Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Disclaimer: Kuroko no Basket belongs to Fujimaki Tadatoshi and I don't own it. I do not take any commercial advantages nor profit from making this fanfiction. Song lyrics originally belongs to LoL.

Warning: Alternate Reality, OC, OOC, typo(s), spoilers, death chara, rough-paces, Akashi-Oreshi X Furihata Kouki X Akashi-Bokushi, mild languages, M for violence and lime, etc.

.

Catatan pra-fic:

Akashi mengacu pada Bokushi.

Seijuurou mengacu pada Oreshi.

Italic: kilas balik/flashback/ inner's mind

Bold and Italic: lirik lagu

-**- : penggalan lirik lagu

.

Jika ada yang tidak disukai dalam warning yang telah saya cantumkan, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. Terima kasih untuk pengertiannya.

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Dia,

malam untuk pucat purnamamu;

Aku,

redup bintang di kaki cahayamu;

Kau,

dan eksistensimu yang memudar.

...

.

.

#~**~#

.

For Ahokitsune's AKAFURI NEW YEAR CHALLENGE

.

Existence

.

Chapter 1

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Ini kedua kali dalam hidupnya, ada ambisi dan dera hasrat lebih dari derita lapar dan musafir menahan haus, harus dieksekusi. Ini perkara eksistensi. Dan untuk sekali seumur hidup, ia hanya ingin sekali saja diapresiasi—karena ia tidak mungkin berekspetasi akan afeksi.

Satu set peralatan makan. Sepiring kecil makanan penutup. Dua gelas minum. Semuanya telah tandas. Waktu yang diisi riuh-rendah percakapan dan harum-harum kudapan melebihi perkiraan dan sesungguhnya tetap menanti membuatnya tak tahan—hatinya kebas. Harapannya kandas.

Mungkin ia memang tidak akan bebas. Diraihnya sesuatu dalam saku blazer, pandangan meredup tatkala mengelusi bungkusnya yang berbahan beludru, mengingat siluet sang ibu dan senyum hangat semanis madu, lantas disimpannya benda itu ke dalam tas bagian depan.

Membayar untuk semua yang telah ia santap selama menunggu tapi tidak ada respons yang diharapkan, bibirnya mengedut garis tipis sebatas apresiasi untuk santunnya ucapan automatik repetitif pada setiap pengunjung yang bertandang—terima kasih dan semoga Anda datang kembali.

Melengang di antara lalu-lalang orang dan mudanya musim semi di udara dengan kelopak-kelopak muda sakura terlayang-layang, di tengah senja yang memanjang, menghiraukan setapak jalan dipekik suara-suara yang sayup menelusup ke telinga—tidak bisa mengenyahkan perasaan mengerikan akan pemahaman bahwa mungkin selama hidupnya ia hanya akan hidup dalam bayang-bayang.

Sejenak jejaknya terhenti di etalase toko elektronika di distrik yang tak pernah mati itu. Pengeras suara menyuarakan biduan televisi yang menampilkan iklan.

Komersil—yang hanya mempersuasi masyarakat agar membudayakan hidup konsumtif.

Wacana penyuluhan bencana.

Kriminalitas jalanan yang digembar-gembor harus diberantas, walau mengakar mencengkeram kuat dunia tanpa batas.

Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur negara. Industri kreatif—yang hanya segelintir di antara mereka rela mengikis sisa-sisa waktu sebelum maut menjemput untuk bergelut di bidang ini.

Di tepi jalan, menyaksikan orang-orang melesaki senja dengan berbagai rasa dan bermacam asa, beragam transportasi berkecepatan tinggi yang melaju tapi mustahil mengejar waktu, ada yang menunggu, ada yang terpaku, dan untuk melakukan sesuatu pun ada pula yang tidak tahu.

Mungkinkah dari sekian banyak orang yang ada, satu saja ada yang seperti dirinya? Tahu apa yang harus dilakukan, tapi tak sesuai dengan apa yang ingin dilakukan?

Ah, bukankah justru lebih banyak lagi yang merasa seperti itu?

Lebih baik yang mana: melakukan apa yang harus kau lakukan atau melakukan apa yang ingin kaulakukan?

Pertanyaan itu mengambang di benaknya.

Sampai ketika segerombol hawa muda mengerubung etalase, ada suara dan nada-nada di balik etalase sana lembut menyapa hari yang telah lelah, seruan antusias—berdecak kagum untuk idola yang bahkan tidak tahu siapa mereka dan mereka tidak tahu siapa sebenarnya si idola itu kecuali secarik nama: Plain, gamang nyaris seperti selamanya itu mengusiknya.

Akustik di sela pekik-pekik berisik. Lagu dipadu senandung merdu yang tidak membuatnya jemu.

.

Ada yang berkata

Jalanmu telah buntu

Entah dengan ujung jalanku

Mereka, mereka yang memuja

Kau

Dan yang menutup mata

Bahwa kau ada

Kau

Yang dikhianati harapan

.

Aku dan kau—kita, yang dikhianati harapan.

Ada suara, dirinya, persona lain di lubuk hatinya, yang tertawa. Getir. Ini takdir yang satir, hingar-bingar sekitar yang insensitif, atau justru mereka (dua jiwa bercangkang dalam satu raga) yang tengah terlalu sensitif?

Selarik lirik itu terlampau menyindir.

Ia menepi ke pembatas jalur antara pejalan kaki dan jalan beraspal, membiarkan gadis-gadis berhenti dengan senyum manis tak habis-habis mengagumi yang di televisi dan polos ikut bernyanyi untuk salah satu iklan nominasi, sementara apa pun yang terjadi waktu tidak akan berhenti.

Dan setelah ini—ketika ia harus menyerah untuk kembali, murni tidak akan ada lagi yang benar-benar menjadi sandarannya. Sesungguhnya, ia tidak keberatan untuk kembali mengemban beban yang tidak pernah dimintanyatapi selalu absolut menuntutnya—karena sadar benar hanya ia yang mampu menanggungnya.

Sesungguhnya, ia hanya butuh—

Drrrt.

Jika ponselnya tidak disimpan di saku kemeja yang ia kenakan, tidak akan terdengar deringnya. Vibrasinya menghentak dada menyebabkannya nyaris terlonjak. Lekas merogoh ponsel, dan terbeliak melihat nomor yang terdisplay di layar, bergegas menerima panggilan masuk.

"Konichiwa. Hai', Akashi Seijuurou desu."

Jantungnya berakselarasi seperti transportasi massa yang berpacu di jalan raya, langkahnya tergesa mencari tempat yang lebih tepat untuk mengangkat telpon dan berbicara dengan penelpon yang telah ditunggu-tunggunya, ditembusnya arus balik orang-orang yang berjalan pulang, ditabur gugur sakura dan lagu yang tidak didengarnya sampai akhir.

Sehelai kelopak sakura, mengantar wangi melekati ubun-ubunnya. Berbisik tentang kebebasan surgawi yang dikemukakan orang di seberang telpon.

"Benarkah beliau setuju?"

Satu tangan yang tidak menggenggam ponsel, terkepal erat di sisi blazer yang dikenakannya. Dalam dirinya, ia bisa merasakan bukan hanya dirinya saja yang berharap agar harapan tidak lagi mengkhianatinya.

Fiks.

Suara ramah yang mengucap selamat, dan ia rasanya ingin membungkuk langsung—walau hanya satu kesempatan. Meski jalannya masih panjang.

"Terima kasih sudah memberikan kepercayaan pada saya. Ah ... baik. Baik. Saya akan menghubungi beliau setelah Anda kirim nomornya ... ya, mohon kerjasamanya juga. Terima kasih sudah membantu saya."

Debar semangat menggebrak rusuk, hidup, hidup, dan harapan tidak mengkhianati mereka.

Bunyi tut yang tak terdengar. Lebih keras gebu-gebu debar di dadanya. Ini baru permulaan—

Deru motor.

Bising knalpot dan mesin otomotif.

GRAB.

"KYAAAAAA!"

Kicked.

—dan Seijuurou jatuh tersungkur, mengerang karena punggungnya keras-keras ditendang dengan sepatu boots bersol tebal.

"Ka-kau tidak apa-apa?"

"Anda te-terluka?"

"Itu geng motor jalanan, a-atau geng anak punk, a-atau kelompok preman yang biasa berulah di sekitar sini! Jahat sekali mereka naik motor dan menendangmu!"

Gadis-gadis yang tadi menyemuti muka televisi, kini memekik ngeri dan menghampiri Seijuurou. Para pejalan kaki ada yang berhenti dan tengok kanan-kiri, tapi lebih banyak lagi yang tak peduli.

"Aku baik-baik—"

Seijuurou susah-payah menenggak keluh sakitnya, tenggorokannya merapat. Suaranya mendadak berat menyadari kemungkinan terealisasi kenyataan paling mengerikan. Tangannya kini meremat udara, tiada—kehilangan.

"—tas dan—"

"—dua orang yang naik motor besar hitam siluman tadi, yang duduk di depan mengambil telpon genggammu, dan yang di belakang menyambar tas lalu menendangmu—"

Seijuurou lekas berdiri. Sakit yang menggigit punggungnya tak dihiraukan. Persona lainnya berteriak. Murka. Amarah tak terkendali. Mata terpejam, detik berikutnya terkejap, menggelimang warna emas terang.

Gadis-gadis itu mundur selangkah. Kaget dengan manuver pemuda di hadapan mereka yang raut wajahnya kontan berubah. Mendeskripsi ekspresinya sebagai amarah berarti terlalu meremehkan; ia murka tak kira-kira. Auranya membuat mereka kian mundur teratur.

"Berani-beraninya mereka. Ke mana arah mereka pergi?"

"Se-sepertinya ke arah sana. Mungkin kembali ke pangkalan mereka sekitar dua blok dari Rumah Sakit Touhashi—hei!"

Tempat yang disebut sempat membuatnya limbung dari gelembung memori meletup ke permukaan—mengilas balik di saat yang tidak tepat.

Akashi tidak ambil pusing untuk hal itu—bagian dari masa belia yang ingin ia lupa, tidak memedulikan telapak tangan yang lecet tergesek jalan dan kerikil, tidak juga merasakan nyeri menggerit punggungnya, ia mengakselarasi kecepatan larinya.

Tidak pula menggumam maaf, orang-orang menyingkir dengan sendirinya , memberi jalan untuknya lari secepat yang ia bisa untuk mengejar (dan nanti, menghajar) manusia-manusia jahanam itu.

Saat itu tak sempat terpikirkan olehnya mengapa publik tidak menjerit panik, malah berpasrah di pinggir gedung-gedung tinggi dibatasi jalan, bukan segera menghubungi pihak berwajib agar orang-orang semacam tersebut diringkus ke jeruji besi.

Akashi berdecak geram. Motor ninja hitam dan siluet dua pengendara (yang menggelegarkan tawa dan merampas harta para mangsa yang berceceran di jalanan) menghilang di tikungan. Ia tidak bisa mengejar, sial—

'—belok ke gang sana! Itu jalan pintas untuk pangkalan mereka, terletak dua blok lagi dari Rumah Sakit Touhashi!'

Akashi tidak meragukan seruan dari persona lain yang tengah bertukar tempat dengannya. Bagaimanapun kepribadiannya yang satu lagi dulu sempat menjadikan tempat tersebut sebagai jalur arteri dalam diri. Dia berbelok, berlari-lari menelusuri gorong sempit berisi tumpukan kardus berbau apak dan kayu-kayu yang berderak ia injak-injak.

Sesekali langkah terhenti, napas memburu, tak beraturan menarik napas, pandang nyalang seraya tengok kanan-kiri menentukan arah sekiranya di mana markas preman-preman itu terletak.

Di antara orang-orang yang berlalu lalang, berpacu dengan waktu dan urgensi dan menahan geramnya, Akashi berlari sepanjang jalan didendang klakson mobil yang bersahut-sahutan.

Bayang-bayangnya menghilang ditelan kegelapan, memanjang disiram cahaya lampu-lampu. Melewati berbagai tempat, berkelak-kelok, melalui jalan pintas dengan rute ekstrim dipandu dirinya yang satu lagi.

Disekanya peluh yang berluruh di wajah, memfungsikan maksimal nalarnya untuk mengidentifikasi wilayah asing di pinggiran Tokyo yang tidak begitu dikenalinya. Disadarinya sesuatu. Preman-preman acapkali sering beraksi di jalan raya, tapi tidak mungkin mereka membangun wilayah sendiri di tengah hiruk-pikuk kota dan beraksi tanpa dicegat pihak berwajib.

Kecuali mereka pandai berkamuflase dan melebur sebagai orang-orang inosen.

Pasti tempat yang sepi.

Emperor eyes diaktivasi. Akashi mengedar pandangan ke sekeliling. Ada plang jalan. Banner promosi terapi untuk penyakit tak tersembuhkan di rumah sakit Touhashi. Dua blok dari tempatnya berdiri. Berpikir keras. Dia menghirup napas dalam agar bisa berpikir lebih tenang dan tidak tergesa mengacaukan segalanya—kehilangan jejak orang-orang tadi.

Dia sudah dekat. Tapi tidak mungkin ia menyia-nyiakan waktu mengitari satu blok kota sedemikian luas, untuk mencari lokasi tempat kriminalitas berpusat. Apalagi petunjuk selain rumah sakit? Persona lain dalam dirinya mengingatkan yang dikatakan seorang gadis.

Pangkalan.

Pangkalan macam apa?

Kalau tidak salah, ada yang bilang: mereka. Mereka, tidak terdefinisi hanya dua orang. Geng anak jalanan, anak punk, preman, biasa berulah di sekitar tempat itu—bingo.

Akashi beranjak ke sebuah toko bunga, mencegat sang florist, wanita paruh baya yang tengah menjinjing kantung sampah berisi daun-daun dan batang hasil ikebana. Mengatur tarik-hela napas, ia berusaha tenang saat bertanya.

"Maaf, apa Anda tahu tempat seperti pangkalan, di mana orang-orang semacam preman atau orang jahat itu biasa berada?"

Florist itu memucat mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya. "Ada urusan apa dengan mereka?"

Mereka? Di ruang imajiner dalam diri mereka, kedua persona saling berpandangan. "Barang saya dicuri mereka."

"Se-sebaiknya kau tidak usah berurusan dengan mereka—"

"—bagaimana bisa ada yang diam saja ketika barang berharganya dicuri?"

"—a-aku mengerti. Tapi, kau tidak, Nak. Mereka sangat berbahaya—"

"—beritahukan saja tempat mereka biasa berada. Soal berbahaya, bisa saja itu berbahaya untuk Anda, tapi tidak untuk saya."

Wanita tersebut menelisik urgensi Akashi dan ketidaksabaran menanti jawaban. Bisa dimengerti, tapi yang disampaikan pemuda ini masuk akal juga. Ditilik dari pakaian yang digunakan, caranya bicara, dan bahasa tubuhnya, bukan orang sembarangan.

Dan entah penilaian ini benar atau tidak, tapi wanita paruh baya itu menunjuk ke suatu sudut gorong gelap antara dua gedung yang mengapit tikungan jalan raya menuju blok lain ke arah rumah sakit.

"Ke arah sana, tempat mereka. Ada gedung kosong bekas kantor yang sudah tidak dipakai, di balik pagar kawat, penuh coretan grafiti, anak-anak nakal itu biasanya setiap malam selalu berkumpul di sana."

Akashi lekas membungkuk sekilas. "Terima kasih."

"Hati-hati, Nak—!" Wanita tersebut menatap cemas pemuda yang menerjang gemersak angin dingin dan kelopak sakura. Pemuda itu tampaknya sebaya dengan pemuda yang biasa jadi langganannya membeli bunga.

Kenapa anak-anak muda begitu mudah terlibat perkara, entahlah. Wanita itu, batal membuang sampah, menaruhnya di dekat meja yang menampang jajaran biru sendu forget-me-not, berlalu masuk ke dalam toko untuk mencari telpon.

Sementara itu Akashi kini mengarungi kegelapan dengan berusaha tidak menyentuh dinding-dinding di gorong desing pesing dan amis, campuran bau tikus mati dan selokan yang tersumbat—atau mungkin buangan pabrik—limbah industri, menjijikkan, memuakkan, memualkan, mendongkrak keinginan untuk muntah sekarang juga.

Akashi berhasil keluar dari tempat yang lebih mengerikan dari areal pekuburan digentayangi lolong pilu anjing-anjing liar tengah malam, tersengal, dan ketika secarik cahaya bulan menerangi wilayah itu dalam terang yang sayangnya masih remang, dia berinhalasi dalam dan menemukan tempat yang dideskripsi oleh florist tadi.

Ada cahaya yang samar merebak dari jendela-jendela tak berbingkai, hanya pecahan kaca di sana-sini. Gedung tua tak terpakai yang diluruh lusuh. Di balik jejaring pagar kawat, terparkir motor-motor ninja siluman.

Akashi tidak tahu tepatnya motor mana yang dipakai pelaku penendang dan pencurinya, tidak sempat pula melihat plat nomornya. Yang jelas, dilihat dari jumlah masif motor yang ada, juga dengung tawa terbahak-bahak yang menggaung di dalam gedung, tidak mungkin hanya satu atau dua orang yang ada.

Akashi bisa mendengar peringatan dari kakaknya—sisi lain dirinya yang lebih tua. Jangan gegabah apalagi salah langkah. Kalau bisa, cukup ambil kembali barang saja—barulah balik kanan dan lapor polisi sektor setempat.

Teringat seseorang yang membantunya untuk berkomunikasi dengan satu entitas influensif yang dapat mengulurkan sedikit kebebasan dari hidup penuh sesaknya, dia harus menelepon orang penting itu, Akashi melangkah berhati-hati mendekati pintu masuk gedung.

Coretan grafiti yang agak kuno ditimpang dengan yang baru di muka-muka dinding. Lampu-lampu tergelantung di atap, di setiap sisi bohlam yang pecah. Perabot kantor disingkirkan ke sudut ruangan menimbulkan kesan berantakan. Langit-langit ruangan yang tinggi.

Bloody scream.

Karena jeritan itulah, Akashi memutuskan untuk menginfiltrasi tempat tersebut. Dilihat dari kaca-kaca luar yang kotor dijilati lumut, lobi bekas kantor itu tidak menampakkan apa pun. Tidak ada CCTV atau semacamnya. Akashi melangkah hati-hati, penuh kewaspadaan dan perhitungan menyelinap masuk.

Tidak ada siapa pun di bagian lobi yang Akashi masuki. Ketika ia tengah mencari sumber suara, yang menuntunnya untuk tergerak melangkah adalah hamburan tawa dengan jeritan menegakkan bulu roma, bunyi pukulan, tendangan, dan yang membuatnya tertegun sesaat yaitu gema pantulan bola.

Akashi tidak mungkin gagal mengindentifikasi bunyi yang paling dekat dengannya seumur hidup.

Dribble bola basket.

Membiarkan keningnya berkerut dengan bunyi itu, Akashi melihat sebuah pintu besi besar berkarat, terbuka sedikit celah, ia menelisik situasi di dalam ruang entah apa itu dari celah yang ada.

