Jinyoung tidak pernah mempermasalahkannya. Satu. Dua. Tiga. Bahkan tidak ada. Pembicaraan mereka selalu disana, menanyakan kabar seolah bukan teman satu rumah kemudian topik yang diangkat adalah hal-hal yang dilakukan seharian ini lalu, makanan; terutama ayam.
Ha.
Nyatanya seperti itu. Jika dengan Jihoon semuanya selalu berulang-ulang, sapaan ataupun pertanyaan. Lebih banyak diam walaupun duduk berdampingan.
Jinyoung lebih menyukai Sungwoon. Hyeong yang satu ini selalu tanggap, berbicara serius kemudian humoris dikalimat selanjutnya. Tawanya bahkan menyebar dengan cepat; dalam artian lain yaitu menular.
Atau mungkin Minhyun? Dia bisa menjadi ayah dibeberapa kesempatan namun, dilain waktu Jinyoung akan menggodanya hingga Minhyun hanya bisa tertawa gugup dan mengalihkan mata. Benar-benar tipe seseorang yang dapat ditemui dalam drama-drama tayang malam hari. Jinyoung serius memiliki rasa hormat mendekati garis nol.
Bukan untuk Jihoon. Ada keadaan dimana Jinyoung menggoda Jihoon, mengejeknya yang memiliki bentuk tubuh seperti plushie; dalam artian lain empuk, lucu, imut dan kosakata sejenis lainnya. Jihoon akhirnya memukul punggung Jinyoung kesal.
Jinyoung lagi-lagi membiarkannya, malah keseringan membiarkan hyeongnya itu membalas lebih kejam (pukulan di dada, cubitan di lengan).
Memang, cinta itu menyebalkan.
(Kebenaran bahwa Bae Jinyoung jatuh sangat dalam dengan Park Jihoon tak pernah dihindari)
fly me to the moon
a winkdeep fanfiction by delighthyuns
Kadang ada dalam keadaan tidak menyenangkan, Jinyoung sengaja menghilang di pagi-pagi buta saat hari libur. Member mungkin masih bergelut dalam kehangatan selimut tebal. Bukan untuk Jinyoung, tidak ada waktu untuk itu.
Cukup pergi keruang latihan, menyetel musik melalui earphone. Bernyanyi sampai suaranya hilang dan menari. Menari. Terus menari. Basah keringat sampai pandangannya hingga semakin memburuk tanpa mampu melihat dengan jelas, ototnya terus merengek kelelahan juga bahunya sudah ngilu. Tidak peduli. Jika Jinyoung berhenti, dia akan kalah dan itu adalah opsi terburuk.
Sedikit lagi, sedikit lagi dan sedikit lagi.
"Jinyoung!"
Ada yang memanggilnya. Jinyoung mencoba fokus dibawah bucket hat ke kaca dinding menempel sepanjang ruangan. Pantulannya memperlihatkan Jihoon, berdiri dengan kepala tertutupi tudung hoodie yang jelas sangat warna merah jambu begitu juga training yang senada.
"Ya!" Jihoon berteriak lebih keras.
Jinyoung tidak berhenti, apapun itu.
"Bae Jinyoung!"
Jangan dengarkan. Jangan dengarkan. Kumohon jangan.
Jihoon menarik keras lengan Jinyoung, menghentikan tariannya. Earphone disentak paksa dari telinganya. Jihoon meletakkan ponsel Jinyoung diatas meja yang berada disudut tanpa basa-basi, hampir menghempaskan secara kejam mengingat ponsel Jinyoung adalah IPhone keluaran termutakhir jadi, Jihoon menaruhnya penuh kehati-hatian. Melepas bucket hat agar wajah Jinyoung kelihatan.
"Apa yang kau lakukan? Kakimu sudah tidak sanggup melakukannya!" Jihoon meringis tertahan, kaki kiri Jinyoung terkulai lemas terlihat tidak baik. Ia bahkan harus berdiri menopang kaki sebelah kanan. Latihan segila apa yang bisa membuat kaki cedera separah itu.
