sengaja Terlibat

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

A/N

saya belum cukup percaya diri dengan cerita ini. ini kali pertama saya memaksakan diri setelah mengalami writersblock sejak SMP. langkah awalnya hanya... mencoba tema cerita yang mudah: perjodohan (sedikit chessy dan mungkin pasaran). so... saya harap ada yang berkenan review, jika tidak mungkin ini akan menjadi cerita terakhir saya.

.

.

.

Terbangun karna jeritan ibumu bukan suatu hal yang bagus. Apalagi dengan pria yang bertelanjang dada disebelahmu. Tunggu, apa?! bertelanjang dada? Oh, apa yang kulakukan semalam?

.

.

.

Satu jam setelah ibuku menjerit, aku menemukan diriku sendiri duduk kaku disebelah Shikamaru. Aku sengaja menundukkan kepalaku, berpikir sandal rumah dengan beludru berwarna putih jauh lebih menarik dibanding wajah angker yang dipasang Ibu. Setengah jam sebelumnya, setelah ibu menyuruhku berkaca dan berbenah diri, aku sendiri terkejut melihat penampilanku. Rambut berantakan, maskara luntur, mata merah yang bengkak. Sangat mengerikan!

Aku membutuhkan waktu sepuluh menit hanya untuk membersihkan wajah dan mengompres mata dengan sendok perak yang selalu aku letakkan di frezzer (untunglah aku punya kulkas mini di kamar), lalu sisa waktu itu kuhabiskan untuk mandi sambil memikirkan kejadian semalam. Samar-samar aku teringat saat membujuk kakakku, lebih tepatnya kakak tiriku, Kakashi untuk membeli makan diluar karena aku sedang malas memasak. Sejak aku bekerja, aku memang pindah ke apartemen Kakashi dan dipekerjakan sebagai tukang cuci baju dan memasak (sebagai anak bungsu, aku selalu menjadi kacung abadi Kakashi. Untungnya kami berbeda gender, kalau tidak mungkin nasibku bukan hanya menjadi kacung, tapi juga korban penganiayaan yang selalu dapat baju lungsuran)

Malam itu, Kakashi memutuskan untuk makan di restoran milik Chouji dan Kiba—dua orang temanku yang bekerja sama mendirikan restoran dengan konsep franchise yang kini sangat terkenal. Awalnya semua lancar, kami membicarakan kegiatan sehari hari, aku dengan jadwal mengajarku dan beberapa kasus siswa yang menurutku lucu. Kakashi dan segala tetek bengek perusahaan Hatake, yang menekuni bisnis vodka. Kami memiliki gudang anggur (cellar) di hutan milik keluarga. Sebagian berisi liquor dan wine terbaik dari seluruh dunia—desa di Italia, komunitas pegunungan Spanyol, dan perusahaan di Prancis Selatan. Sebagian lagi hasil produksi sendiri. Baru-baru ini Kakashi meluncurkan produk baru, sebuah vodka dengan rasa lembut dan manis, dengan sedikit rasa vanilla dan sedikit irisan jeruk segar. Produk baru itu juga mulai dipesan oleh restoran terbaik di Jepang.

Lalu pembicaraan kami terpotong saat Kakashi melihat Gaara tengah melamar seorang gadis berambut coklat. Iya! Melamar! Jelas-jelas mataku tidak bermasalah saat ia berlutut dan memamerkan cincin dengan kemilau indah—kupikir itu berlian. Mungkin dua atau tiga karat? Wanita selalu menyukai sesuatu yang cemerlang, dan tentu saja saat wanita itu mengangguk cepat dan penuh semangat menerima lamaran Gaara, secepat itu pula pukulan Kakashi bertengger di wajahnya.

Aku syok. Gadis itu juga.

Apalagi Gaara! Wajahnya langsung pucat. Dia berdiri dan mencoba bicara padaku yang mulai mendekati meja mereka. Hal yang membuatku kesal adalah, dia tergagap! Itu adalah tanda psikis yang sangat jelas saat seseorang berbohong. Dan kupikir malam itu aku cukup keren dengan melemparkan cincin pasangan (hal kekanakan yang sangat bodoh. aku tahu, aku bukan remaja dimabuk cinta lagi, tapi ada sesuatu yang menggelitik saat aku meminta cincin itu pada Gaara. Kau tahulah, perasaan sentimen wanita. Tadinya aku berharap cincin itu segera berganti menjadi cincin asli, seperti yang dia berikan pada gadis rambut cokelat itu. Dan kemudian kami menikah dan bahagia selama lamanya. Tamat.) setelah melempar cincin aku mengatakan dengan nada cool, "jangan muncul dihadapanku lagi." Dan kemudian membiarkannya dihajar Kakashi lagi sebelum aku menarik kakakku dari restoran dan kembali ke apartemen dengan wajah buruk rupa karna menangis histeris sepanjang jalan.

Aku menangis karna:

Pertama, sebagai wanita yang pernah mencintai, tentu saja putus cinta dengan cara seperti ini sangat menyakitkan. Rasanya sesak. Dan berat.