Ada jajaran kursi-kursi berserakan dalam posisi tidak rapi. Sorot lampu cahaya dan laser yang tergerak tak tentu arah. Pantulan bola basket. Sebagian orang yang duduk di tempat serupa tribun itu tengah terpingkal-pingkal, menertawakan teman-teman mereka yang terbahak keji meludahi seseorang naas yang mereka pukuli.

"Ke-kembalikan—"

"Kaubilang apa, Tengik?"

"—uangku! Argh!"

"Dasar mata hijau."

"Uhuk-gwargh."

Sepasang manik heterokromik terbeliak. Tidak panik kendati berhasil mengenali identitas tiga entitas utama di tengah ruang itu, dikelilingi penonton yang terburuk—bertepuk untuk yang terpuruk. Dua yang berwajah serupa, satu yang dianiaya.

Tidak lagi mengalkulasi seberapa banyak kepala yang ada di dalam sana, Akashi mundur selangkah. Kaki terangkat tinggi, tapak sol menjejak pintu besi berkarat, diinjak keras sekuat tenaga hingga berderit memekak telinga. Sungguh cara masuk ke suatu tempat menyedot perhatian dengan spektakuler.

"Siapa di sana?!" seru salah satu orang yang tengah memegangi sebotol minuman keras.

Orang-orang yang di dalam tersentak. Ada yang terlengak, ada yang menurunkan pandangan dari mereka yang duduk di meja, di sofa, di kursi, dan tergelepar di lantai yang jadi arena lari sana-sini makhluk sekerdil kecoa dan cicak.

Pintu tersibak. Satu sosok terkuak. Bibir yang melengkung senyuman tawa terkoyak.

Laser berlarian menjilati bagian-bagian tertentu tubuhnya yang proporsional. Cahaya lampu yang menyorotnya membuat manik heterokromik bergelimang intimidatif. Mengerikan. Merembaskan aura yang dingin mematikan.

"A-A-Akashi ... Seijuurou?!"

Yang disebut namanya oleh kedua pemuda bertampang serupa itu masuk dengan sepatu kasual mengetuk-ngetuk lantai. Mata memincing kalkulatif. Detik berikutnya, orang-orang berjengit ngeri karena orang yang menginvasi wilayah mereka ini memulas seringai tak menjanjikan pakta damai.

"Siapa di antara kalian yang mengambil ponsel dan tasku?"

Suara dinginnya menggerus nyali, membunuh gemuruh kemeriahan yang sebelumnya bertabuh hidup di gedung itu.

"Kaliankah?" Seringai bertendensi maniak itu menakutkan bagi mereka yang berkeringat dingin melihatnya."Kembar sialan dari Kamata Nishi?"

Si kakak dari sepasang kembar yang Akashi kenali, yang tergemap menatap orang di depannya, menegakkan kepala dan mengangkat tangan. "Bu-bungkam Keparat itu!"

Teman-temannya berhamburan menyerbu Akashi. Pemuda yang diserang menekuk kedua kakinya, tubuh terbungkuk ke bawah dengan tangan bertumpu di antara kepala seorang pemuda yang terkapar dekat kakinya, pandangan mereka selama sedetik bertemu ketika orang-orang bertubrukan pedih di atas mereka.

"A-A—Aka-Akashi?!"

Namanya terluncur dari bibir yang di sudutnya robek mengucur merah basah.

Akashi tidak terdistraksi dengan desis ngeri setengah mati itu, melainkan menotis botol minuman keras diarahkan menghantam kepalanya. Menggeram pelan, ia membanting diri ke belakang seraya menarik lengan pemuda yang babak belur itu agar bukan wajah biasa-biasa saja hancur dihunjam pecahan botol minuman keras.

"Aarrgh!" Pemuda yang dibanting Akashi ke belakang itu jatuh tersaruk ke lantai, dagunya berdecitan dengan lantai.

Sakit.

Sakit bukan main.

(—walaupun tidak akan sesakit yang dia rasakan, rintihnya dalam hati.)

Lecet di dagu tidak masalah, tapi tekanan dagu yang menumbuk rahang dan langit-langit mulutnya itu membuatnya mengerang kesakitan. Begitu kepalanya terlengak, pandangannya digelapi bayang-bayang sepatu dengan sol bergerigi tajam hendak menginjak wajahnya, impulsnya hanya menggerakkan kelopak matanya untuk terpejam dan bukan menghindar.

"GYAAARGH!"

Bunyi tendangan dan jeritan kesakitan membuatnya membuka mata, terperangah melihat Akashi penuh presisi melayangkan tendangan dengan telapak kaki tepat ke tulang kering seseorang yang hendak menginjak-injak keji wajahnya.

"Lebih baik kaupergi dari sini jika tidak bisa melakukan apa-apa, Furihata Kouki."

Ada tangan kuat meraih tangan Furihata Kouki yang terkulai. Menariknya untuk bangun. Mendorongnya untuk mundur.

Kouki terbatuk parah. Mungkin ada perdarahan entah di bagian mana sistem respirasinya, analisis Akashi ketika melihat darah mengalir dari bibir dan menitik dari dagu yang lecet. Orang biasa-biasa saja ini tidak akan berguna tetap berlama-lama di sini, kondisinya parah, situasinya genting, dan tubuh bergetar meresonansikan ketakutan—

"—ti-tidak."

—Akashi tidak punya waktu untuk terkesiap karena tangannya mendadak disentak.

Kouki terhuyung, nyaris jatuh, tapi tetap bersikukuh. Resolusi, seperti yang Akashi kenali ketika melihat Kouki me-marking-nya di Winter Cup silam, berpijar di mata dengan pupil semungil kunang-kunang.

Kurang ajar. Sudah dibantu malah berlaku seperti ini. Dan kepala Kouki terangkat tegak walau tubuh bergetar hebat, Akashi hampir mengujar untuk merendahkan kepala, Kouki tidak berhak melihatnya di mata karena bukan seseorang yang bertekuk lutut di bawah kekuasaan mutlaknya, tapi ternyata tindakan itu tidak ditujukan untuknya.

"Ke-ke-kembalikan u-uangku! UU—AAANGH!" seru Kouki serak, sekeras yang ia bisa, lalu terbatuk lagi. Meludah anyir darah, berteriak lagi, "U-UANGKU!"

Akashi yang malah gemersang akan kata-kata, syok ketika melihat Kouki berlari menerjang satu dari dua orang pemuda itu, berusaha meninju walau balik ditinju, tidak peduli dengan lebam-biru, ia berseru—antara takut dan geritan desperasi, berguling-guling dengan adik dari si kembar itu, bergulat sekuat yang ia mampu.

"Uang yang tidak seberapa itu saja kauribut! Aaaargh!"

"Ka-kau tidak a-akan mengerti seberapa berarti—ck-ackh!"

Akashi menebas hidung seseorang dengan hantaman maut sikutnya. Lututnya melayang menendang perut seseorang. Satu kaki yang jadi pivot memanuver putaran tajam searah karena tumitnya melayang menebas pinggang satu orang lain hingga terlempar menabrak jajaran kursi-kursi.

Berdecak, mengafirmasi pebasket Seirin bernomor punggung dua belas itu benar-benar suicidal. Apa orang itu masokis?

Akashi tidak sudi menyaksikan satu nyawa terbuang sia-sia karena dicekik mati. Pertaruhan antara masa depan (di telpon genggamnya), barang-barang yang lain tidak begitu berharga, tapi ketahanan Furihata Kouki di ambang batas. Dia berlari menaiki satu kursi, melompat dengan kedua kaki terentang menyepak dua dada penyerang hingga terjengkang seraya mengerang, lalu menaiki sandaran kursi, menjeblakkan pada seseorang lain di belakangnya.

Kouki memberontak. Tidak bisa. Dia hampir mati, tapi siapa peduli. Ujung jalannya belum dekat –akhir seseorang tiada yang tahu, dia yakin itu. Meronta-ronta, lututnya menumbuk perut pemuda di atas yang mencekik batang lehernya. Caci-maki menumpahi wajahnya. Dia akan terbunuh—

"Urgh!"

—orang di atasnya terpental ketika bajunya kasar ditarik di belakang, dan tangan terkepal meninju pipinya. Kouki merasakan paru-parunya yang terbakar, seperti disimbah uap basah kaya akan oksigen, rakus meraup udara, tercekat mendapati ternyata Akashi lagi-lagi menyelamatkannya.

Kouki melihat siluet seseorang di balik Akashi, ia terbeliak ngeri. "A-Akashi, di belakangmu—"

Lebih menakutkan bagi Kouki ketika punggung lengan Akashi terayun pada serangan dari titik butanya—di balik punggung, ganas melibas wajah seseorang, dan satu lengan lagi menghantamkan tekukan sikut tepat ke hidung penyerang lain. Dua orang dari dua arah di belakangnya tumbang sekaligus.

"SEKARANG!"

Kouki terbelalak kaget. Baru menyadari dirinya dan Akashi dikepung oleh gerombolan anak jalanan ini yang berjumlah puluhan kali lipat lebih banyak dari mereka berdua. Kouki beringsut bangun, tidak mampu memeta bayangan akan keselamatan hidupnya. Tapi ia tidak mau berakhir di sini, tidak—

"Jangan menghalangiku."

"U-uh, a-aku tidak bermaksud me-menyulitkanmu."

—Kouki yang tengah merasakan ketakutan itu merayapi, menggerogoti dari sel-sel di ujung kaki, berdesir perlahan tapi pasti ke puncak kepala, dibuat ternganga ketika Akashi melepas dasi yang tersimpul rapi di kerah kemejanya. Membuka tiga kancing teratas kemeja, melepas blazernya dan membuangnya sembarang.

"Jangan menatapku tepat di mata. Kalian bukan budak-budak yang melayaniku." Biner heterokromik kembar mencangkangkan amarah yang terkendali di sana. "Kepala kalian terlalu tinggi. Turunkan."

"Masih saja arogan." Kakak kembar itu menggeram karena kembarannya ditonjok hingga rahang bagian bawahnya bengkak. Dia menjentik jari. "Serang dua orang sialan itu!"

Raung jauh bergaung, geram amarah menderu seluruh penjuru. Bawahan dari si kembar yang dulunya alumnus Kamata Nishi itu menyongsong dua pemuda yang terjebak di sentral ruangan bekas balai itu.

Tidak ada celah untuk lari. Keduanya terperangkap di tengah. Kouki melihat dirinya dan kapten tim basket Rakuzan itu dikeroyok dari berbagai arah. Akashi bisa membalas segala agresi yang menyerbu dan caci-maki yang menyemburnya. Ia tidak bisa apa-apa, kecuali melakukan apa yang ia bisa, mendukung di balik punggung pemuda itu.

Kouki mengambil kursi yang tadi diinjak Akashi, melayangkannya pada orang-orang yang datang menyerang. Beberapa orang hendak menyergap Akashi dari belakang—tidak juga belajar dari pengalaman, dan ia bertumpu pada satu kaki berputar seratus delapan puluh derajat, menghantamkan si kursi pada siapa pun selain sang emperor.

Akashi meregangkan tangan, menjeda sesaat memakai satu kaki untuk memproteksi diri sembari menggulung kedua lengan baju, kemudian kembali beraksi melancarkan serangan. Menepis senjata tajam ataupun benda tumpul padat yang dilayangkan padanya dengan ketepatan dan serangan balik di bagian vital—yang membuat lawannya rubuh seketika.

Akashi pikir orang itu akan menyukar segalanya, situasi dan kondisi ini, untuk menuntaskan tujuannya—merampas balik ponselnya demi meraih sedikit kebebasan yang bisa ia kais serta tasnya. Tapi, ketika hitungan orang yang berjatuhan akibat konter serangan balik darinya melebih angka belasan, tersengal, dirasakannya punggungnya bersentuhan dengan punggung seseorang.

Ada seseorang yang (cukup masokis, suicidal, atau determinatif yang tidak Akashi mengerti) melindungi punggungnya—yang mana matanya tidak terletak di sana. Seorang penyokong.

Furihata Kouki terengah-engah lelah.

Mungkin jika ini situasi komikal dan dikondisikan sebagai parodi komedi, Akashi ingin bertanya mengapa seseorang bertampang pengecut ini masih berdiri dan tidak bergegas lari. Idiot atau apa. Gila atau bagaimana. Kenapa tidak kabur saja.

Toh, jika hanya karena uang, apalah arti uang ketimbang nyawa?

Uang bisa dicari berkali-kali. Tapi, nyawa hanya ada satu dan hilang sekali saja siapa pun langsung mati—takkan pernah hidup lagi.

"Hiiie! Le-le-lepas!" Kouki terlibat tarik-menarik kursi dengan beberapa orang sekaligus.

"Menyingkir dari sini!" Akashi mendorong Kouki menjauh ketika kursi dilayangkan seseorang hingga pemuda tanpa keistimewaan itu dijeblak ke samping agar tidak kena hantaman kursi.

Kouki membelalak—entah untuk keberapa kalinya hari ini—nyaris menjerit karena dikiranya Akashi akan mengorbankan diri iuntuk orang sepertinya dan kena timpukan kursi itu, tapi tidak, Akashi dengan brilian berkelit lalu membanting dua orang lain yang malah kena tebasan kursi.

Bunyi derak mengerikan. Kursi tersebut patah berantakan, dan jeritan kesakitan yang mengerikan—mungkin hingga pita suara mereka yang menjerit berdarah-darah.

Kouki bergetar menyaksikan bagaimana orang-orang itu rubuh dan terisak kesakitan. Distraksi sepersekian sekon itu menyebabkan seseorang memiting lengannya ke belakang dalam putaran menyakitkan, tubuhnya sekali lagi dibanting ke lantai.

"Grgh—!"

Si adik dari kedua kembar itu sadis menginjak punggung Kouki, hendak tertawa, tapi lagi-lagi Akashi melesat dari sisi oposisi dengan tangan terangkat tinggi—sekali lagi hampir berhasil mendaratkan kepalan tangan untuk mematahkan rahang orang ini.

"A-A-Akashi, awas!"

Kouki mendepak orang itu dari atasnya dengan berguling ke samping, pemuda yang merupakan adik kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpanya—membuat tubuhnya serasa remuk, dan menubruk ke arah Akashi yang nyaris terjengkang.

Beruntung Akashi refleks menumpukan tubuh dengan kedua telapak tangan menyangga. Posisi seperti kayang terbalik. Hampir menimpa salah satu dari si kembar dan Kouki sekaligus. Ketika didengarnya seruan disertai layangan tongkat kayu, Akashi menghentakkan kaki dan meroda ke depan. Posisi berlutut, ia menggeram pelan karena nyaris kena sabet.

Sepasang manik heterokromik itu kaget, kini baru mengerti yang dimaksud awas oleh Kouki adalah puluhan orang menyergapnya dan ketika ia berjuang mengonter mereka semua—terutama mereka yang begitu pecundang dan memakai senjata seperti pecahan botol atau perabot untuk menyerang, pergerakan tubuhnya dikunci oleh tubrukan beringas beberapa pemuda sekaligus, dan akhirnya pipinya tertoreh gores tajam cutter karena tidak sempat menghindar.

Akashi berontak. Orang-orang yang jadi tumbal menahannya mengerang kesakitan. Dia berdecak, energinya terdegradasi karena gang ini tidak lebih baik dari kerubungan lalat berdengung menyebalkan yang persisten dan loyalitas konyol pada instruksi atasan, ketika ia berhasil menyingkirkan seseorang dari bagian depannya—

"Akashi!"

—suara tercekik memekik namanya bersamaan dengan tinju menghantam pipinya.

Akashi terhempas. Rahang kanan, tulang pipi, bahkan gugusan giginya serasa berderak tergemertak menyakitkan. Satu matanya yang tak terpejam menahan sakit, melihat bajingan yang berhasil meninjunya adalah salah satu dari si kembar—yang kemudian meneriakkan komando dan kemungkinan itulah sang kakak.

"Serang balik dia!"

Serangan beruntun menghujani Akashi dalam pertarungan tidak adil—tidak imbang antara seorang dengan puluhan orang. Sehebat apa pun Akashi dan teknik bela diri yang jenius, ketahanan fisik luar biasa, energinya berkurang terus-menerus—tersia-sia melawan orang-orang ini. Terlebih menangkis serangan dari senjata yang dimaksud untuk menghabisinya.

Suara Akashi memarau, persisten menenggak balik anyir besi berkarat yang nyaris termuntahkan dari bibirnya, sadis menendang preman bermulut bau dan gigi tonggos yang hampir berhasil merubuhkannya dengan blok kayu. "Kalian akan menyesal karena menentangku yang absolut!"

"He-hentikan!" Kouki tertatih bangkit, dia menyeruduk seseorang untuk membuka jalan Akashi yang harusnya pengap dikerubuti sejumlah masif individu—dan bukan masih begitu kuat bangkit melawan. "ARGH!"

Souta memaki, "Lepaskan aku, Brengsek!"

"Lepaskan A-A-Akashi! Kembalikan u-u-uangku!" Kouki memejam mata rapat, kuku menghunjam kaus yang dikenakan orang yang ditariknya agar melepaskan pitingan dari tangan Akashi. Dia menggigit bibir menahan sakit ketika seseorang bermasker ini berkali-kali memukuli punggungnya. Dibalasnya orang ini dengan menginjak-injak kaki-kaki.

Akashi jengah dengan kegilaan ini, netranya terbeliak melihat seseorang yang ketakutan setengah mati tapi masih saja berjuang habis-habisan—kali ini menyelamatkannya, "Hentikan usaha sia-siamu—!"

Kouki rubuh ke depan tanpa sempat memberikan perlawanan ketika sebuah rantai menyabet punggungnya. Berikutnya orang biasa-biasa saja itu diringkus, dikeroyok, ditendangi, dipukuli tak habis-habis seperti pertama kali Akashi melihatnya saat masuk tadi.

Tidak ada ruang untuk ankle-break. Dia bisa menyerang balik dan mempertahankan diri, tapi tidak selamanya. Tidak mungkin ia akan berakhir di sini, kalah dengan memalukan, dan mati dengan kondisi mengenaskan—seperti yang mungkin akan Furihata Kouki alami jika Akashi tidak tergerak untuk menyelamatkan orang itu yang membuka celah baginya.

Akashi berusaha menggapai Kouki yang disiksa tiada habis-habis dan setengah mati berupaya melindungi diri. Darahnya berdesir deras. Bergelegak oleh amarah—dan mungkin ini kemarahan mencapai titik kulminasi selain ketika duo cahaya-bayangan Seirin menjegal upaya agresinya saat Winter Cup silam.

Kouki meratap pelan, ia hanya ingin uangnya. Kenapa harus dijegal ketika ia menghitung di jalan dan bokongnya didepak oleh salah satu gembong bermotor ninja siluman hitam yang terkenal di pinggiran kota Tokyo ini. Matanya yang bengkak, perih mengejap. Dirasakannya tidak ada lagi rasa sakit yang mencambuk tubuhnya, siluet seseorang dengan punggung tegap melindunginya.

"A-Akashi ..."