Jinyoung mengerang frustrasi, ingin berteriak memarahi Jihoon yang mengganggu kegiatan latihannya. Ia semakin tidak tahan ketika Jihoon menatapnya skeptis, pandangan kasihan yang paling dihindari Jinyoung.
Jinyoung berteriak dengan suara yang sedikit lagi habis, hampir kehilangan pengendalian diri, "Aku buruk! Benar-benar buruk! Nyanyianku buruk! Tarianku buruk! Semua tentangku tidak ada yang berguna!"
Matanya terus mencari sokongan untuk tidak menatap Jihoon. Ia terlalu tinggi untuk digapai orang tidak diperhatikan semacam Jinyoung. Bahu Jinyoung akan lebih turun kekurangan percaya diri setiap Jihoon bersinar terutama saat lampu putih terang menyakitkan mata bersinar memeluk tubuhnya. Sekedar menggerakkan ujung jemarinya dengan gerakan lihai dan saat ia berada ditengah, mengeluarkan suaranya.
(Jinyoung merasa dirinya kurang sangat banyak dan lebih dari cukup melihat Jihoon dari kejauhan bukan disampingnya. Tidak apa-apa.)
Jihoon maju beberapa langkah, langsung paham, mengerti hal yang dipermasalahkan dalam pikiran lelaki yang lebih muda darinya itu. Jinyoung perlu bahu untuk menyender, dunia menekannya untuk menjadi terbaik, menganggap usaha Jinyoung tidak berguna jika tidak melakukan yang lebih bagus lagi. Komentar di website memang lebih kejam dari apapun.
Jihoon lembut tanpa penekanan menarik wajah Jinyoung, tidak mempedulikan tangannya basah akibat keringat latihan lelaki dihadapannya.
"Tidak apa-apa. Aku juga buruk dalam beberapa hal tapi, sudah berada disini, bersama member lain itu sudah cukup. Tidak ada dirimu maka kami bukan Wanna One, tidak ada dirimu keadaan dorm tidak akan sericuh biasanya. Berhenti merendahkan diri." Jihoon tersenyum mencapai mata dengan pipi yang merah melawan pendingin ruangan, "Kau pantas disini. Bersama member. Bersamaku."
Jinyoung enggan menerima pendapat Jihoon. Ia merasa kepalanya berputar hebat, beberapa pikirannya terus berkonfrontasi, ada beberapa bagian yang rusak terus memberi sugesti tidak baik. Apa benar begitu keadaannya? Bukankah lebih baik tidak ada dirinya?
"Aku buruk— tidak berguna— aku tidak bisa melakukan apapun. Hyeong— aku— aku— aku ingin—" Jinyoung meracau tidak menentu. Ia bahkan tidak menangis tapi, kenapa Jihoon menjadi tidak nyaman? Tidak suka dengan keadaan teman satu grupnya seperti ini? Wajarkah Jihoon ingin mendekap Jinyoung lebih erat bukan member lain?
"Aku benar-benar tidak pantas disini. Aku tidak pantas berdiri disamping kalian, apalagi dirimu, Jihoon hyeong." bisik Jinyoung terengah. Sesuatu dalam dada Jihoon mencekik setiap sirkulasi sehatnya ketika berbagi pandang dengan Jinyoung yang menatapnya dengan mata sakit.
Dunia Jihoon runtuh detik berikutnya.
"Kau tidak memikirkan diriku? Member lain? Apa kami tidak sepenting itu dimatamu?" Jihoon merasa sakit membayangkan Jinyoung tidak ada disini. Tidak ada Jinyoung yang latihan bersamanya, rekaman bersamanya ataupun syuting bersamanya.
