan memberikan apa pun yang Rukia minta. Namun, yang Rukia inginkan bukan barang, melainkan seorang pria bertubuh jangkung yang berkata tidak menginginkan dirinya.

Bagaimana bisa Rukia masih mencintai pria itu setelah segala yang pria itu lakukan padanya?

"Kurasa masih terlalu pagi untuk melamun."

Suara itu membuat Rukia tersadar dan menoleh ke arah pria yang berdiri di sebelahnya. Pria itu tinggi dengan rambut merah panjang yang dikepang hingga mencapai punggung. Renji.

"Aku tidak melamun," ujar Rukia berusaha menutupi kenyataan, "dan kau terlambat."

Renji mengeluarkan jam dari saku jasnya. "Hanya sekitar lima belas menit," sahutnya santai.

"Dan selama itu pula kau menunda keberangkatan kita."

"Nah, ini aneh, Rukia. Seingatku, kemarin kau tidak memiliki semangat sebesar ini untuk pergi ke rumah pedesaan Lady Crane," kata Renji diikuti tatapan penuh spekulasi. "Apa yang membuatmu ingin pergi begitu cepat? Jangan bilang karena kau ingin segera berduaan denganku."

Rukia sudah membuka mulutnya untuk membantah ucapan Renji, namun ia menemukan bayangan seseorang yang pasti akan sangat kesal jika mendengar ia berkata sebaliknya. Ia menelan kata-katanya, dan mengatakan hal yang berbeda.

"Aku tidak bisa memungkirinya, Renji, jika saat ini aku sangat mengharapkan untuk tinggal berdua saja denganmu. Aku sangat menantikan bagaimana kau menghiburku tiga jam ke depan." Ia sengaja mengucapkannya keras-keras sehingga Ichigo yang baru saja keluar dari pintu pasti akan mendengarnya.

Untuk beberapa saat Renji tak menunjukkan respon yang Rukia harapkan. Pria itu malah memandang Rukia sorot bingung. Barulah setelah Rukia memberikan kode dengan matanya pria itu mengerti apa yang Rukia inginkan.

"Ah, kau pasti sudah mendengar kalau reputasiku dalam menghibur amat sangat baik, My Lady." Renji menambahkan kedipan dan senyuman menawan setelah kata-katanya.

"Karena aku tak percaya rumor, aku akan membuktikannya sendiri."

"Apa pun yang kauinginkan, My Lady." Renji mengulurkan lengan kirinya yang langsung disambut Rukia dengan sukacita.

Dari sudut matanya Rukia memerhatikan Ichigo. Pria itu tampak marah, namun tak terlihat berniat menghalangi keberangkatannya. Selesai sudah, pikir Rukia dengan desah tertahan.

"Jika ingin mendapatkannya kau harus melakukan cara ekstrem, Rukia." Suara Renji memasuki indra dengarnya.

"Kurasa aku sudah melakukan yang paling ekstrem, tapi dia bergeming," sahut Rukia tanpa semangat.

"Pojokkan dia, lalu lihat tindakannya."

"Aku tak tahu lagi bagaimana cara memojokkannya. Aku sudah memaksanya untuk mengakui, tetapi percuma. Hatinya sekeras batu granit."

"Kalau kau percaya, biarkan aku melakukannya, dan di penghujung hari─kalau dia benar-benar peduli padamu─kau akan mendapatkannya. Bagaimana?" Renji menawarkan.

Rukia menatap Renji, berusaha membaca kebohongan dalam raut yang baru dikenalinya setahun terakhir. Ia memang belum terlalu lama mengenal pria itu, tapi entah bagaimana Rukia merasa Renji tak akan pernah menyakitinya. "Kalau kau berani menjamin─"

"Seribu pound," kata Renji yakin, "jika kau tidak mendapatkan pengakuan cintanya malam ini, aku akan memberikan seribu pound kepadamu."

Seribu pound. Pria itu pasti sudah gila mempertaruhkan uangnya untuk taruhan yang sama sekali tidak akan menguntungkan baginya.

"Sebelum kau bertanya mengapa aku melakukan hal ini. Akan kukatakan bahwa semua ini untuk mengusir kebosanan. Lagipula aku ingin mengerjai si Kaku itu sedikit," jelas Renji.