Akashi melentingkan tubuh ke belakang ketika lightsaber terlayang hendak menebas kepalanya, lalu melayangkan tendangan balik sebagai serangan, matanya sekilas mengerling Furihata.

"Jangan mati di sini." Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan fokus untuk menangkis serangan. "Aku tidak mau jadi saksi kematian tragismu."

"A-a-aku ti-ti-tidak mau ma-ma-mati di sini!" pekik Kouki panik.

"Minggir kalian semua!"

Raungan geram itu membuat semua yang sedang mengeroyok Akashi berpaling, ketua mereka, kakak dari dua saudara kembar itu ternyata telah memungut bola basket.

"Beraninya kau melukai adikku, Akashi Seijuurou!"

"Bajingan, rasakan ini!"

Akashi menangkis tinju dari adik kembar itu yang mendistraksi perhatianya dari muntahan muntab sang kakak. Mereka saling serang—disadarinya dari-tadi pergerakan kedua kembar ini mengingatkannya pada ilmu bela diri Aikido, dan saat itu juga—

Dash.

Bola basket melesat.

"A-Akashi!" Furihata tak bisa berdiri dengan kondisinya, sakit yang sama sekali lain mendecit hatinya melihat bola basket meluncur kencang dari lemparan si kakak dari sepasang kembar itu, lalu telak menghantam pelipis sang emperor.

Pandangan Akashi sesaat berkunang, kesadarannya terguncang, seketika diterpa pusing yang membuat dunianya berputar. Defensi dan persistensi untuk mengagresi runtuh, merasakan tangan seseorang di bahunya dan rintihan khawatir orang dari Seirin itu begitu dekat dengannya yang mengerang pelan.

Momen itu tidak disia-siakan oleh gerombolan preman tersebut untuk mengeroyok kedua pemuda itu. Menyepaki, memukuli, menertawakan, balas dendam atas segala serangan yang telah mereka lakukan.

Di sela-sela kaki-kaki dan tangan-tangan jahat yang menganiaya mereka berdua sekaligus, Akashi dapat melihat si kembar Kamata sialan itu memungut dua tas. Sebuah ponsel layar sentuh miliknya. Berbicara berdua. Roman kemenangan mereka dicemari ketakutan.

Sedesperasi apa pun Akashi berusaha balik menyerang, ia tidak kuat. Kekeraskepalaannya dan emosi yang lebih mudah tersulut itu membuka lebih banyak celah bagi penyerangnya untuk menindasnya. Dalam ruang imajiner, dia murka. Dalam ruang yang tidak seorang pun tahu, dia dijerat sakit yang lebih menyakitkan dari ini.

Keduanya hanya ingin sedikit manifestasi kebebasan dan menginginkan balik kenangan terakhir dari seseorang yang terkasih.

'Tukar denganku.'

(—karena suatu kelemahan, yang merupakan perwujudan kelaparan akan kemenangan dan sekali lagi tidak tercapai, tidak selamanya akan mampu bertahan.)

Kouki merasakan aura dingin menindas yang menusuk hingga ke belulang.

Akashi yang sedang dijambak, tiba-tiba terdiam, lalu seperti ada perubahan signifikan yang terasa tapi tak kasat mata, tangannya sigap memelintir penjambaknya lalu menarik orang itu jatuh dan meninjunya hingga rubuh.

"Shouta Sasaki dan Souta Sasaki. Si kembar jenius, alumnus Kamata Nishi."

Kouki gemetar hebat melihat Seijuurou tertatih bangkit. Akashi yang ini tidak terlihat kehilangan kontrol rasonalitas seperti tadi. Akashi yang biasanya tersenyum maniak, kini wajahnya terlihat serius dan auranya lebih intimidatif walau tidak terasa buas sama sekali—melainkan lebih terkendali.

"Lama tidak jumpa."

Sapaan dingin Seijuurou itu membuat orang-orang merinding.

"Kalian tahu apa yang akan terjadi setelah ini?" desis tenor melodis akan janji siksaan neraka termengerikan itu menyebabkan setiap individu bergidik mendengarnya.

"Ha-hah! Kaupikir kami takut pada anggota Kiseki no Sedai di luar pertandingan?" tukas Souta, berusaha terlihat garang.

Gertakan eks-kapten Kiseki no Sedai itu tidak akan instan mengguncang mental mereka—walau telah membuat mereka gentar.

"Kujebloskan kalian ke penjara. Atas tuduhan melakukan tindak perdata kekerasan dan pidana dengan merugikan orang-orang atas aksi preman serta vandalisme yangkalian lakukan." Airmuka tak meriak emosi apa pun itu menekan beban mental, menyiksa nyali orang-orang yang melihatnya.

"Coba saja!" Shouta tertawa pongah. Mata sipitnya terpicing meremehkan, dikibaskannya rambut coklatnya yang basah oleh keringat. "Kau tidak akan bisa!"

Cari mati!—itulah yang Kouki pikirkan. Bagaimanapun, emperor yang berdiri dengan segala martabat dan harga dirinya itu bukan orang normal!

"Hm. Selama merasakan adikku kalian siksa," Seijuurou membiarkan satu sudut bibir tertekuk ke atas. Ekspresi antagonis yang familiar bagi semua yang mengetahuinya, "aku menganalisis yang terjadi dan hal-hal anomali lainnya."

Kouki berusaha duduk. Dahinya berkerut dalam, ceruk matanya terlekuk. Takut. Terlebih ketika pelipis Akashi yang mengucurkan darah, menjilati wajah sang emperor, bergelantung di dagu, jatuh bebas memercik lantai.

Dia bungkam. Tidak tahu harus melakukan apa, tapi mungkin Akashi yang ini—yang kata Kuroko adalah Akashi yang sebenarnya—bisa melakukan sesuatu. Tiba-tiba asumsi terbersit di pikirannya, Seijuurou mencoba bernegosiasi.

Mengapa?

Walaupun persona mereka tengah bertukar posisi, raga mereka hanya satu. Yang sudah dikeruk habis energinya, dicambuk luka dan telah berjuang mati-matian. Atau mungkin sosok Akashi Seijuurou yang terlampau tenang kali ini, mungkin telah berpikir baik-baik karena jika pertarungan dilanjutkan, bisa-bisa kondisi mereka akan jauh lebih buruk dari saat ini.

"Bagaimana jika kita menyelesaikan saja segalanya dengan basket?"

Dia gila atau bagaimana? –ekspresi yang terpampang di wajah setiap orang dalam gedung bekas kantor itu.

Souta, adik dari sepasang kembar jenius itu, mendecih. "Kaupikir kami seidiot apa, heh?" Dia melotot pada kapten dari tim terlaknat yang tidak pernah membiarkan tim lain menang selama mereka eksis di muka bumi. "Kau akan mendatangkan—"

"—tidak. Kiseki no Sedai tidak ada urusannya dengan masalah ini," tukas Akashi lugas, tangannya terbuka, menunjuk seseorang yang terpuruk di dekat kakinya, "aku dan dia saja. Kita bertaruh."

Kouki melengak kepala. Mencelos parah. Jantungnya kehilangan ketuk ritmikalnya. Dia gila atau bagaimana?!—nurani si pebasket ordinari menjerit histeris.

"Bertaruh?" Shouta menatap tajam Akashi yang terlalu tenang—tidak bisa diselidiki apa intensi sebenarnya. "Jebakan untuk kami, huh?"

"Aku tahu kalian dendam pada Kiseki no Sedai." Akashi mengerling seseorang yang menatapnya seakan ia adalah pohon yang menjulang tinggi, emperor peneror horror. "Jadi, balaskan dendam kalian padaku yang merepresentasikan Kiseki no Sedai, dan anggota timku hanya orang ini."

"Apa yang kauinginkan?" tanya Souta angkuh.

"Kembalikan barang-barangku, dan uang orang ini." Ibujari menunjuk Furihata Kouki. "Dan aku ingin pertarungan setelah kami berdua pulih." Akashi tersenyum tanpa hati. "Jika kalian yang menang, terserah apa pun yang kalian inginkan padaku."

Sesaat si kembar itu saling bersitatap, lalu Shouta mengangkat tangan. "Diam di situ, aku bicara dengan adikku. Coba-coba melakukan sesuatu gila, kalian akan tahu apa akibatnya."

Dia pun berlalu dengan adiknya ke sudut ruangan.

Seijuurou merasakan tarikan penuh desperasi di fabrik celananya. Dia menunduk ke bawah, netra magenta monokrom bersiborok dengan biner solid kolong langit yang berkaca-kaca cemas dengan wajah sepucat arakan awan abu-abu di langit musim semi.

"A-a-apa yang ka-ka-kau—"

"Tenanglah, Furihata-kun. Turuti saja rencanaku du—hei!"

Seijuurou refleks berlutut ketika Kouki yang babak-belur, terlunglai pingsan. Dia menepuk-nepuk perlahan pipi yang tidak digores ruam merah dan tidak membengkak parah. Tidak bisa menyadarkannya. Dia berdecak pelan.

Orang ini selalu saja menghambatnya meski hanya sedikit. Sesungguhnya, bisa bertahan setelah disiksa senaas tadi, gigih menyelamatkannya kendati tidak banyak yang bisa dilakukannya, menakjubkan bagaimana orang ini masih bisa bertahan dan berjuang untuk tetap mempertahankan kesadaran.

Seijuurou menyangganya, berusaha menyadarkannya, sia-sia saja. Situasi dan kondisi terburuk, jika begini, maka yang mungkin akan terjadi—

Seijuurou membenci bagaimana cara mereka menatapnya dari bawah ke atas dengan keangkuhan yang membuat darahnya bergolak oleh amarah.

—si kembar jenius kembali. Tersenyum keji.

"Kami sudah memutuskan."

.

#~**~#

.

Tetes air.

Suara-suara familiar.

Bayangan seseorang tersenyum teduh, mengulurkan tangan, menggenggamnya, dan menariknya menyusuri padang bunga. Membuatnya bergantung pada kehangatan, merasakan aman sekaligus nyaman dituntun olehnya.

Mereka tertawa bersama seperti denting manis orgel dalam genggaman.

Di antara kemuning ilalang yang bergoyang, seseorang tengah berdiri anggun. Melambai halus pada mereka yang berlomba lari menuju siluet jelita dalam lingkup senja yang menyemburati padang itu.

Tangan panutannya yang satu lagi, meraih jemari siluet tersebat, turut menggenggamnya. Keduanya tertawa.

Ia di ujung kiri, tersenyum setulus hati. Sedikit decit perih dan mulut mencecap pahit. Apalah arti dirinya daripada melihat pandang (sayang) dan kebahagiaan kedua orang yang berjalan di sisinya.

Padang itu terlihat luas tak bertepi, sesungguhnya diagungkan di latar berupa tebing yang kakinya dijilati debur ombak.

Mereka berkelana. Tertawa. Bersama.

Genggamannya mengendur. Setidaknya melihat kedua orang di hadapannya (masih ada), ia menatap punggung keduanya dan menyorotkan tatapan bahwa begini saja sudah cukup.

Genggamannya terlepas.

Dia berkata—beralasan, ingin melihat matahari melelehkan lembayung ke horizon, mencurah warna ke permukaan samudera. Anggukan ringan memperbolehkan, dan ia melangkah ringan menyongsong senja.

Ketika ia berbalik, mereka masih di sana. Hingga saat ia tiba di tepi tebing, menoleh ke belakang, keduanya tetap di sana. Langkah mereka hanya sampai di sana.

Ia terdiam. Mendadak merasa seorang diri, dan ia ingin melangkah kembali, pada mereka yang tapaknya terhenti sampai di situ saja, hingga—

ketika ia tergelincir dari tebing, tenggelam dalam gelimang senja keemasan bersemburat merah dan kegelapan dan gelapnya laut—

sebelum ia tenggelam diraup deru ombak dan menghilang selamanya, sampai saat itu pun ia tak melihat sosok mereka berlari mengejarnya. Seakan memang mereka tidak pernah bersama.

Tangannya terentang, berusaha menggapai. Tidak ada yang mengulurkan tangan, tidak ada yang menyelamatkannya. Tiada yang menariknya untuk tidak jatuh bebas. Jatuh dan sepi sendiri yang tak tahu seberapa besar karena sebegini menyesakkan.

Ada denting bening dan bukan asin air laut, tertinggal mengembara di udara. Berkilau dipercik lelehan senja lalu membaur bersama serpih-serpih buih.

Sebelum matanya terkatup—walau gelembung-gelembung oksigen berdesakan keluar dari dirinya menuju ke permukaan laut, hanya bunyi letup-letup gelembung yang terdengar, suara sekaratnya—bukan senandung dan lantun nada-nada merdu yang disukainya, dilihatnya refleksi pendar cahaya.

Mana ada matahari seterang itu. Yang radiasi cahayanya membelai lembut pipinya, menghapus linangan yang tersaput air arus bawah laut.

Blur.

Segalanya gelap.

.

#~**~#

.

Kouki tersentak bangun. Sensasi tenggelam dalam kelam dan cahaya yang tergenang blur di lihatnya dari dasar keramik laut, mungkin sebenarnya merupakan lampu terang di ruang putih yang mengais-ngais celah kelopak matanya.

Entah mana yang lebih mengerikan, mimpi akan masa lalu membahagiakan yang tidak dapat diulang atau kembali ke realita dan tiap inci badan histeris dengan sakit tak terkira.

"Oh, dia sudah sadar."

Seseorang berkata di sisinya.

Kouki mengerang serak, merasakan linu pilu mengulumi sekujur tubuhnya, penerangan ruang serba putih yang familiar baginya itu menandang kunang-kunang dalam ruang pandangnya.

Perawat bergegas mendekat padanya, mengecek kondisinya. "Kau ingat siapa dirimu?"

Pertanyaan klise dan hampir terdengar konyol bagi Kouki.

"Ingat," gumam pemuda yang melihat dirinya terbaring di ranjang putih penyerap hari-hari kehidupan penidurnya itu. "Fu-Furihata Kouki, enam belas tahun. Sekolahku saat ini di Seirin."

Perawat berwajah tidak ramah itu membenarkan posisi kantung infus di tiang gantungnya yang tersambung ke tangan pasien di IGD tersebut."Apa yang terakhir kali terjadi?"

Pasien baru tersebut menghindari tatapan tajam perawat yang dikenalinya. "Uhm, a-aku sedang di jalan, lalu aku mengejar pelaku yang mencuri uangku, dan aku mengejar sampai ke gedung bekas—"

"—kau ke tempat itu?" sela sang perawat, raut tidak percaya.

Kouki mengangguk kaku. "Uh, ya."

Perawat itu mengembus panjang. Raut wajah tak bersahabat. Mendengus perlahan. "Kau ceroboh sekali. Harusnya kau tidak usah ke sana."

"Ta-tapi, uangku—"

"Lebih penting mana uangmu daripada nyawamu?" tanya perawat itu tajam. "Ini akibat dari tindakan cerobohmu itu."

Dia tertawa tanpa nada humor. Menatap si Furihata satu itu dengan pandangan merendahkan, menyayangkan.

"Enak menjadi seseorang yang bisa hidup seperti orang biasa bermain dengan nyawa, ya. Jalan hidupmu masih panjang, bukankah begitu? Kau tidak punya kecemasan—"

"A-aku tidak bermain dengan nyawa!" Kouki parau membela diri. "Siapa tahu kapan siapa akan—"

Pemuda ini tersentak, si perawat mendengus—memandang dengan makna merasa telah menang.

"Karena ketidaktahuan akan akhirlah, seseorang bisa berlaku sesukanya." Perawat itu merapikan bekas-bekas kassa bernoda desinfektan dan sisa-sisa guntingan perban yang berserakan di meja. "Hidupmu tenang, hanya memikirkan uang ... untuk cari pacar lagi, huh? Bisamu hanya merepotkan orangtuamu saja—toh, itu uang orangtuamu juga pasti. Cobalah mencontoh Ko—"

Bibir Kouki terkatup. Rapat.

Deham tegas. Terang-terangan menyita perhatian.

"Bisakah Anda pergi dan membiarkan pasien ini beristirahat? Bukankah itu yang tadi Dokter katakan?"

Suara itu mengimpuls Kouki menyematkan tatapan pada sumbernya. Seseorang dengan sapuan biru keunguan di rahang bawah, pelipis ditempeli plester berlapis kassa, dan pipi yang diganjal kompres es. Dia nyaris terkena serangan jantung melihat siapa yang duduk di kursi penunggu pasien IGD—dengan kondisi anomali seperti itu.

"A-A-Akashi!"

"Ah, kau yang membawa Kouki-kun kemari dengan polisi tadi."

Perawat tersebut meneliti Seijuurou dari kepala sampai kaki dan berlabuh di pipi—yang paling mencolok terlihat terluka.

"Sebaiknya kau duduk diam dan beristirahat, Anak Muda. Atau sesuai prosedur rumah sakit, kami akan menghubungi keluargamu atas apa yang terjadi padamu supaya bisa menjaga agar kau tidak kelayapan ke tempat-tempat semacam itu."

Perawat itu menoleh pada Kouki yang bergetar ketakutan.

"Aku juga akan bilang pada keluargamu, Kouki-kun. Ah, ada apa dengan anak-anak muda masa ini selalu saja—"

Seijuurou telah terlatih untuk memanipulasi ekspresi agar emosinya tidak terbaca eksplisit. Tidak terdengar setajam saat ia membela Kouki tadi, kini ia tersenyum ringan.

"Laporkan saja." Seijuurou mengedikkan bahu kasual. "Bilang seperti yang Dokter katakan, jangan menjadi bocah nakal atau semacamnya. Coba saja kalau Anda—merepresentasi paramedik—berhasil membuat Ayahku untuk datang."

Ada sesuatu dari nada bicara Seijuurou yang membuat perawat itu melangkah mundur. Seperti menyuarakan: "Aku selalu benar." –bahasa tubuh absolut yang tidak bisa diganggu-gugat. Sangat arogan meski begitu sopan. Menyebalkan.

Sebelum sempat si perawat membuka mulut, Kouki yang terperangah mendengar perkataan Seijuurou lantas tertawa setengah hati.

"Yeah, la-laporkan saja pa-pada orangtuaku."

Perawat itu tercengang melihat Furihata Kouki tersenyum—walau terang-terangan terlihat ekspresinya menahan sedih dari mata yang berkaca-kaca. Seakan pemuda ini juga mengisyaratkan sama seperti Seijuurou, ingin tahu mungkinkah orangtuanya akan datang untuknya.

"Tapi, jangan bilang apa pun pada Koichi Aniki." Kouki yang melihat gelagat perawat itu hendak menyergah, buru-buru mengimbuh ripuh, "Aku akan bicara langsung padanya—tanpa perantara."

Sedepa jeda.

Seijuurou tidak mungkin keliru menjustifikasi ekspresi Kouki yang membuang pandang darinya dan si perawat tidak ramah itu. Mata yang berkaca-kaca dan ekspresi tersepi. Ditatapnya suster yang tadi membantu mengobati luka-luka Kouki dan sempat merawatnya sesaat.

"Terima kasih atas kerja keras Anda untuk mengobati kami berdua."