Tangannya tremor ringan di pipi Jinyoung turun mencengkeram erat kaos putih tipis Jinyoung sampai bibirnya ikut bergetar menahan emosi yang merebak kemana-mana, hatinya perih hingga membuat rusuknya ikut-ikutan mati rasa. Sekali lagi, apakah ini wajar? Sementara Jinyoung hanya rekan satu grup dengannya.
"Hyeong, jangan menangis." Jinyoung berucap pelan, suaranya bahkan hampir tidak terdengar, serak dan sudah berhenti dari racauan tidak menentu tadi. Jihoon bahkan terlihat menggemaskan saat menangis, wajahnya tenggelam dalam tudung hoodie merah muda, pipinya semakin memerah, beberapa tetes air turun mengumpul di dagunya, dan mata Jihoon; matanya berkilau dengan selapis bening cantik.
Bahkan disaat seperti ini, Jihoon tetap menawan.
Jemarinya ingin menggapai pipi Jihoon namun tidak mampu. Memang siapa dirinya yang berhak membersihkan air mata Jihoon?
Dia hanya teman satu grup yang bertahan satu setengah tahun. Tidak lebih.
"Aku akan mengambil tisu sebentar." ujar Jinyoung mencoba melepas cengkeraman Jihoon dikaos bagian depannya.
"Aku tidak apa-apa." Jihoon menggeleng pasti, tidak mengerti dengan pikiran kacaunya. Ia hanya melihat Jinyoung berusaha terlalu keras hingga membuat dirinya sendiri sakit. Jinyoung tertekan akibat keadaan yang terus mendesaknya tanpa ampun. Seharusnya Jihoon tidak menangis, seharusnya Jihoon menarik Jinyoung kepelukannya. Bukan menangis seperti ini?
"Tapi, hyeong tidak berhenti menangis." Jinyoung malah terkekeh kesenangan, melihat Jihoon begitu lucu tidak mau melepas pegangan dan malah semakin mendekat, mengusap wajahnya dikaos Jinyoung.
Ini parah. Jinyoung semakin tak tahan ingin mendorong Jihoon kemudian kembali berlatih sampai waktu hari ini habis. Tapi, Jihoon benar-benar sulit diajak berkompromi apalagi dengan keadaan hangat menyenangkan seperti ini. Jinyoung yakin, hyeongnya ini tidak akan membiarkannya lebih lelah dan merecoki Jinyoung dengan beberapa kegiatan tidak penting.
Jinyoung hanya perlu latihan.
Tidak ada yang lain.
(Perasaan suka adalah hal belakangan, dia harus menjadi lebih baik sebelum pantas untuk berdiri disamping Jihoon)
"Jinyoung tidak ingin menciumku?"
Hah?
Jinyoung tahu kalau Jihoon itu agak aneh. Kadang bersikap semaunya, kadang hanya diam. Tapi meminta hal seperti ciuman kepada member layaknya ingin dibelikan cemilan, bukankah itu super-duper-aneh?
Jihoon melepas pegangan pada kaos Jinyoung dan menarik kepala adiknya itu agar menunduk sehingga bersitatap dengan matanya (Jihoon selalu benci hal sederhana ini, kenapa Jinyoung tumbuh cepat sekali sampai menunduk begini harus menatapnya).
"Bukankah kita harus berciuman agar suasananya lebih baik?" Jihoon mengucapkannya begitu mudah dengan mata mengedip-ngedip inosen. Katanya ssang namja, kelakuan saja belum diperbaiki. Masih imut begitu.
Wajah Jinyoung langsung merah sampai telinga, nafasnya ditahan mencoba untuk tidak mengucapkan hal-hal tidak baik didengar. Ia berucap, nadanya sedikit lebih tinggi dari biasanya bicara, "Hyeong! Yang ada nanti malah canggung."
"Tidak akan, Jinyoung." Jihoon berucap begitu meyakinkan dan mengulang sekali lagi dengan penuh harap, "Tidak akan ada canggung diantara kita. Kau tahu itu."