Keputusasaan membuat Rukia memberi persetujuannya, tanpa bertanya lebih lanjut apa rencana yang Renji miliki.

"Kalau begitu kita tidak jadi pergi?" tanya Rukia penuh harap.

Renji tersenyum. "Justru kita harus pergi jika ingin rencana ini berjalan."

"Tapi─"

"Ayo."

Renji membimbing Rukia ke kereta, memastikannya duduk nyaman sebelum menghampiri kusir dan memberikan instruksi yang tak bisa Rukia dengar dengan jelas. Kemudia pria itu naik dan duduk di kursi kereta yang empuk di depan Rukia. "Tak kusangka hari ini akan menjadi sangat menyenangkan, juga menegangkan."

Kereta mulai bergerak. Sebelum sempat menjauh Rukia menyempatkan diri melongokkan kepala di jendela dan memandang Ichigo yang masih berdiri di anak tangga teratas kediaman Kuchiki. Rukia mendapati dirinya menjadi amat kesal karena Ichigo tak juga melakukan sesuatu untuk menahannya.

.*.

Dua puluh kilometer sebelah utara London, Renji Abarai tersenyum senang karena rencananya berjalan mulus. Ia tak menyangka Rukia menjadi begitu penurut dan mengikuti rencananya tanpa banyak bertanya, setidaknya sampai satu jam yang lalu. Sekarang setiap lima belas menit gadis itu selalu bertanya apa yang Renji rencanakan, dan itu mulai mengganggunya. Sebab dirinya tidak dikenal sebagai pria yang memiliki kesabaran.

"Renji, apa sebenarnya yang kaurencanakan? Kenapa kereta ini bergerak dengan sangat cepat?"

"Kau akan tahu nanti."

"Itu yang kaukatakan tiga puluh menit yang lalu, dan itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku yang kedua."

"Sebenarnya aku akan meminta sais kereta bergerak lebih pelan sekarang, tapi aku khawatir kita akan terjebak di tengah hujan salju yang tiba-tiba turun ini."

Rukia menatapnya curiga, dan sudah akan menyemburkan pertanyaannya lagi jika saja kereta tidak melewati lubang yang dalam dan membuatnya harus berpegangan erat.

"Kita bergerak terlalu cepat," Rukia mengatakan, membelalak menatapnya. "Tak peduli apa pun rencanamu, itu akan percuma jika kita berdua mati."

"Tapi kita harus bergerak cepat, jika ingin membuatnya benar-benar kehilangan kesabaran."

"Siapa?" Sebelum Renji menjawab mulut Rukia membentuk huruf 'O'. "Apa yang kaumaksud Ichigo?" Gadis itu memastikan.

"Ya, dia. Aku yakin sekarang dia sedang mengejar kita. Semakin lama masa pengejarannya, maka kemarahannya akan semakin memuncak."

Kening Rukia berkerut. "Aku tak mengerti. Kita ingin membuatnya mengakui perasaannya, bukan malah membuatnya marah."

"Kemarahan akan membuatnya mengakui perasaannya. Kau mengerti?"

Rukia mengangguk-angguk.

"Jadi, kurasa tidak apa-apa jika aku melakukan ini." Renji mengetuk langit-langit kereta yang keras dua kali. Kemudian terdengar suara keras "Hie!" dan kereta bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

Kecepatan kereta itu membuat ngeri orang yang melihatnya. Melaju bagai terbang di jalanan rata, dan melompat-lompat di jalan berlubang. Kereta itu akan melewati belokan di jalan yang sempit. Tanpa menurunkan kecepatan sais kereta memacu kudanya melewati belokan. Kereta berayun liar melewati belokan, bagian belakangnya terangkat ke atas, kemudian miring ke samping. Rukia menimpa Renji yang terdorong ke pintu kereta. Mereka bertahan di sana, terdorong ke pintu kereta yang terkunci sampai─dengan suara keras─sesuatu patah, kemudian tidak ada yang lain kecuali warna putih dan angin dingin.

.*.

Ichigo menekankan sekeping koin ke kepalan tangan pengurus losmen yang agak berminyak. "Kapan kau melihat mereka?"