Nada instruktif final, tanda tidak menghendaki lagi ada kata-kata yang terucap, perawat tersebut bukanlah setidak peka itu untuk tidak menyadarinya. Dia hanya mengangguk sembari menyengatkan tatapan sengit, barulah berketak-ketuk dengan haknya menghentak lantai bau karbol IGD itu.

Seijuurou menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, kemudian menghembuskan napas panjang. Dia memandangi pemuda yang terbaring di ranjang. Entah pemuda yang babak-belur itu sadari atau tidak, ada airmata yang meleleh di pipinya—yang tadi saat ia kejang dalam tidur sempat Seijuurou hapuskan karena ia merintihkan nama seseorang.

Mimpi buruk, huh. Bukan urusannya.

Seijuurou merasakan matanya terpicing sekilas, melihat jejak basah lain yang meliuk mengikuti lekuk hidung dan luruh ke dagu di wajah tanpa keistimewaan itu. Dilihatnya Kouki menyeka secepat kilat dengan punggung lengan—berusaha mengenyahkan bukti konkrit lara yang membuat diri merana.

Seijuurou mengernyit mendengar suara serak dipadu tarikan lendir yang menjijikkan. Detik berikutnya, netra magentanya ditatap—hingga terkesiap—oleh sepasang mata berkaca yang menyiratkan perasaan bersalah.

Seijuurou menahan Kouki yang bergetar hebat hendak duduk dan memutus tautan pandang mereka. "Kondisimu jauh lebih buruk daripada aku. Istirahat saja."

Kouki berjuang mewujudkan himpunan keberaniannya—dari serakan malu yang menamparinya karena rasanya tidak sopan seorang Akashi Seijuurou melihatnya dalam kondisi semengenaskan ini. "Ma-maafkan a-aku—"

"Kenapa kau minta maaf?"

Kouki tergemap. Meragu dan dijerat takut, mencuri pandang pada teman Kuroko itu. Dia terkejut karena Seijuurou menatapnya bukan dengan tatapan menjustifikasi, mungkin berlebihan jika Kouki mengistilahkan dengan ketulusan—karena tidak seperti itu tepatnya—namun mungkin sedekat itu, atau mungkin hanya sekadar heran.

"Kalau karena aku terluka," Seijuurou menekan kompres es di pipinya yang mulai mati rasa oleh dingin, "kurasa seseorang dengan IQ rata-rata berbatasan dengan Anak Berkebutuhan Khusus, bisa mengerti semua yang terjadi ini bukan karena salahmu."

Panah imajiner menikam dadanya—harga dirinya. Kouki tercekat dengan komparasi itu, dan dia menggerung perlahan karena mendengar dengus geli pemuda yang duduk di kursi pengunjung ranjangnya. Bagaimana bisa ia diremehkan seperti ini, bukankah memang karena dirinya, seorang Akashi Seijuurou sampai terlu—

"Kau berpikir aku terluka karenamu."

—ka. Kouki berjengit ngeri. Ia hanya pernah mendengar, hal paling abnormal dari Akashi Seijuurou hanyalah meramal futuristik—mungkin suatu hari nanti ia bisa jadi seseorang dengan prediksi terakurat dari generasi paling mumpuni.

"Aku datang ke sana karena barangku juga dicuri. Mana kutahu kau ada di sana dan bos berandalan jalanan itu ternyata Sasaki bersaudara."

Seijuurou menelisik perubahan roman wajah Kouki—entah kenapa hampir seperti geli karena wajah orang di hadapannya terlalu jujur dan tanpa manipulasi emosi sama sekali, berbanding terbalik darinya.

"Aku terluka karena Adikku kehilangan kontrol emosi dan langsung serang dengan prioritas mendapatkan balik barang kami—mengingat barang-barang kami yang dicuri sangat berharga."

Kouki melihat dari salah satu mata yang sipit karena membengkak, Seijuurou menatapnya dengan pandangan yang menggigilkannya.

"Yang memutuskan untuk menolongmu saat itu bukan aku."

Volume suara Seijuurou yang memelan itu mengundang Kouki untuk menelisik ekspresi sang emperor saat itu.

"Adikku—atau kuyakin kau pasti telah tahu dari Kuroko tentang kepribadianku yang satu lagi, Furihata-kun."

Kouki mengangguk-angguk kaku, masih tidak sanggup bersuara. Dia menyadari Akashi Seijuurou yang ini adalah yang asli, dan pernah berbicara dengannya di pesta ulang tahun Kuroko sekitar dua bulan lalu.

Tetap saja, hal itu tidak menghilangkan keriyap ketakutan yang merayapi inci per inci badannya begitu berada sedemikian dekat dengan Akashi Seijuurou. Terlebih Akashi Seijuurou yang itu—persona sadistik dengan tendensi psikopat, mengingatnya saja mendenyarkan mulas di perut Kouki.

Kouki menenangkan diri sendiri dalam hati. Ochitsuke. Ochitsuke. Ochicuke. Ochicuke—owh. Seijuurou yang ini tidak akan menyabet seseorang dengan gunting seperti kali pertama mereka bertemu.

"Te-te-terima ka-kasih ... u-uhm, Akashi. U-untuk A-Akashi yang la-lain ju-juga." Dia tersenyum kikuk, merasa amat sungkan—dan terlampau ketakutan. "Ka-kalau bu-bukan karena kau, mu-mungkin ... a-aku sudah ..."

"Well, tempat itu adalah tempat yang buruk untuk mati." Seijuurou mengurvakan tipis lini bibirnya—tidak ada gunanya menunggu Kouki selesai bicara. "Nanti akan kusampaikan pada Adikku." Dia menatap Furihata lekat. "Terima kasih juga tadi sudah menolongnya."

Kouki hampir melongo—yang menorehkan impresi hampir menggemaskan karena matanya termasuk besar untuk ukuran orang Jepang tapi pupilnya begitu mungil. "A-aku?"

"Hmm." Seijuurou mengangguk seraya menatap lekat wajah pemuda di hadapannya. Tidak mengerti dirinya sendiri yang entah kenapa agak menyayangkan satu mata Furihata menyorot redup karena terhalangi bengkak membola yang berwarna biru legam. "Tidak kusangka."

Kouki merasakan wajahnya memanas. Pemuda sempurna di sisinya itu sebentar lagi mungkin akan mengomentari betapa mata duitan dirinya. Padahal perjuangan persistennya bukanlah sesederhana jumlah materi yang ia punya. "Uhm—"

"Ah, aku mengerti bukan uang itu yang tepatnya berharga bagimu." Seijuurou nyaris menggelincir senyum geli teruntai di wajahnya. "Asumsiku, mungkin dari cara atau siapa kau mendapatkan uang itu, atau uang itu memiliki arti karena akan kaupakai untuk sesuatu yang penting."

Wajahnya tidak menunjukkan keraguan. Raut "aku selalu benar" versi lunak dan santun, tapi entah kenapa lebih menyeramkan, lagi-lagi menyebabkan Kouki menatap Seijuurou seakan dia lebih mengerikan dari penjahat terantagonis di shounen manga.

Mana yang tidak mengerikan ketika kau dihadapkan dengan seseorang yang dapat mendelusuk seluk-beluk benakmu padahal kalian bukan seorang kawan lama apalagi memiliki relasi istimewa?

"Bagaimana aku bisa tahu?" Seijuurou mengubah posisi duduk, merilekskan diri dengan kaki kanan berpangku pada kaki kiri. Posisi duduk elegan, dan ia tetap mencari-cari jati diri Kouki memalui mata anomalinya—yang mungkin tidak setidakistimewa kelihatannya.

"Maaf, tipe orang sepertimu kurasa bukan yang akan menyia-nyiakan nyawamu begitu saja. Kau tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti bahwa uang masih bisa kau cari, sementara sekali kau mati, segalanya berakhir."

'Ya, aku sepengecut itu. Kalau aku punya pilihan, aku juga tidak akan ke sana. Hiiiie—d-dan ke-kenapa orang i-ini bisa a-ada di sini!'

Siratan non-verbal yang terpapar di wajah Kouki, menyebabkan Seijuurou menyekatnya dalam atensi. Orang ini memiliki tendensi inferior terhadap segala sesuatu mengenai dirinya sendiri. Kompensasi dari kriris kepercayaan diri, rendah diri.

Kini Seijuurou mengerti kenapa waktu itu adiknya berpikiran orang ini terlihat menyedihkan saat pertama kali melabuhkan pandangan pada Furihata Kouki—kenyataannya memang demikian.

"Kau punya tujuanmu: ingin mendapatkan uang itu. Aku punya tujuanku: mengambil tas dan ponselku. Jadi, ini kesepakatan tepat setelah kau pingsan—"

Seijuurou tertegun.

Tepat setelah ia berkata "kau pingsan", detik itu juga, Kouki benar-benar pingsan.

Kali ini, Seijuurou tahu pingsan pasien di hadapannya tidak disebabkan karena benturan di kepala atau tubuhnya yang ditoreh luka, melainkan seperti yang acapkali terjadi: Kouki pingsan karena ketakutan.

Seijuurou tidak mendapati dirinya tersenyum saat menyandarkan diri ke sandaran kursi dengan tangan membenarkan letak lengan Furihata yang sempat terjuntai dari ranjang persis orang mati—

"Bisa-bisanya pingsan lagi setelah tadi siuman."

(—tidak dengan sembulan kesadaran dan cercaan pemahaman bahwa bahkan Furihata tidak pernah pingsan tatkala berhadapan dengan adiknya—yang paling Furihata takuti.)

.

#~**~#

.

"... osu, sebentar lagi selesai~!"

Itu senandung yang menyela ringkik detik merayap di atas karpet lembut tempat mereka berada dan bunyi berbagai perkakas serta properti yang mereka timbulkan sedari tadi.

Binar kekanakan berpendar di mata yang nyaris identikal dengan yang lebih tua. Dia bersorak riang dengan nada kemenangan. Senang bukan kepalang melihat rangkaian yang telah mereka konstruksi berdua.

"Oke, tinggal pasang satu gerbong lagi—eh, mana gerbongnya, ya?"

Sesaat keduanya tolah-toleh ke sana kemari, tidak juga menemukan apa yang mereka cari.

"Aniki tadi taruh di mana? Aaah, tanggung sedikit lagi akan selesai!"

Bocah yang lebih belia menyibak kardus dan bungkus-bungkus plastik menimbulkan bunyi amat berisik. Menyitiri satu per satu yang tadi mereka preteli berdua.

"Maaf, aku lupa, Kouki. Tadi sepertinya aku pegang, lalu pas memasang cerobong asap aku taruh sepertinya." Cengiran itu diiringi penyesalan mendalam. Kakak dari kedua bocah lelaki itu bangkit dari posisinya dengan peralatan dan benda masih di tangan, kini menyingkap karpet tempat mereka duduk.

Beberapa saat mereka mengobarik-abrik tempat bermain itu. Sepetak wilayah kebebasan di atas karpet. Tempat di mana miniatur rel kereta api diapit jajaran pegunungan, melewati jembatan gantung di atas sungai, stasiun, dan replika orang-orang mini berhasil keduanya konstruksi dengan dedikasi sepenuh hati.

Yang lebih mungil akhirnya lelah mencari. Jatuh berguling di karpet berbulu lembut, dia menggembungkan pipi dengan mata mulai berkaca-kaca. "Kalau nanti tidak jadi—"

"—jadi, Kouki. Kita tinggal pasang gerbong terakhir, ayo kita cari lagi!"

Nihil di balik karpet, kakaknya membiarkan karpet tergelar seperti semula dan mulai meneliti rangkaian rel setinggi lututnya yang masih setinggi betis orang dewasa. Siapa tahu mereka salah pasang atau salah menempatkan. Atau ada di tempat terlupakan. Bocah yang lebih tua beranjak ke tempat sampah kering dan mulai mengaduk-aduk isinya.

"Aniki ... i-itu ju-juga sudah ba-bagus."

"Hah? Mananya yang bagus dari tanggung begitu? Kita tinggal menemukan satu gerbong—eeh?! Kouki, kau menangis?"

Adik itu menatap jam dinding di sela tubuh mungilnya yang merinding. "Se-sebentar lagi, Otou-san dan Okaa-san pulang, ka-kalau mereka tahu kau bersamaku—"

"Sssh. Tidak, tidak." Sang kakak mendekat pada adiknya yang mulai terseguk pelan, menaruh obeng yang ada di tangan kanannya, ia mulai mengusapi pipi basah serupa dango kenyal baru matang sewarna stroberi ranum. "Mereka tidak akan sempat tahu karena—"

Ketika anak kecil menangis, sudah jadi hal lumrah ketika tangis itu berefek menangiskan anak lain di dekatnya. Tapi meski mata sang kakak berkaca-kaca—akan bayangan orangtua yang sebentar lagi mengucap tadaima seraya menyeruak dari pintu dan mengajaknya pergi, pergi sementara adiknya ditinggal sendiri, membayangkan yang mereka bangun berdua tak terselesaikan, ia ingin menangis.

Namun ketika mendengar adiknya malah tersendat-sendat, menyedu maaf, sesaat ia tercenung tak paham.

Adiknya tidak bersalah—dia yang menghilangkan gerbong terakhir. Tidak ada yang salah dari kelelahan mencari dan ketakutan akan kedatangan dan menangis—

"—kalau kau sudah selesai menangis, kau bisa duduk manis dan jaga supaya rel miniatur kereta kita tidak jatuh?"

Dengan mata digenang bening dan isaknya seketika ditenggak hening, ia mendongak pada kakaknya yang tersenyum seraya membelai puncak kepalanya.

"Ta-tapi, a-anak lelaki tidak boleh menangis," jawab Kouki susah payah di sela tarikan napas tak beraturan dan lendir yang mengalir ke bibir.

Kakaknya tertawa pelan, tangannya tergerak membersihkan lendir yang teralir ke bibir, tanpa jijik mengusapkan ke jaketnya.

"Kata siapa tidak boleh?" Dia memiringkan kepala melihat adiknya berjengit. "Otou-san dan Okaa-san?"

Sang adik yang menggigit bibir adalah jawaban non-verbal untuknya. Dia berlutut di hadapan adiknya, menaruh benda-benda yang semula ia pegang, lalu lengan kecilnya yang kurus dan pucat terentang, merengkuh adik kecilnya sembari membubuh usapan menenangkan di punggung tubuh mungil dalam pelukannya.

"Aku lihat Otou-san dan Okaa-san juga menangis. Tidak adil kalau mereka bilang kau tidak boleh menangis sementara mereka sendiri menangis. Orang dewasa sering berkata sebaliknya dari yang mereka lakukan ... lucu, ya?"

Si kakak menarik adiknya untuk duduk di pangkuan. Bergumam merdu, lagu-lagu yang saat itu sebatas ia tahu adalah lulabi yang dulu kala seringkali mereka dengar dari acara televisi. Usia mereka tidak terpaut lebih dari hitungan jemari, tapi adiknya duduk dengan tangis menyurut dan menatapnya lekat dengan mata berpupil mungil yang masih begitu bening.

"Kalau terlalu sering menangis, kau akan dibilang cengeng."

Kakaknya itu menyibak rambut adiknya yang kusut dan melekat membingkai wajah menggemaskan karena airmata. Wajah polos adiknya terekspos.

"Kalau sesekali, tidak apa-apa. Walaupun menangis tidak menyelesaikan masalahmu, tapi itu bukan hal buruk. Untuk apa airmata diciptakan oleh Tuhan jika tidak ada artinya ketika ia diteteskan?"

Dendang kakaknya melebur bersama lengang ruang tempat mereka berada. Senyuman riang sang kakak memandat yang semula tersendat-sendat, adiknya berhenti terseguk—memandang kakaknya dengan lugu dan tidak tahu-menahu arti kata-katanya di antara bulir pilu yang melelehi pipinya.

"Airmata tidak buruk. Tidak selama setelah kau menangis, kau bisa merasa sedikit lega dan ingin berjuang lagi. Tanpa airmata, kau tidak bisa mensyukuri saat-saat di mana kau bahagia dan tertawa. Seperti sekarang ini—"

Bocah yang hanya terpaut dua tahun itu menekan hidung kemerahan bocah yang lebih muda darinya menggunakan telunjuk, nyengir kekanakan.

"—kau menangis sampai kau lega, dan aku akan mencari gerbong kereta terakhir kita. Mungkin setelah aku akan menemukan gerbong terakhir kita lalu menyelesaikan railroad, kau akan berjuang menghapus airmatamu dan tersenyum lagi."

Setelah itu, anak yang mengenakan jaket tebal tersebut memindahkan adiknya untuk duduk kembali di karpet. Saat bangkit, sesaat ia terhuyung, barulah berdiri susah-payah dan menemukan adiknya tercenung—masih raut wajah digurat bingung.

"Aaah ... gerbong kereta, kau di mana?" Bocah yang lebih tua itu kembali menelusuri barang yang bertebaran di atas karpet tempat mereka terduduk. Menggerung pelan merutuki diri melawan murung yang merundungnya tatkala matanya mengerling jam.

Ada yang akan tiba.

Ada yang harus segera selesai.

Ada yang memblur ruang pandangannya.

"Aniki!"

Adik yang mungil mengacungkan gerbong kereta. Bibir itu melengkung menyenangkan walau yang terluncur dari sana adalah seruan lugu kebahagiaan seraya tertatih berhati-hati memasang gerbong terakhir di jajaran gerbong lokomotif railroad mereka.

"Aniki, yang dari tadi Aniki pegang selain obeng dan rel bercabang itu, ternyata gerbong yang kita cari! Aaah, kenapa Aniki bisa melupakannya?"

"Mana—" Ketika berbalik, badannya oleng, langkahnya menyandung satu sama lain, lengannya tidak sengaja menebas rangka pilar railroad buatan mereka, "—ah!"

Rubuh.

Serupa domino yang jatuh runtuh beruntun memorak-moranda barisan keteraturan. Seperti memori yang terserpih secarik menjelma selarik.

Bayang-bayang yang ternyata telah datang dan memandang, membuat kebahagiaan sederhana yang termuda lantas terlayang.

"Sudah susah payah kita membuatnya, aku mengacau—ke-kenapa kau menangis lagi? A-ah, Kouki, maaf! Kau boleh marah karena kebodohanku, la-lain kita buat lagi, ya?"

Bocah kecil itu tidak tahu mana yang membuatnya menangis.

Mainan mereka yang dibangun, disusun, dan disempurnakan berjam-jam berakhir berdebur hancur semudah membalikkan telapak tangan di detik berikutnya; bayang-bayang dewasa yang datang adalah nyata dan menarik kakaknya yang ia ingat terakhir meminta maaf seraya memulas senyum sesal; seseorang dengan kata-kata yang benderang akan peringatan untuk tidak sembarangan ada di sana dan:

"Jangan menangis, Kouki."

Sebagaimana ketika anak kecil dihadapkan pada hal yang tidak ia mengerti tapi dijejali ajaran normatif, bocah tersebut mengangguk patuh agar terhindar dari kemarahan orang dewasa karena nalar mereka belum mampu (meski hanya untuk) memahami hal-hal sesederhana itu.