Kedua, aku merasa bodoh, norak, dan hal – hal di kepalaku terus mengatai diriku sendiri betapa idiotnya aku. Gees! Aku dan Gaara berpacaran selama dua tahun, dan diam-diam dia berhubungan dengan gadis lain sementara aku merasa semuanya baik-baik saja? Sinting! Aku benar-benar buta oleh cinta jika seperti itu. Aku bersyukur tidak pernah berhubungan lebih intim dengan Gaara selain ciuman. Untunglah aku dibesarkan dalam keluarga konservatif yang menganggap keperawanan seorang wanita adalah hal yang sakral dan wajib dijaga. Sesuatu yang berharga harus diberikan pada orang yang memperlakukanmu dengan berharga pula.

Saat sampai di apartemen, aku langsung menggeledah lemari dapur, mengeluarkan vodka dan meminumnya langsung dari botol. Kemudian mengumpat, menangis, minum. Mengumpat lagi. Begitulah siklusnya.

Beruntung Kakashi mengundang teman-temanku, Shikamaru, Sai, Ino, Naruto, dan Hinata untuk menghiburku. Sedikit demi sedikit aku mulai melupakan rasa sesak itu dan menertawakan Naruto yang berjoget meniru gerakan girlband korea. Pose seksinya terlihat menggelikan! Dan itu membuatku tertawa ngakak. Ino sesekali mengumpat Gaara dengan kosa kata umpatannya yang ajaib. Terkadang aku menirunya, dan hal yang membuatku kaget Hinata juga mengikuti perbuatanku. Jadilah kami mengumpat masal, dan tertawa bersama.

Lalu...kupikir aku tertidur di bahu Shikamaru, karena Kakashi sedang merokok di balkon dan semua orang berpasangan, Ino-Sai. Hinata-Naruto. Akan sangat tidak nyaman jika aku bersandar pada kedua pria itu, maka pilihanku yang aman adalah Shikamaru.

Dan entahlah, aku tak ingat lagi bagaimana akhirnya aku bisa berada di kamar dengan Shikamaru yang bertelanjang dada di sebelahku.

"Jadi?"

Itu suara Ayah Shikamaru, Shikaku Nara. Ibuku benar-benar berpikir ini sebuah masalah super gawat sampai harus mengundang kedua orang tua Shikamaru segala. Disebelah Shikaku, Yoshino, ibu Shikamaru tampak tersenyum lembut padaku setelah mata kami bertemu.

"Jadi?" Kali ini suara ayahku. Dia mengangkat salah satu alisnya, terlihat tidak sabar karena aku—atau Shikamaru sama sama tak bersuara

"aku mengalami hal yang buruk semalam." Aku memutuskan menjadi orang pertama yang membuka suara setelah tiga puluh detik penuh kesunyian di ruangan. "Pacarku selingkuh—" Ibuku melotot, dari awal ia memang orang yang tidak setuju aku berhubungan dengan Gaara jadi, sebelum ia mulai membuka mulut dan memulai permainan 'kan ibu sudah bilang' aku buru-buru menambahkan. "Kakashi mengundang semua temanku kemari. Tapi aku tidak tahu kemana sekarang mereka pergi."

Yoshino melambaikan sebuah kertas padaku. "aku menemukan ini di meja dapur."

Aku mengambilnya dan mulai membaca coretan berantakan Ino.

Sakura, kami pergi dulu. Besok hari senin! Saatnya kerja—uh menyebalkan! Btw, Kakashi tadi pamitan. Ia buru-buru pergi setelah mendengar complain sebuah restoran.

P.S: Kakashi meminta salah satu dari kami menjagamu. Dia tak ingin sesuatu yang aneh terjadi. Mungkin dia cemas otak pendekmu itu berpikir tentang bunuh diri (wkwkkk... JK)

P.P.S: Aku sibuk, mereka juga. Jadi kami sepakat meminta Shikamaru menjagamu karna dia adalah pekerja setengah pengangguran yang tajir dan sialnya, dialah bosnya. Ugh aku benci ini setengah mati. Pria pemalas itu berada di lantai teratas bisnis! Nggak fair!

P.P.P.S: Shikamaru single loh! Kali aja kau berniat mencari pengganti Gaara. Hahaha...

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ibu Shikamaru sampai senyum-senyum begitu saat melihatku membaca baris terakhir tulisan Ino. "Er... jadi, uhm..." kataku terputus-putus. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa saat ini. Disebelahku Shikamaru masih diam. Walaupun tatapan matanya selalu tertuju pada ayahnya. Er.. mungkin dia sedang melakukan telepati? Atau apapun lah itu. Aku tak tahu, mungkin juga karna tak peduli. Dia sama sekali tidak membantu untuk menjelaskan apapun.

"Kau tidur dengan Shikamaru." Ibu menatapku dengan pandangan menuntut.

Aku buru-buru mengelak dengan panik "Itu hanya tidur biasa. Bukan 'tidur' yang seperti itu bu!"

"Kau tidur dengan Shikamaru." ulangnya lagi, dengan nada menuntut yang lebih keras

"Itu karna aku sedang menangis! Aku juga sering tidur dengan Kakashi saat aku sedih. Itu hal yang biasa bu."