Si pengurus losmen memainkan koin emas itu di antara jari-jarinya yang gemuk, merasa tidak ada ruginya berdiri di tengah salju dan berbicara. "Sejam yang lalu, tidak lebih."

Ichigo tersenyum masam. Ia mulai mengejar mereka, dan sangat yakin sebelum malam ia akan mampu menemuka kereta kuda sialan itu dan membawa pulang Rukia. Persetan dengan Renji, pria itu akan mendapatkan balasan darinya nanti. Sekarang prioritas utamanya adalah menyelamatkan Rukia dan reputasinya. Bagaimana bisa gadis itu begitu bodoh dan mengikuti Renji sejauh ini? Ah, bukan Rukia yang bodoh tetapi dirinya. Jika saja ia bisa menahan kepergiaannya, semua ini tidak akan terjadi. Tetapi bagaimana ia bisa menahan Rukia jika satu-satunya cara yang diperbolehkan gadis itu adalah dengan mengakui cintanya.

Cinta. Ichigo punya lebih dari itu untuk Rukia. Ia siap mengorbankan nyawanya demi gadis itu. Rukia adalah malaikat baginya. Ia tumbuh bersama gadis itu. Melihatnya setiap hari dan menjaganya, namun ia tahu dengan jelas tak bisa memilikinya. Tak ada yang bisa ia berikan kepada Rukia selain dirinya. Menikahi Rukia sama dengan menghancurkan hidup gadis itu sehingga ia sekuat tenaga mendorong Rukia menjauhinya. Hanya saja ia tidak menyangka tindakannya memacu Rukia untuk bertindak bodoh. Gadis itu kini berada dalam kereta yang akan membawanya ke tempat yang akan membawa penyesalan seumur hidup baginya, juga bagi Ichigo.

"Kereta melewati tempat ini seakan anjing-anjing neraka mengejar mereka. Dan dalam keadaan bersalju seperti ini ..."

Ichigo tak lagi mendengar lanjutan kata-kata pengurus losmen. Ia naik ke kudanya dan memacu kuda hitam itu dengan cepat.

Satu jam kemudian ia singgah di sebuah losmen lain, menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang diutarakannya pada tiga pengurus losmen sebelumnya. Kini ia semakin ke utara, dan semakin yakin bahwa apa yang dikatakan pelayan itu padanya tidaklah bohong. Renji memang berniat membawa Rukia ke tempat itu. Ichigo akan memberi Renji pelajaran yang tak akan pernah dilupakan pria itu seumur hidup.

"Aye*, kami melihat mereka." Pria itu berdiri bertumpu pada hak sepatunya, memandang menembus salju ke arah Ichigo. Hujan salju yang semakin lebat sama sekali tak membantu pengejaran Ichigo. "Melesat melewati tempat ini sekitar dua puluh menit yang lalu."

Ichigo merogoh koin di sakunya. "Mereka tidak berhenti untuk mengganti kuda?"

"Tidak, walaupun seharusnya mereka melakukan itu. Kuda utama kelihatan lelah." Si pengurus kuda menyerahkan tali kekang kuda betina besar kepada Ichigo.

Ichigo naik ke punggung kuda yang sudah dipasangi pelana baru. "Uruslah kudaku baik-baik. Aku akan kembali mengambilnya dalam beberapa hari."

"Akan kulakukan, Sir. Jangan khawatir."

"Terima kasih. Kuda betina ini kelihatannya bagus."

"Berhati emas dan sekuat kerbau. Tidak cepat, tetapi dia akan membawamu menembus cuaca ini tanpa mengeluh."

"Bagus sekali." Ichigo melempar koin kepada pengurus kuda, yang matanya melebar ketika menyadari itu koin emas.

"Terima kasih, My Lord!" Tapi ia berbicara kepada salju. Ichigo sudah berlalu, kepalanya menunduk melawan angin dan salju, rahangnya kaku.

Si pengurus kuda menepuk-nepuk kuda Ichigo yang kelelahan. "Aku tidak tahu siapa yang dikejarnya, tapi aku lega itu bukan diriku."

.*.