Bocah kecil yang kemudian ditinggal sendiri di atas karpet itu memungut gerbong terakhir. Gerbong satunya lagi. Cabang rel. Masinis. Jembatan. Rel. Lainnya. Satu per satu airmatanya menghujani semua itu.

Ia tidak tahu bagaimana cara menyusun semuanya, tapi ia ingin ketika kakaknya kembali dapat melihat railroad ini jadi dengan terstruktur rapi—di mana kereta mereka berderu menggebu-gebu melaju di rel.

Sebenarnya, manakah yang sebenarnya lebih baik untuk bocah sebelia itu?

Dimarahi karena tidak seharusnya menyita waktu kakaknya untuk bermain dan merangkai railroad, atau—

(Ia takut untuk berkata: "Aku ingin ikut.")

ditinggal menangis sendiri dengan mainan yang berantakan tanpa diajari bagaimana caranya menyeka airmata?

.

#~**~#

.

Wangi sakura, bau karbol, dan aroma obat antiseptik bukanlah kombinasi terbaik untuk merangsang indera penciuman. Tapi, hembusan ketiganya itulah yang membangunkannya, selain bias sephia menggali mata seperti berintensi mengintip mimpinya.

Tatkala ia mengejap, yang pertama kali ia lihat adalah bayang-bayang di balik layar visual, komedian tengah berpura-pura jatuh terpeleset demi meletuskan tawa para penonton di studio.

Dia mengerang pelan ketika arwahnya perlahan terkumpul dan mencicipi cambukan serupa maut di sekujur tubuh. Sakit bukan main. Rasanya ia ingin memaki diri, mengapa ia begitu lemah padahal sakit ini tidak sebarapa dibandingkan sakit yang orang lain rasakan, di tempat di mana sekali orang masuk maka hanya ada dua pilihan: sehat kembali atau mati.

Kepalanya yang kaku bergemertak pelan tatkala menoleh ke samping. Seseorang tengah berbaring di ranjang yang terletak lima langkah dari ranjang pasiennya.

Heart-attack.

Impuls tubuhnya berniat terduduk. Parau ia mengeluh. Sakit, ngilu hingga ke tulang-belulang. Intuisi membisikkan diri untuk lari, tapi apa dayanya karena rasa sakit mencekiknya agar berbaring pasrah di kasur dengan senyum yang tidak tampak seperti predator tervisualisasi seakan hendak memangsanya.

"Sebaiknya kau tidak banyak bergerak dulu." Suara itu tenang terkendali. "Kau bisa tidur lagi, ini masih terlalu pagi."

"A-A-Aka—"

Seijuurou menghela napas panjang."—bisakah kau tidak pingsan lagi, Furihata-kun? Ada hal yang mesti kita bicarakan."

Bagaimana bisa tidak pingsan ketika Furihata Kouki lagi-lagi harus berdampingan dengan Akashi Seijuurou?

Ya Tuhan, dari sekian banyak populasi manusia yang bertabur di muka bumi, kenapa Akashi Seijuurou yang tengah berbaring memegang remote televisi dan kini memintanya untuk tidak lagi pingsan?

Seijuurou memerhatikan bagaimana pemuda bertampang sebabak-belur kemarin—hanya saja telah bersih dari tumpah-darah—bertremor sembari komat-kamit. Diamatinya dalam diam bagaimana pebasket Seirin itu tengah terengah-engah meremat selimut berusaha menyingkirkan takut.

Kouki tidak tahu sudah berapa lama waktu terlewat, ia pikir ia telah menenangkan diri, tapi begitu menyadari Seijuurou tengah meliriknya—atentif dengan mata yang mirip matahari tapi semerah warna hati, ia tergemap. Barulah bahunya menurun dengan kesadaran bahwa apa pun yang ia lakukan, ia tidak akan bisa merasa baik-baik saja menghadapi emperor penebar impresi horror.

"I-ini bu-bukan di IGD?"

Itu pertanyaan retoris pertama yang Seijuurou dengar setelah kata pertama yang Kouki ucapkan adalah namanya.

"Ya. Kamar untuk kita beristirahat." Seijuurou memijit tombol remote tanpa melihat, asal mengganti channel. Yang jelas, acara komedi itu tidak menghibur sama sekali—dan ia lebih baik tidak menonton ketimbang melumrahi acara komedi saat ini lebih sering jadi ajang pembodohan diri.

Kouki tersentak kaget. Tangannya terangkat hendak menjadi tumpuan bangun, tapi tubuhnya mengkhianati kemauannya. Tiang infus terguncang karena pergerakannya.

"Ke-kenapa di si-sini—"

Seijuurou tidak luput mematut kalut Kouki walau hanya dari sudut-sudut matanya.

"Aku yang minta." Seijuurou menyela, membiarkan Kouki menatapnya—dan menyadari betapa ceruk mata itu melekuk seperti alis yang meliuk. Ah, masih begitu takut.

"Setelah kau pingsan lagi semalam, ada kecelakaan beruntun. IGD penuh dengan korban. Jadi daripada aku harus menelantarkanmu di ruang tunggu rumah sakit karena situasi kacau-balau, aku mereservasi kamar rawat inap untuk kita—toh, kondisi kita seperti ini."

"Ba-bagaimana a-administrasi?" tanya Kouki khawatir.

Seijuurou menggeser posisi nyamannya yang merebah jadi setengah duduk, bantal ia pakai untuk mengganjal punggungnya. "Atas nama kita."

Pemuda yang bersandar di bantalnya itu menekan keinginan untuk tersenyum dingin, berpikiran mungkin Kouki khawatir dengan biaya administrasi di ruang seprivasi ini.

"Pem- ... bayarannya?"

Nah, kan.

"A-apa bisa ba-bayarnya ditangguhkan dulu?"

Seijuurou menarik selimut sampai sebatas dada lantaran hawa fajar menginfiltrasi ruangan. "Tidak. Kita harus bayar lunas, paling tidak begitu keluar dari kamar ini."

Selagi kesunyian bersaing dengan dengung air conditioner dan melodi terlantun melalui acara musik hits dari televisi, Seijuurou menalar bagaimana caranya menyampaikan tentang kesepakatan negosiasi dan apa saja yang perlu mereka diskusikan—di sisi lain mengenyah pemikiran tentang Kouki yang akan kalang-kabut bila dihadapkan dengan perkara finansial.

"Ka-kalau ka-kau bayar dulu ... nanti setengahnya a-aku lunasi begitu uangku kembali atau a-aku terima uang lagi, a-apa bisa?"

Ini sama sekali tidak terduga.

Seijuurou yang terbagi konsentrasi antara intro tayangan video klip dari lagu nomor satu di puncak lagu terpopuler saat ini dan susunan bahasan pembicaraan mereka, menoleh perlahan pada Kouki yang tengah menatapnya—tepatnya sesuatu melampaui pelipis atau sisi kepalanya

"Kukira aku mesti membayar semuanya karena uangmu dicuri."

–tidak masalah juga Seijuurou bayarkan semua. Biaya rumah sakitnya biar ditalang oleh asuransi pribadi, punya Kouki biar ia bayarkan dengan uang pribadi—sepahit-pahitnya itulah yang ia kira akan terjadi.

"Ja-jangan!" Kouki menggeleng cepat-cepat. Dia melirih, "a-aku tidak ingin berhutang."

setidaknya, (kalaupun harus) tidak pada orang sepertimu. Kendati tidak disuarakan, dari lirikan semata Seijuurou mengetahui itulah yang tak mampu Kouki katakan.

"Baiklah. Biaya administrasi ruangan ini kita bagi dua, kalau pengobatan itu bergantung pada medikasi yang diberikan pada masing-masing dari kita."

"Terima ka-kasih, Akashi."

Seijuurou tersenyum tipis tatkala melihat Kouki cepat mengangguk menyetujui keputusannya. Pemuda ini yang terlihat biasa-biasa masih punya harga diri tinggi sebagai lelaki.

Sekali lagi keduanya terdiam, hanya senandung lirik lagu yang menyela saling lirik di antara mereka—sebelum Kouki akhirnya memilih menatapi tirai di sisi ranjang menghindari telisikan Seijuurou yang melabuhkan atensi kembali pada televisi.

.

Tetaplah

Di sisiku dan mengajakku merambah dimensi

Galaksi melodi yang tidak kumengerti

Menyentuh hati yang tersepi

.

Ironis sekali lagu soulful melankolis seperti ini menjadi latar suara yang mengapar ruangan mereka.

Seijuurou khatam paham tentang musik klasik, tapi karena musik terkini cenderung dinamis, ia tidak begitu menguasai lika-liku melodis yang terdengar magis—setidaknya ia menikmati alun akustik dengan paduan lirik yang amat artistik.

"A- ... Akashi."

Kouki berjengit tatkala sepasang mata magenta itu, diterpa penerangan remang kamar mereka dan muntahan warna-warni melankolia cahaya dari televisi, kembali meliriknya. Seakan ada yang menusuk di antara celah rusuk, berprasangka dirinya bahkan tidak perlu ditatap seutuhnya oleh Seijuurou—karena mungkin ia memang tidak benar-benar penting.

Penting atau tidak, yang penting ia ingin mengucap, "Terima ... kasih."

Ini tidak seperti ketika ia harus menghadapi Seijuurou yang satu lagi. Dan bukankah di hari ulangtahun Kuroko mereka sempat berbicara. Seijuurou yang ini tidak akan menyambitkan gunting ke pipinya jika ia salah bicara, atau salah berulah, ataupun—

"Su-sudah menyalamatkanku da-dari tempat itu. Dan di IGD. Da-dari Noriko-san—pe-perawat yang mengobati ki-kita."

Kouki berjuang untuk lurus menyelami wajah penyelamatnya—meskipun hanya lirikan yang diterima olehnya dan tubuhnya dijalar getar parsial.

"U-untuk kamar ini juga." –untuk pengertian dan kata-katamu juga.

Kouki tertawa kikuk seraya menggaruk tengkuk, mana berani ia mengungkapkan yang terakhir. Dia beralih menetralisir kecanggungannya dengan menatap televisi, pandangannya seketika itu menyendu.

"A-aku ta-tahu kau melakukannya ti-tidak demi aku, ta-tapi, aku tetap berterimakasih."

Seijuurou melunak melirik Kouki yang mengapresiasinya. Ternyata Kouki bukan seseorang yang hanya bisa ketakutan padanya—mengilas balik rangkaian peristiwa, bisa jadi mungkin si pemuda ordinari ini adalah orang yang selalu memerhatikan baik-baik hal di sekitarnya.

Memang dia melakukan semua itu tidak demi Kouki. Prioritasnya sejak keluar dari sarang penyamun hingga saat ini, tetap demi dirinya sendiri—demi esensi fundamental yang jadi penyokong eksistensinya selama ini.

Seijuurou hendak mematikan televisi dan memulai pembicaraan serius, tapi tertahan dengan roman wajah Kouki yang memilu. Sepintas melirik, bibirnya lantas meliukkan senyum asimetris. Mungkin fenomena kaum remaja zaman sekarang, menggelindingi memori seraut wajah kekasih hati.

Seijuurou memang tidak mengerti afeksi yang tipikal begitu, bukan karena ia aromantik atau tergolong anomali—bahkan tuduhan tak berdasar Mayuzumi tentang dirinya bertendensi aseksual tak dihiraukan, tapi ia punya mimpi-mimpi yang perlu dirajut agar menjadi selendang masa depan yang terbentang sesuai kehendaknya.

Afeksi seperti itu bukan tujuannya.

Namun berempati—atau mengesampingkan ia sendiri menikmati mendengar lagu tersebut, intuisinya menginstruksi dirinya agar diam menyimak—seperti Furihata Kouki yang bergeming di ranjangnya.

Kouki tergetar menghirup oksigen seakan paru-parunya terkikis oleh zat kimia lain anomali yang tidak terfiltrasi di faring.

Mendistorsi dunianya yang hampir tersentris pada klimaks lagu di televisi, dia beranjak duduk. Susah-payah. Tersengal pelan, mengganjal dirinya dengan bantal—seperti yang Seijuurou lakukan—dan berusaha tidak mengeluh dengan tubuh yang serasa remuk bergemertak di seluruh penjuru.

"U-uhm—"

"Hm?"

"Te-tentang ke-kedua kembar, kelompok itu. A-apa kau sudah tahu?"

Seijuurou mengecilkan volume televisi, tampak puas dengan klimaks lagu tersebut—meski dia bukan penikmat musik pop, lalu menaruh remote di meja yang membatasi ranjang mereka. Sebelah alis terkernyit tipis mendengar pertanyaan Kouki.

"Bukankah kau yang justru perlu tahu?"

Kouki mengejapkan mata. Beberapa kali, dan Seijuurou menanti. Agak takut tatkala sepasang mata merah itu terpicing dan airmuka yang tak beriak—tidak akan ekspresi apa pun.

"A-apa saat kau kecurian ba-barang-barangmu ... kau tidak merasa ... aneh?"

Giliran Kouki menunggu sembari mengamati Seijuurou yang diam—entah mencerna pertanyaannya atau mengingat sesuatu atau memilah kata menyusun jawaban.

"Ya." Anggukan afirmatif. Seijuurou mengingat yang terjadi padanya. "Saat uangku dicuri dan barangku diambil, orang-orang di sekitar tidak ada satu pun yang menghubungi pihak berwajib. Mereka diam saja."

"Itu juga te-terjadi padaku." Kouki mendesah resah. "Kau ... mengerti?"

"Hm. Saat adikku bertarungan dengan berandalan itu, aku menganalisis." Sebelah jemari menyangga dagu, tenornya menurun menjamah titik bifurkasi—mendingin. "Tapi mengingat yang kautanyakan sama seperti yang wanita penjual bunga dan petugas kepolisian setempat katakan padaku saat aku mencari mereka, konklusiku bisa jadi ada benarnya."

"Wa-wanita penjual bunga—?" Kouki memiringkan kepala. Ekspresi ketakutannya melumer, tersisihkan oleh secercah cerah. "Du-dua blok dari rumah sakit ini, berseberangan dengan dua gedung tempat jalan masuk ke gedung bekas kantor yang dijadikan pusat perkumpulan komunitas preman itu?"

"Benar." Suara Seijuurou meringan—tanpa disadari olehnya sendiri, tidak sadar dampak dari Kouki yang tidak sesuram beberapa kali pertama mereka bicara.

"Dia menghubungi petugas kepolisian setempat, kukira akan meringkus mereka, ternyata dia datang atas permintaan wanita itu untuk membantu kita—membawa ke rumah sakit." Nada suara Seijuurou kembali serius saat menambahkan, "Seolah wanita itu tahu kondisi kita akan seperti ini."

"Tentu ... dia tahu." Kepala coklat itu merunduk. Tertawa setengah hati—menggema tipis di ruangan hingga terdengar sumbang. Kali ini giliran Kouki menyerap fitur profil Seijuurou melalui lirikan letihnya. "A-apa kau bisa melakukan sesuatu?"

Seijuurou berekshalasi singkat. "Kalau aku bisa, kenapa aku membuat penawaran dengan mereka, hm?"

"Ta-tapi—ah." Kouki mengangkat kepala. Wajahnya pias. Ekspresi digurat horror maksimum.

Seijuurou beringsut sedikit, agar memudahkannya menatap lawan bicaranya—yang kini tengah berkeringat dingin dengan roman wajah diterror asumsi-asumsi horror.

"Kalau kaupikir aku seprestis itu sebagai seorang Akashi—seperti yang selalu orang lain duga—lantas aku bisa melakukan apa pun yang aku kehendaki, kau salah sangka."

Kata-kata itu menepis kengerian Kouki dari dunianya sendiri, ia merinding menyadari Seijuurou mengempas aura aku-selalu-benar khasnya.

"Hanya nama keluargaku yang prestis, Akashi. Tidak berarti Akashi Seijuurou tidak prestis, hanya saja posisiku saat ini belum seinfluensif itu," papar Seijuurou dengan raut datar—walau indera pencecapnya didecit pahit dengan kejujuran akan kenyataan yang ia ucapkan, "kalaupun aku memperkarakan kasus ini ke ranah hukum—dengan tuduhan kekerasan dan pencurian, sementara aku tidak tahu back-up hukum kembar sialan itu, bisa-bisa itu semua diputar balik tanpa aku ketahui."

Menemukan Kouki menyarangkan tatapan dengan layangan tanya—hampir disuarakan, Seijuurou kembali bicara, "No money politic."

Ekshalasi yang terlalu kilat entah kenapa membuat Seijuurou seperti tertawa satir. "Jika aku memanfaatkan prestisnya nama Akashi, lalu membuat media massa menyorot, otomatis itu akan berpengaruh pada keluarga dan perusahaan Akashi. Gangguan seperti itu yang tidak Ayahku inginkan."

Seijuurou terdiam. Ia tidak perlu memapar hal tidak penting seperti bahwa gangguan seperti itu bisa jadi hanya membuat ayahnya menjustifikasi arti eksistensinya.

Kouki menggeser posisi badannya untuk menghadap Seijuurou yang terlihat seperti sedang menerawang. Bergidik pelan dirinya karena tawa mengimpresi sinis itu.

"Publik hobi membuat opini berdasarkan impresi, hanya berita yang berdasarkan fakta dan data—kalau bukan spekulasi belaka—"

—ah. Pandangan Kouki mulai berkunang menyimak analisis Seijuurou.

"—skenarionya, bisa jadi kedua kembar itu akan memosisikan diri mereka sebagai korban, dan aku difigurisasi sebagai tersangka. Walau aku yang memperkarakan lebih dulu agar hukum ditegakkan memanfaatkan prestis nama Akashi, justru itu akan jadi backfire—serangan balik—untukku, keluarga dan perusahaan berelasi dengan Akashi lainnya."

Kouki merengkuh takjub dan menelan kekaguman dalam diam. Bagaimana bisa persona Akashi Seijuurou yang membahasakan diri dengan "aku" ini, dalam kondisi persona "saya" yang waktu itu tengah disiksa gila-gilaan, menganalisis semua hal itu sampai sedetil ini?

"Ka-kalau ti-tidak salah dengar dari informasi yang beredar di masyarakat kota ini," ucap Kouki di sela kuapnya kemudian, "Ayah dari pimpinan komunitas itu—si kembar—adalah hakim. Ibunya jaksa. Ada salah anggota keluarga lain juga di kepolisian."

Seijuurou menggeleng sekilas. "Kukira hanya salah satu, ternyata semuanya. Serakah sekali." Dia mendengus pelan. "Pantas masyarakat diam saja melihat apa yang terjadi. Mereka mana berani dengan backing seperti itu."

"U-untung kau tidak gegabah, A-Akashi. Kalau kau langsung lapor polisi, entah apa yang akan terjadi."

Mulanya ia ingin menyanggah—tentu saja kendati Seijuurou membuat keputusan dalam waktu singkat, tidak berarti ia akan ceroboh dengan menginjak kamuflase ranjau yang bertebaran di balik latar belakang si kembar tersebut.

Namun tatkala ia mematut pemuda yang dulu pernah me-marking-nya saat di Winter Cup, wajah ketakutan—dan rasanya tidak pernah ada ekspresi selain ketakutan yang pernah ditampilkan Kouki untuknya—itu tak ada seperti dugaannya, melainkan roman apresiatif dari seraut wajah naif.