"Tidak apa-apa?" Jinyoung mengerutkan hidungnya refleks, takjub dengan keleluasaan Jihoon dalam membujuk. Benar-benar sulit ditolak. Atau ini hanya dirinya yang mudah melakukan apapun dari Jihoon. Semuanya yang Jihoon mau akan selalu diakui Jinyoung, dikabulkan Jinyoung dan disukai Jinyoung.
Jihoon mengangguk terlampau bersemangat, keras kepala mungkin adalah sikap yang diterapkannya, "Ini akan menjadi rahasia. Hanya aku dan kau. Hanya Jihoon dan Jinyoung. Tidak ada yang lain."
Kenapa naif sekali seorang Park Jihoon? Jinyoung tertawa, berat dan mengudara, sangat bagus didengar, "Hyeong, berhentilah menggunakan kata-kata manis. Dirimu sudah cukup manis. Jangan menambah hal-hal manis lainnya yang membuat hatiku berdebar kacau."
Jantung Jihoon berderak ribut setelahnya. Kata-kata dari Jinyoung membuat lututnya lemas secara spontan dan mengharuskan tangannya mengerat pada bahu Jinyoung. Sial, Jihoon tidak pernah menduga Jinyoung yang delapan belas, masih remaja, mempunyai ucapan yang manis itu bisa membunuh hati siapa saja.
"Aku akan menciummmu. Jangan menolak diriku ya, hyeong?" ucap Jinyoung main-main, tangannya begitu lihai memeluk pinggang Jihoon. Memainkan jarinya begitu nyaman disana.
Jihoon tidak berkata lagi, sedikit memajukan wajahnya dengan mata tertutup. Jinyoung menahan setengah mampus untuk tidak menggigit langsung bibir Jihoon. Memiringkan kepala sedikit dan itu sudah cukup. Mengecup bibir Jihoon terasa sedikit asam, mungkin rasa kimchi sarapan pagi ini.
Yang lebih membuat berdebar Jinyoung sampai ringsek adalah stroberi. Apapun tentang Jihoon selalu tentang stroberi, entah liptint merahnya (ternyata itu rasa stroberi bukan cherry) atau sampo maupun sabun yang dipakai sehari-hari. Harum Jihoon membuatnya pusing stroberi dan ada sedikit manis dari liptint yang dipakainya.
Karena bagaimanapun Jihoon tetaplah menjadi bintangnya, kerlipan mata yang berkilau menakjubkan hampir setara dengan matahari menyengat, pipinya yang membulat merah sebagus persik lebih baik dari siapapun, melengkingnya dalam bicara ketika ditanya topik kurang dimengerti selalu menjadi kesukaannya, kecintaannya.
Banyak lagi, banyak lagi bagian dari Jihoon yang disukainya.
Ah! Satu lagi, Jihoon itu bagaimanapun atau seperti apapun dirinya. Dia tetap paling menggemaskan dimata Jinyoung. Beneran. Serius ini.
Sudah dibilang, cinta itu menyebalkan.
(Kalau begini jadinya, mana mungkin Jinyoung tidak jatuh cinta dengan lebam banyak asal berdampingan bersama Jihoon)
[ .end. ]
aku sayang baejin:*
aku sering mikir, gimana caranya baejin untuk menghadapi komentar komentar negatif dari netizen? terutama bagian bahwa dirinya dianggap tidak pantas di w1, ah~ pasti dia tertekanㅠㅠ
kadang juga diantara sikap cerah dan betapa tidak sopannya dia sama hyeong hyeongnya, dia mencoba mengalihkan pikiran jahatnya, mencoba terus untuk menjadi kepribadian positifㅠㅠ
(suddenly im blabbering nonsense, lol)
ini mau dijadikan series ngga? isinya bakalan tentang idol life!winkdeep ㅋㅋㅋㅋㅋㅋ itu jika readers-nim mau :3
talk randomly to me delighthyuns at twttr.
See ya!
[ banjarbaru, tujuh januari ]