Rukia menemukan dirinya terbaring, menengadah menatap salju yang turun, butiran-butiran basah menggelitik bulu mata dan pipinya. Ia benar-benar kedinginan, karena salju yang masuk ke lehernya saat ia jatuh ke tanah. Dengan hati-hati ia menggerakkan kaki dan tangannya, lega ketika ia hanya merasa nyeri di bahunya dan sedikit di bagian bawah punggungnya.

"Rukia?"

Rukia menoleh dan melihat Renji menyingkirkan salju dari salah satu telinganya. Di belakang Renji, Rukia melihat kereta yang miring, separuh di selokan, satu roda pecah berkeping-keping. Pintu yang menahannya dan Renji sudah hilang, ambang pintu yang terbuka penuh dengan salju yang berlumpur.

"Rukia, kau baik-baik saja? Apa kau terluka?" Renji berjuang melawan salju untuk mendekati Rukia.

Rukia membiarkan Renji membantunya dan berusaha berdiri. "Aku baik-baik saja, tapi bagaimana dengan kudanya? Bagaimana keadaan mereka?"

Renji memandangnya dengan muram. "Mereka sebaik yang dapat diharapkan."

"Aye," kata sais kereta, terpincang-pincang mendekat. "Mereka baik-baik saja sampai pria ini membuatku memacu mereka."

Ketidaksabaran Rukia mendidih sampai ke permukaan. "Aku setuju. Dia seharusnya ditembak karena sangat tergesa-gesa. Renji lihat akibat perbuatanmu─" Ia memandang teman seperjalanannya dan mengerutkan dahi. Jejak aliran darah turun dari dahi Renji dan menghilang di kerah askotnya. "Kau berdarah."

Renji menyentuhkan tangan ke dahi, menarik tangannya, dan memandangi tetesan merah itu. "Pantas saja kepalaku sakit," ujarnya tenang sebelum akhirnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di atas salju.

"Sebentar." Rukia mengamati sekeliling, menemukan sebuah peti pakaiannya tak jauh dari kereta yang rusak. Ia segera berlari, membuka peti yang pecah di salah satu sisinya, dan menarik kain pertama yang ia temukan. Itu adalah selendang merah muda kesukaannya, tetapi ia tak punya waktu untuk mencari kain lain, jadi ia segera kembali ke sisi Renji dan menjadikan selendangnya sebagai perban dadakan.

Rukia dan sais kereta berhasil membawa tubuh Renji ke bawah pohon dan menyandarkannya di sana.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Sais kereta bertanya.

Ia melirik Renji, pria itu setengah sadar dan karena itu tidak bisa menjawab pertanyaan sais kereta dengan segera.

"Kita harus mencari bantuan," jawab Rukia, hanya itu yang terpikirkan di kepalanya saat ini.

Angin meniup mantel dan rok Rukia, dan menembus sarung tangannya. Salju turun begitu lebat sampai ia tak bisa melihat jalanan, padahal pagi tadi ia mengira tak akan bertemu dengan hujan salju hari ini.

Alangkah mengerikan keadaan ini! Ia terjepit. Betapa ia sangat berharap Ichigo ada di sini. Seperti apa pun kesalnya ia pada pria itu, Ichigo adalah orang yang selalu menyelamatkannya.

Selama sesaat yang liar, Rukia membayangkan salju yang tebal itu tersibak dan menampilkan seorang pria tinggi dan berambut jingga di atas kuda putih. Jaketnya berkibar-kibar ditaburi salju. Topinya yang bertepi lebar melindungi matanya yang sewarna madu dari angin dan hawa dingin.

Bayangan itu menghilang; Rukia menatap murung pada salju di luar.

.*.

Bersambung ...

.*.

Hola, ketemu lagi dengan Ann di sini. Satu lagi fic bergenre western dari saya, padahal yang kemaren aja belon tamat. Tapi tenang yang ini nggak bakal panjang kok, paling cuma 3-4 chapter udah kelar. Akhir-akhir ini saya emang lagi tertarik dengan genre satu ini, dan mungkin akan bikin beberapa fanfik dengan genre ini lagi nanti. *wishIcan*

Terima kasih untuk kalian yang sudah menyempatkan diri membaca fanfik ini, dan maaf apabila di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan.

See ya,

Ann *-*