Dan tepian bibir menanjak naik. Sedikit. Kurva tipis menghangatkan terukir sembari bibir menggulir puji.

Yang biasa Seijuurou lihat adalah ketakutan di wajah Kouki.

Tidak seperti ketika Kouki tertawa di ulang tahun Kuroko dan memegang konfeti di sisinya lalu ceria mengucap selamat ulang tahun—mungkin itu tidak akan pernah terjadi untuknya, toh, Seijuurou juga bukan siapa-siapa untuknya. Tapi ketulusan itulah yang membuat kerlingan Seijuurou padanya melembut.

"Memasuki tempat itu adalah tindakan paling gegabah," ujar Seijuurou dalam penyangkalan terhalus. Pandangannya melunak seiring senyum Kouki terlihat sedikit lebih eksplisit dari sebelumnya. "Apa kau dengar negosiasi yang kuajukan atau kau pingsan?"

"So-soal itu aku dengar." Kouki mengangguk sekilas. Alisnya berkerut, hampir bercumbu di atas pangkal hidungnya. "Ja-jadi keputusan mereka?"

"Tentu saja mereka terima." Seijuurou menatap lawan bicaranya yang melampiaskan getar di tangannya dengan meremat selimut hangat. "Mereka menerima. Tim kita hanya kita berdua. Dua minggu dari sekarang—sesuai yang aku minta, agar kita bisa memulihkan diri dan berlatih dulu. Sabtu, pukul sembilan pagi."

"Sabtu ... dua minggu dari sekarang ... jam sembilan pagi?"

"Kau sudah ada aktifitas yang akan dilakukan?"

"A-ah, ti-tidak ... tidak jam-jam pagi, i-itu pun kalau jadi."

"Bagus."

"Ke-kenapa kita berdua?"

Tanya tak terduga mengapa berdua atas laporannya itu sesaat membungkam Seijuurou. Pemuda itu menelisik baik-baik maksud yang Kouki tanyakan.

"Ma-maksudku, ka-kau bisa saja be-bermain basket menghadapi me-mereka langsung. Kau tidak akan kalah. Ka-kau tidak bu-butuh aku untuk pertaruhan pertarungan ba-basket ini, kau tetap bisa menang se-seorang diri dan mendapatkan ba-barangmu yang dicuri.""

Refleks airmuka datar Seijuurou beriak akan geli. Tergelitik kejujuran Kouki.

"A-apa aku salah?"

"Tidak." Seijuurou menggeleng. Matanya memicing, bibir menekuk senyum yang dapat salah-kaprah terlihat seperti seringai.

Seolah Kouki tahu saja bahkan ketiga Mukan no Gousho sekaligus melawannya tetap tak bisa mengalahkannya. Kouki memang atentif, tapi masih begitu naif.

Namun yang membuat Seijuurou entah kenapa sedikit lebih ekspresif pada orang yang baru dikenalnya ini, hanya karena inferioritas dan mawas diri Kouki yang lebih tinggi dari orang biasa pada umumnya.

"Aku bisa melawan mereka berdua sekaligus dan aku yakin tidak akan kalah." Seijuurou mengangkat telunjuknya, memosi satu poin penting. "Tapi, mereka juga sangat tahu hal itu. Makanya, aku bilang kita berdua. Kembar licik itu tidak mengenalmu—mereka tidak tahu permainanmu. Namun, asumsi mereka terbangun dari kau yang tidak berdaya dipukuli oleh kemarin."

Tidak berdaya—ya, Akashi Seijuurou selalu benar. Tapi menandas lugas kebenaran tidak berarti mendengar pernyataan berkonten kebenaran itu lantas jadi terasa menyakitkan—Kouki miris mendengarnya dan mengenang kenaasannya kemarin.

"Ah ... mereka berpikir aku sangat lemah." Kouki mengangguk-angguk paham, lebih pada dirinya sendiri. "Ja-jadi, mereka berpikir a-aku akan menjadi pe-penghambatmu, menyulitkanmu menang dan mendapatkan kembali barang curianmu."

Seijuurou mengangguk singkat. "Benar."

"Ta-tapi, itu juga benar." Kouki menggerung murung. "Aku ... hanya akan jadi penghambatmu u-untuk menang."

Ternyata dia sangat sadar diri. Tidak banyak orang yang mau mengakui bahwa mereka tidak banyak berguna atau malah jadi penghalang keberhasilan seseorang. Seijuurou lekat menatap pemuda dengan bengkak di salah satu matanya yang mengempis sedikit dibanding kemarin.

"Benar."

Panah imajiner bermanifestasi dari monosilabel itu menghunus tepat ke hati Kouki. Kejujuran dengan kebenaran memang tidak selalu membahagiakan.

"Itulah pertaruhan sebenarnya."

Kouki mengangkat kepala, tercenung memandangi Seijuurou yang bertutur serius padanya.

"Mereka akan memanfaatkanmu untuk mengalahkanku. Kau bisa jadi peluang mereka untuk mengalahkanku, tapi itu tidak akan terjadi karena aku akan melatihmu."

Seringai lamat-lamat tersemai di wajah berbingkai helai-helai semerah maple di musim gugur.

"Kau pointguard. Tugas point-guard bukan jadi penghambat. Peranmu adalah sebagai seseorang yang membuka ruang untuk menyerang—dan peluang pemain lain mencetak skor. Kau pemain suportif yang bermain sangat baik untuk mendukung permainan anggota timmu."

Biner pupil semungil biji leci disiram manisnya warna coklat itu terbeliak.

"Ba-bagaimana kau bisa ta-tahu? A-aku tidak—"

Sebelah alis terangkat tipis. "—kita pernah berhadapan. Saat Winter-Cup."

"Ta-tapi aku ... aku tidak banyak berguna—"

"—bukankah kau berhasil mengeksekusi rencana pelatihmu dengan baik untuk membiarkanku mempenetrasi defensi Seirin dan menghadapi Kagami dengan mengumpankanmu? Lalu kau bergerak kilat langsung menutupi Kagami yang me-marking-ku dengan beralih pada Hayama."

Akashi menelisik ritmik ekspresi Furihata yang berganti serupa siklus musim. Ketidakpercayaan ditujukan padanya, tapi Akashi tidak mendramatisasi yang terjadi, ia hanya mengujar rencana yang susah disusunnya sejak ratusan menit tergulir.

"Ini sama seperti ketika kau menembakkan shoot biasa-biasa saja itu dan mencuri angka, kelihatannya biasa, tapi dua poin telah kaucuri. Ini karena kau off-guard dan disepelekan orang lain. Kau mengerti?"

Kouki menggeleng lamat, tidak bisa menyisih perasaan anomali menggeliat di hatinya. Seperti diingatkan pada memori masa kecilnya di mana ia akan mengangguk ketika diberitahu orang dewasa hanya agar orang dewasa tersebut berhenti menuturinya dan ia tidak dimarahi.

Kini ia bukan lagi anak kecil, ada begitu banyak hal dari ruang pengetahuan tidak terlimitasi di dunia ini yang tidak ia pahami, tapi sekeping hal ini saja bisa ia mengerti kendati hanya sedikit.

"A-aku tidak bisa membayangkan, ta-tapi akan kucoba." Sedepa jeda, ia menyadari sesuatu, lantas dahinya berkerut dalam tatkala bertanya, "La-latihan? Tapi, ba-bagaimana denganmu?"

"Kita masih libur kenaikan kelas, tidak masalah."

"Ma-maksudku, kau jadi bolak-balik Kyoto-Tokyo—"

"—itu pun bukan masalah."

"Liburan ... a-aku tetap ada latihan basket."

"Aku juga ada urusan yang harus kuselesaikan tapi akan kuusahakan. Ah, pemenang memang berbeda, ya. Kapan jadwal latihan basketmu?"

"A-ahaha. Ha-hasil Inter-High tetap membuat kami frustrasi. Kecuali hari Minggu, dari jam delapan sampai jam du-dua belas."

"Kita latihan setelah itu."

"Ta-tapi, kita mau latihan di—ah."

"Apa?"

"A-ada lapangan basket tidak terpakai dekat area taman rumah sakit ini. Bi-biasanya sekitar tempat itu dipakai untuk pasien yang me-menjalani terapi tertentu atau pemulihan. Err, seringnya pasien dari bangsal sakit jiwa."

"Apa bisa kita pakai di sana?"

"Te-tentu saja bisa. Itu juga terbuka untuk umum."

"Baiklah, kita latihan di sana saja."

"Mulai ka-kapan ki-kita latihan?"

"Lebih cepat lebih baik. Besok, kalau bisa. Kita hanya punya dua minggu."

"Be-benar juga, lagipula kalau kita te-terlalu lama di sini, entah harus bayar berapa." Kouki melenguh pelan memikirkan nominal biaya administrasi yang menunggak.

Seijuurou menegakkan tubuhnya, teringat hal paling krusial. "Aku bisa saja menelepon ajudanku atau salah satu teman agar datang ke sini, lalu menginformasikan pada keluargaku apa yang terjadi. Tapi, ponselku dan barang-barangku—termasuk dompet serta uang—ada dalam tas. Aku benar-benar tidak ada uang sepeser pun atau akses untuk menelepon."

"A-ajudan?" Sweatdrop. Tidak mengherankan, dia seorang ningrat.

"Ya, aku hanya perlu menelepon."

"Bagaimana ini?" Kouki mengerang frustratif. "U-uangku juga ada di mereka ... aaah, padahal aku harus segera membayar—" Pemuda itu merintih pelan tatkala badannya tidak sengaja termosi menegak. "—sa-sakit."

"Berhati-hatilah. Kau harus cepat pulih." Seijuurou mengingatkan, menatap dengan secarik simpatik.

Kouki menggeleng-geleng, ditatapnya Seijuurou penuh harap. "Ma-maksudku, ka-kalau ada alat komunikasi saja, ka-kau bisa menghubungi seseorang, 'kan?"

"Ya. Telpon, akan ada yang kemari melunasi biaya administrasi, dan aku bisa pulang." Seijuurou menghela napas pendek. "Walaupun akan sulit untuk melaporkannya pada Chichi-ue," gumamnya dengan tenor bervolume rendah.

"A-aku akan membawakanmu telpon."

"Bagaimana caranya?" Kini ganti Seijuurou memulas ekspetas di ekspresinya. "Apa ponselmu tidak mereka ambil?"

Kouki sekali lagi menggeleng. "I-itu juga mereka ambil." Senyumnya terbit kemudian. "Ta-tapi aku akan pinjam."

"Pinjam?"

"I-iya." Kouki memandang jam dinding, terkejut karena ternyata baru pukul lima pagi. "Te-ternyata baru jam lima. Err ... semalam—?"

"Kita hanya di IGD sampai jam sebelas. Kita masuk ke kamar ini sekitar jam dua belas—setelah aku mengurus registrasi rawat-inap."

"Kau ... ti-tidak tidur?"

Seijuurou mengangkat sebelah alis, tidak mengerti dengan Furihata yang menatapnya cemas. "Tidur, kira-kira sampai pukul empat."

Sisanya, ia tidak akan mengatakan bahwa ketika posisi tidurnya berganti dan rahang yang cidera terhantam tinju itu tertekan bantal—rasanya terlampau menyakitkan sehingga Seijuurou terpaksa bangun menahan deraan sakit.

"Ma-maaf, aku baru bisa me-meminjamkan ponsel kira-kira jam sembilan. Jadi, ki-kita masih punya banyak waktu." Kouki berujar dengan mimik diderik sesal.

Kenapa harus jam sembilan pagi? Pada siapa orang ini akan meminjamkan telpon untuknya? Apa pada perawat yang tampaknya mengenalnya? Tidak, perawat itu tak bersahabat. Jam itu tepatnya waktu kunjungan pasien. Dan mengingat kata-kata perawat itu—

"Aku mengerti." Pemahaman menjentik benak Seijuurou. Diangsurkannya senyum pengertian. "Bagaimana kalau kita istirahat lagi? Itu yang kita butuhkan untuk saat ini."

"O-oke."

Seijuurou meraih remote untuk memadamkan televisi, kemudian mengubah posisinya untuk kembali merebah dengan kepala terlabuh di bantal.

Seketika kamar rawat-inap kelas dua mereka yang terdiri dari enam tempat tidur terisi hanya oleh mereka berdua—untung saja, kerontang akan cahaya yang tidak lebih terang dari benderang kunang-kunang.

Namun lampu bernuansa oranye sendu dipadu tirai krem pucat antar ranjang menyebabkan warna-warna terbias sephia, mungkin kecoklatan, seperti pemuda yang melirih letih karena berusaha membenahi posisi ternyaman di tempat tidurnya.

Seijuurou yang rahang kanan dan pelipisnya terluka paling parah, memutuskan untuk berguling ke samping kiri agar bagian kanan wajahnya tidak tertekan bantal—tidak dengan resiko ia akan terbangun menahan digigiti nyeri. Dia melihat tirai pembatas di antara mereka tergerai, dan mempertimbangkan perlukah ia geser menutup agar matanya lekas terkatup.

Kouki melenguh seraya menyeka peluh yang menyembul di dahinya karena menahan nyeri sampai ke sendi-sendi. Untunglah setiap gugusan sel dalam tubuhnya tidak memiliki mulut. Jika iya, niscaya mungkin mereka telah histeris dengan distopia termenyakitkan nyaris di sekujur tubuh. Dicarinya posisi ternyaman untuk tidur kembali, barulah ia memutuskan untuk berguling sedikit ke kiri dan menarik selimut sebatas bahu.

Dalam temaram ruangan bernuansa kecoklatan, pandangan keduanya bertemu.

Kouki tidak bisa membuang pandang kemanapun, indera pengelihatannya tersekat ruang batas. Ke kanan hanya ada bantal, ke kiri hanya ada langit-langit ruangan, ke atas dan bawah hanya ada fabrik kain bantal serta selimut. Ingin sekali ia bisa bergerak bebas, lalu menarik gorden agar membentang membatasi keduanya.

Mencari posisi ternyaman untuk beristirahat saja menyukarkannya bernapas normal, apalagi turun dari ranjang untuk menyekat privasi antara dirinya dan Seijuurou. Otomatis ia hanya bisa tergugu membenam setengah wajahnya dalam gumulan selimut.

Mata merah magenta, terspasi lima langkah antar ranjang, berpendar redup (tetap terlihat, seterang kunang-kunang. Namun Kouki ragu apakah ada kunang-kunang berspektrum merah) tapi belum pula terkatup.

Kouki menggigit bibir. Ingin memejamkan mata—kantuk telah terantuk di kelopak matanya yang memberat, tapi mengapa tak juga terpejam, malah terhipnotis dengan mata di seberang sana—terang di antara remang sephia dan putihnya selimut serta sampul kain bantal.

"Kau ingat saat kita bertemu di ulang tahun Kuroko? Apa yang aku katakan saat kita bersulang?"

Suara di sana tidak seperti tadi. Bukan yang beresensi konfidensi. Bukan juga bernada selayaknya analis profesional. Tidak pula emperor penebar teror menimbulkan kesan horror. Hanya tenor tenang, seakan suaranya itu dapat menyenandung lulabi merdu hingga matanya melayu oleh kantuk atau membuat jantungnya bergemelutuk menubruk rusuk.

Seijuurou membiarkan pertanyaannya dijawab non-verbal, anggukan kaku Kouki—yang kini siluetnya mirip selubung salju di hamparan jalan—masih terjangkau abiliti visi anomalinya.

"Akan sangat menyenangkan jika kita bisa berhadapan lagi."

Kouki tertawa setengah hati tanpa suara. Tentunya ia paham yang dimaksudkan Seijuurou sebagai berharapan adalah tidak seperti sekarang. Dan ia ingin merutuk pelan mengapa ia tak membunuh momen ini dengan lekas jatuh tertidur, karena waktu ini (momentum penanda memori anomali ini) mulai terasa seperti tidak akan berakhir.

Pemuda yang kondisinya jauh lebih buruk, berdebur babak belur, menurunkan selimut sebatas dagu, lalu menanggapi apa yang ia kira terlintas di benak lawan bicaranya. "Ternyata ... kita malah harus setim. I-ironis, ya?"

Andai Kouki tidak terlalu pengecut, ia takkan sungkan mengaku ini bukan skenario yang ia inginkan untuk tereksekusi. Tidak pernah terukir imaji, tidak juga bahkan ia ingin berdelusi dengan peristiwa seperti saat ini yang tengah tejadi.

Berbaring berseberangan dengan mantan lawan dan saling berpandangan dalam minimnya penerangan ruangan.

"Tidak apa-apa." Tawa ringan merintik ruangan. Mana menyadari menggelitik hati seseorang—lawan bicaranya. "Meskipun kepribadian kita sangat berbeda, yang kita butuhkan adalah tujuan yang harus kita capai degan kemenangan. Yoroshiku onegashimasu, Furihata-kun."

"Ha-hai', yoroshiku onegaishimasu."

Sangat berbeda.

Bukan kepribadian mereka saja yang direntang dengan diferensiasi tidak terkalkulasi semana jauhnya. Yang satu entitas ordinari, satu lagi individu absolut dengan perfeksi.

Segalanya dari mereka berdua, amat berbeda.

Segalanya berbeda selamanya.

Itu yang keduanya sadari.

Tak terbayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, hingga sekalipun mata mereka akhirnya meredup lalu terkatup, tidaklah hilang bayang-bayang akan terang warna mata mereka satu sama lain.

.

#~**~#

.

"Besok aku ada pertandingan basket lagi."

Siluet bocah itu beringsut untuk duduk di atas tebalnya selimut. Menyambut tangan yang membelai kepalanya lembut.

Tanya yang lemah itu bahkan tidak mengungkapkan bahwa entitas tersebut sebenarnya telah begitu lelah. "Benarkah? Final kejuaraan nasional sekolah dasar?"

"Hmm." Dia tersenyum polos merasakan jemari halus menjumput pelan helaian rambutnya.

"Kau pasti bisa menang."

"Tapi ... besok pertama kalinya aku berkompetisi dengan kejuaraan nasional."

"Gugup?" Tangan yang dilekati jarum infus tersebut beralih menggunakan ibujari membelai pipi lembut.

"Tidak terlalu. Tapi ... ah, tidak ada yang bisa menontonku?"

Dia tertunduk penuh sesal. Terdesak sesak, merintih, "Maaf."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti." Senyuman itu kekanakan, menggemaskan, dan individu yang melihatnya tersesakkan karenanya.

Sosok yang terbatuk itu memandang sejenak seraut wajah belia di hadapannya. Masih begitu murni. Lantas satu tangannya yang bebas memungut benda yang sudah ia siapkan sejak mengetahui entitas mungil ini akan menghampirinya di kamar nomor dua belas itu.

"Untukmu."

Terbubuh kecupan hangat di pipi lembut itu.

"Menanglah, Seijuurou."

Memento itu isyarat akhir untuk dia yang waktunya hampir habis tergulir. Samar mengetahui dirinya akan abadi dalam secarik cantik kenangan menguning terlapis bening kaca hingga akhir.