"Kau tidur dengan Shikamaru." kali ini ibu mengulang dengan berdesis. Kupikir ibu benar-benar kesal.

"Iya, benar. Tapi tidak ada apapun yang terjadi, dia hanya memelukku. Itu saja!"

"Oh, aku malah berharap kalian melakukan hal yang lebih dari pelukan. Aku tak keberatan." suara Yoshino yang menginterupsi membuatku kaget setengah mati. Apa dia normal? Kenapa ada seorang ibu yang berpikir begitu?

"Sudah lama sekali aku mengharap Shikamaru segera menikah. Jadi, kalau semalam kau melakukan yang lebih intim dengannya aku tak keberatan. Aku justru akan sangat bahagia jika kau langsung hamil, Sakura."

WHAAAAAT? Apa sekarang aku sedang dikerjai? Atau masih dalam mimpi? Situasi macam apa ini?

"tapi, itu benar-benar tak terjadi kok. Kami hanya tidur biasa."

"Memangnya kau tau kalau itu benar-benar tidur biasa? Kau mabuk, Sakura." Kali ini suara ayah, entah kenapa membuatku tersudut. Aku menyenggol lengan Shikamaru, memintanya ambil bagian untuk menjelaskan.

"Aku hanya memeluknya. Wanita yang sedang menangis itu merepotkan sekali."

Oke, lupakan! Seharusnya aku tak perlu minta bantuan Shikamaru untuk menjelaskan sesuatu. Yang terjadi dia malah membuatku makin kesal.

"Lalu kenapa Kau melepas kaosmu, Shika?" Tanya Yoshino

Iya, itu juga salah satu yang jadi pertanyaanku, kenapa dia harus lepas kaos segala?! Itu kan yang membuat kasus ini sedikit rumit.

"Semalam, Sakura muntah di kaosku. Jadi kaos itu kubuang"

"Heee?!"

"Sebenarnya aku bermaksud pergi ke ruang tamu setelah menggendongnya ke kamar, tapi dia masih menangis dan meminta aku untuk tidak pergi."

"Aku tidak seperti itu!" protesku tak terima.

"Kau memang seperti itu!"

"tidak!"

"Kau mabuk, Sakura. Tentu saja kau tidak sadar."

"Kenapa kau tidak langsung pergi setelah aku tidur?"

"Aku tertidur."

"Oh." Aku mengangguk paham. Kemudian beralih kepada ayah dan ibuku, "Lihat, tidak ada hal aneh yang terjadi."

Shikaku mengamatiku. Dari atas hingga bawah, membuatku canggung dan sedikit membenahi rambutku. "Benar kau tak melakukan hal apapun pada Sakura, Shika? Bisa kau jelaskan bercak merah di lehernya?"

Semua orang—kecuali Shikamaru langsung fokus ke leherku. Aku sendiri tidak bisa melihat apa yang dimaksud Shikaku, hingga Yoshino menyodorkan cermin yang sepaket dengan bedak. Aku langsung menjerit begitu melihat bercak merah yang sedikit ungu itu. "Apa yang kau lakukan padaku, hah?! Diam-diam menciumku saat tak sadar?!"

Shikamaru menggaruk tengkuknya canggung. Sudah tak perlu dijawab, dari gesturnya saja aku sudah paham.

"Kurasa juga begitu."

"Bodoh! kenapa kau menciumku?!" jeritku tak terima.

"heh, kenapa kau menyalahkanku? Kau juga membalas ciumanku."

"Aku kan mabuk! Tidak sadar! Jenius!" sindirku.

"Sudahlah kalian berdua, diam!" ayahku melerai pertikaian kami. Selanjutnya, kalimat ayah bagai petaka bagiku. "minggu depan, saat peluncuran vodka baru secara resmi aku akan mengumumkan pertunangan kalian. Kejadian semalam tidak bisa kutoleransi."

"T-tapi, ayah! Aku tidak melakukan apapun semalam, kecuali ciuman. Ciuman tidak menyebabkan seorang wanita hamil. Jadi, acara seperti itu tidak perlu. Semalam, benar-benar tidak terjadi apapun!"

"Kau mana tahu, kau kan mabuk. Sudah terima saja! Shikamaru saja menerimanya." Ujar ibu.

Aku menoleh ke arah Shikamaru dengan mata siaga. "Kau, menerimanya?!" jeritku tak percaya. Rasanya aku benar-benar ingin menarik rambutnya saat ia mengangguk dengan tegas.

"Kapan pembicaraan soal pertunangan ini berlangsung?"

"Sejak kau ada di kamar mandi."

Aku mendengus. "Lalu kenapa kalian harus menginterogasiku segala? Dan kenapa pula aku harus bertunangan dengan Shikamaru?Ukh! Ini... ini.. menyebalkan. Aku pergi dulu. Aku butuh berpikir!" aku melesat pergi dari apartemen Kakashi. Baru beberapa jam aku putus cinta dan patah hati, dan minggu depan aku bertunangan? Sinting!