Dia nyaris menangis tatkala yang tercinta mengulas senyum sayang dan berjanji sepenuh hati untuk menang dengan begitu lugu, sembari melesap ke pelukannya yang bergetar merangkum siluet mungil seindah anugerah lapis tertinggi pelangi dalam hidupnya.

(Jika suatu hari yang tidak pernah dinanti, ia hanya akan ada dalam fana—

"Ya. Terima kasih, Haha-ue. Aku akan berjuang untuk menang."

siapa yang bisa menjaga cinta semata wayangnya selamanya?)

.

#~**~#

.

"Selamat pagi."

Srek.

Mengerang serak, rasanya ia ingin menarik selimut sampai bahkan kepalanya turut terselubung. Namun daya cahaya melesak galak ke celah kelopaknya, menginjak kornea dan pupil, hingga pandangnya bergoyang, dan kesadarannya dijejalkan paksa ke raganya.

Wangi samar ceri, obat antiseptik, dan makanan menggaruk indera penciumannya. Merangsang, tapi tidak membuatnya mengejap senang. Tidak dengan dilebur mimpi dari salah satu eksistensi tiada tapi tetap bertahta di hati.

Sebenarnya, sebelum ia memejamkan mata, apa yang ia lihat sampai ia bisa memimpikan kembali salah satu kenangan hampir terlupa dari masa kecilnya?

Mungkin karena ia tertidur dengan pikiran akhir untuk menang, dari yang mencuri barang-barang miliknya. Sebenarnya, bisa saja ia tidak memedulikan barang-barangnya yang memiliki harga jika dikalkulasi dapat membuat orang gigit jari.

Singkatnya, lebih penting nyawa daripada dalam bahaya hanya untuk tas, ponsel, dan barang-barang lainnya di dalam tas. Toh, ia bisa beli lagi.

Hanya satu itu saja, dan satu kesempatan—yang hanya ada di ponselnya saat ini, yang begitu berharga dan tidak ternilai harganya.

"Anda ini Akashi Seijuurou-san, 'kan?"

Seijuurou mengejap sekali lagi. Hampir berdecak karena ibu yang singgah di mimpi kini menjelma perawat perempuan. Bukan ingin merendahkan perawat malang tersebut, hanya saja baginya tetap hanya ibunya satu-satunya wanita paling cantik.

Satu angguk mengusir kantuk dari pemuda berambut merah itu, perawat tersebut bergegas memeriksa kondisinya. Hasil pemeriksaan memuaskan, kondisinya tidak akan seburuk yang diperkirakan. Seijuurou membiarkan perawat itu menarik meja untuk tergelar di hadapannya, menghidangkan sarapan mengerikan, dan menaruh bungkusan obat untuknya.

Seijuurou tidak melirik antibiotik yang harus ia minum, fokusnya tertumpah pada makanan rumah sakit. Mengembus panjang, tanpa keluh menyantapnya dengan mengukuh tekad ia hanya harus cepat sembuh. Dahinya berkerut sedikit tapi ia tidak berkomentar.

Perawat tersebut menitipkan seporsi sarapan dan obat untuk Furihata Kouki yang tertidur dengan posisi sengsara—separuh atas badan menghadap ke kanan, ke arahnya, kaki tetap terjulur lurus, tapi lengannya menahan beban pinggang dan punggung yang nyeri—terlihat absurd. Kemudian keluar ruangan.

Seijuurou memutuskan untuk menyalakan televisi, mencari tahu pukul berapa saat ini. Sesuai yang Kouki katakan, jam sembilan baru bisa mereka meminjam ponsel entah pada siapa. Mengabaikan komentar sarkasme adiknya dari dalam ruang imajiner mereka sendiri tentang betapa hambar makanan rumah sakit, Seijuurou mengernyitkan alis menyadari lagu ini lagi yang diputar.

Single hits. Oh, lagu ini adalah salah satu nominasi lagu terbaik untuk salah satu ajang penghargaan paling bergengsi di Jepang. Seijuurou mengingat lagu ini yang di suka disenandungkan Mibuchi di ruang loker dan didengarkan Mayuzumi dengan earphone.

.

Tetaplah

Kau bersenandung

Indahnya nada-nada

Aku tetap di sini, termenung

Menggumam bait kata-kata

Dan kita mencipta semesta

.

"Urgh."

Pekik menyedihkan itu mengulik Seijuurou untuk melirik ke kiri. Ah, rekan sepenginapan di kamar rawat-inap ini terbangun tak elit dari posisi tidur absurdnya, sepertinya karena posisi yang pegal itu, ia menghambur gumam duka pada bantalnya sendiri.

"Uangku ..."

Seijuurou mendengar dalam benak, adiknya mendengus geli. Bisa-bisanya ada yang baru bangun mengigau tentang uang. Padahal lebih penting pertandingan setim di mana mereka harus menang.

Pemuda berambut merah itu menemukan Furihata Kouki tersengal-sengal berjuang hanya untuk duduk. Wajahnya pucat-pasi menahan sakit.

Seijuurou menggeser segelas air putih untuknya dan seporsi sarapan dengan rasa mengerikan terlapis plastik bening di meja yang membatasi ranjang mereka.

Kouki serak mengucap terima kasih sembari mengusap-usap punggungnya yang masih nyeri. Jika matanya ada di punggung, mungkin ia dapat melihat ruam-ruam merah-ungu membiru sana. Belum lagi beberapa bagian yang membengkak. Namun dia mengatup bibir, meraih sarapannya setelah seteguk air mineral.

Seijuurou dan Akashi berdiskusi dalam diri mengapa seseorang seperti Furihata Kouki tidak meminta perpanjangan waktu untuk berlatih sampai kondisi pulih terlebih dahulu. Tidak protes atau apa. Mentah-mentah menelan instruksi itu. Desperasi macam apa yang membuatnya memejam mata atas segala sakit dan memutuskan bangkit melawan decih pedih yang merajamnya?

"Tidak e-enak."

Cetusan miris itu membuat Seijuurou menyahut kasual, "Memang." Diserahkannya bungkusan obat untuk Kouki melalui meja.

Kouki menahan mual dan dorongan ingin muntah, tapi dengan pandangan berkabut disuapnya makanan itu sesendok demi sendok, meskipun rasanya mirip seperti borok dari gedung bobrok tempatnya disiksa kemarin malam.

Atau mungkin ia menahan getar dalam diri mendengar elegi di televisi. Mengingatkannya mengapa ia harus menelan makanan mengerikan ini, dan tidak lebih mengerikan daripada yang selama ini entitas itu tenggak—dalam hitungan hari-hari komari dan terbit-terbenam matahari, tidak juga dengan butir-butir pil yang ia teguk tersangkut di kerongkongan membuat wajah Kouki membiru karena rasanya pahit. Lebih dari empedu.

Melihat panel TV kabel di layar televisi, waktu menandakan matahari mulai meninggi dengan radiasi benderangnya, Kouki memutuskan untuk merapikan bekas makanan di sisi meja, lalu turun dari kasur.

"A-Akashi, kau mau tunggu di sini saja atau ikut pinjam ponsel denganku?"

Seijuurou mulanya hendak menjawab tentu ia lebih baik duduk saja menunggu ruangan mereka. Mungkin absensi mereka dari kamar sakit ini, jika diketahui perawat lewat, akan memantik panik yang tak perlu. Mungkin yang Akashi tunggu akan segera datang.

Namun begitu melihat Kouki terseok dengan langkahnya, terlayang impresi malang menarik tiang infus, ia lekas turun dari tempat tidur.

"Ikut."

Kouki yang membimbing mereka keluar ruangan usai keduanya memakai sepatu. Tak ada yang merasa perlu bicara, sunyi mengetati keduanya dalam dekap kedap, sementara sepasang pemuda itu menelusuri koridor di antara lalu-lalang orang dan pekatnya aroma medikasi di rumah sakit.

Seijuurou hanya sesekali melirik, menyejajarkan langkah (hanya karena ia tak punya pilihan dan Kouki yang tahu tujuan) dengan pemuda yang menarik tiang infus selagi tertatih-tatih berjalan.

Mereka berpindah gedung melalui lorong panjang dengan keriat berat lantai baja ditapak oleh keduanya. Dingin. Sedingin lempeng es antartika karena temperatur titik bifurkasi semena-mena masih mencoba berkuasa, menolak dijajah musim semi yang merekah di pucuk-pucuk dedaunan.

Seijuurou tidak luput melihat yang tertulis di gerbang yang Kouki dorong membuka—seolah itulah destinasi di mana Kouki selalu bermuara. Indera pengelihatannya kian menyempit pada sosok yang menjadikan tiang infus sebagai topangan berdirinya.

Sunyi.

Langkah mereka melolong di lorong kosong yang suram. Bau karbol, formalin, dan mungkin mayat amat menyengat. Kedap-kedip lampu yang mungkin jika menyala benderang di penghujung koridor bagai tak berujung ini ada siluet mistik menggaruk tengkuk mereka dengan dingin anomali.

Seijuurou berhenti melangkah menuruti Kouki yang menatap kamar bernomor empat.

Dari kamar itu, semayup musikal syahdu menangisi lorong panjang dengan belasan pintu tertutup di setiap sisi dinding.

Sesaat mereka bersitatap.

"Bi-bisa tolong tunggu sebentar di sini? Aku akan segera kembali."

Seijuurou mengangguk, membiarkan Kouki mengetuk pintu lalu masuk setelah dawai elegi dari dalam terburai dan ada yang berseru parau, kemudian mendudukkan diri di kursi tunggu.

Nuansa kematian yang kental memekat diiring requiem dengung elektrokardiogram yang menyayat.

Seijuurou duduk tenang, tidak terpengaruh semua itu. Walau tempat semacam ini, sunyi yang pilu, menusuk dengan sensasi sebusuk bau isi perut, tempat di mana definisi hakiki dan abadi menjadi tiada berarti.

Jika ia pencandu, maka tebar aroma zat adiktif ini akan menyebabkannya menggelinjang tercandu, bukan merasa dirinya terpaku dan kesadaran ia hidup di setapak bidang dengan keironisan samarnya aura kehidupan menyebabkan tubuhnya kaku.

Aneh.

Seijuurou merasakan denyut. Pelan menandakan kehidupan di jantungnya. Kepalanya serasa dibanting dan diterjang pening, tubuhnya seakan terpelanting.

Visinya blur.

Samar-samar terbersit derai kenangan akan ratusan kuntum bunga dan persegi empat dan bening kaca—

"Ma-maaf membuatmu menungggu."

—pintu terbuka.

Seijuurou berinhalasi dalam, menoleh pada pemuda yang menutup pintu kembali, dan mengulurkan sebuah ponsel padanya.

"Si-silakan pakai saja ini untuk menelepon sekarang."

Kouki mengejap mata melihat Seijuurou mengembus panjang setelah statis persis prasasti, tenang mengucapkan terima kasih, lalu mengambil ponsel dari tangannya.

Pemuda yang keluar dari kamar bernomor empat itu duduk di sisi Seijuurou yang sigap menghubungi suatu nomor. Keduanya tidak saling pandang. Sama-sama menerawang pada dinding kusam di depan mereka.

"Halo?"

Kouki meresapi seruan "Seijuurou-sama!" dan rentetan tanya tanpa henti dari seberang sambungan setelah pemuda di sampingnya mengucap halo. Dia tidak bersuara sama sekali memegangi tiang infus yang bergoyang pelan ketika ditariknya mendekat.

Eks-kapten tim basket Teikou itu sangat tahu diri ponsel yang dipakainya untuk menelepon adalah pinjaman, maka dari itu ia mendiamkan siapa pun orang di seberang yang dihubunginya, lalu menjawab posisinya berada di Rumah Sakit Touhashi dan ingin segera lawan bicaranya bergegas datang kemari.

Meski Kouki ada di sisi Seijuurou, ia tidak mencuri dengar. Tidak ketika ia menghayati petikan melodis itu halus memanggilnya untuk kembali ke kamar dengan penjelasan dan perkenalan. Termangu dengan diagnosa yang ingin ia lupakan, Kouki termangu membayang kosakata mengambang dalam nada-nada romansa.

Seijuurou memutus sambungan itu sebelum dijejali pertanyaan lebih banyak lagi, ia menoleh ke samping, menemukan seseorang di sebelahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Furihata-kun."

Ponsel yang menyentuh lengannya yang terjuntai itu menyentak Kouki.

"Oh." Kouki mengambil ponsel dari Seijuurou. Jemari mereka bertemu dalam sentuhan kasual. Ia berdiri lagi. "Maaf, aku mengembalikan ponsel ini dulu."

Dalam ketergesaan yang Seijuurou biarkan, Kouki tertatih lagi hendak masuk ke kamar, mendorong pintu terbuka.

Dari ruangan itu, berhamburan gerimis kata bermelodi akustik ritmis yang dinamis terdengar manis menyakitkan.

.

Suatu hari nanti

Di hari yang tidak pernah dinanti

Kita akan bertemu lagi

Bila tak seperti ini

'ku tak tahu lagi

dalam rupa apa kita akan berjumpa

Kali nanti

Kita bersama

Bisakah kupinta selamanya?

.

Alun melodi sepenuh hati terhenti.

"Kenapa kau berdiri saja di situ?"

Suara dari dalam itu menyentak kedua pemuda yang tersihir olehnya.

"Yang tadi itu payah sekali, ya? Kau sampai bengong begitu."

"..."

"Kouki ..."

Jeda.

Keheningan mengerikan menelan suara tegukan saliva, " ... kau masih marah padaku?"

Kouki tercenung. Melihat yang duduk di ranjang terpekur, perasaannya dilesak sesak. Merasakan ada yang menatapi dari sisi kiri, Kouki terkesiap menyadari sepasang mata magenta sesolid inti surya menatapnya dengan tatapan tak ia pahami maknanya.

"Haha. Kau bicara apa—" Kouki tertawa walau matanya tersaruk poros gravitasi, "Aniki?"

Dia buru-buru membalas pandangan Seijuurou dan tersenyum yang tidak disadarinya mengiritasi iris sewarna rubi brillian itu. "A-ayo masuk, Akashi."

Seijuurou melihat gestur Kouki, mempersilakannya masuk tapi tubuhnya memblokade pintu. Seolah tak siap berhadapan dengan momok ketakutan terbesar dalam hidup. Sebelum menepi, dan mengangguk kaku.

Kouki menutup pintu di belakangnya. Dilihatnya Seijuurou membungkuk sekilas pada kakaknya yang duduk di ranjang sambil memangku instrumen kesayangannya.

"Ah, maaf kau harus menemuiku dalam kondisi seperti ini. Aku Furihata Koichi."

Seijuurou menelisik pemuda yang terlihat tua padahal mungkin masih begitu muda di hadapannya. Persentase sekitar sembilan puluh persen tanda genetik fisik keduanya menandakan kemiripan sebagai kakak-adik.

Jika Furihata Kouki memiliki helai rambut sienna memesona (dalam segi warna daripada kakaknya, Seijuurou hanya tidak bisa berdusta karena dia selalu benar), maka pemuda bergurat kesenduan yang menawan di hadapannya mempunyai rambut peru kusam—coklat yang lebih muda tapi membingkai wajah yang entah kenapa terlihat begitu tua.

Mata mereka bentuknya sama. Hanya saja jika sklera Kouki memiliki banyak spasi dan lebar seolah pupilnya adalah pusat tata surya, maka pemuda ini memiliki mata yang redup dengan lensa yang eksplisit terlihat coklat—besar dan hangat. Kouki berkulit tan ringan, kakaknya berkulit coklat pasi. Fitur wajahnya tampan. Siluet rampingnya, jemari kurus dan pipi tirus toh ditoreh kehampaan.

"Hm?" Pemuda pesakitan itu memiringkan kepala, bertopang dagu dengan siku menumpu gitar. "Apa aku pernah melihatmu?"

Seijuurou baru membuka mulut hendak menjawab ketika Kouki melaluinya untuk duduk di kursi penjenguk dekat ranjang, ketika kakaknya menatapnya dengan mata melebar.

"Rasanya seperti ini bukan pertama kali aku melihatmu. Apa kita pernah bertemu?" Koichi lantas memicing matanya. "Atau kau orang yang sering ada di televisi?"

"Artis juga banyak yang mengecat rambut jadi warna merah, mungkin itu yang Aniki lihat," sergah Kouki, menutup gugupnya dengan mengetuk-ngetuk tiang infus. Batin merapal doa penuh asa supaya kakaknya tidak ingat apa-apa yang ia ceritakan.

"Apa dia orang yang sama dengan yang kau marking saat final Winter Cup selama dua koma lima menit, Kouki?" tanya Koichi pada adiknya yang nyaris terjungkal kaget dari kursi usai mendengar perkataannya. "Yang kauceritakan itu?"

Ganti Seijuurou yang melebar pandangannya dan Kouki mengembus lelah dengan memori kakaknya yang tidak melapuk pada hal-hal trivial seperti ini.

Kouki mengangguk tak kentara. Dia memosi kursi pada Seijuurou untuk duduk di sisi lain ruangan. "I-iya."

"Akashi Seijuurou." Pemuda yang menyebut namanya sendiri mengangguk, sekedar kesantunan pada yang lebih tua.

Senyum terulas tipis di wajah Koichi. "Oh, jadi kau kapten tim Teikou dan anggota Kiseki no Sedai yang terkenal itu."

Koichi menyelidik pemuda berambut dan mata sewarna mega saat senja meraja, mengingatkannya pada seseorang. Nama dari entitas yang dibawa adiknya itu mendering memori yang terlusuh di lubuk benak.

Seijuurou kelu tatkala kakak Kouki itu menelisik dengan tatapan menyelidik. Memasungnya dalam atensi, senyum yang seolah serba tahu walau terlihat begitu lugu, dan mengangguk pada dirinya sendiri.

Melihat mata kakaknya berkilat—ekspresi itu, Kouki bergidik pelan. Kakaknya mungkin punya ari-ari dua lapis atau itu memang spesialisasinya yang telah berada di ambang batas sehingga bisa menelisik sesuatu yang tidak pernah disadari orang.

Koichi memberikan Kouki gitarnya dengan gestur untuk ditaruh ke meja. Tersenyum sembari membagi pandangan antara kedua pemuda lain yang ada dalam ruangan. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi pada kalian? Babak belur seperti itu."

Kouki mendesah lelah. Panjang. "Aniki, sudah kubilang, nanti aku akan cerita sendiri—"

"—ayolah, Kouki, mumpung belum ada yang datang ke sini."

Seijuurou merapatkan bibir karena merasakan tensi tipis mengemuti atmosfer dalam ruangan, seolah aura dingin dalam kamar ini menggeram padanya—untuk tidak mengendus mencari tahu apa yang terjadi. Dia memahami itu, dari makna tatapan Kouki dengan ekspresi komplikasi konflik batin terpapar eksplisit di wajah pemuda biasa-biasa saja itu.

Kouki menyerah, ia memilih berkisah. Seijuurou diam mendengarkan seperti Koichi—dan tidak bertanya mengapa detail kesepakatan mereka tidak diceritakan atau intensi Kouki nekat menerobos tempat laknat itu tidak diuraikan.

"... begitu ceritanya." Koichi simpatik mengedar pandang bergantian pada kedua pemuda yang lebih muda darinya.

"Terus, kenapa kalian memutuskan untuk melawan mereka? Aku tahu pasti kesal diserang oleh mereka, disiksa sampai seperti itu. Tapi kalian kalah jumlah, dan preman-preman itu punya back-up luar biasa. Mereka bisa menyakiti kalian bukan sekedar fisik saja. Kenapa harus sampai sejauh ini kalian melakukan negosiasi untuk melawan mereka?"

Seijuurou dan Kouki bertukar lirikan. Kouki nyaris terceguk ketika sengatan tajam tatapan Seijuurou mengempas hawa dingin merayapi punggung lengannya. Seijuurou tidak akan bicara intensi determinatifnya memenangkan pertandingan, begitu pula Kouki.

"Mereka harus dihentikan, Furihata-san." Seijuurou memutuskan untuk angkat bicara. "Jika tidak, mereka akan jadi terror bagi masyarakat."

"Tapi apa yang bisa kalian hentikan hanya dengan bertanding basket? Apa jika kalian bisa menang dari mereka lantas kriminalitas yang mereka lakukan dan backing yang mereka punya dapat kalian runtuhkan?"

Kouki menenggak saliva lamat. Rasanya ada semacam aliran listrik dinamis dari sepasang mata magenta dan manik peru yang bersiborok. Dia merinding ngeri melihat ini kali pertama Seijuurou—dengan mata merah—menyeringai tipis dengan pemahaman melihat kakaknya.

Seijuurou menyadarinya. Putra sulung keluarga Furihata itu memiliki penampilan menipu. Dia memang pesakitan, entitas manifestasi antara yang ada dan tiada, terombang-ambing di antara singkatnya masa dan selamanya, tapi nalarnya lebih tajam dari si bungsu Furihata—atau mungkin bawaan keduanya memang observan tapi berbeda dari jumlah pengalaman.

"Mereka pernah mengalami kekalahan dariku—dari tim Teikou. Yang kalah akan jadi pecundang dan terlupakan oleh sejarah." Seijuurou bersidekap tenang. "Namun tidak ada yang lebih menyakitkan selain dilupakan, sementara kau tetap harus melanjutkan hidup dengan kekalahan pedih itu. Mereka harus merasakannya lagi."

Koichi memicingkan mata. Orang ini ... mungkin tidak seperti sebelumnya yang ia pikirkan. Bukan harapan yang ia nanti—untuk sesuatu yang tidak pernah bisa ia kembalikan pada Kouki.

"Bisa jadi kekalahan mereka akan membahayakan kalian. Kouki pasti sudah memberitahumu latar belakang keluarga pimpinan geng anak jalanan itu. Dan kalau sesuatu terjadi pada Kouki seperti ini lagi—"

Koichi menarik napas dalam, mengembus dalam hela sesal—dan ketidakberdayaan yang tidak kentara tapi tidak luput baik dari atensi Seijuurou maupun Kouki.

"—aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya."

"Aniki ..." Kouki tercekat.

Koichi berdeham, tegas menandas, "Aku melarang Kouki untuk ikut dalam pertarungan ini karena resiko yang terlalu besar."

Kedua pemuda yang bulan kelahiran mereka hanya terpaut satu purnama membelalak kaget.

"Tidak!"

Seijuurou bahkan terkejut dengan suara Kouki yang meninggi panik, berbanding terbalik dari Koichi yang mengangkat kepalanya. Wajah sendunya merincungkian ketegasan dengan otoritas seorang kakak.

"Aku tidak mau diam saja dan membiarkan mereka melakukan hal-hal seperti itu lagi pada yang lain. Kalau dibiarkan saja, mereka akan terus berulah. Dan mereka menyiksaku, aku ... ka-kalau bisa, aku ingin membalas mereka!"

"Kau sadar tidak kau punya kecenderungan masokis, eh? Apa yang bisa kaulakukan hanya berdua sementara mereka segerombolan?"

"Ittai! Aniki—" Kouki merintih ketika kakaknya menjitak pelan kepalanya. "—a-aku tidak sendiri menghadapi mereka, Akashi pemain basket yang sangat hebat, dan—"

"Aku tahu. Kau marking dia saja terlihat seperti chihuahua menghadapi singa. Tapi lihatlah kondisi kalian berdua, kau babak belur, bahkan Akashi-kun terluka. Belajarlah dari pengalaman kalian hari ini—"

"—a-aku tahu! Tapi ini tidak seberapa—"

"—tidak seberapa? Kau terluka! Katakan padaku, ada yang kau sembunyikan, 'kan? Jangan keras kepala seperti anak kecil kalau kaupikir semuanya akan sesederhana itu bisa selesai dengan basket."

"—aku bukan anak kecil, berhenti memperlakukanku seperti anak kecil! Dan ti-tidak, tidak ada apa-apa. A-aku hanya tidak mau merasa tidak berguna lagi!"

"Anak kecil atau remaja, kau tetap adikku! Aku tidak bisa melindungimu di luar sana, ini yang bisa kulakukan!"

Kouki terguncang syok, tangannya meremat baju yang masih sobek di sana-sini—tidak diganti dengan seragam pasien rumah sakit.

"Mencegahmu bertindak bodoh menyakiti diri sudah jadi tugasku sebagai kakakmu, aku hanya bisa menjagamu seperti ini!"

Tatapan kakaknya lurus menghunus kenyataan paling menyakitkan yang serak disentakkan dengan frustrasi tertinggi.

Apa begitu sulit bagimu untuk memahami hal ini, Kouki?!"

Sepasang kakak adik itu terengah saling menabrakkan amarah. Tidak sadar Seijuurou masih ada di sana dan dengan kesenyapan seorang diri, menyepakati dengan adiknya, keduanya terlihat bodoh. Tapi, meski kelihatan bodoh, kedua jiwa dalam satu raga itu bahkan tidak bisa mengenyah perasaan tersepi terbersit di hati mereka.

"Kalau kau masih ingin melakukannya, aku terpaksa akan bilang pada—a-argh!"

Tiba-tiba Koichi mengerang pelan, tangannya berlari mendelusuk kepala berambutnya yang tipis dalam jambakan depresif. Kouki yang semulanya tercengang kaget dengan dampratan desperatif kakaknya, terlonjak kaget begitu pula Seijuurou.

Kouki menekan repetitif tombol merah di atas kepala ranjang kakaknya sembari satu tangan lagi menopang kakaknya yang mengerang menahan sakit.

"A-Aniki—"

Kouki panik menekan tombol itu. Dia bukan tidak pernah dalam situasi seperti ini, perasaan bersalah menggelontor kepercayaan dirinya. Dia mengigit bibir, tidak ada perawat dan dokter yang menyibak pintu secepat biasanya tombol itu ditekan, mungkin karena ini saatnya pergantian shifts jaga pasien rawat-inap.

Ketakutan dengan kakaknya yang tersengal hebat dan berkeringat dingin, pengecut karena tidak mampu melihatnya semenderita itu meski telah sedari dulu dan berulang kali terjadi—

"A-Akashi! Tolong jaga Aniki!"

"Kou— ... –ki. Ti- ... khh ... –dak usah."

Seijuurou bergegas menahan Koichi yang limbung karena topangannya hilang.

Kouki kasar mencerabut jarum infus dari tangannya lalu menyentak tiangnya, darah berceceran dari punggung tangannya tidak dihiraukan, dan melesat berlari keluar kamar secepat yang ia bisa dalam kondisi buruknya itu.

" ... ma-maaf, kau me-melihatku ... dalam ko-kondisi—"

"—aku mengerti. Tenangkan dirimu, Furihata-san."

"... jangan—nnh. Hhh. Batalkan ke-kesepakatanmu de-den—argh ... Kou—"

Seijuurou terdiam memegangi pemuda yang menatapnya sengit di sela gigitan sakit. Mirip hyena terluka yang menggeram mengumbar ancam sia-sia ketika saudaranya hendak dimangsa oleh predator lain yang jauh lebih kuat.

"Tidak bisa."

Dua jiwa bersuara. Untuk satu prioritas egois dan intensi yang absolut tak dapat diganggu-gugat. Menang, dan mereka butuh Furihata Kouki kali ini.

"... tapi, aku bisa menjanjikan satu hal."

.

#~**~#

.

Seijuurou lekas keluar dari ruangan begitu dokter dan perawat berhamburan masuk kamar nomor empat mengerubungi Koichi. Terdiam ketika melihat darah tercecer sepanjang koridor lengang, Furihata Kouki di depan pintu kamar nomor enam menghadapi seorang wanita, parau berujar jujur, dan wanita itu memandangi pemuda tersebut dengan darah yang masih meluruh dari punggung tangannya.

Tangan samar berkerut oleh keriput tapi terlihat begitu rapuh lantas terangkat.

Kouki tertunduk. Terpuruk begitu buruk.

Seijuurou hanya memandang, tidak membangun asumsi.

Tangan itu tidak menampar Kouki, tapi beralih ke pipi yang kerut oleh usia dan decapan lelah, mengusap yang basah. Wanita itu tidak berkata apa-apa pada Kouki, memilih melangkah ke kamar bernomor empat itu dan berdiri tegar menyeka airmata di depan pintu.

Seijuurou tidak tahu apa perlu dirinya bersyukur tidak terjadi adegan tragedi yang butuh privasi dan bersifat pribadi. Tapi ia tidak bisa tidak tercenung ketika melihat punggung tangan yang melelehkan butir demi butir darah, kini melebur dengan bulir lain saat kepala pemuda yang terluka itu tertunduk ke bawah melinang melankolia.

Seijuurou terdiam di sana kendati mengetahui seharusnya ia bergegas ke kamar rawat-inap yang telah diinformasikan pada ajudan ayahnya. Tidak tahu mengapa dirinya terpaku dengan realita yang terpapar di hadapannya.

Salah satu dari ketiga perawat keluar ruangan, tampaknya mengetahui siapa wanita di depan pintu, lantas memberitahu kondisi pasien dalam kamar nomor empat itu memburuk karena hipertensi, kondisinya tidak sestabil sebelumnya dan ia dijejali pain-killer dalam dosis sesuai yang dibutuhkan, tapi ia terpaksa memakai oksigen untuk membantu memulihkan sistem respirasi yang tersendat.

Seijuurou memilih tidak menyimak sisa konversasi karena melihat seraut wajah terangkat dan begitu eksplisit terlihat ketakutan di sana. Dia melangkah, mendekat, Furihata Kouki bahkan tetap tidak bisa bernapas lega setelah mendengar diagnosa dari perawat tersebut, tersendat—mungkin justru orang ini yang butuh bernapas dicekoki setabung oksigen.

Walau ruang pandangnya berkabut, mustahil Kouki tidak mampu mengidentifikasi siapa siluet merah itu. Individu yang meraih tangannya yang terluka, lalu menggamitnya. Dirasakannya ibujari berkalus mengelus punggung tangannya, menekan pelan di sana—seakan sentuhannya dapat mengaktivasi fibrinogen merilis fibrin dan menumbuhkan jaringan kulit baru untuk menutup luka.

Kouki, terlalu pengecut karena takut untuk tetap ada di situ dan merasa dirinya begitu buruk, membiarkan Seijuurou menariknya pergi dari sana.

Seijuurou menatap lurus ke depan. Tidak merasakan apa pun mendengar sedan di belakangnya. Tidak juga betapa konyolnya tindakan yang ia lakukan.

Tautan tangan mereka basah oleh darah. Kaki-kaki mereka menjejak bulir hemoglobin yang diperciki pentah mentah dari lakrimal sepasang iris sienna yang retak. Lebur. Meleleh.

Keluar dari tempat yang senyap dan kental akan duka pembuat siapa pun merasa tergemap pengap.

.

#~**~#

.

Televisi sengaja dinyalakan menampilkan presenter yang berkicau riang menghalau kesunyian dalam setapak ruang. Tentang genderang dendang yang membuat pendengarnya terlayang.

Seijuurou menerawang keluar jendela. Wajah musim dingin yang terajang ajal. Memelanting visi ke samping kiri, seseorang tengah duduk terpekur di tempat tidur, wajahnya sembab dan sorot matanya kosong tertuju pada televisi kendati kentara terlihat pandangannya blur.

.

Meski tak tahu hingga kapan

Aku bisa bertahan

Hingga akhir waktuku

Kau 'kan kutunggu

Dengarkan aku mengaku

Padamu,

aku rindu

.

"To-tolong ... matikan teve itu."

Pinta muram itu, dalam situasi biasa akan Seijuurou tanggapi dengan tatapan tajam menusuk sampai rusuk karena berani-berani menginstruksikan (meski hanya hal sepele) seperti itu padanya. Tapi ia tetap memosi tindakan untuk membunuh nyala televisi tersebut, memenggal penggal lirik yang tinggal reff terakhir sebelum lengkap total.

"Darah dari tanganmu mengotori seprai."

Kouki berekshalasi berat atas pernyataan Seijuurou. Beranjak dari posisinya, terseok ke wastafel di sudut ruangan untuk mencuci darah yang sebenarnya telah mengering. Tidak perlu diberitahu, ia paham itu terjemahan instruksi lain dari Seijuurou untuk membasuh wajah yang masih basah.

Lelaki mana tidak merasa risih atau anomali melihat lelaki lain diam merintik perih tak terperi. Ini bahasa sederhana yang hanya mereka sebagai lelaki yang mengerti.

Kini gemericik air di wastafel menggerimis kesunyian kamar rawat-inap mereka.

"Jangan berpikir untuk berhenti."

Kouki membiarkan tangan yang semula mewadahi air untuk membasahi wajahnya, beralih menangkup mukanya, tergeming karena suara dingin itu. Punggungnya digiling sensasi merinding

"Furihata-san sudah memberikan izin untukmu."

Seijuurou konstan stoik walau air teralir sia-sia dari keran yang belum ditutup karena seraut wajah basah terangkat menatapnya dan itu tidak menyamarkan linang air lain dari yang dibasuhkan ke wajah Kouki.

"Aku tidak mengatakan padanya tentang uangmu yang dicuri." Seijuurou menatap lekat bulir air yang menggelantung di ujung dagu Kouki. "Uang itu untuk Furihata-san, aku tahu itu."

"Terima kasih."

Itu diucapkan terlalu cepat dan dengan hati tersayat—seperti apresiasi seseorang yang berhutang karena telah ditolong meski harus berbohong.

Siluet dari samping, air merintik dari ujung-ujung rambut sienna itu. Mata yang berkaca-kaca. Wajah yang basah. Airmuka yang meriak emosi, setara cengkeraman frustatif jemari pada dinding tepi wastafel.

Entah ada sesuatu apa pada Furihata Kouki saat itu yang membuat Akashi Seijuurou tidak mengalihkan pandangan darinya.

" ... kalau ... a-aku masih ada gunanya untuk pe-pertarungan melawan kembar Sasaki meski ha-hanya sebagai alat atau umpan ..."

Seijuurou risih melihatnya sepilu itu. Matanya terpejam. Begitu terkejap, manik heterokromik yang arogan telah tercangkang dalam rongganya.

"Ada."

Kouki terkesiap merasakan aura dingin yang membuat ngilu sembilunya.

Akashi tidak mengerti mengapa dirinya yang satu lagi memilih tenggelam dalam lubuk kesadaran mereka. Mengabaikan pilihan personanya itu, ia menatap Kouki dengan akomodasi sempurna inderanya terfokus sepenuhnya pada sosok yang melangkah mundur. Teratur. Gemetar.

"Kau akan difungsikan untuk membantu mendapatkan kemenangan absolut."

Kouki tidak tahu mengapa persona yang menguras seluruh energinya hanya untuk berdiri menghadapi orang ini tiba-tiba muncul, lidahnya mengelu—terlebih tatkala melihat Akashi dengan kasual memandang tangan yang dinoda jejak kering darah Kouki.

"Besok, kita mulai."

Setelah itu, Kouki terpaku di situ—terlalu pengecut untuk mengilah—saat Akashi menutur instruksi agar mulai besok mereka bertemu lagi di rumah sakit ini dan mulai berlatih, hingga pintu kamar rawat-inap mereka diketuk.

Akashi dingin menyapa seorang pria yang mengintrusi ruangan dan seketika menatap horror tangan yang dilukis keringnya merah mentah.

Hari itu, mereka berpisah.

Sepanjang perjalanan pulang, Akashi menolak menjelaskan yang terjadi pada sang ajudan untuk saat ini—hanya menyuruhnya mengurus administrasi. Mengucap sampai bertemu besok pada Kouki tidak membuatnya merasa lebih baik, dan ia berdecak pelan non-ekspresi ketika radio mengalun elegi itu lagi.

'Dia terlihat terlalu lemah.'

'Ya, berbeda dari kakaknya. Dan jika suatu hari orang itu mati—'

'—dia tidak akan bertahan.'

'Setidaknya, dia tidak akan menjadi seperti kita. Tidak akan sepertiku dengan kelemahan sepertimu.'

'Kelemahan? Aku adalah kekuatan. Siapa yang lemah dan mengganti alih posisi kita melihatnya seperti itu?'

'Aku tidak ada lagi urusan dengannya. Kau bicara begitu, tapi kau sendiri langsung pergi. Ironi. Sampai hasrat kemenanganku terkikis habis, akan kubiarkan kau tetap ada.'

'Apalagi yang perlu kukatakan pada alat untuk mencapai kemenangan? Lihat siapa yang akan duluan terjatuh kalah nanti.'

'Katakan itu kalau bukan kau duluan yang kalah dan terjatuh.'

.

To be continue

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Asdfghjkl banget daerah rumah saya hari ini. Pepatah hari cerah sebelum badai datang ada benarnya. Orz

Untuk yang mengikuti Kurobas hanya dari anime, mungkin tahu selintas Kamata Nishi itu yang dilawan Kisedai pas final tahun kedua dan semifinal tahun ketiga mereka di Teikou. Karena kekalahan di tahun kedua, mereka balas dendam di tahun ketiga dan sengaja nge-foul untuk melukai Kuroko. (Beda dari manga-nya, di anime arc semifinal national tahun ketiga, Kuroko kelihatan idiotly main nge-cross buat intercept terus kepalanya ketebas. /satir dengan tim creator season 3 Kurobas Production I.G/ *diinjek keras-keras*)

Ah, bagian law backing-up mereka itu ngarang banget—itu gak ada di manga. Ini bagian dari plots untuk kebutuhan cerita. Biar seru. (?)

Pertama, terima kasih untuk Kak Kuro yang udah kurusuhin nanya ini challenge beneran masih ongoing atau nggak—soalnya saya udah sempet nyerah dengan challenge ini karena kelewatan DL pas valentine. Terima kasih banget udah ngebolehin fic ini dipotek jadi tiga chapters. *ojigi*

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Keberatankah untuk RnR/concrit/feedback chapter ini terlebih dulu sebelum membaca chapter selanjutnya, LeChi-tachi?

.

Sweet smile,

Light of Leviathan a.k.a LoL